Setelah mendengar jawaban Iris, orang pertama yang bersuara adalah Eliath, kepala pengurus rumah tangga, yang sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan kegembiraannya. “Apakah berita bahagia ini akan diumumkan ke seluruh Adorien, Yang Mulia Duke?”
Eras dan Iris menoleh ke arah Eliath. Eras bersumpah bahwa di sekitar Eliath seperti ditumbuhi bunga-bunga mekar dan wajah tua itu tersenyum lebar dengan tatapan mata berbinar. Tak hanya reaksi Eliath yang luar biasa, ruang makan yang biasanya tak ada yang berani mengintip sekalipun terlihat pintunya terbuka lebar dan kepala kesatria Adorien berada paling depan, membentuk hormat dengan menekan sebelah tangan di dada, berkata dengan tegas.
“Ini berita yang menggembirakan Tuan Duke. Saya dan kesatria lainnya akan siap melindungi Duchess seluruh jiwa raga kami.”
Iris segera bangkit berdiri dan menggerakkan tangannya. Ia tidak menyangka bahwa jawabannya kepada Duke Adorien akan mendapatkan reaksi seperti ini. “Saya belum menjadi Duchess…”
Tiba-tiba bahunya direngkuh oleh Duke Adorien yang menjulang dan besar, yang berdiri tepat di sebelahnya. “Tentu saja seluruh isi istana ini akan melindungi dan melayani Nyonya.” Eras menyapu seluruh wajah yang berada di hadapannya. Semua menundukkan kepala dengan hormat.
Iris mendongak dan berkata cepat. “Anda tidak bisa menentukan secepat ini Yang Mulia.” Bukankah tadi hanya sekadar jawaban mengapa Duke terlihat begitu bersemangat? Apakah memang ada rencana ingin membunuhnya secepat ini?
Duke Adorien menunduk, menatap sepasang mata Iris. “Kau memberi jawaban bersedia, Iris.” Sudut bibir Eras terangkat, membentuk seringai kecil. Betapa sulitnya bagi Eras untuk tersenyum selama ini, tapi kini urat wajahnya seakan begitu sembrono bergerak sendiri membentuk senyuman jika di hadapan Iris.
Pemandangan itu tak luput dari mereka yang selama ini berada di sisi Duke Adorien. Melihat sang Duke berdarah dingin itu bisa tersenyum kecil bagaikan sebuah anugerah apalagi bagi Eliath yang sudah mengasuh Duke dari kecil. Bagaimanapun Nona Iris HARUS menjadi Duchess Adorien! Demikian tekad Eliath.
Ya, Iris sudah menjawab dengan senang hati atas lamaran sang Duke. Tapi itukan demi penyelamatan diri, keluh Iris. Ia balas menyeringai pada sang Duke yang tampak amat bersinar sampai rasanya silau mata Iris saat menatapnya.
Eras meraih pinggang Iris dan menuntun gadis itu agar mengikutinya. Kepada semuanya ia berkata datar. “Kami akan berbincang di ruang kerjaku. Selamat malam semuanya.” Dan tanpa mendengar jawaban mereka, Eras membimbing Iris keluar dari ruang makan dan berjalan bergandengan menuju ruang kerjanya yang berada satu tingkat di atas ruang makan.
Selama dalam perjalanan menuju ruang kerja, mereka hanya diam saja dan kesempatan itu dimanfaatkan Iris memperhatikan sekeliling. Istana Adorien sangat indah. Perabotannya kualitas terbaik, pilar-pilarnya kokoh dan berseni, setiap lorong dipasangi lampu lilin gantung yang terbuat dari kristal berkilau serta tata letak yang demikian mewah. Selagi memuji dalam hati atas keindahan istana Adorien, mata Iris melihat sebuah pajangan peri yang amat cantik di bagian sudut tangga melingkar. Bukan pahatannya yang membuat Iris berseru memuji melainkan bagaimana benda itu melayang di udara seakan berdiri di atas sesuatu yang tak tampak.
