Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.
Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian.
"Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu.
"Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.
Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di RJ Media, salah satu stasiun televisi swasta. Lima bulan yang lalu dia sibukkan dengan acara petualangan yang mengharuskan dirinya ikut ke Kalimantan untuk proses syuting. Padahal dia hanya bagian staf editor. Namun, sang direktur meminta seluruh staf bagian editor atau yang bekerja di balik layar untuk ikut semua. Hitung-hitung liburan bersama.
"Syukurlah. Mama juga sudah pesan tim Wedding Organizer di temannya. Kamu tinggal memilih saja ingin memakai gaun yang mana dan tempat pelaminan yang seperti apa." Sebastian menjelaskan seraya menyesap kopi yang dipesan secara perlahan.
Senyum Vitaloka terbingkai manis di bibir. Mengaduk jus alpukat yang dipesan dengan asal. Tanggal pernikahan keduanya sudah ditentukan sebelum lima bulan break, karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Mama kamu sudah ngabarin aku, tapi aku maunya kita yang memilih bersama."
Sebastian mengangguk mengiakan, membuka layar gawainya sendiri. Lalu menunjukkan pada Vitaloka berbagai gambar dekorasi dan tempat pelaminan yang dikirimkan oleh sang mama.
"Kamu suka yang mana?"
Vitaloka tak menjawab, ibu jarinya sibuk menggeser gambar yang ada dalam gawai milik Sebastian. Semuanya tampak bagus dan indah. Dia bingung memilih dan menentukan yang mana. Apalagi semuanya kelihatan mewah dan elegan, tidak ada yang tampak sederhana. Padahal Vitaloka merasa kurang nyaman dengan hal yang berbau kemewahan.
"Semuanya bagus, Tian. Aku bingung harus memilih yang mana?" Vitaloka menatap Sebastian. Senyum manis masih terbingkai di wajah.
"Kamu benar, tapi pilih saja yang menurutmu pas di hati," kata Sebastian mencoba menyakinkan sekali lagi.
Vitaloka menggeleng lemah. Dia paling tidak bisa harus memilih. "Nanti saja, aku tanya sama Ummi dan minta saran beliau."
Sebastian mengangguk mengiakan. Kembali menyesap kopi yang tersisa setengah dan mencicipi puding yang tak sengaja dipesan.
Sementara Vitaloka masih asik memainkan gawai Sebastian dalam jemarinya. Melihat-lihat tempat pelaminan yang akan menjadi saksi kisah cintanya berlanjut pada status suami-istri. Namun, tepat di foto terakhir ... matanya memincing menatap foto Sebastian berdua dengan seorang perempuan yang tak asing bagi Vitaloka. Akan tetapi, wajah perempuan itu terhalang oleh tangan kekar Sebastian.
Vitaloka menelan ludah sendiri, menatap Sebastian yang sedang asik menikmati puding dan berbagi cup cake yang dipesan. Kemudian, dengan kecepatan kilat, Vitaloka mengirim foto tersebut ke whatsappnya. Tidak lupa juga untuk menghapus jejak pengiriman tersebut. Lalu dia menaruh gawai tersebut ke hadapan Sebastian.
"Sudah lihat-lihatnya?" tanya Sebastian yang menggeser gawainya menjadi berada di samping tangan.
Vitaloka mengangguk mengiakan. Berbagai pikiran negatif menyeruak memenuhi isi kepalanya. Selama lima bulan, dia memang benar-benar tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sebastian. Karena pada dasarnya, Vitaloka sangat percaya pada Sebastian.
Dering nada panggilan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Suara dering tersebut berasal dari gawai Sebastian. Vitaloka mengerutkan dahi melihat perubahan raut wajah Sebastian ketika menatap ID pemanggilnya.
Laki-laki itu izin untuk mengangkat telepon dengan melipir ke kamar mandi. Sungguh, tidak seperti biasa Sebastian menelepon bersembunyi-bunyi dari Vitaloka. Keduanya sudah menjalani hubungan lebih dari satu tahun dan Vitaloka sangat mengenal bagaimana Sebastian bila sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu darinya.
Notif pesan dari aplikasi hijau mengambil fokus Vitaloka. Pesan dari sang sahabat dekat yang menanyakan kabar serta menanyakan bagaimana proses pertemuan dirinya dengan Sebastian setelah lima bulan tak berkabar. Memang sebelum janjian bersama Sebastian, Vitaloka sempat bercerita pada Amelia.
"Vi, maaf banget, ya. Aku ada kerjaan penting. Kamu pulang naik ojek enggak apa-apa?"
