Semakin hari semakin tubuhnya mengkhianati hati yang menolak untuk kembali menjalin hubungan. Bukan atas kehendaknya tapi pengkhianatan sungguh masih membekas di jiwa. Bahkan terkadang Zoya masih merasakan sakit atas tamparan dan perlakuan kasar Zein yang kembali masuk dalam. ingatan. Tubuhnya tak bisa menolak saat sentuhan yang Gama berikan semakin membuat tubuhnya merespon dengan baik. Tubuh Zoya menerima dan membalas sentuhan itu hingga tanpa sadar Zoya kembali membalas kecupan mesra Gama untuk yang kedua kalinya. Kecupan yang berawal dari kening dan perlahan turun ke bibirnya yang mungkin sudah menjadi candu untuk pria itu. Terasa hangat dan membuat Zoya semakin tak berdaya. Pagutan Gama membuat syaraf-syarafnya terjaga dan mengajak untuk bisa mengimbangi. Deru nafas pun semakin tak terkendali. Kedua tangan Zoya mencengkeram ujung jas Gama saat gejolak semakin ia rasakan. Lidahnya membalas setiap gerakan lembut Gama hingga suara decapan mulai terdengar manja di tel
Zoya pun mengikuti apa yang Gama perintahkan. Kedua matanya semakin rapat terpejam dan mendadak dia tak merasakan apa-apa. Semua seakan hilang. Rasa yang Gama berikan pun tak lagi ia rasakan. Bayangan akan dirinya yang sendiri membuat batinnya semakin terasa sesak hingga tersiksa. Kebersamaan yang mereka lalui beberapa bulan ini tak bisa dipungkiri jika sudah menimbulkan hal yang biasa hingga tumbuh rasa yang sulit didefinisikan. Zoya meraba tubuhnya dan tak ia rasakan keberadaan Gama yang tadi mulai nakal menyentuh dirinya. Rasa panas itu berangsur normal dan semakin lama semakin dingin. Suhu AC ruangan kembali Zoya rasakan. Hilang, Gama tak ada dan hanya aroma maskulin dari pria itu yang masih tertinggal. Zoya menarik nafas dalam. Dia membayangkan jika benar-benar tak ada Gama. Perlahan kepalanya menggeleng tak mau. Tak mau jika pria itu pergi. Tak bisa ia sendiri, tapi apa itu cinta? Apa dia sudah mulai membuka hati untuk Gama? Cintanya dengan Zein sudah mati sejak melih
Zoya melenguh dan mendesah kala Gama terus saja menyerang leher jenjangnya. Hasrat pria itu agaknya terbakar karena keduanya yang sudah sama-sama dekat. Kedua tangan Zoya meraih rambut Gama dan menjambaknya dengan kuat. Reflek saja karena tubuhnya yang juga sudah serasa panas. Sama-sama sendiri dan sudah lama tak memuaskan diri tentunya mereka sangat ingin. Terlebih Gama yang sudah lama menduda meskipun pria itu hanya mengecup leher Zoya dan menggoda dengan lidah yang tak bisa diam, tapi Zoya yakin Gama sudah bergairah saat ini. "Kak kamu... " Zoya merasakan benda keras yang begitu mendesak. Ya, Gama sudah mulai on. Zoya yang menahan diri agar tidak melakukan lebih pun kalang kabut sendiri karena Gama semakin menjadi. Tangan pria itu sudah tak bisa diam dan lumrahnya seorang pria pasti akan mengincar benda kesukaannya dan itu jelas semakin membuat Gama tegang. "Kak sudah... Ssssttt... " Zoya kembali mendongak. Hisapan itu mampu membuat tubuhnya menggeliat seolah kena set
