Zoya tak menyangka jika Zein masih saja dendam dengannya. Gemas sekali tapi dia mencoba tak perduli. Beruntung ada Gama yang selalu menjadi garda terdepan untuknya. Kali ini Zoya pun merasa sangat di lindungi oleh pria ini. Sangat dan sangat dilindungi melebihi dari sebelumnya. "Kak kamu tau dari mana tentang itu?" tanya Zoya yang masih menatap Gama dengan serius. "Aku tau sejak kemarin. Mungkin nanti aku akan menemuinya. Aku pun tidak bisa hanya diam saja. Dia terlalu menganggu dan tak bisa berpikir dewasa. Masih sangat kekanakan sekali." "Apa yang akan kamu lakukan, Kak? Aku tidak mau kamu dalam bahaya. Sudah biarkan saja! Jika lelah juga dia akan berhenti sendiri." "Kamu pikir anak kecil? Dia akan semakin menjadi jika didiamkan begitu. Aku hanya ingin bicara, kamu tidak perlu mengkhawatirkanku!" Gama mengecup bibir Zoya dengan lembut dan merangkum kedua pipi Zoya. Tatapan pria itu begitu dalam dan tangan Zoya pun meraih kedua tangan Gama yang masih berada di pipinya.
"Kak.. " Lirih, sangat lirih dan tangan Zoya menahan Gama agar tidak melakukan hal yang akan merugikan. Sudah cukup berkelahi setiap kali bertemu dengan Zein hingga wajah lebam. Kali ini Zoya tak akan membiarkan itu terjadi. "Tenang saja, Sayang!" bisik Gama dan semakin mengeratkan genggaman tangan Zoya yang tadi hampir ingin dilepas oleh Zoya. "Blak-blakan sekali anda menyukai mantan istri saya. Memang Pak Gama ini sukanya dengan barang bekas ya tapi tidak mau mengakui kalau anda itu doyan sekali. Bagaimana rasanya bekas saya? Apa nikmat? Atau mau threesome sekalian agar lebih menantang? Kalau berdua sudah biasa bukan? Bertiga akan lebih terasa nikmat dan memuaskan." "Jangan banyak bicara kamu, Zein! Ada urusan apa kamu kesini? Barang yang kamu anggap bekas ini justru sudah membuatmu menyesal karena dia bukan barang bekas biasa tapi barang bekas yang mahal dan berkelas," sahut Gama. Rahang pria itu terlihat mengeras dan Zoya tau jika Gama emosi mendengar ucapan Zein. Zoy
"Maksudmu apa, Kak?" tanya Zoya tak mengerti dan Gama hanya tersenyum tipis mendengar itu. Gama kembali membuka mulutnya meminta Zoya menyuapinya lagi. Zoya pun mengangguk kemudian memberikan lagi suapan untuk Gama. Sakit tapi Gama begitu lahap. Satu mangkuk tapi Zoya masih bingung dengan apa yang Gama maksud. "Minum obatnya dulu, Kak. Setelah itu aku pulang ya. Kamu aku tinggal nggak apa-apa 'kan?" tanya Zoya pada Gama yang menggelengkan kepala. Zoya lega melihat itu. Dia bisa pulang dan beristirahat di rumah. Gama tak mempersulitnya. Toh sehabis minum obat, pria itu pasti segera terlelap. "Tidak mau ditinggal Sayang." "Eh aku kira nggak apa-apa aku tinggal pulang. Aku tidak janji bisa tidur dengan nyenyak di sini, Kak. Ijinkan aku untuk pulang ya," pinta Zoya dan Gama kembali menggelengkan kepalanya. Pria itu meraih tangannya dengan menatap begitu dalam. "Kamu bisa tidur di sini denganku, Sayang. Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendiri. Ini sudah malam dan sa
