Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah.
"Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu.
Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim.
"Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu.
"Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah.
"Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya.
"Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang."
"Syukurlah. Sana mandi, setelah itu makan. Kamu sudah seharian berada di luar, pasti makannya sembarangan."
Vitaloka mengulas senyum kecil. Merasa beruntung mendapatkan perhatian seperti itu dari sang ibu. Padahal dulu perhatian sang ibu selalu tertuju pada adik-adiknya, kadang juga sang ibu sering kali mengabaikannya.
"Jangan lupa istirahat yang cukup. Pernikahanmu tinggal lima hari lagi, lho," goda Diana sembari menyenggol bahu Vitaloka. Membuat pipi Vitaloka terasa memanas saja.
"Sekalian Ummi sama Uwamu sudah berdiskusi mengenai tempat pelaminan dan dekorasi tenda. Kata Julia, mertuamu. Kamu belum memilih, 'kan?"
Vitaloka menggeleng pelan. Masih bingung harus memilih yang mana, sedangkan semuanya tampak bagus dan mewah.
"Semuanya kelihatan bagus, Ummi. Aku bingung. Tapi, kalo Ummi sama Uwa yang memilihkan tidak masalah. Tinggal diskusi tamu undangan saja."
"Bagus! Anak pintar," sahut Diana seraya menjiwit pipi Vitaloka.
"Sudah sana mandi, ingat habis mandi makan."
Vitaloka mengangguk dan melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Saat di tangga terakhir di atas, sorot matanya mengedar ke bawah. Di bawah sana banyak sekali tatamu yang hadir untuk membantu menyiapkan pesta pernikahan. Terutama kerabat dari sang ibu dan ayah.
Tak mau membuang waktu, segera Vitaloka melanjutkan langkah memasuki kamar untuk membersihkan tubuh.
***
Vitaloka memeluk dirinya sendiri. Cuaca kota Cikampek kini terasa dingin. Awan hitam menggepul di langit, sepertinya hujan lebat akan segera turun. Setelah makan malam tadi, dia disuruh untuk membeli label nama undangan.
Karena di rumah tidak ada yang bisa disuruh selain dirinya. Nesya belum pulang, Riandika sang adik bungsu tak bisa diandalkan. Terpaksa Vitaloka sendirilah yang harus membeli ke tukang fotocopi yang sialnya toko tersebut jauh dari rumah.
Vitaloka mengembuskan napas kasar. Gerimis mulai berjatuhan dari langit. Dia menengadah langit, perlahan wajahnya merasakan gerimis tersebut.
Langkahnya membawa ke halte bus guna meneduhkan tubuh. Gerimis kini berubah menjadi hujan deras. Vitaloka merutuki diri yang tak membawa payung ataupun memakai pakaian tebal. Dia hanya memeluk tubuh sendiri dengan mengamankan benda yang tadi dibeli.
Sorot matanya tertuju ke depan jalan. Tak begitu banyak kendaraan yang tampak hilir-mudik di jalanan sana. Namun, bola mata Vitaloka terkunci di salah satu objek di seberang jalan tepat dekat toko roti.
Vitaloka mengenali plat mobil dan mobil pajero putih tersebut. Bahkan dua orang yang baru saja memasuki mobil, dia mengenalinya. Itu Sebastian dan Nesya.
Ada rasa nyeri di ulu hati melihat kedekatan mereka. Apalagi melihat sikap Sebastian yang mengacak rambut Nesya dari dalam mobil. Walaupun lumayan jauh, tetapi Vitaloka bisa melihat dan mengenali keduanya walaupun samar.
Buliran bening terjatuh begitu saja. Padahal dia tidak menginginkan buliran itu terjatuh. Mobil pajero putih milik Sebastian sudah melaju meninggalkan toko roti tersebut.
Kebisuan menemani Vitaloka. Otaknya bersikeras berpikir mengenai hubungan antara sang calon suami dengan adiknya sendiri. Berbagai pertanyaan dan pemikiran negatif menyelimuti benak. Foto yang ditemukan dalam ponsel Sebastian membuat dugaan Vitaloka semakin kuat saja.
Hujan semakin deras, membuat Vitaloka semakin memeluk tubuh. Angin berembus dengan kencang. Sungguh, rasanya benar-benar dingin. Sampai dia tidak menyadari kalau ada seorang laki-laki tengah berdiri di samping seraya mencuri pandang.
