Kekaisaran Agrynnor menguasai hampir seluruh Benua Kaiadia, merampas negara-negara, suku dan bangsa yang tersebar dalam penaklukan besar-besaran dan menjadikan milik imperium Agrynnor. Kaisar Agrynnor berdiri kokoh dengan lambang kekaisaran dan tak pernah berhenti sekalipun menaklukkan daratan. Ia didukung oleh faksi bangsawan dan pasukan militer terkuat. Berada di atas tahta yang direbutnya dari tangan ayahnya sendiri, Kaisar Agrynnor, Zenith Galeas Agrynnor, bertindak kejam atas tanah dan wilayah yang ingin dimilikinya. Ia menggerakkan pedang kekuasaannya pada pasukannya dan tak lelah mengeskpansi tiap wilayah yang ditargetkannya.
Kaisar Agrynnor memiliki empat keluarga besar yang menyokong kekuasaannya hingga dikenal sebagai empat pilar Agrynnor. Duke Adorien, Marquess Briratrem, Count Etheralin dan Earl Lardoviel merupakan satu kesatuan kekaisaran Agrynnor. Secara turun temurun, Kaisar Agrynnor memberikan kekuasaan penuh pada empat keluarga besar tersebut. Salah satunya adalah empat wilayah kekuasaan yang menjadi milik mereka secara penuh. Adorien, Briratrem, Etheralin, dan Lardoviel.
Wilayah kekuasaan atau duchy terbesar adalah Adorien. Keluarga Adorien menguasai wilayah terbesar, kekuatan militer terkuat di kekaisaran, namun merupakan wilayah yang memiliki musim dingin lebih panjang dari pada musim panas.
Gelar Duke of Adorien kini diemban oleh Eras Valentine Adorien yang menjadi kepala keluarga di usia muda. Ia mengepalai administrasi dan pengadilan di wilayahnya sekaligus panglima perang kekaisaran Agrynnor. Eras dijuluki Dewa Kematian Agrynnor dan jasanyalah yang membuat Kekaisaran Agrynnor semakin luas dan besar. Kaisar Agrynnor menyerahkan pasukan kekaisaran untuk dipimpin langsung oleh Eras ke medan perang dan melakukan ekspansi habis-habisan.
Gelar Duke tak hanya menjadi kepala keluarga namun juga pada suatu wilayah. Tugas yang diemban sejak usia muda membuat Duke of Adorien berwajah kaku dan tegas. Ia bertubuh besar dan tinggi. Tegap dan tampan. Rahangnya kokoh dan kedua bahunya lebar. Pedang lambang keluarganya selalu berada di sabuk, terikat kokoh di lingkar pinggangnya yang ramping. Rambutnya berwarna hitam pekat dengan sepasang mata merah. Itulah ciri khas seorang keturunan Duke dari Adorien. Konon leluhur Adorien telah membuat kesepakatan dengan iblis yang menjadikan mata mereka semerah darah.
Duke Adorien sosok yang dingin dan kejam. Ia tak memiliki hati nurani saat menebas kepala lawannya di medan perang, penguasa wilayah terluas serta pemilik sihir musim dingin yang tanpa ampun.
Kaisar Agrynnor menatap Duke Adorien yang berlutut di hadapannya dan berkata tenang sambil menggerakkan tangannya. “Jangan bersikap sopan padaku, Duke. Bukankah biasanya kau kurang ajar jika kupanggil?” kaisar tersenyum miring melihat bagaimana tubuh yang besar dibungkus mantel berat itu perlahan berdiri tegak.
Eras menyipitkan sebelah matanya dan menatap wajah sang Kaisar. Zenith Galeas Agrynnor, usia sang Kaisar tak jauh beda dengannya. Kaisar yang dulunya dianggap sebagai pangeran kegelapan, melakukan pemberontakan dan merebut tahta dari ayahnya sendiri. Tahta berdarah yang membawa Zenith menduduki posisinya dan mulai memperluas daratan yang dipimpinnya.