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Gama tidur bersama. Hal yang tak pernah dibayangkan apalagi terpikirkan. Mereka saling berpelukan dan saling merasakan kehangatan malam seperti tanpa beban. Malam ini pun Gama sama sekali tak menunjukkan sisi liarnya. Sebenarnya Zoya tau jika pria itu bereaksi. Saat memeluk tak sengaja dia merasakan ada yang mengeras di bawah sana tapi Zoya berpura-pura tak tau saja. Wajar sebenarnya karena mereka lawan jenis yang saling mencintai. Normal Gama menginginkan lebih tapi sebisa mungkin Zoya tak memancing dengan membahas itu. Dia mencoba untuk tidur meskipun di awal agak sedikit gelisah hingga sulit terlelap. Namun sentuhan lembut Gama di punggungnya dan dekapan hangat itu mampu membuatnya nyaman hingga tak sadar jika hari beranjak pagi. Berbeda dengan mereka yang begitu saling mengasihi. Di suatu ruangan Zein tengah mengamuk dan berteriak karena dia berhasil diringkus polisi karena tuduhan penganiayaan. Kesialan yang datang karena ke
Bohong jika Zoya mengatakan tidak padahal nyatanya dia mengagumi milik Gama. Bahkan darah Zoya terasa mengalir sangat deras hingga debaran jantungnya tak dapat ia kendalikan. Zoya menelan salivanya. Ini saat dia harus mengeluarkan keahliannya untuk memuaskan Gama dari pada harus melakukan lebih. Zoya memang ingin tapi bagaimana jika terjadi sesuatu meskipun Gama sudah mengatakan akan menikahinya. Rasanya Zoya belum lega jika belum benar-benar ada ikatan pernikahan. Seingin-inginnya dia, banyak cara untuk menuntaskan tapi resiko jika sudah melakukan dengan Gama itu sangat besar. Rencana boleh saja tapi bukankah kita hanya bisa berencana tanpa tau hasilnya seperti apa. Haish... Rasanya ini terlalu penuh sekali jika masuk ke dalam mulutnya tetapi Zoya harus menuntaskan inginnya Gama, duda yang memiliki gairah sangat besar. Suara lenguhan dan desahan dari Gama menggema saat sesuatu keluar dan melegakan. Rasanya begitu indah. Kejutan yang tak terduga karena Zoya yang begitu pand
"Apalagi Sayang? Bukan aku tidak sayang pada adikku tapi dia sudah sangat keterlaluan. Kurang apa aku selama ini? Tapi jika dia terus menyakiti orang yang aku sayang. Tak mungkin aku hanya diam." Zoya benar-benar tak menyangka jika Zein masuk penjara. Semudah itu? Gama memang tak bisa dianggap sepele. Gama bisa mudah memenjarakan orang dengan bukti-bukti yang pria itu dapatkan. Gama terlihat tenang, tanpa kita tau pergerakan Gama sangatlah lihai. Tak terlihat saat sedang mencari bukti kesalahan orang tetapi hasil tak main-main. Sekali membuat laporan, orang yang bersangkutan langsung kena pasal. "Kak aku kok jadi ngeri. Bagaimana jika Mas Zein semakin murka dan ingin balas dendam? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Bisa nggak jangan bikin aku khawatir?" "Justru jika manusia seperti Zein dibiarkan saja. Dia akan semakin menjadi Sayang. Biarkan saja dia menikmati hukuman yang ada! Bukankah sudah waktunya kita bahagia?" "Terlalu cepat jika semua orang tau kamu menikahiku, Ka