"Pakai jaket saya, Mbak. Situ kedinginan." Suara berat penuh penegasan membuyarkan lamunan Vitaloka.
Perempuan itu menoleh ke samping. Alisnya mengeryit, dia seperti mengenali laki-laki yang ada di sampingnya, hingga membuat laki-laki itu menatap dengan heran.
"Akang, akang yang enggak sengaja aku tabrak waktu sore tadi itu, 'kan?" Vitaloka menduga. Ingatannya tak pernah salah. Ya, laki-laki yang ada di hadapannya ialah laki-laki yang menggerutu karena tak sengaja menabrak tubuh Vitaloka.
"Mau dipakai atau enggak? Wajahmu pucat itu," sentak laki-laki itu. Membuat Vitaloka menyambar jaket tersebut dan memakainya.
Keheningan menyelimuti mereka. Hujan masih belum mereda, membuat Vitaloka mengembuskan napas kasar. Bahkan dia lupa membawa ponsel untuk menghubungi orang rumah.
Sesekali dia melirik ke samping di mana laki-laki dengan gaya rambut quiff tengah berdiri sambil menatap ke depan. Kaos yang digunakan berwarna putih, hingga menyisikan otot bisepnya. Apalagi kaos tersebut tampak basah tercitrap oleh air hujan. Mata laki-laki itu berwarna abu-abu bening, hidung mancung seperti perosotan anak TK, alis hitam yang pas di kedua matanya.
"Jangan sampe saya khilaf, ya, Mbak. Karena Mbak ngelihatin saya kayak gitu!"
Sontak saja Vitaloka langsung beristigfar membuang tatapan ke arah lain. Sungguh, malu tercyduk tengah menatap lekat laki-laki itu.
"Rumahnya di mana?"
Vitaloka mendongak dengan linglung. Dia menajamkan telinga, takut salah dengar. "Hah, gimana-gimana?"
"Alamat rumah Mbak di mana? Mobil jemputan saya sudah sampai. Mau bareng? Kayaknya hujan kayak gini redanya bakalan lama. Bahkan isya pun sudah lewat."
Vitaloka menengadah langit, benar ucapan laki-laki itu. Awan hitam masih tampak menggumpal, hujan pun tak ingin mereda. Mengenggam erat kantung kresek yang dipegang. Lalu mengucapkan alamat rumah pada laki-laki itu.
"Mari, saya antar." Rajaswala nama laki-laki mengiring Vitaloka memasuki grab yang dipesan.
Lalu mobil tersebut melaju membelah jalanan kota. Sesekali Vitaloka mencuri pandang secara diam-diam pada laki-laki itu yang tampak sedang menyugarkan rambut basahnya.
"Tampangnya kayak berandal," gumam Vitaloka tanpa sadar.
Rajaswala yang mendengar guamam Vitaloka mengulas senyum sinis. Dia sudah menduga, bahwa setiap orang yang ditemuinya pasti akan mengira dirinya berandal. Namun, memang benar faktanya seperti itu.
"Saya memang berandal, Mbak. Bahkan lebih dari kata berandal," desis Rajaswala tepat di telinga Vitaloka. Membuat tubuh perempuan itu membeku seketika.
Selama perjalanan, Vitaloka hanya berdiam diri. Enggan mencuri pandang lagi. Aura laki-laki itu benar-benar berbeda dari berawal menawarkan jaket hingga tersinggung dengan kata 'berandal'. Membuat Vitaloka merasa tak enak hati saja.
"Aku minta maaf kalau kata-kataku yang tadi menyinggung perasaan Akang. Aku juga sangat berterima kasih, karena Akang sudah mau mengantarkan sampai rumah." Hujan di luar sudah mereda, tinggal gerimis kecil saja.
Vitaloka turun dari mobil, lalu berlari memasuki rumah setelah berpamitan pada Rajaswala.
Rajaswala hanya menatap kepergian perempuan itu yang sudah lenyap memasuki rumah berbentuk minimalis dengan lantai dua. Pandangannya mengedar ke dalam, menduga bahwa rumah itu akan mengadakan pernikahan.
"Jalan!" perintah Rajaswala pada sang supir.
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di