Kaisar mengetuk ujung jarinya dan memajukan tubuhnya ke depan. “Kau tahu alasanku memanggilmu, Eras?”
“Saya menjunjung tinggi matahari kekaisaran, Yang Mulia Kaisar Agrynnor.” Eras meletakkan sebelah tangannya ke depan dadanya, membungkuk sedikit dengan sopan. “Apakah ini ada kaitannya dengan ekspansi selanjutnya?”
Kaisar bertepuk tangan dan tertawa senang. “Ah! Kau selalu tahu keinginanku.” Ia menoleh ke kanan, ke arah perdana menterinya. “Berikan catatanku pada Duke Adorien.”
Eras menerima gulungan yang diyakininya adalah sebuah peta. Ia membuka benda itu dan melihat tanda-tanda silang di setiap wilayah yang negara-negaranya telah ditaklukkan. Kini ada tanda bulatan kecil di sudut peta, negara terakhir yang menjadi target Kaisar.
“Lovec?” Eras mengangkat mukanya, jelas ada kerutan di dahinya dan sepasang alisnya yang tebal dan hitam itu membentuk tak percaya. “Bukankah mereka selalu mengirim upeti? Kupikir negara ini akan anda abaikan.”
Kaisar menegak minumannya dengan tenang. Ia menatap Eras dengan sepasang matanya yang berwarna keemasan. “Lovec harus menjadi milik Agrynnor. Tak ada satupun yang luput untuk menjadi milikku. Jika terus dibiarkan, negara kecil bisa saja bergerak menyerang Agrynnor kapan saja dan aku tak mau hal itu terjadi.”
Yang benar saja? Pikir Eras. Lovec tak pernah menunjukkan gejolak. Negara kecil itu secara teratur mengirim upeti bahkan ada bebarapa gadis bangsawan Lovec mendiami istana selir.
“Dewa Kematian Agrynnor tak boleh menolak mangsa empuk kali ini.” Suara tenang Kaisar tepat berada di dekat Eras, membuat sang Duke segera menekuk sebelah lututnya dan berkata tegas.
“Saya akan menerima tugas Yang Mulia Kaisar.” Ia melihat sebelah tangan Kaisar bergerak, menarik pedang Eras dari sarungnya dan meletakkan ujung pedang itu di pundak kanan Eras.
“Kuberikan kekuasaan padamu Duke Arodien. Taklukkan Lovec dan kembalilah dengan kemenangan seperti biasanya.” Kaisar menurunkan titah secara langsung kepada Eras.
Eras menunduk dalam. “Saya menjunjung matahari Kekaisaran Agrynnor. Yang Mulia Kaisar Zenith Galeas Agrynnor.”
Kaisar Agrynnor tertawa puas. Ia meminta Eras berdiri dan mengembalikan pedang sang Duke. “Mau minum bersamaku, Duke?”
Duke Adorien tersenyum tipis. “Tidak untuk kali ini Yang Mulia. Saya akan mempersiapkan pasukan.”
****
Suara derap kaki kuda pasukan kekaisaran menyerbu gerbang negara Lovec. Panji-panji kekaisaran Agrynnor berkibar bersamaan serbuan yang tak diduga tersebut. Panah-panah berapi meluncur tanpa ampun, pasukan negara Lovec melakukan serangan balasan. Namun tak ada yang bisa melawan pasukan kekaisaran Agrynnor. Apalagi jika melihat siapa yang berada di garis terdepan.
Duke Adorien bersama jubah perangnya, duduk tegak diatas kuda perang berwarna hitam. Ia bergerak cepat bagai iblis, pedangnya menebas tanpa ampun. Tatapannya hanya terpusat pada satu titik, istana Lovec. Ia dan pasukannya harus menerobos istana, mendapatkan raja dan semua keturunannya tanpa tersisa. Suara-suara kematian berada di belakangnya, kobaran api dan teriakan meminta ampun sama sekali tak menembus rasa ibanya. Ia membabat pasukan istana seperti membabat rumput saja.