Vitaloka mendongak kala Sebastian sudah selesai menelepon. Bukannya mengiakan, justru Vitaloka malah menatap lekat wajah Sebastian. Tak ada yang mencurigakan, dengan terpaksa dia mengangguk sebagai balasannya.
"Enggak apa-apa, Vi?"
"Iya, enggak apa-apa. Lagian aku ngertiin kamu, kok." Vitaloka mengulas senyum manis guna menenangkan. Lalu Sebastian pamit setelah menaruh lima lembar uang merah di atas meja.
Vitaloka menatap punggung atletis Sebastian yang menjauh hingga keluar dari kafe. Membuka layar gawai, menatap foto yang tadi dia kirim. Entah mengapa gaya rambut dan warna rambut perempuan itu sangat mirip dengan orang yang selalu memberi kata-kata semangat dan ucapan berupa godaan untuknya serta Sebastian.
"Kenapa aku merasa perempuan ini mirip dengan Nesya adikku?"
Sungguh, berbagai pikiran negatif kini bersarang dalam kepala. Ketukan di meja menyadarkan Vitaloka. Dia mendongak menatap siapa yang mengetuk meja tersebut, lalu bangun dari duduk seraya mengulas senyum ramah.
"Pak Bambang, Bapak di sini?" tanya Vitaloka ramah.
Bambang mengulas senyum ramah, mengangguk mengiakan. Sorot mata Vitaloka tertuju pada seorang wanita berhijab syar'i juga seorang anak perempuan berumur lima tahun.
"Ini istri Bapak yang sering Bapak ceritain di lokasi?" Lagi-lagi Vitaloka mengemukakan apa yang ada dalam isi kepalanya.
"Iya, kenalkan ini Tita dan anak saya Azelia. Tita ini karyawan yang sering aku ceritain sama kamu namanya Vitaloka."
Vitaloka dan Tita saling bersalaman memperkenalkan diri. Lalu Vitaloka mempersilakan keluarga pak Bambang untuk duduk di tempat bekas Sebastian duduk. Untung saja bentuk kursinya yaitu sofa memanjang.
"Kamu sendirian?"
"Enggak, Pak. Tadi sama calon saya, tapi dia keburu pergi karena ada urusan kantor."
"Kalo undangannya sudah ke sebar. Jangan lupa undang saya, ya," seloroh Bambang.
"Iya, siap! 'Kan Bapak yang paling penting dalam pekerjaan saya," kata Vitaloka dengan tawa recehnya.
Vitaloka mengobrol sejenak dengan Tita juga pak Bambang. Kemudian, pamit untuk pulang, karena sang ummi sudah meneleponi dirinya berulang kali.
Langkah Vitaloka membawa ke trotoar tempat menunggu bus atau halte. Namun, tangannya tengah asik mencari ojek online agar bisa cepat sampai. Tiba-tiba saja, dia tidak sengaja menabrak dada bidang seorang laki-laki. Hampir saja dia terjatuh ke tanah kalau bukan tangan kekar laki-laki itu menahannya.
"M--maaf, kang. Saya tidak sengaja."
"Lain kali kalo jalan tuh lihat ke depan, jangan fokus ke HP mulu. Nanti dijambret baru tahu rasa!" ketus laki-laki itu yang kembali berjalan melewati Vitaloka.
Vitaloka menatap punggung laki-laki itu yang sudah menjauh. Dia tidak sempat melihat wajah dari orang yang tak sengaja ditabraknya.
"Orang enggak sengaja juga," gumam Vitaloka.
