Renata membuka mata. Menatap langit-langit yang sangat dikenalnya dengan kesadaran tak utuh. Saat mencoba bangkit rasa sakit tiba-tiba mendera kepalanya tanpa ampun.“Argh, pusing sekali,” keluh gadis itu sambil mengerjap dan terdiam sejenak.Ingatan mulai berlarian di otaknya, menghasilkan satu umpatan kesal saat menyadari sudah diperdaya.“Dasar peri sialan, lihat saja bagaimana aku mengurusmu,” gerutu Renata sambil beringsut dari atas ranjang.“Kak, kau sudah bangun?” Renata mengangkat wajah dan langsung mendapat sebuah terjangan.“Jangan menangis, aku baik-baik saja, Shiny.” Renata mengelus kepala Shiny.“Bagaimana aku tidak menangis Kakak tidak sadarkan diri sehari semalam,” ucap Shiny sambil mengelap air mata dengan ujung baju.“Sehari semalam? Sungguh aku pingsan selama itu?” “Iya. Kata Pangeran Sagara seharusnya Kakak baru sadar dua hari lagi.”“Oh, astaga.” Renata memijat pelipis, semakin geram dengan Samudera Biru yang ingin dia pingsan berhari-hari. Sambil bersungut ia m
Sosok bertopeng melayang ke atas atap. Berdiri beberapa meter di depan Singgih Wirayudha.Ia memutar telunjuk ke udara. Membangun dinding pelindung transparan lantas menyebarkan serbuk cahaya seperti kunang-kunang.Serbuk-serbuk itu menelusup ke dalam dinding pembatas yang dibuat Samudera Biru kemudian menyebar ke seluruh area mansion begitu saja. Singgih Wirayudha hanya menyaksikan dengan tenang sembari menyunggingkan satu senyum tipis. Termasuk saat penghuni mansion satu persatu kehilangan kesadaran.“Lama tak bertemu, Singgih,” Sosok bertopeng yang telah selesai beraksi menyapa. Suaranya masih terdengar begitu dalam.Singgih Wirayudha menarik senyum dan menyimpan kedua lengan di belakang punggung.“Ya, hampir dua puluh tahun kita tak bertemu, Panglima Kuning.”“Ah, aku ketahuan.”Sosok itu menanggalkan topeng dan melemparnya sembarang. Tampaklah wajah gagah milik Panglima Kuning lengkap dengan senyumnya yang bersahaja.“Kau bisa menipu orang lain tapi tidak denganku. Selain itu di
Panglima Kuning melesat cepat di antara awan yang semakin kelabu. Angin dingin menerpa kencang, membuat luka dalamnya berdenyut nyeri.“Sial,” umpatnya seraya menambah kecepatan. Tujuannya adalah hutan bangkai, tempat di mana Ramangga Kala bersembunyi.Panglima Kuning mendesah kecil. Jika bukan demi balas dendam ia tak akan sudi terlibat hubungan apa pun dengan iblis itu.Setelah Singgih Wirayudha menolak tawarannya maka kesempatan untuk mengontrol kekuatan bangsawan penjaga gerbang lotus yang tersebar juga ikut menghilang.Suka tak suka ia membutuhkan bidak lain untuk melengkapi rencana dan saat ini Ramangga Kala adalah pilihan terbaik.“Sialan kau Singgih,” geram Panglima Kuning merasakan lukanya kembali berdenyut seperti ada ratusan jarum yang menusuk tepat di jantungnya.Beberapa menit kemudian, tepat di tengah hutan bangkai, Panglima Kuning menukik turun. Matanya memicing waspada. Aura hutan terasa begitu pekat. Peri biasa yang tak sengaja terjebak ke dimensi hutan ini dipastikan
Renata menatap langit yang tengah menurunkan gerimis. Napasnya memburu sementara peluh terus menetes dari pori-pori yang terbuka.Hampir setengah hari Renata berlatih jurus baru yang diajarkan sang ayah. Jurus tingkat tinggi yang cukup sulit, pada kondisi fisik manusia normal butuh waktu berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun untuk bisa dikuasai secara sempurna.Namun Renata tak bisa menunggu. Ia harus menjadi lebih kuat dalam waktu singkat agar bisa membantu Samudera Biru, setidaknya tidak menjadi beban untuk lelaki itu.Setelah Singgih Wirayudha memberitahunya tentang pengkhianatan Panglima Kuning, Renata merasa begitu khawatir. Situasi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi sang kekasih yang tengah menghadapi vonis hukuman.Renata menghela napas berat lantas menatap pedang giok perak yang melayang di udara secara horizontal. Sekali menjejak ia telah berpindah, berdiri ajeg di atas pedang.Dengan lembut jarinya mengayun, melesat mengelilingi mansion seperti penyihir cantik da