Percikan darah mengotori jubah, ujung pedangnya bahkan kaki-kaki kudanya yang berhasil menginjak musuh. Eras berteriak keras sebagai aba-aba bagi pasukannya. “Serbu gerbang istananya!”
Sorakan para pasukan membahana di udara malam itu. Derap langkah kaki kuda terdengar memekakkan telinga. Lovec berwarna kemerahan. Pertahanan pasukan sudah hampir habis.
“Lindungi Raja! Lindungi Ratu! Lindungi para puteri!”
Namun teriakan-teriakan itu satu persatu menghilang, berganti suara tenggorokan yang memancarkan darah. Eras turun dari kudanya, mengangkat pedangnya tinggi, “Ke ruang singgasana! Habisi tanpa sisa!”
****
“Ayah! Pasukan kita kalah!” para puteri dan dayang bersuara panik, mereka berada menjadi satu di kamar raja yang luas, mendengar suara-suara pasukan musuh yang bersorak menerobos istana.
Raja Lovec meminta Ratu dan para puteri untuk tidak panik. “Tenanglah.” Ia mendengar suara-suara yang mendekati kamarnya. “Masuklah kalian ke ruang rahasia di bawah meja…” sang Raja hendak mendorong istri dan anak-anaknya saat pintu kamarnya telah terbuka lebar.
“Raja. Kita bertemu cukup cepat.”
Raja Lovec mendorong semua keluarganya. “Cepatlah pergi!” namun apa yang terjadi selanjutnya adalah percikan darah yang mengenai gaun tidur sang Ratu.
Teriakan histeris memilukan dan ketakutan terjadi di dalam kamar itu. Eras bergeming. Ia menggerakkan pedangnya dan ingin ini segera selesai. Darah dari ujung pedangnya menetes di lantai kamar dan ia mengembuskan napasnya. Ia akan menarik pasukannya.
“Yang Mulia, gadis ini hampir saja kabur ke ruang bawah tanah.”
Eras menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat seorang gadis berlutut di antara tumpukan mayat ayah, ibu dan saudara-saudaranya. “Kau tak bisa membunuhnya sendirian?” Eras menegur dengan dingin pada salah satu ksatrianya.
“Gadis kecil ini melawan Yang Mulia Duke.”
Menarik, pikir Eras. Ia mendekat, menggerakkan ujung pedangnya tepat di depan dagu wajah yang tertunduk itu, mengangkat wajah itu dan berkata datar. “Kau tak takut mati, gadis kecil?”
Gadis berambut perak dan bermata biru jernih itu membalas tatapan Eras. “Saya bukan gadis kecil! Dan saya tidak takut mati!”
Eras mendengar suara penuh tantangan dari sang puteri. Tentu saja ia adalah salah satu puteri dari Raja Lovec yang malang. Eras tidak suka dengan sinar mata penuh keberanian dari puteri itu dan dengan geram menggerakkan pedangnya hendak membunuh keturunan terakhir sang Raja.
Tiba-tiba sebuah lingkaran sihir melingkupi tubuh sang puteri. Lingkaran berwarna putih itu menyerang pergelangan tangan Eras dan jika ia tidak mengerahkan sihir musim dinginnya untuk melindungi serangan sihir itu, Eras yakin, walau tak sampai melumpuhkannya, dalam beberapa menit tangannya akan terasa kaku. Ia menarik pedangnya dan menghancurkan perlindungan sihir sang puteri.
Percikan air menyentuh wajah Eras dan semua ksatria yang mengepung puteri berambut perak itu. Untuk sejenak, Eras merasa menemukan lawan tangguh. “Siapa kau?” tanyanya kasar, berlutut dan mencengkram dagu gadis itu.
Tanpa gentar, gadis itu menatap tanpa berkedip sepasang mata merah yang menatapnya dengan beringas. “Iris.” Iris mencengkram erat-erat ujung gaun tidurnya. “Iris Odeya Laromannor.”