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Hari pertama Vitaloka berkerja di perusahaan televisi baru berjalan dengan baik. Walaupun ada satu hal yang menganggu dirinya, hingga membuat dia tidak nyaman. Yakni tatapan tidak suka dari para senior. Mereka menatap sebelah mata, karena merasa sudah kalah saing dengan dirinya. Baru bekerja, sudah mendapatkan poin tambahan dari sang direktur. Namun, dia tak lupa juga bersyukur, masih memiliki seorang teman. Ya, walaupun cuma sebatas formalitas saja. Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vitaloka. Dia mengecek ponselnya melihat siapa yang mengiriminya pesan. Vitaloka mengembuskan napas kasar sesudah membuka pesan sekaligus membacanya. Sederet kata yang tertulis dalam ponsel itu membuat dia mual serta jijik terhadap laki-laki itu. Sudah beristri masih saja berharap bisa berbalikan dengan dirinya. Vitaloka menyumpahi Sebastian dengan kata-kata kurang ajar. Sudah terlalu kesal pada laki-laki itu, yang tidak memiliki rasa tanggung jawab sam
Vitaloka masih menyimpan rasa kesal pada Sebastian. Bukan karena laki-laki itu menikahi sang adik. Melainkan foto yang dikirimkan oleh Sebastian sangatlah tidak pantas. Mengingat status keduanya kini sebagai iparan. Namun, laki-laki itu malah menganggap dia sebagai kekasihnya. Mengambil cuti kembali dari kantor untuk membantu sang ummi bebenah di rumah, rasanya begitu berat. Terlebih lagi sekarang, dia satu rumah dengan Sebastian serta Nesya. Vitaloka bukan bermaksud ingin mengusir Nesya setelah pernikahan, tetapi ia merasa tidak nyaman saja. "Wes, pengantin baru. Jam segini baru banget, puas toh bermalam berduaan?" Pandangan Vitaloka kini tertuju pada Nesya yang tengah berjalan menghampiri di ruang tamu. Entah mengapa sudut bibir Vitaloka tertarik membentuk senyuman tipis. Mendengar kata 'bermalam' dari mulut Weni---kakak dari sang ayah---membuat pikiran Vitaloka berkecamuk. Merasa kalau Nesya sudah bolong sebelum malam pertama itu terjadi.
Vitaloka yang mendengar suara sang ibu. Buru-buru bergegas keluar kamar, merasa gugup ditatap sedemikian tajam oleh Santia."Kenapa ada laki-laki yang berani masuk ke kamar kamu, Vi?" Santia memicingkan matanya, menatap curiga pada Vitaloka.Rajaswala mengulas senyum ramah. Menyalimi tangan Santia dengan takzim. "Perkenalkan saya Rajaswala rekan kerja Vitaloka. Kami satu departemen yang sama."Vitaloka tak berkata apa pun. Terkejut bahwa Rajaswala begitu ahli dalam berakting melabui keluarganya sendiri. Lalu dia yang turut ikut dalam sandiwara itu hanya mengangguk mengiakan."M--maaf, Ummi. Tadi kami sedang berdiskusi mengenai buku biografi yang akan diterbitkan. Karena di luar banyak tamu, jadi Vita memilih di kamar karena laptopnya ada di kamar sambil di cas."Santia hanya mengangguk mengerti meski jawaban yang diberikan Vitaloka masih belum membuat dirinya puas."Saya permisi, Bu." Rajaswala pamit setel
Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. "Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. "K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. "Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan
"Astagfirullah, Vi. Kamu basah kuyup gini." Suara lembut sang ibu menggema di ruang tamu.Diana dan Santia segera datang menghampiri Vitaloka. Diana mengambil alih plastik hitam yang berisi label yang dibeli. Lalu Santia memberikan handuk kering kepada Vitaloka. Kemudian, menuntun perempuan itu masuk lebih dalam lagi."Mandi dulu, gih. Biar enggak demam," kata Santia dengan lembut.Vitaloka mengangguk, menaiki tangga agar bisa sampai di kamarnya. Pintu tertutup, dia membuka jaket di tubuhnya. Sorot mata Vitaloka terpaku pada jaket tersebut, wajah sanggar, rahang kokoh, sikap dewasa, serta tegas sangat kentara. Belum lagi wajahnya tampak seperti orang blasteran. Namun, sayang cara berpakaian laki-laki itu sama seperti berandal atau preman lebih tepatnya.Setelah selesai mandi, Vitaloka memutuskan merebahkan diri di atas ranjang. Tangannya sibuk mengecek gawai, membaca chat random dari teman pekerjaannya. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai beribu-rib
Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah. "Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu. Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim. "Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu. "Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah. "Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya. "Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang." "Syukurlah. Sana mandi, setelah itu mak
Vitaloka memandang lekat manik mata cokelat bening milik laki-laki berambut hitam dengan gaya Man-Bun. Ditambah lagi jabang halus yang ada di sekitar rahang laki-laki itu. Tampak begitu berkarisma dan tampan di pandang mata.Suara bising suasana kafe tidak memedulikan sepasang kekasih itu melepas rindu. Apalagi saling menatap dengan dalam. Keduanya baru dipertemukan kembali setelah lima bulan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Vitaloka yang melihat senyuman itupun ikut membalas. Dia selalu saja luluh hanya karena melihat senyuman memabukkan milik Sebastian."Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai, 'kan?" Suara berat Sebastian menyapa indra pendengaran Vitaloka. Lima bulan rasanya seperti lima tahun tak bertemu."Alhamdulillah lancar. Lagian aku juga sudah izin cuti sama pak Bambang untuk persiapkan pernikahan kita," balas Vitaloka.Vitaloka bekerja sebagai seorang staf editor di