Gama menatap nyalang Dito yang masuk ke ruangannya. Tak biasa-biasanya dia begitu, entah mengapa menyangkut Zoya, Gama tak bisa santai. Padahal jelas tadi Dito dan Zoya hanya berkomunikasi tak lebih dari dua menit tapi rasanya sudah membuat Gama ingin menggaruk wajah Dito. Terlebih Zoya tak membalas pesannya. Entah Zoya sengaja atau memang tak suka dia berubah posesif seperti ini. Namun ini begitu saja dia rasakan setelah cintanya mulai berbalas. "Ada apa?" tanya Gama. Dia sadar suaranya terdengar membuat salah paham dan sikapnya dingin menatap Dito yang kini pun memperhatikan. Tatapan Dito seolah sedang mengingat sesuatu dan mencocokologi apa yang dilihat hingga kedua mata Dito menyipit menatap Gama. "Ada apa, Dito? Kenapa kamu melihatku seperti itu? Ada yang salah denganku?" tanya Gama lagi. Dia cukup geregetan dengan Dito yang begitu aneh dalam memperhatikannya. "Dito!" "Eh iya maaf, Pak. Saya... " Dito menggaruk kepalanya. Dito terlihat bingung untuk menjelask
"Aku ajak ke rumah nggak mau," ujar Gama kemudian membuka pintu. "Apa sich, Kak? Mau apa? Jangan kemana-mana pikirannya! Aku marah nich!" sahut Zoya yang lama-lama geregetan juga. Ajakan Gama membuatnya negatif thinking saja. "Apa sich, Sayang? Pikiran kamu saja yang kemana-mana. Aku hanya mengajak kamu main ke rumah. Ada Bibi juga di rumah. Mau apa memangnya? Barang-barang kamu masih banyak di rumahku. Apa kamu tidak ingin membereskannya dari kamar Zein atau mau dipindahkan ke kamarku juga boleh?" tanya Gama yang kemudian duduk di sofa. Keduanya sampai di apartemen beberapa menit perjalanan dari kantor. Zoya menolak keras ajakan Gama yang tadi sangat ingin sekali dirinya berkunjung ke rumah pria itu. "Aku sudah tidak minat dengan barang-barangku yang masih tertinggal, Kak. Kamu bisa membuangnya saja. Terlalu buruk kenangan di sana." Zoya melangkah menuju dapur untuk membuatkan Gama kopi. "Jadi kamu tidak mau berkunjung ke rumahku lagi?" "Tidak minat juga. Rumah itu me
Sampai di kantor tak ada lagi tambahan sarapan seperti yang Gama inginkan tadi. Yang ada adalah pekerjaan harus segera dijamah terlebih ada meeting dengan klien tempo hari. Zoya sendiri sibuk merapikan semua berkas yang akan dibawa dan mengemas semuanya sebelum mereka berangkat bersama. Ada Dito juga yang akan menyetir mobil nantinya dan mendampingi Gama juga. "Duduk di belakang, Zoya!" perintah Gama saat mereka sudah berada di depan mobil. Dito sudah membukakan pintu mobil untuk Gama tapi pria itu masih mempermasalahkan tempat duduk Zoya. "Tapi Pak, lebih baik saya di depan saja," tolak Zoya yang kemudian melirik Dito. Apa-apaan Gama ini, sudah tau ada Dito malah memintanya untuk duduk berdua. Bukan tak percaya mereka bisa bersikap profesional tapi Zoya takut Dito curiga. "Dito, apa kamu masih menyimpan rapat semuanya?" tanya Gama Dito karena mengerti alasan Zoya menolak duduk di belakang. Zoya tertegun mendengar pertanyaan Gama pada Dito. Sontak Zoya menoleh ke ara
"Dibayar berapa anda melakukan ini semua?" tanya Gama. Tatapannya berubah tajam hingga mengubah suasana menjadi mencekam. Sikap Gama mampu membuat semua yang ada di sana nampak terperangah kecuali Dion, asistennya. Sejak tadi Gama memang sengaja diam agar kliennya merasa senang dan seperti di atas awan hingga semakin terlihat kelicikannya. Untuk Zoya, Gama bisa menghandlenya nanti tapi untuk kliennya yang busuk ini tidak bisa dinanti-nanti. Gama tersenyum miring menatap sosok pria yang katanya bos itu. "Anda menyebut diri anda atasan seperti saya dan ingin dihormati juga tapi anda menjadi budak dari seseorang yang mana bos anda sesungguhnya. Saya hanya ingin bertanya, berapa bayaran anda hingga menggadaikan pekerjaan yang utama?" tanya Gama lagi. " Apa keuntungan bekerja sama dengan saya kurang banyak dari bayaran yang anda dapat dari orang itu? Orang yang sudah menjadikan anda babu. Bodoh sekali otak anda tapi saya mengalah jika memang dia bisa membayar sepuluh kali lipat