Apakah mata pria ini semerah darah? Bola matanya berwarna merah, pikir Iris. Dia tidak boleh pingsan. Dia bisa mati seperti ayah dan ibu serta para kakak. Jika dia mati siapa lagi keturunan Laromannor. Tapi tubuh dan pikirannya tidak sejalan. Kepalanya pening dan tubuhnya gemetaran. Ia ketakutan dan mengerahkan sihir perlindungan dengan maksimal. Tapi sepertinya pria pembunuh di depannya itu sangat kuat.“Kau bisa sihir?” Eras mencengkram makin erat kedua bahu Iris, namun yang dapatinya adalah gadis itu lunglai ke arahnya, jatuh tak sadarkan diri ke pelukannya.“Yang Mulia, Lovec sudah takluk. Rakyatnya menyerah.” Seorang ksatria melaporkan situasi pada Eras.“Bagaimana dengan puteri itu, Duke?”Eras mengurungkan niatnya untuk membunuh Iris. Sebaliknya ia menggendong sang puteri dan berkata datar. “Bungkus puteri ini dengan mantel dan letakkan dia di kudaku. Jangan sampai rakyat Lovec tahu jika salah satu puteri m
Iris dan Eras duduk berhadapan di salah satu taman yang ada di istana itu. Di bagian barat istana, terdapat taman bunga di antara taman-taman lainnya. Bahkan Iris melihat ada istana kecil yang indah lengkap dihiasi tanaman mawar yang merambat. Untuk ukuran seorang petarung di medan perang, Duke Adorien mengurus istananya benar-benar apik dan sangat indah. Untuk mencapai taman bagian barat saja Iris harus melewati istana utama yang memiliki 102 ruang, tentu saja itu adalah penjelasan singkat sang Duke untuk memecah keheningan mereka selama dalam perjalanan ke taman. Kini duduk berhadapan dengan Eras, di kelilingi taman indah dan udara sore yang cukup hangat membuat Iris mengagumi sekitarnya. bahkan meja minum teh dan peralatan minumnya saja tak luput dari perhatian Iris yang merupakan seorang puteri. Ia memerhatikan dengan seksama dan bergumam dalam hati. Ini peralatan yang luar biasa mewah untuk ukuran minum teh dalam situasi santai. Tunggu! Apakah ini situasi yang santai? Perlahan,
****Iris terpaku mendengar tawaran Duke Adorien. Menikah? Menikah kontrak dengan pria ini? Bagaimana seharusnya reaksi Iris? Jika melihat situasi yang ada, posisi Iris sama sekali tidak memungkinkan hidup dengan aman sejak ia berada di kekaisaran Agrynnor dan sepertinya posisi Duke Adorien sangat kuat di kekaisaran. Jika tidak tak mungkin pria itu memiliki wilayah terluas di Agrynnor –Iris mempelajari tentang Agrynnor dari gurunya dan Adorien adalah wilayah terluas- istana yang megah dan memimpin langsung medan perang. Seorang Duke memiliki pengaruh yang kuat dan hanya setingkat di bawah kaisar. Hidup Iris sedang dipertaruhkan. Ia tak memiliki siapapun. Ayahnya telah terbunuh, negaranya hancur dan dia bukanlah seorang pewaris kerajaannya.Pria yang telah merampas negaranya atas perintah kaisar kini menawarkan keamanan mutlak padanya. Apa yang sebaiknya Iris lakukan? Tidakkah pria ini mungkin saja kejam seperti ia di medan perang namun selama ia bersama sang Duke
****Iris berada di kamarnya, duduk diam sambil merenungi tawaran yang diberikan Duke Adorien. Ia mondar mandir dari ujung ke ujung mempertimbangkan jawaban apa yang harus diberikannya. Jika dia menolak, hidupnya pasti terancam bahaya. Berada di Agrynnor saja sudah merupakan bahaya besar apalagi jika Kaisar Agrynnor mengetahui bahwa masih ada yang tersisa dari Raja Lovec. Ia pasti dibunuh. Namun apabila Iris menerima tawaran Duke, maka keamanannya terjamin dan hidupnya akan baik-baik saja. Tapi, apakah dia tidak akan dibunuh juga oleh Duke Adorien?Iris sudah melihat bagaimana kejamnya pria itu dalam perang. Dengan jubah perangnya yang berwarna merah, lencana kekaisaran di kedua pundaknya, pedang besar yang ada di tangannya, ditambah sepasang mata merahnya, sudah bisa membunuh orang lain bahkan sebelum ia menggerakkan pedangnya. Belum lagi kekuatan sihir yang dimiliki Duke.