“Waah, cantik sekali!” Iris menutup mulutnya saat langkah Duke Adorien terhenti karena mendengar seruannya.
“Apanya yang cantik?” Eras menunduk dan mencari hal yang menarik perhatian Iris.
“Pahatan peri itu.” Iris menunjuk ke arah objek yang dimaksud. Ia mendongak dan bola matanya berbinar. “Bagaimana bisa benda itu melayang di udara?”
Eras mengikuti arah telunjuk Iris dan meraih pahatan yang dimaksud Iris. “Ini?” ia mengacungkan benda itu. “Ini berasal dari batu sihir yang dipahat menjadi bentuk peri. Benda ini berfungsi sebagai alat mata-mata jika ada hal buruk yang terjadi di istanaku.”
Iris menggosok kedua tangannya. “Oh, begitukah? Cantik sekali.” Dia kagum sekali dengan kediaman Duke semenjak ia menemukan pixie yang berkeliaran di taman istana.
Eras menyentuh bagian muka peri dan terlihat cahaya kuning keemasan memancar. Cahaya itu memancing cahaya lainnya untuk memancar dari segala penjuru. Pahatan serupa ternyata berada di tiap sudut istana di sepanjang lantai itu. Dari cahaya itu terlihat bayangan situasi keamanan istana Adorien dari segala penjuru. Ada beberapa orang dayang, pelayan dan kesatria yang tampak hilir mudik menjaga istana. Mereka bekerja dan berbincang, tanpa terlewat sedikitpun dari pengamatan Duke melalui pahatan peri.
“Waaah!” Iris berseru takjub. Itu adalah sihir yang hebat. “Bagaimana jika ada hal buruk?”
Eras melepaskan kembali pahatan itu dan menatap Iris. “Cahayanya akan berubah menjadi merah dan mengirim sinyal kepada batu sihir yang ada di setiap pedang milik para kesatria.”
“Termasuk pedang anda?” Iris tampak bersemangat.
Eras menatap Iris. “Ya.” Ia melihat mulut ternganga Iris. Ia membungkuk sedikit. “Kau menyukai benda ini?”
Iris mundur selangkah dari kedekatannya dengan sang Duke. “Ah, saya hanya…”
“Aku akan memberikan apa saja yang kamu sukai. Pahatan peri yang lebih baik dari ini akan kamu terima besok pagi sebagai hadiah.” Eras menyodorkan sikunya. “Ayo, ruang kerjaku di sana.”
“Ah, bukankah itu membutuhkan waktu lama untuk memahatnya.”
Eras melirik Iris. “Aku orang yang berkuasa dan sangat kaya raya.” Sinar matanya memancarkan kepercayaan diri yang luar biasa.
Jawaban singkat yang tak bisa dibantah itu membuat Iris bungkam. Ya, Duke Adorien tentu sangat kaya raya. Ia pemilik wilayah luas ini dan Iris hanya butuh diam saja, melihat dan menikmati cara Duke memanjakannya seperti yang dikatakannya saat mereka minum teh tadi sore.
Duke Adorien membuka pintu ruang kerjanya, menarik halus tangan Iris dan berkata ringan di atas kepala Iris. “Silakan masuk ke ruang kerjaku.” Ia menutup pintu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Nantinya kau bebas menemuiku di mana saja termasuk di ruangan ini.”
“Eh?” Iris menatap bingung.
“Istana dan isinya adalah milikmu. Kau juga bisa mengambil waktuku sebebas apapun yang kau inginkan.”
Astaga! Apakah ini benar-benar pria yang sama seperti malam itu? Iris berulang kali merasa terkejut akan apa yang terjadi pada dirinya.