Zoya tak menyangka jika Zein masih saja dendam dengannya. Gemas sekali tapi dia mencoba tak perduli. Beruntung ada Gama yang selalu menjadi garda terdepan untuknya. Kali ini Zoya pun merasa sangat di lindungi oleh pria ini. Sangat dan sangat dilindungi melebihi dari sebelumnya. "Kak kamu tau dari mana tentang itu?" tanya Zoya yang masih menatap Gama dengan serius. "Aku tau sejak kemarin. Mungkin nanti aku akan menemuinya. Aku pun tidak bisa hanya diam saja. Dia terlalu menganggu dan tak bisa berpikir dewasa. Masih sangat kekanakan sekali." "Apa yang akan kamu lakukan, Kak? Aku tidak mau kamu dalam bahaya. Sudah biarkan saja! Jika lelah juga dia akan berhenti sendiri." "Kamu pikir anak kecil? Dia akan semakin menjadi jika didiamkan begitu. Aku hanya ingin bicara, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku!" Gama mengecup bibir Zoya dengan lembut dan merangkum kedua pipi Zoya. Tatapan pria itu begitu dalam dan tangan Zoya pun meraih kedua tangan Gama yang masih berada di pipinya.
Zoya ketar ketir sendiri setelah tau ada karyawan dari Gama juga di sana. Kenapa dia tak kepikiran sampai sana. Tidak berpikir akan ada yang melihat mereka di tempat umum seperti ini. Sialnya ini di luar jam kantor yang mana sulit untuk berkelit jika sudah ketahuan begini. Orang yang melihat akan dirinya dan Gama pasti akan menaruh curiga. Terlebih di tempat seperti ini dan Gama begitu setia menemani. Zoya sedikit mengintip di balik pintu tempatnya bersembunyi. Dia menggigit bibir bawahnya saat Gama mulai mendongak menatap santai pada kedua karyawan pria itu. "Saya sedang mengantar seseorang," jawab Gama dengan sikap dingin yang membuat karyawan tersebut meringis mendengarnya. "Oh pasti spesial ya, Pak. Beruntung banget orang itu Pak." "Hhmm... Tentu." Hanya itu jawaban dari Gama dan kembali fokus pada ponsel yang pria itu pegang. Tak lama dari itu Zoya tertunduk saat mendengar notifikasi pesan masuk. Segera Zoya melihat ponsel yang kebetulan dia genggam dan ternyata G
"Kak!" Hal indah itu kembali terulang lagi. Zoya pasrah saat Gama sudah kembali merusuh. Mau memberontak pun tak akan mungkin bisa. Pria jika sudah mau mana bisa dibendung. Alhasil berujung desahan dan erangan manja kembali terdengar di dalam kamar itu. Sampai dimana Bibi yang ingin mengetuk pintu untuk memberitahu jika makanan sudah siap. Urung dilakukan saat mendengar suara-suara aneh yang membuat beliau paham jika majikannya tengah sibuk. "Sayang sungguh nikmat tubuhmu. Bagaimana aku tidak candu?" "Kak agak dipercepat sedikit!" "Apa kamu lebih suka yang seperti ini?" tanya Gama dengan mempercepat hentakan yang membuat Zoya mendongak mendesah. "Ya, aku lebih suka Kak." " Panggil namaku yang benar, Sayang!" pinta Gama dengan suara yang tak tertahan. Terdengar serak dan berat menandakan pria itu yang sudah terperangkap dengan gairah yang mendalam. "Panggilan apa yang aku harus berikan, Kak?" tanya Zoya di sela gerakannya ulah Gama yang menghentak beraturan.