“Matilah aku.” Iris memegang kepalanya. Tapi jika melihat bagaimana sikap Duk
Setelah mendengar jawaban Iris, orang pertama yang bersuara adalah Eliath, kepala pengurus rumah tangga, yang sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan kegembiraannya. “Apakah berita bahagia ini akan diumumkan ke seluruh Adorien, Yang Mulia Duke?”Eras dan Iris menoleh ke arah Eliath. Eras bersumpah bahwa di sekitar Eliath seperti ditumbuhi bunga-bunga mekar dan wajah tua itu tersenyum lebar dengan tatapan mata berbinar. Tak hanya reaksi Eliath yang luar biasa, ruang makan yang biasanya tak ada yang berani mengintip sekalipun terlihat pintunya terbuka lebar dan kepala kesatria Adorien berada paling depan, membentuk hormat dengan menekan sebelah tangan di dada, berkata dengan tegas.“Ini berita yang menggembirakan Tuan Duke. Saya dan kesatria lainnya akan siap melindungi Duchess seluruh jiwa raga kami.”Iris segera bangkit berdiri dan menggerakkan tangannya. Ia tidak menyangka bahwa jawabannya kepada Duke Adorien akan mendapatkan reaksi s
Iris membaca surat kontrak yang ditulis Eras. Isi kontrak itu menjelaskan secara gamblang keuntungan Iris sebagai istri Duke Adorien. Iris berhak atas istana Adorien, pelayan, dayang, kesatria bahkan soal pengelolaan keuangan keluarga. Tak hanya itu, Duke menuliskan di poin pertama bahwa ia dan kesatria Adorien memberikan perlindungan penuh terhadap Iris. Hal terakhir yang dibaca Iris bahwa di Agrynnor maupun di keluarga Adorien, tidak adanya perceraian. Ini adalah kontrak seumur hidup. Iris mengangkat wajahnya dan menatap Duke yang duduk tenang di hadapannya “Kontrak ini…” “Jangan khawatir. Hubungan kita tidak akan terjadi karena cinta. Kau tidak usah cemas. Aku menjanjikan keselamatamu dan kau menjadi pemilik istana ini dan segala isinya, keuangan keluarga dan juga waktuku.” Duke Adorien memotong kalimat Iris. Iris tertawa pelan. Alis Duke terangkat. “Ada apa?” Iris meletakkan surat kontrak tersebut. “Apakah sudah menjadi kebiasaan anda memo
Eras mengantar Iris tepat di depan kamar gadis itu. Keduanya saling bertatapan dan sama-sama bingung apa yang hendak dikatakan untuk mengucapkan salam selamat tidur. Di kepala Iris penuh dengan kebingungan. Apakah ia langsung masuk saja? Tapi seorang Duke yang terhormat telah mengantarnya demikian rupa. Lagipula bukankah mereka akan segera menikah? Aduuh, apa yang harus kukatakan? Sebaliknya Eras menatap Iris dengan wajah tanpa ekspresi walau sesungguhnya ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengucapkan selamat malam pada “calon istrinya” itu. Selamat malam, sampai jumpa besok? Apakah itu kalimat yang tepat diucapkan seorang pria pada wanita yang akan segera dinikahinya? Baiklah, kita akan bertemu besok di ruang sarapan? Tidak! Itu sama saja! demikian rupa. Lagipula bukankah mereka akan segera menikah? Aduuh, apa yang harus kukatakan? Sebaliknya Eras menatap Iris dengan wajah tanpa ekspresi walau sesungguhnya ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengu