"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.
Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi.
"Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.
Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.
Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-ribu.
[Vi, kamu sudah tahu belum? Berita yang tengah menghangat di kantor kita?]
Pesan masuk dari Amelia mengambil fokus Vitaloka. Alisnya berkerut, tidak tahu menahu mengenai berita atau gosip hangat yang tengah viral di kantor. Selain bukan pekerjaan, Vitaloka sangat enggan untuk mencari tahu.
[Enggak, memangnya berita apa?]
Belum satu menit, Amelia sudah lebih dulu membalas. Membuat Vitaloka membuka link artikel yang dibagikan oleh perempuan itu. Selain satu sekolah bersama, dia dan Amelia satu pekerjaan bersama. Walaupun berbeda departemen.
Saat tengah asik membaca, tubuh Vitaloka sontak saja langsung bangun. Matanya membulat, menutup mulut yang terbuka karena terkejut. Berita yang mengejutkan sekaligus membuat jantung Vitaloka berdetak lebih cepat.
[Rajaswala Laksamana anak konglomerat asal Jakarta kini telah dinyatakan bebas setelah dipenjara selama 10 tahun]
Mata Vitaloka tertuju ke depan. Dia masih belum percaya dengan apa yang dibacanya tadi. Laki-laki yang menyampirkan dan memberikan jaket padanya merupakan seorang mantan narapidana. Vitaloka tidak membaca semua artikel tersebut, dia benar-benar takut karena telah menyinggung perasaan Rajaswala dengan mengatakan 'berandal'. Takut jika laki-laki itu menyimpan dendam.
Dering panggilan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Segera dia mengangkat telepon tersebut dari Sebastian.
Senyum Vitaloka merekah mendengar suara sapaan dari sang calon suami. Meski masih ada yang mengganjal di hati mengenai foto yang tak sengaja dia temukan.
"Kamu tenang aja, Tian. Semua pilihan tempat pelaminan dan dekorasi sudah Ummi tetapkan sama Mama kamu. Kita hanya menunggu acara sakral itu tiba," ucap Vitaloka.
"Aku sudah enggak sabar, Vi. Setelah sekian lama kita jalin hubungan. Akhirnya bisa sampai ke jenjang yang lebih serius." Sebastian berujar dari seberang telepon sana.
Vitaloka mengangguk sekilas. "Oh ya. Aku boleh bertanya padamu satu hal?"
"Jika pertanyaanmu mudah maka akan kujawab," kata Sebastian.
"Ada di mana kamu setelah isya tadi?" Alis Vitaloka menyatu, menunggu jawaban dari Sebastian. Dia hanya ingin memastikan saja.
Matanya tidak salah melihat. Dia yakin bahwa mobil pajero yang dilihat di toko roti tadi ialah mobil Sebastian.
"Aku ada di perjalanan pulang, Vi." Nada bicaranya seperti tidak menyakinkan.
Vitaloka hanya mengiakan. Telepon mereka berlangsung lama. Kemudian, dimatikan oleh Sebastian karena harus berdiskusi mengenai siapa saja yang diundang di pernikahannya nanti.
Pernikahannya dengan Sebastian sebentar lagi tiba. Perasaan ganjal dan berbagai pikiran negatif kini bersarang di kepala. Rasa ragu menyelimuti benak. Benar-benar membuat Vitaloka pusing saja.
***
Pernikahan yang ditunggu-tunggu oleh Vitaloka malah menjadi mimpi buruk baginya. Gaun pengantin dengan desain sendiri kini malah dipakai oleh orang lain. Rasa sakit hati dan sesak menyelimuti benak.
Ramainya tetangga dan handai tolan pun masih hilir-mudik membantu menyajikan acara dan pangganan agar resepsi pernikahan kali ini berjalan dengan sempurna.
Seharusnya kemeriahan ini milik Vitaloka, tetapi kejadian lima hari yang lalu sebelum pernikahan dilaksana membuat tantanan pernikahan itu berubah seutuhnya.
"Aku sudah tidur sama Mas Sebastian, Teh. Bahkan kini sedang mengandung anaknya." Suara Nesya lirih terdengar. Bagaikan kilatan petir yang menggelegar.
Malu rasanya. Namun, Vitaloka tetap ikhlas saat mempelai laki-laki bersanding dengan adik bungsunya untuk mempertanggung jawabkan aib mereka.
Vitaloka tidak mau melihat Nesya menahan malu. Apalagi menderita kalau saja tidak ada laki-laki yang akan menikahinya. Dia merelakan sang calon suami untuk sang adik, meski hatinya retak tak terkunjung terbentuk lagi.
"Dek." Suara Teteh Ika mengejutkan Vitaloka yang sedang melamun di dalam kamar. Segera dia menyeka air mata yang membasahi pipi saat mendengar ijab qobul sudah terucap untuk Nesya. Seharusnya itu untuknya.
Vitaloka langsung menghabur ke dalam pelukan Ika. Menumpah tangis di dalam dekapan wanita itu. Ika mengerti perasaan hancur Vitaloka. Tangannya mengelus lembut punggung sang keponakan. Memberi semangat, bahwa tidak hanya Sebastian saja yang merupakan laki-laki di dunia ini.
"Kamu pasti bisa Vi melewati semua rasa sakit ini. Sebastian laki-laki brengsek. Dia tidak pantas untuk kamu," ucap Ika seraya menangkup wajah Vitaloka dengan sayang. Menghapus sisa air mata di wajah perempuan itu.
"Ayo, keluar. Ibumu dan Uwa menunggu di bawah."
Vitaloka menggeleng pelan. Dia belum siap mendengar berbagai bisikan pedas dari mulut tetangga. Apalagi saat mengetahui bahwa pengantinnya berbeda.
"Hei, bukankah kamu yang sering bilang, jangan dengarkan omongan orang lain apabila ingin terus melangkah maju. Tutup telinga dan fokuskan ke depan. Bukankah itu perkataanmu dulu? Teteh yakin kamu bisa masa bodoh dengan perkataan mereka." Ika mencoba menasihati. Dia khawatir kalau Vitaloka tetap berada di dalam kamar. Takut kalau perempuan itu berbuat nekat atau mengurung diri berhari-hari yang menyebabkan dirinya depresi.
Dengan sekali tarikan napas. Akhirnya Vitaloka mengangguk mengiakan ajakan Ika. Ika menuntun Vitaloka menuruni anak tangga. Dada Vitaloka bergemuruh hebat melihat betapa banyaknya tamu yang berkumpul.
Vitaloka menyelipkan anak rambut ke beakang telinga. Merasa risi ketika di tangga terakhir, tatapan para tamu kini tertuju padanya.
"Kasihan, ya. Seharusnya dia yang nikah. Eh, malah diloncatin sama adik sendiri."
"Kayaknya pembawa sial, deh. Dia selalu gagal kalau soal hubungan percintaan."
"Kasihan jadi perawan tua lagi."
Sungguh, hati Vitaloka kembali tercabik mendengar berbagai hinaan tersebut. Sadar dengan perubahan dan rasa tak nyaman Vitaloka, segera Ika menuntun Vitaloka ke meja di mana kerabat mereka berkumpul.
"Sayang, kamu pasti kuat." Seorang wanita paruh baya dengan gamis dan hijab besarnya memeluk Vitaloka dengan erat.
Vitaloka hanya mengulas senyum tipis memandang sang kakak dari ayahnya sendiri. Yusuf---sang ayah yang berdiri di samping Maria memeluk erat tubuh putri pertamanya. Tangis Vitaloka pecah, dia mencoba menahannya kembali.
Malu rasanya dilihat oleh para tamu undangan. Tatapan Vitaloka tertuju pada podium pelaminan. Di mana Sebastian tengah berdiri bersanding dengan Nesya. Sang ibu dan mertuanya pun ada di sana.
"Sekarang kamu ucapkan selamat untuk mereka. Kuatkan hati kamu," ucap Diana membisikkan kalimat itu pada Vitaloka.
Vitaloka mengangguk. Hatinya sudah mantap. Dia berjalan menuju pelaminan bersama Ika. Tepat di hadapan Nesya, senyum lebar terbingkai di wajah Vitaloka.
"Selamat, ya, Nes. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, wawadah, warahmah." Vitaloka mengucapkan dengan lancar. Senyum lebar masih terbingkai.
Nesya memeluk Vitaloka dengan erat. Mengucapkan maaf berulang kali di dekat telinga sang kakak. Lalu kini tinggal Vitaloka berhadapan dengan Sebastian. Senyum masih terbingkai di wajah, seakan-akan semuanya baik-baik saja.
"Selamat, ya. Jangan lupa jagain adikku."
Buru-buru Vitaloka turun dari podium pelaminan menuju prasmanan. Sungguh, hatinya terasa sakit bila bertatapan dengan terus dengan Sebastian.
"Aku ikhlas, Ya Tuhan."
"Memang begitu seharusnya, Vitaloka!"
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di