****
Iris terpaku mendengar tawaran Duke Adorien. Menikah? Menikah kontrak dengan pria ini? Bagaimana seharusnya reaksi Iris? Jika melihat situasi yang ada, posisi Iris sama sekali tidak memungkinkan hidup dengan aman sejak ia berada di kekaisaran Agrynnor dan sepertinya posisi Duke Adorien sangat kuat di kekaisaran. Jika tidak tak mungkin pria itu memiliki wilayah terluas di Agrynnor –Iris mempelajari tentang Agrynnor dari gurunya dan Adorien adalah wilayah terluas- istana yang megah dan memimpin langsung medan perang. Seorang Duke memiliki pengaruh yang kuat dan hanya setingkat di bawah kaisar. Hidup Iris sedang dipertaruhkan. Ia tak memiliki siapapun. Ayahnya telah terbunuh, negaranya hancur dan dia bukanlah seorang pewaris kerajaannya.
Pria yang telah merampas negaranya atas perintah kaisar kini menawarkan keamanan mutlak padanya. Apa yang sebaiknya Iris lakukan? Tidakkah pria ini mungkin saja kejam seperti ia di medan perang namun selama ia bersama sang Duke, sepasang mata merah itu tidak menatapnya dengan bengis melainkan lebih ke rasa penasaran.
Terdengar suara kursi di dorong dan Iris melihat Duke Adorien berdiri. Pria itu mendekati kursi Iris dan setengah membungkuk. “Anda bisa memikirkannya malam ini. Apakah berlebihan jika saya menunggu jawaban anda besok pagi ketika kita sarapan?” tangan Duke bergerak dan entah sejak kapan muncul seorang pria tua berpakaian rapi berwajah ramah.
“Ya Yang Mulia.”
Duke Adorien sama sekali tidak mengalihkan tatapannya dari Iris. “Ini Eliath. Dia adalah kepala pelayan di sini. Anda bisa memanggilnya kapan saja jika membutuhkan sesuatu dan besok pergilah bersama Gaia untuk berbelanja gaun di kota. Saya akan menyuruh para kesatria mendampingi anda dan menyediakan kereta kuda terbaik.”
Setelah mengatakan hal itu, Duke Adorien berbalik dan Iris menahan gerakannya dengan menarik bagian ujung vest sang Duke.
“Saya bahkan belum memberikan jawaban pada anda!” Iris berkata cepat. Tindakan Duke Adorien sangat jelas. Pria itu bersikap loyal padanya layaknya Iris adalah pasangannya.
Eras menyeringai. “Saya hanya ingin memanjakan calon istri saya. Saya terpaksa meninggalkan anda, Nona Iris. Ada beberapa dokumen yang harus saya setujui. Apakah anda tidak keberatan?”
Sontak wajah Iris memerah bahkan Eras mendengar suara batuk tertahan Eliath. Eras membungkuk dan mengecup punggung tangan Iris dan berjalan dengan langkah tenang. Iris segera memegang tangannya sendiri dan melirik sang kepala pelayan yang tampak pucat.
“Apakah ini pertanda buruk untukku?” Iris berbisik pelan pada Eliath.
Pria tua itu mengusap dahinya dan tertawa pada Iris. “Tidak Puteri. Ini pertanda baik. Duke jarang berlaku ramah pada siapapun. Ini pertama kalinya.” Eliath tidak menceritakan betapa menyeramkannya sang Duke saat kembali dengan puteri yang pingsan dan memerintahkan untuk segera memanggil dokter. Jika sang dokter tidak memberi jawaban memuaskan atas pingsannya sang puteri, Duke berkata akan menebas kepalanya.
Iris mengusap dadanya sambil bernapas lega. “Oh, syukurlah.” Lalu dia menatap kepala pelayan. “Anda Eliath bukan?”
“Ya Puteri.”
Iris mengulurkan tangannya ke seberang mejanya. “Duduklah temani saya minum teh. Masih ada satu cangkir yang tidak digunakan.”
Eliath menolak dengan cepat. “Saya tidak pantas…”
“Saya sudah kehilangan orangtua dan kampung halaman. Temani saya sejenak berbincang tentang tempat ini.” Sinar mata Iris bersinar memohon pada Eliath.
Tentu saja Eliath tahu prihal penyerbuan Duke terhadap negara Lovec. Namun itu adalah perintah kaisar. Duke Adorien hanya melaksanakan perintah. Ia membungkuk dan menuangkan teh ke dalam cangkir Iris.
“Baiklah puteri.”
“Stt…jangan panggil saya puteri, Eliath. Panggil saya nona saja seperti Duke tadi memanggil saya. Di sini tidak ada lagi gelar puteri yang akan saya sandang.” Iris tertawa dan menyeruput tehnya. Ia menatap Eliath dan berbisik lirih. “Apakah Duke memang membiarkan para pixie berada di taman bunganya?”