Kembali ke kamar setelah sejenak bermanja dengan suami. Zoya merasa hatinya berbunga-bunga saat dia sangat diratukan. Tanpa berjalan, Gama senantiasa mengangkat tubuhnya. "Kak mau kemana?" tanya Zoya setelah merasakan ranjang empuk yang tadi sempat berantakan. Tak begitu rapi tapi cukup nyaman. Spreinya pun butuh diganti besok. "Ke balkon sebentar Sayang." "Mau apa, Kak? Nggak langsung tidur? Kamu nggak ngantuk?" tanya Zoya yang tak mau ditinggal. Entah mengapa hawanya ingin berduaan saja. Namun Zoya malu untuk mengatakan itu, tapi jika Gama peka akan gestur yang diperlihatkan oleh Zoya, tentu pria itu harusnya tau jika sang istri sedang manja. "Hanya merokok sebentar Sayang." "Sejak kapan? Bukannya Kakak nggak merokok?" tanya Zoya yang keberatan akan itu. Merokok? Baru tau Zoya jika Gama suka dengan nikotin itu. "Hanya satu batang, Sayang. Sebentar ya Sayang!" Gama mengecup bibir Zoya. Laki-laki jika sudah ingin merokok mana bisa ditahan-tahan. Gama bukan perokok b
Zoya tersenyum saat Gama meraih tubuhnya dan membantu untuk membersihkan. Sudah lama tak ia rasakan diratukan hingga seperti ini. Rasanya malu tapi dia suka, seperti ada kupu-kupu yang tengah menggelitik perutnya. "Kak... " Zoya terpekik saat Gama begitu isengnya meremas miliknya. Geregetan sekali dengan Gama padahal sedang melayang diperlakukan lembut oleh Gama tapi pria itu dengan isengnya asal remas saja hingga mengejutkan dirinya. "Gemas Sayang, salah siapa malah melamun? Hehehe Apa masih kurang lemas? Aku siap menambahkan jika kurang." "Kak jangan menggodaku. Kita akan terus begini jika kamu tidak melepaskanku. Aku duluan," ucap Zoya yang kemudian melangkah gontai meraih handuk dan mengenakannya kemudian segera keluar dari kamar mandi. Dia meninggalkan Gama yang masih sibuk di dalam. Salah siapa sejak tadi menggodanya saja hingga tak kunjung selesai. Zoya pun tidak ingin lagi terjebak di dalam yang berujung akan mengulang kembali kegiatan panas mereka. Bukan tak
Zoya terpekik saat tubuhnya dijatuhkan dengan lembut oleh Gama di ranjang yang akan menjadi saksi cinta mereka. Sekarang Zoya sudah tak berbalut apa-apa bahkan dengan mudah Gama pun bisa mengeksekusinya. Tangannya meremas sprei saat rasa yang ia rindukan kembali dapat ia rasakan tapi kali ini rasa itu berbeda, Gama sungguh luar biasa. Rasa itu membuat candu karena lidah Gama yang begitu lihai menyapa sesuatu di bawah sana. "Kak.." "Sebut namaku, Sayang!" pinta Gama yang mendongak menatapnya. Zoya pun kembali mendongak saat lidah itu kembali menyapa. Mulutnya terbuka dan desahan kembali tercipta. "Kak Gama.. Akh... " Sungguh luar biasa rasa yang Gama ciptakan karena lidan pria itu yang begitu lincah menciptakan rasa nikmat yang tak bisa didefinisikan hingga cengkeraman tangan Zoya semakin kencang. Sprei pun mulai berantakan akan dirinya yang tak tahan. "Kak aku sampai... " Kalimat itu keluar sebelum gelombang cinta datang. Rasanya sangat luar biasa dan Gama tersenyum
"Kak nggak mau! Belum apa-apa sudah minta dimandikan. Aku malu loh Kak!" Zoya menolak Gama yang kini sudah membawanya kembali masuk kamar. Bagaimana Zoya tak menolak jika malam pertama saja belum, tapi dia sudah diminta memandikan suaminya. Gama betul-betul sangat meresahkan. "Salah siapa membuatku pusing, Sayang?" "Ya tapi nggak gitu, Kak. Aku malu, setidaknya pengenalan dulu." "Bukannya kamu sudah mengenalku, hhm? Kita sudah sama-sama tau anatomi manusia Sayang. Bisa kenalan nanti di dalam sana." Gama kali ini tak terbantahkan. Zoya terus dibawa masuk ke dalam kamar mandi. Salah siapa membuat gemas. Sekarang tanggung sendiri akibatnya. "Kak jangan buka dulu! Aku tunggu di luar." Hawanya Zoya ingin kabur saja. Mereka sudah berada di dalam kamar mandi dan Gama sudah membuka kancing kemeja yang pria itu kenakan. Sontak Zoya membuang muka. Malu meskipun bukan lagi pengalaman pertamanya melihat dada bidang seorang pria. Dia janda, bukan gadis perawan tapi entah men
