Setelah bercinta dan kehabisan tenaga mereka pun akhirnya tertidur. Mulanya mereka berdua saling berpelukan, namun lama-lama keduanya mengubah posisi masing-masing menjadi saling membelakangi satu sama lain.
Buana di ranjang pojok kanan, sedangkan Gendis berada di ranjang pojok sebelah kiri.
Malam berlalu sungguh tenang tanpa ada gangguan, hingga tiba-tiba saat sedang terlelap itu Buana bermimpi aneh.
Di dalam mimpi itu, Buana sedang berjalan di tengah hutan belantara yang ditutupi pepohonan sangat lebat di kiri dan kanan.
Hanya ada gelap yang terlihat, serta suara-suara hewan malam saling menyusul memenuhi rongga telinga kala itu.
Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangan yang ada, dan Buana terus berjalan mengikuti tapak langkah yang entah sampai ke mana ujungnya.
“Dimana aku?” Dalam mimpi itu Buana terus bertanya-tanya, sebab tempat ini baru saja pertama kali diinjaknya. Namun yang aneh, seakan Buana pernah berada di sini
Paginya, Buana terbangun dan segera mandi dengan cepat! Dia tidak boleh terlambat sebab pagi ini dia ada janji untuk bertemu dengan Segara dan juga temannya.Di dalam kamar Gendis menyiapkan baju yang akan dipakai oleh suaminya. Tetapi dalam hati perempuan itu sebanrnya masih bertanya-tanya soal mimpi buruk yang menimpa suaminya semalam.“Pagi, Sayang,” Buana yang selesai mandi segera mengecup kening istrinya.“Mas, mmm, aku masih penasaran soal mimpimu tadi malam,” ucap Gendis yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.“Baiklah, Sayang, aku akan menceritakannya padamu nanti,” jawab Buana seraya mengambil pakaiannya. Dia lekas mengenakannya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.“Kenapa nanti-nanti? Aku maunya kamu cerita sekarang, Mas.”Buana melirik ke istrinya, lalu memberi pengertian. “Sayang, Mas sangat buru-buru pagi ini. Maaf, ya, Mas nggak bisa cerita sekarang
“Apa? Melawan Sang Iblis?”Kalila mengangguk. “Betul, Kak. Tapi biarkan saya menjelaskannya semua ini dari awal dahulu supaya tidak ada kesalah-pahaman mengenai relief yang kami temukan.”“Oke, oke, silakan. Aku akan mendengarkan dengan baik,” Buana membenarkan posisi duduknya dan bersiap menyimak penjelasan dari Kalila.“Jadi begini, penelitian kami sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan kami sempat memberhentikan penelitian ini sebab kehabisan dana. Saat itu obserasi yang kami lakukan hanyalah berfokus meneliti letak geografis yang diduga sebagai wilayah kekuasaan Mataram. Kami tidak berekspektasi mengenai penemuan situs atau apa pun,” terang Kalila serius. Buana dan Segara mengamati seraya memakan sarapannya.“Lihatlah foto yang ini,” Kalila menyodorkan sebuah foto. “Ini adalah gambar puncak bangunan candi yang pertama kali kami temukan. Dan saat menemukan ini, kami semua seketi
“Yaitu Sang Iblis harus mengorbankan seorang gadis yang masih perawan. Gadis-gadis itu akan dijadikan tumbal di waktu-waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu!”“Astaga, Tuhan, apakah semua ini berhubungan dengan kasus yang sedang aku selidiki saat ini?” Buana langsung berkomentar, merasa bahwa sekarang dia sudah menemukan benang merahnya.“Bisa jadi, Kak,” Segara langsung menyahut. “Tapi apakah mungkin masuk akal jika ritual tersebut masih berlagsung sampai saat ini?”“Mungkin saja bisa,” timpal Kalila cepat-cepat. “Caranya adalah dengan ber-reinkarnasi. Bisa saja Iblis selama ini terus bereinkarnasi dari satu tubuh ke tubuh lain dan melakukan ritual tersebut! Ini sangat mungkin terjadi, meski memang kita tidak bisa langsung berspekulasi seperti itu.”Semua menjadi terdiam setelah mendengar ucapan Kalila. Ini memang tampak masuk akal. Namun, untuk membenarkan ucapan tersebut semuanya
“Baik Kalila, aku rasa pertemuan kita cukup sampai di sini. Aku berharap jika ada perkembangan mengenai peneletianmu sebaiknya segera kamu laporkan kepadaku. Itu akan sangat membantu pihak kepolisian dalam menangani kasus ini,” ucap Buana yang sekarang sudah tersenyum. Wajah amarahnya berubah seketika karena dia merasa saat ini harus berpikir jernih untuk menyelesaikan kasus.“Baik, Kak. Tentu saya akan melaporkan perkembangan penelitian ini. Karena ini merupakan kewajiban saya sebagai warna negara yang baik.” Kalila berdiri lalu menjulurkan tangan.“Senang bisa bertemu denganmu, Kalila.”“Sama-sama, Kak.”Setelah itu Buana pamit pergi. Dia ingin segera ke kantornya dengan membawa berkas-berkas tersebut, untuk kemmudian dicocokkan dengan berkas-berkas korban pembunuhan yang sudah dikumpulkannya di kantor.Matahari beranjak naik, siang pun datang.Di kantornya, Buana masuk ke dalam ruangannya se
Sementara itu di rumah, Galih sedang membaca koran di teras sambil meminum kopi. Hari ini dia ingin mengistirahatkan badannya sejenak dengan cara bersantai-santai saja. Saat itu tiba-tiba Gendis datang menyapanya.“Pa...”“Hai, Dis, ayo duduk di sini dekat Papa.”Perempuan itu menurut dan langsung duduk di dekat papanya.“Pa, aku ingin bicara sesuatu sama Papa,” ucap Gendis kemudian. Terlihat jelas dari sorot matanya dia tampak khawatir.“Silakan, Nak, bicaralah saja. Papa akan selalu membantumu,” ucap Galih seraya tersenyum.“Pa, entah kenapa akhir-akhir ini aku khawatir dengan keadaan Mas Buana. Dia itu sering banget mimpi buruk dan bahkan sampai keluar keringat dingin. Semenjak menangani kasus yang satu ini tingkah Mas Buana juga agaknya berbeda. Bagaimana ini, Pa?”Galih tersenyum sebentar. Kemudian dia meletakkan korannya dan berkata, “Jangan khawatir dengan berleb
Buana cukup terkejut ketika melihat Papa mertuanya menelpon, hal yang jarang sekali terjadi.“Kenapa Papa telepon? Apakah ada sesuatu dengan Gendis?” Dan sambil bertanya-tanya dia pun segera mengangkat panggilan tersebut.“Hallo, Pa?”“Ya, Buana, di mana kamu?”“Aku di kantor. Ada apa Papa telpon?” suara Buana cemas memikirkan istrinya.“Oh, tidak ada apa-apa, kok. Tapi Papa hanya kepikiran soal pertanyaanmu semalam di meja makan. Papa merasa harus memberikan sebuah informasi penting mengenai tulisan yang ada di dalam lukisan silsilah itu.”“Lukisan silsilah? Sebentar, Pa.” Dengan sigap Buana membuka gambar lukisan yang barusan sudah dia print. Dia meletakkan lembaran kertas tersebut ke atas meja. “Oke, Pa, ada informasi apa soal gambar di lukisan silsilah tersebut?”“Mmm, sebenarnya Papa bisa mengeja sedikit mengenai tulisan yang tertetra di san
Buana cukup terkejut ketika melihat Papa mertuanya menelpon, hal yang jarang sekali terjadi.“Kenapa Papa telepon? Apakah ada sesuatu dengan Gendis?” Dan sambil bertanya-tanya dia pun segera mengangkat panggilan tersebut.“Hallo, Pa?”“Ya, Buana, dimana kamu?”“Aku di kantor. Ada apa Papa telpon?” suara Buana cemas memikirkan istrinya.“Oh, tidak ada apa-apa, kok. Tapi Papa hanya kepikiran soal pertanyaanmu semalam di meja makan. Papa merasa harus memberikan sebuah informasi penting mengenai tulisan yang ada di dalam lukisan silsilah itu.”“Lukisan silsilah? Sebentar, Pa.” Dengan sigap Buana membuka gambar lukisan yang barusan sudah dia print. Dia meletakkan lembaran kertas tersebut ke atas meja. “Oke, Pa, ada informasi apa soal gambar di lukisan silsilah tersebut?”“Mmm, sebenarnya Papa bisa mengeja sedikit mengenai tulisan yang tertetra di sana
Sepanjang perjalanan Kalila tertidur. Dia sepertinya lelah. Perempuan itu kebetulan juga punya penyakit yang bisa menyebabkan mabuk perjalanan. Sehingga Segara menyuruhnya tidur saja, daripada nanti malah bikin repot jika sampai mabuk.Setelah melewati jalan tol mobil Segara langsung menuju ke pedalaman Kuningan. Dan dari petunjuk yang sudah diberikan Kalila sebelumnya akhirnya Segara berhasil mencapai lokasi yang dimaksud.“Kalila, kita sudah sampai,” ucap Segara menggoyang-goyangkan tubuh Kalila agar terbangun.Perempuan itu masih berat matanya, namun perlahan-lahan dia membuka mata dan mulai tersedar. “Oh, sudah sampai ternyata. Maaf ya, aku harus tidur dan tidak bisa menemani perjalananmu”“Tidak masalah, Kalila. Yang penting sekarang kita sudah di sini. Yuk keluar!” ajak Segara yang sudah tidak sabar lagi ingin melihat penemuan situs kuno tersebut.Begitu turun mereka langsung disambut oleh tim Kalila