Iris membaca surat kontrak yang ditulis Eras. Isi kontrak itu menjelaskan secara gamblang keuntungan Iris sebagai istri Duke Adorien. Iris berhak atas istana Adorien, pelayan, dayang, kesatria bahkan soal pengelolaan keuangan keluarga. Tak hanya itu, Duke menuliskan di poin pertama bahwa ia dan kesatria Adorien memberikan perlindungan penuh terhadap Iris. Hal terakhir yang dibaca Iris bahwa di Agrynnor maupun di keluarga Adorien, tidak adanya perceraian. Ini adalah kontrak seumur hidup. Iris mengangkat wajahnya dan menatap Duke yang duduk tenang di hadapannya “Kontrak ini…” “Jangan khawatir. Hubungan kita tidak akan terjadi karena cinta. Kau tidak usah cemas. Aku menjanjikan keselamatamu dan kau menjadi pemilik istana ini dan segala isinya, keuangan keluarga dan juga waktuku.” Duke Adorien memotong kalimat Iris. Iris tertawa pelan. Alis Duke terangkat. “Ada apa?” Iris meletakkan surat kontrak tersebut. “Apakah sudah menjadi kebiasaan anda memo
Eras mengantar Iris tepat di depan kamar gadis itu. Keduanya saling bertatapan dan sama-sama bingung apa yang hendak dikatakan untuk mengucapkan salam selamat tidur. Di kepala Iris penuh dengan kebingungan. Apakah ia langsung masuk saja? Tapi seorang Duke yang terhormat telah mengantarnya demikian rupa. Lagipula bukankah mereka akan segera menikah? Aduuh, apa yang harus kukatakan? Sebaliknya Eras menatap Iris dengan wajah tanpa ekspresi walau sesungguhnya ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengucapkan selamat malam pada “calon istrinya” itu. Selamat malam, sampai jumpa besok? Apakah itu kalimat yang tepat diucapkan seorang pria pada wanita yang akan segera dinikahinya? Baiklah, kita akan bertemu besok di ruang sarapan? Tidak! Itu sama saja! demikian rupa. Lagipula bukankah mereka akan segera menikah? Aduuh, apa yang harus kukatakan? Sebaliknya Eras menatap Iris dengan wajah tanpa ekspresi walau sesungguhnya ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengu
Kekaisaran Agrynnor menguasai hampir seluruh Benua Kaiadia, merampas negara-negara, suku dan bangsa yang tersebar dalam penaklukan besar-besaran dan menjadikan milik imperium Agrynnor. Kaisar Agrynnor berdiri kokoh dengan lambang kekaisaran dan tak pernah berhenti sekalipun menaklukkan daratan. Ia didukung oleh faksi bangsawan dan pasukan militer terkuat. Berada di atas tahta yang direbutnya dari tangan ayahnya sendiri, Kaisar Agrynnor, Zenith Galeas Agrynnor, bertindak kejam atas tanah dan wilayah yang ingin dimilikinya. Ia menggerakkan pedang kekuasaannya pada pasukannya dan tak lelah mengeskpansi tiap wilayah yang ditargetkannya. Kaisar Agrynnor memiliki empat keluarga besar yang menyokong kekuasaannya hingga dikenal sebagai empat pilar Agrynnor. Duke Adorien, Marquess Briratrem, Count Etheralin dan Earl Lardoviel merupakan satu kesatuan kekaisaran Agrynnor. Secara turun temurun, Kaisar Agrynnor memberikan
Apakah mata pria ini semerah darah? Bola matanya berwarna merah, pikir Iris. Dia tidak boleh pingsan. Dia bisa mati seperti ayah dan ibu serta para kakak. Jika dia mati siapa lagi keturunan Laromannor. Tapi tubuh dan pikirannya tidak sejalan. Kepalanya pening dan tubuhnya gemetaran. Ia ketakutan dan mengerahkan sihir perlindungan dengan maksimal. Tapi sepertinya pria pembunuh di depannya itu sangat kuat.“Kau bisa sihir?” Eras mencengkram makin erat kedua bahu Iris, namun yang dapatinya adalah gadis itu lunglai ke arahnya, jatuh tak sadarkan diri ke pelukannya.“Yang Mulia, Lovec sudah takluk. Rakyatnya menyerah.” Seorang ksatria melaporkan situasi pada Eras.“Bagaimana dengan puteri itu, Duke?”Eras mengurungkan niatnya untuk membunuh Iris. Sebaliknya ia menggendong sang puteri dan berkata datar. “Bungkus puteri ini dengan mantel dan letakkan dia di kudaku. Jangan sampai rakyat Lovec tahu jika salah satu puteri m