Eliath tersedak. “Nona…nona bisa melihat mereka?” bola mata Eliath membesar.
Iris terkikik geli. “Mungkin mereka yang sengaja menampakkan diri karena mencium aromaku. Aku bisa sihir.” Untuk membuktikannya, Iris menggerakkan telapak tangannya dan sinar biru tipis membentuk di telapak tangannya. “Aku bisa memanggil mahluk sejenis peri.” Kemudian sebelum Duke Adorien mengetahuinya, Iris segera menyimpan sihirnya. “Ini rahasia kita ya.”
Iris berkata demikian pada Eliath namun sesungguhnya Duke Adorien masih berada tak jauh dari taman dan melihat perbuatan Iris. Eras bersandar di salah satu pilar dan tersenyum kecil. “Itu bukan rahasia lagi jika kau menunjukkannya secara gamblang di depan Eliath dan para pixie, Iris.”
Setelah bergumam demikian, Eras menuju istana utama di mana tumpukan dokumennya sudah menanti. Terlebih ia harus segera melaporkan secara resmi kepada Kaisar atas keberhasilannya menaklukkan Lovec. Eras berencana akan membawa Iris ke hadapan kaisar dan memperkenalkan gadis itu sebagai calon istrinya. Pernikahan kontrak tidak membutuhkan cinta. Bukankah demikian? Pikir Eras. Ia hanya ingin membiarkan Iris Odeya Laromannor hidup. Tentu saja dengan penuh rasa aman karena perlindungan yang diberikan Eras.
****Iris berada di kamarnya, duduk diam sambil merenungi tawaran yang diberikan Duke Adorien. Ia mondar mandir dari ujung ke ujung mempertimbangkan jawaban apa yang harus diberikannya. Jika dia menolak, hidupnya pasti terancam bahaya. Berada di Agrynnor saja sudah merupakan bahaya besar apalagi jika Kaisar Agrynnor mengetahui bahwa masih ada yang tersisa dari Raja Lovec. Ia pasti dibunuh. Namun apabila Iris menerima tawaran Duke, maka keamanannya terjamin dan hidupnya akan baik-baik saja. Tapi, apakah dia tidak akan dibunuh juga oleh Duke Adorien?Iris sudah melihat bagaimana kejamnya pria itu dalam perang. Dengan jubah perangnya yang berwarna merah, lencana kekaisaran di kedua pundaknya, pedang besar yang ada di tangannya, ditambah sepasang mata merahnya, sudah bisa membunuh orang lain bahkan sebelum ia menggerakkan pedangnya. Belum lagi kekuatan sihir yang dimiliki Duke.“Matilah aku.” Iris memegang kepalanya. Tapi jika melihat bagaimana sikap Duk
Setelah mendengar jawaban Iris, orang pertama yang bersuara adalah Eliath, kepala pengurus rumah tangga, yang sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan kegembiraannya. “Apakah berita bahagia ini akan diumumkan ke seluruh Adorien, Yang Mulia Duke?”Eras dan Iris menoleh ke arah Eliath. Eras bersumpah bahwa di sekitar Eliath seperti ditumbuhi bunga-bunga mekar dan wajah tua itu tersenyum lebar dengan tatapan mata berbinar. Tak hanya reaksi Eliath yang luar biasa, ruang makan yang biasanya tak ada yang berani mengintip sekalipun terlihat pintunya terbuka lebar dan kepala kesatria Adorien berada paling depan, membentuk hormat dengan menekan sebelah tangan di dada, berkata dengan tegas.“Ini berita yang menggembirakan Tuan Duke. Saya dan kesatria lainnya akan siap melindungi Duchess seluruh jiwa raga kami.”Iris segera bangkit berdiri dan menggerakkan tangannya. Ia tidak menyangka bahwa jawabannya kepada Duke Adorien akan mendapatkan reaksi s
Iris membaca surat kontrak yang ditulis Eras. Isi kontrak itu menjelaskan secara gamblang keuntungan Iris sebagai istri Duke Adorien. Iris berhak atas istana Adorien, pelayan, dayang, kesatria bahkan soal pengelolaan keuangan keluarga. Tak hanya itu, Duke menuliskan di poin pertama bahwa ia dan kesatria Adorien memberikan perlindungan penuh terhadap Iris. Hal terakhir yang dibaca Iris bahwa di Agrynnor maupun di keluarga Adorien, tidak adanya perceraian. Ini adalah kontrak seumur hidup. Iris mengangkat wajahnya dan menatap Duke yang duduk tenang di hadapannya “Kontrak ini…” “Jangan khawatir. Hubungan kita tidak akan terjadi karena cinta. Kau tidak usah cemas. Aku menjanjikan keselamatamu dan kau menjadi pemilik istana ini dan segala isinya, keuangan keluarga dan juga waktuku.” Duke Adorien memotong kalimat Iris. Iris tertawa pelan. Alis Duke terangkat. “Ada apa?” Iris meletakkan surat kontrak tersebut. “Apakah sudah menjadi kebiasaan anda memo
