Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia.
"Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.
Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."
Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan.
"M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."
Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas.
"Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setelah kembali mencium tangan Santia.
Sepeninggalan Rajaswala. Santia menangkup wajah anak perempuannya, merasa kasihan pada Vitaloka.
"Maafkan, Ummi," ucap Santia.
"Kenapa Ummi minta maaf? Ummi enggak punya salah apa-apa." Vitaloka mengulas senyum kecil. Senyum yang menyembunyikan betapa terlukanya dia ditinggal nikah oleh Sebastian.
Hatinya retak, bahkan hancur berkeping-keping. Masih belum bisa memaafkan kesalahaan Sebastian. Namun, dia sudah mengikhlaskan laki-laki itu untuk Nesya.
"Ummi minta maaf, karena enggak bisa menjaga salah satu dari kalian. Sehingga salah satu dari kalian malah terjebak dalam dosa. Kamu yang kuat, ya, Vi." Santia mengelus puncak kepala Vitaloka. Dia merasa iba dengan nasib kehidupan anak pertamanya. Dia juga merasa marah sekaligus kecewa pada Nesya. "Ummi enggak usah minta maaf gitu, ah. Vita udah ikhlas, lagian Sebastian juga harus mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri. Vita enggak mau melihat Nesya menderita," dalih Vitaloka meski tenggorokannya terasa tercekat.Santia tahu, bahwa tatapan dan senyuman yang terbingkai di Wajah Vitaloka hanyalah topeng semata. Pasti perempuan tersebut merasa terluka. Belum lagi hubungan Vitaloka dengan Sebastian berjalan cukup lama.
"Semoga Allah memberikanmu pengganti yang jauh lebih baik daripada Sebastian." Santia akan terus berdoa demi kebahagiaan anak-anaknya. Terutama kebahagiaan Vitaloka, Santia sadar diri bahwa selama ini dia selalu menganak tirikan Vitaloka."Aamiin Yarabbal'alamin." Vitaloka mengaminkan. Dia juga berharap seperti itu. Bertemu dengan laki-laki baik yang mau menerima apa adanya. Bukan laki-laki berengksek yang ingin enaknya saja tanpa berniat menghalalkan.
"Ayo, turun. Nesya ingin foto bersama." Santia menggandeng tangan Vitaloka, sedangkan Vitaloka pasrah. Mungkin ucapan Rajaswala benar, dia harus bisa melawan berbagai komentar dari tetangga atau siap menghadapinya.
Sesampai di bawah sorot mata Vitaloka tertuju pada podium pelaminan. Di sana Sebastian tampak tampan dengan pakaian pengantinnya, begitu juga dengan Nesya. Dengan langkah berat, Vitaloka melangkah ke pelaminan sana karena sedari tadi Nesya memanggilnya.
Nesya menarik tangan Vitaloka. Juga memberi tahu tukang fotografer untuk memotret mereka bertiga. Tanpa sengaja, sorot mata Vitaloka bertemu dengan Sebastian. Binar sendu dan hangat laki-laki itu membuat getaran aneh di hati.
Vitaloka merasa kecewa pada Sebastian, karena telah mengkhianatinya. Dia pikir Sebastian akan setia, nyatanya berengksek sama seperti mantan yang terdahulu.
Seorang fotografer memberi intruksi pada Vitaloka agar berdiri di tengah-tengah pengantin. Hal itu membuat Vitaloka mendengkus kesal, bukan apa-apa. Masalahnya hatinya belum siap berdekatan dengan Sebastian. Terlebih lagi laki-laki itu tengah mengulas senyum tipis, entah apa artinya itu.
Sesi foto berakhir, Vitaloka mengembuskan napas lega. Dia memilih menepi dari kerabatnya. Rasa sakit masih dirasakan tepat di ulu hati.
"Kamu sudah begitu dewasa, ya, Vi." Suara tegas nan lembut itu menyapa indra pendengar Vitaloka.
Vitaloka mendongak menatap siapa yang berdiri di hadapannya. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Orang yang sangat Vitaloka banggakan dan hormati kini berbicara dengannya. Meskipun dulu mereka tak begitu dekat.