Iris dan Eras duduk berhadapan di salah satu taman yang ada di istana itu. Di bagian barat istana, terdapat taman bunga di antara taman-taman lainnya. Bahkan Iris melihat ada istana kecil yang indah lengkap dihiasi tanaman mawar yang merambat. Untuk ukuran seorang petarung di medan perang, Duke Adorien mengurus istananya benar-benar apik dan sangat indah. Untuk mencapai taman bagian barat saja Iris harus melewati istana utama yang memiliki 102 ruang, tentu saja itu adalah penjelasan singkat sang Duke untuk memecah keheningan mereka selama dalam perjalanan ke taman. Kini duduk berhadapan dengan Eras, di kelilingi taman indah dan udara sore yang cukup hangat membuat Iris mengagumi sekitarnya. bahkan meja minum teh dan peralatan minumnya saja tak luput dari perhatian Iris yang merupakan seorang puteri. Ia memerhatikan dengan seksama dan bergumam dalam hati. Ini peralatan yang luar biasa mewah untuk ukuran minum teh dalam situasi santai. Tunggu! Apakah ini situasi yang santai? Perlahan,
****Iris terpaku mendengar tawaran Duke Adorien. Menikah? Menikah kontrak dengan pria ini? Bagaimana seharusnya reaksi Iris? Jika melihat situasi yang ada, posisi Iris sama sekali tidak memungkinkan hidup dengan aman sejak ia berada di kekaisaran Agrynnor dan sepertinya posisi Duke Adorien sangat kuat di kekaisaran. Jika tidak tak mungkin pria itu memiliki wilayah terluas di Agrynnor –Iris mempelajari tentang Agrynnor dari gurunya dan Adorien adalah wilayah terluas- istana yang megah dan memimpin langsung medan perang. Seorang Duke memiliki pengaruh yang kuat dan hanya setingkat di bawah kaisar. Hidup Iris sedang dipertaruhkan. Ia tak memiliki siapapun. Ayahnya telah terbunuh, negaranya hancur dan dia bukanlah seorang pewaris kerajaannya.Pria yang telah merampas negaranya atas perintah kaisar kini menawarkan keamanan mutlak padanya. Apa yang sebaiknya Iris lakukan? Tidakkah pria ini mungkin saja kejam seperti ia di medan perang namun selama ia bersama sang Duke
****Iris berada di kamarnya, duduk diam sambil merenungi tawaran yang diberikan Duke Adorien. Ia mondar mandir dari ujung ke ujung mempertimbangkan jawaban apa yang harus diberikannya. Jika dia menolak, hidupnya pasti terancam bahaya. Berada di Agrynnor saja sudah merupakan bahaya besar apalagi jika Kaisar Agrynnor mengetahui bahwa masih ada yang tersisa dari Raja Lovec. Ia pasti dibunuh. Namun apabila Iris menerima tawaran Duke, maka keamanannya terjamin dan hidupnya akan baik-baik saja. Tapi, apakah dia tidak akan dibunuh juga oleh Duke Adorien?Iris sudah melihat bagaimana kejamnya pria itu dalam perang. Dengan jubah perangnya yang berwarna merah, lencana kekaisaran di kedua pundaknya, pedang besar yang ada di tangannya, ditambah sepasang mata merahnya, sudah bisa membunuh orang lain bahkan sebelum ia menggerakkan pedangnya. Belum lagi kekuatan sihir yang dimiliki Duke.“Matilah aku.” Iris memegang kepalanya. Tapi jika melihat bagaimana sikap Duk