Eras mengantar Iris tepat di depan kamar gadis itu. Keduanya saling bertatapan dan sama-sama bingung apa yang hendak dikatakan untuk mengucapkan salam selamat tidur. Di kepala Iris penuh dengan kebingungan. Apakah ia langsung masuk saja? Tapi seorang Duke yang terhormat telah mengantarnya demikian rupa. Lagipula bukankah mereka akan segera menikah? Aduuh, apa yang harus kukatakan? Sebaliknya Eras menatap Iris dengan wajah tanpa ekspresi walau sesungguhnya ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengucapkan selamat malam pada “calon istrinya” itu. Selamat malam, sampai jumpa besok? Apakah itu kalimat yang tepat diucapkan seorang pria pada wanita yang akan segera dinikahinya? Baiklah, kita akan bertemu besok di ruang sarapan? Tidak! Itu sama saja! demikian rupa. Lagipula bukankah mereka akan segera menikah? Aduuh, apa yang harus kukatakan? Sebaliknya Eras menatap Iris dengan wajah tanpa ekspresi walau sesungguhnya ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengu
Kekaisaran Agrynnor menguasai hampir seluruh Benua Kaiadia, merampas negara-negara, suku dan bangsa yang tersebar dalam penaklukan besar-besaran dan menjadikan milik imperium Agrynnor. Kaisar Agrynnor berdiri kokoh dengan lambang kekaisaran dan tak pernah berhenti sekalipun menaklukkan daratan. Ia didukung oleh faksi bangsawan dan pasukan militer terkuat. Berada di atas tahta yang direbutnya dari tangan ayahnya sendiri, Kaisar Agrynnor, Zenith Galeas Agrynnor, bertindak kejam atas tanah dan wilayah yang ingin dimilikinya. Ia menggerakkan pedang kekuasaannya pada pasukannya dan tak lelah mengeskpansi tiap wilayah yang ditargetkannya. Kaisar Agrynnor memiliki empat keluarga besar yang menyokong kekuasaannya hingga dikenal sebagai empat pilar Agrynnor. Duke Adorien, Marquess Briratrem, Count Etheralin dan Earl Lardoviel merupakan satu kesatuan kekaisaran Agrynnor. Secara turun temurun, Kaisar Agrynnor memberikan
Apakah mata pria ini semerah darah? Bola matanya berwarna merah, pikir Iris. Dia tidak boleh pingsan. Dia bisa mati seperti ayah dan ibu serta para kakak. Jika dia mati siapa lagi keturunan Laromannor. Tapi tubuh dan pikirannya tidak sejalan. Kepalanya pening dan tubuhnya gemetaran. Ia ketakutan dan mengerahkan sihir perlindungan dengan maksimal. Tapi sepertinya pria pembunuh di depannya itu sangat kuat.“Kau bisa sihir?” Eras mencengkram makin erat kedua bahu Iris, namun yang dapatinya adalah gadis itu lunglai ke arahnya, jatuh tak sadarkan diri ke pelukannya.“Yang Mulia, Lovec sudah takluk. Rakyatnya menyerah.” Seorang ksatria melaporkan situasi pada Eras.“Bagaimana dengan puteri itu, Duke?”Eras mengurungkan niatnya untuk membunuh Iris. Sebaliknya ia menggendong sang puteri dan berkata datar. “Bungkus puteri ini dengan mantel dan letakkan dia di kudaku. Jangan sampai rakyat Lovec tahu jika salah satu puteri m
Iris dan Eras duduk berhadapan di salah satu taman yang ada di istana itu. Di bagian barat istana, terdapat taman bunga di antara taman-taman lainnya. Bahkan Iris melihat ada istana kecil yang indah lengkap dihiasi tanaman mawar yang merambat. Untuk ukuran seorang petarung di medan perang, Duke Adorien mengurus istananya benar-benar apik dan sangat indah. Untuk mencapai taman bagian barat saja Iris harus melewati istana utama yang memiliki 102 ruang, tentu saja itu adalah penjelasan singkat sang Duke untuk memecah keheningan mereka selama dalam perjalanan ke taman. Kini duduk berhadapan dengan Eras, di kelilingi taman indah dan udara sore yang cukup hangat membuat Iris mengagumi sekitarnya. bahkan meja minum teh dan peralatan minumnya saja tak luput dari perhatian Iris yang merupakan seorang puteri. Ia memerhatikan dengan seksama dan bergumam dalam hati. Ini peralatan yang luar biasa mewah untuk ukuran minum teh dalam situasi santai. Tunggu! Apakah ini situasi yang santai? Perlahan,