"Ayah," ucap pelan Vitaloka. Senyumnya semakin lebar, menyembunyikan betapa hancurnya dia. "Vita baik-baik aja, Yah. Lagi pula bukankah usia Vita sudah memasuko dewasa?"
Samuel menggeleng, merangkul tubuh anak perempuannya dengan sayang. Lalu mengiring menepi dari keramaian tamu.
"Jauh, bukan berarti Ayah enggak tahu apa yang sedang terjadi sama kamu," ujar Samuel menatap dalam manik mata Vitaloka.
"Kenapa kamu selalu mengalah? Dari kecil sampai sekarang kamu selalu mengalah pada adik-adikmu? Apakah kamu tidak merasa tersiksa?" Samuel bisa merasakan kesedihan dari anaknya. Dia merasa kecewa pada Sebastian, juga merasa bersalah karena sudah salah menitipkan Vitaloka pada Sebastian.
"Yah, bukankah tugas seorang Kakak itu mengalah? Aku enggak masalah, enggak dapat apa yang aku mau. Akan tetapi, aku enggak akan membiarkan adik-adikku menderita karena enggak dapat apa yang mereka mau."
Samuel mengulas senyum tipis. Vitaloka tahu, itu senyuman mengasihani. Rasa hangat dia rasakan ketika Samuel mengelus puncak kepalanya.
"Ayah doakan semoga kamu mendapatkan gantinya dengan yang jauh lebih baik. Laki-laki sseperti Sebastian enggak pantas memiliki kamu."
"Ayah enggak boleh bilang gitu. Sekarang laki-laki itu sudah menjadi menantu Ayah."
"Ayah tahu, tetapi Ayah belum bisa menerimanya. Apa lagi Ayah merasa kecewa sama Nesya. Padahal Ayah ingin dia berkuliah, melihat dia wisuda dulu. Bukan malah menikah dulu."
Vitaloka menarik tangan Samuel untuk digenggam. Senyum manis terbingkai di wajah. Wajar saja sang ayah kecewa pada Nesya, toh Nesya merupakan anak kesayangan Samuel.
"Yah, mau bagaimanapun juga. Sekarang, Nesya sudah menikah. Kita enggak bisa menghindari fakta tersebut. Mungkin udah takdirnya seperti ini," kata Vitaloka.
Samuel menangkup wajah Vitaloka dengan sayang. Kecupan singkat dia berikan di kening anak perempuannya. Tanpa mereka sadari, Santia menguping dan melihat interaksi keduanya. Senyum senang terbingkai, baru kali ini dia melihat sang suami berbicara santai dengan Vitaloka. Tak ada lagi kecanggungan ataupun perasaan sungkan. Ayah dan anak itu sudah berbaikan.
Setelah berbicara dengan sang ayah. Vitaloka memilih menepi sejenak di dekat prasmanan. Mencicipi berbagai kue basah yang tersedia. Kemudian, mengecek gawainya untuk memastikan pekerjaan yang masuk. Untung saja sebelum undangan tersebar, dia belum menyebarkannya ke teman kantor. Jika iya, maka Vitaloka akan menahan malu yang membuat dia merasa tak nyaman.
Bola mata Vitaloka membulat ketika mendapatkan pesan w******p dari Sebastian. Dia mengirim sebuah foto, di mana hanya ada dirinya juga Sebastian dalam foto tersebut. Itu foto yang tadi, sesi foto yang dilakukan dengan terpaksa. Bukan hanya foto yang dipotong hanya tinggal dia dan Sebastian saja.
Kalimat yang tertera dalam foto tersebut membuat Vitaloka geram sekaligus menitipkan rasa benci dalam hati untuk laki-laki itu.
"Dia enggak tahu malu. Udah menikah, malah masih berharap dengan kisah cinta yang sudah kandas," gumam Vitaloka.
Kalimat itu berbunyi, "Bukankah seharusnya seperti ini, Vi?" dengan foto hanya ada dia dan Sebastian. Sungguh, hal itu membuat Vitaloka jijik terhadap Sebastian. Laki-laki itu seperti tidak menghargai hubungan pernikahan dengan Nesya.
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di