Di dalam lemari itu didominasi dengan lingerie dan pakaian dalam yang berwarna senada. Memang ada pakaian lainnya tapi tidak banyak dan jika dilihat ukurannya pas, warnanya kontras, dan modelnya kekinian. Padahal Zoya sendiri tidak pernah membeli modelan seperti ini. Dia juga tidak mengatakan ukuran dan warna kesukaannya tapi yang tersedia benar-benar sesuai ukuran dan warna yang cocok untuk dirinya. "Kak aku serius. Jangan bikin aku kesel! Beneran ini Pak Dito yang nyiapin? Tau dari mana ukuran aku? Atau kamu yang bilang? Malu loh aku Kak." "Untuk apa malu Sayang? Dito 'kan asisten aku. Ya sudah sepantasnya dia menyiapkan itu. Nggak ada yang aneh. Nggak ada juga yang mau bikin kamu malu." Entah mengapa kali ini Gama membuat Zoya kesal. Zoya mengambil pakaian tidur yang masih tertutup dan aman dipakai kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Hawanya kok sewot menghadapi Gama. Baru kali ini semenjak dekat, Gama tak sepemikiran dengannya dan cenderung nyebelin. Hati yang tadi berbu
Zoya merengut saat jawaban dari Gama tak dia dapatkan. Pria itu hanya tersenyum miring dan meraih tangannya untuk dikecup. Bukan itu yang Zoya inginkan. Zoya ingin Gama menjawab akan hal yang membuatnya penasaran. Mana tau benar ada CCTV yang terhubung pada Asisten Dion. Kalau begitu jelas Zoya harus berhati-hati. Dia tidak boleh terlalu intens dengan Gama. Malu sekali jika ada yang melihat adegan mereka. Zoya membayangkan orang yang bersangkutan seperti sedang menonton live streaming adegan panas antara dia dan Gama. Sampai di rumah besar keluarganya Prasetyo, Zoya kembali mengalami kesulitan. Ingat betul di setiap sudut ruangan memiliki kenangan buruk yang sulit dilupakan. "Turun, Sayang! Sudah jangan kamu ingat apalagi kamu pikirkan! Kita masuk ya." Gama pun mengajak Zoya agar segera turun dan masuk. Gama lebih dulu turun kemudian membukakan pintu mobil untuk Zoya. Perlahan Zoya pun keluar dan masuk ke dalam rumah. Suasana sore di rumah itu kembali menyapa. Suasana
Zoya hampir kewalahan mengikuti pergerakan lidah Gama yang begitu nakal. Agaknya Gama tak sabaran. Begitu menggoyang dan mengabsen tanpa terlewatkan. Zoya begitu sulit mengimbangi, sepertinya nanti malam dia akan habis di tangan Gama. Masih sangat ingat betul, bagaimana rasanya setelah bermain dengan Gama kala itu. Sangat berbeda sekali saat dia bersama Zein. Berjalan saja rasanya sangat mengganjal seperti ada yang tertinggal di bawah sana. Apa malam ini pun ia akan merasakan hal yang luar biasa? Mendadak Zoya merinding sendiri memikirkan itu. Tubuhnya tiba-tiba geli akan sentuhan tangan nakal Gama. "Kak!" pekik Zoya saat ia merasakan tangan besar itu meraih sesuatu yang sangat sensitif milik Zoya. Rasanya sesuatu di bawah sana ikut berdenyut. Zoya resah merasakan itu. Gama memang semeresahkan itu hingga dia tak tahan dan mengeluarkan desahan yang membuat Gama tersenyum nakal. "Kenapa, Sayang?" bisik Gama. "Kak tangan kamu!" Zoya mendorong tangan Gama agar tak merai