Di langit temaram kerajaan peri samudera, tiga sosok melayang ringan seperti kapas. Mendarat di atap bangunan megah dengan ukiran nama ‘Malvis’ di atas gerbang utamanya.“Tunggu dan perhatikan situasi.”Dua sosok mengangguk sementara sosok yang berbicara melesat turun dan merubah diri menjadi transparan. Dengan cepat ia menyelinap ke dalam kamar yang penerangannya masih tampak menyala. Setelah berhasil masuk sosok itu segera mewujudkan diri kembali. Mengangguk sopan pada lelaki yang tengah duduk di belakang meja penuh dokumen.“Pangeran Samudera Biru,” desis lelaki pemilik kamar dengan raut terkejut yang kentara.“Maaf mengganggumu, Paman Malvis.”Penyelinap yang memang Samudera Biru adanya tersenyum ramah.Perdana Menteri Malvis segera berdiri dan membungkuk kecil penuh tanda tanya. Bukankah keponakan tirinya itu tengah dikurung di penjara suci gunung roh yang terkenal misterius dan tak bisa ditembus?“Bagaimana Anda bisa keluar?” tanya Perdana Mentri Malvis setelah berdiri tegak
Pintu aula pengadilan kerajaan peri samudera terbuka lebar. Serombongan prajurit masuk bersama Samudera Biru selaku terdakwa.Tatap sinis dan cemooh seketika meruar, memonopoli ruangan yang sejak awal sudah bertensi tinggi.Dari tempatnya berdiri Pangeran Aaron menyeringai. Merasa puas dengan penampilan Samudera Biru. Tubuh sepupunya itu kini hanya terbalut selembar baju berbahan goni, tanpa perhiasan apalagi alas kaki mewah. Rambut hitamnya yang legam terburai. Wajahnya yang selalu berseri kusam oleh debu, selaras dengan dua lengan yang terikat rantai.Lain Pangeran Aaron lain lagi Rama dan Ratansa yang berdiri di sudut ruangan. Mereka saling melempar pandang penuh arti.Ya, Samudera Biru memang sengaja berpenampilan lusuh. Tujuannya apa lagi selain mengecoh musuh. Namun yang terpenting adalah mencegah perjanjian rahasia antara ibunya dengan para peri kuno mencuat ke permukaan.“Hai, sepupu,” Samudera Biru membalas seringai tanpa suara. Lengannya yang terikat diangkat, melambai samb
Aura paviliun timur, di luar istana utama kerajaan peri samudera tampak suram.Pangeran Agung Harold berdiri di balik meja kerja dengan napas mendengus. Dokumen, kuas, pajangan dan cangkir teh terberai di lantai.Para sekutunya tampak diam seribu bahasa. Nyali mereka ciut namun juga tak puas. Bagaimanapun mereka bersedia mengikuti Pangeran Agung Harold demi mendapat keuntungan. Jika seperti ini bukan hanya akan merugi tapi juga riskan dihabisi.“Ayah, ita tak bisa diam saja. Mereka pasti telah bersekongkol,” Pangeran Aaron membuka suara.“Benar, kita harus membalas mereka,” dukung salah satu dewan. Pangeran Agung Harold melirik malas. Menghempaskan diri ke atas kursi.“Katakan cara kalian membalas?”“Kita langsung saja serang mereka malam ini juga,” jawab Pangeran Aaron lugas.“Apa kau bodoh?! Kau tidak lihat Perdana Menteri Malvis sudah menentukan sikap?! Apa kau pikir Raja Sion tidak menjadi waspada setelah ini?!”“Tapi kita juga memiliki pasukan yang tak sedikit, apa lagi yang dit
“Cabut gelar Putra Mahkota Pangeran Samudera Biru!!”“Hukum mati pengkhianat!!”Dua kalimat itu terdengar sahut menyahut diringi kepalan lengan yang mengacung ke atas.Spanduk, poster, hologram dan layar besar berisi protes dan caci maki berseliweran di udara. Ribuan peri lelaki perempuan berikat kepala putih kompak bolak-balik menyanyikan lagu perjuangan. Sesekali mereka mendorong barikade pengawal yang menjaga gerbang istana.Di antara kerumunan itu tampak membaur puluhan peri berwajah kaku. Meski pakaian mereka sama dengan pakaian yang dikenakan warga sipil namun jika diamati lebih jauh gerak-gerik mereka tampak seperti prajurit terlatih.Dalam satu kesempatan peri-peri mencurigakan itu saling bertukar isyarat. Beberapa dari mereka mengeluarkan belati kecil dari balik lengan baju lalu dengan cepat melempar ke arah penjaga gerbang.“Pembunuh! Ada pembunuh!” pekikkan kaget terdengar nyaring seiring tubuh tiga penjaga yang ambruk ke lantai granit.Beberapa pengawal sontak menatap ke