"Ini berkasnya, Kak!" Zoya meletakkan berkas itu di meja Gama kemudian kembali pamit ke ruangannya. "Aku kembali ke ruanganku ya, Kak." "Buru-buru banget, kamu nggak capek dari tadi kerja. Mau makan di luar?" tanya Gama yang kemudian mengambil berkas yang Zoya berikan. Pria itu mengecek satu persatu lembaran yang sudah Zoya kerjakan. "Laper sich, tapi nanggung banget. Nanti aja dech, Kak." Zoya menolak dan lebih memilih segera kembali ke ruangannya tetapi kembali ditahan oleh Gama yang terlihat gemas mendengar penolakan tersebut. "Kerjaan bisa dilanjut nanti. Kalau nggak mau keluar bisa pesan makan. Aku hubungi Dion dulu." Gama yang hendak mengambil gagang telepon segera ditahan oleh Zoya. "Eh jangan dulu, Kak! Aku aja yang pesan. Mungkin kamu lapar. Biar aku saja, kasihan Pak Dion. Tadi saja dia pusing mikirin kita." "Mikir apa? Bicara apa dia sama kamu?" tanya Gama membuat Zoya menoleh ke arah pria itu. "Jangan posesif gitu! Hanya dia bingung kenapa setelah menikah
Zoya hampir kewalahan mengikuti pergerakan lidah Gama yang begitu nakal. Agaknya Gama tak sabaran. Begitu menggoyang dan mengabsen tanpa terlewatkan. Zoya begitu sulit mengimbangi, sepertinya nanti malam dia akan habis di tangan Gama. Masih sangat ingat betul, bagaimana rasanya setelah bermain dengan Gama kala itu. Sangat berbeda sekali saat dia bersama Zein. Berjalan saja rasanya sangat mengganjal seperti ada yang tertinggal di bawah sana. Apa malam ini pun ia akan merasakan hal yang luar biasa? Mendadak Zoya merinding sendiri memikirkan itu. Tubuhnya tiba-tiba geli akan sentuhan tangan nakal Gama. "Kak!" pekik Zoya saat ia merasakan tangan besar itu meraih sesuatu yang sangat sensitif milik Zoya. Rasanya sesuatu di bawah sana ikut berdenyut. Zoya resah merasakan itu. Gama memang semeresahkan itu hingga dia tak tahan dan mengeluarkan desahan yang membuat Gama tersenyum nakal. "Kenapa, Sayang?" bisik Gama. "Kak tangan kamu!" Zoya mendorong tangan Gama agar tak mera
Permintaan Zoya tak diabaikan begitu saja oleh Gama. Usai mengatakan demikian, Zoya melihat Gama begitu sibuk sekali menghubungi seseorang. Samar terdengar, Gama meminta orang tersebut untuk mencarikan rumah untuk mereka tinggal. Zoya berpura-pura tidur saja padahal dia mendengar apa saja yang Gama katakan. Dalam hati Zoya merasa Gama sangat menyayanginya. Padahal Zoya sempat tidak yakin Gama mau, mengingat sebelumnya pun Gama menolak. Beberapa hari di rumah sakit, kini tiba saatnya Zoya diperbolehkan pulang oleh dokter. Senang tentunya karena sudah tidak betah lagi berlama-lama di sana. Kasihan Gama juga yang lelah menunggu dan mengurusnya. "Kita pulang kemana, Mas? Apartemen?" tanya Zoya sasaat setelah mereka sudah masuk mobil. Namun saat Zoya memperhatikan Gama, terlihat pria itu hanya diam tak minat menjawab. Jelas hal itu membuat Zoya pun penasaran dan geregetan juga pastinya. Ada apa dengan suaminya? "Mas! Kok kamu diam aja? Lagi mikirin apa? Bingung ya mau ajak ak
"Mas... " "Ya Tuhan... Sayang kamu sudah sadar?" tanya Gama kemudian beranjak dari sana. Zoya tersenyum tipis mendengar itu. Zoya tersenyum merasakan Gama yang memeluk erat dan tiba-tiba Zoya merasakan pundaknya basah. Apa itu karena air mata Gama? Ya, pria itu kembali menangis. Zoya sampai tak habis pikir, ternyata Gama bisa menangis juga dan yang ditangisi adalah dirinya. "Mas pelan-pelan sakit!" keluh Zoya karena Gama yang yang memeluknya semakin erat. Rasanya tubuh seperti dihimpit sesuatu. Mungkin efek kecelakaan juga membuat Zoya merasakan tubuhnya sakit semua. "Eh iya maaf Sayang. Maaf ya, aku sangat bersyukur kamu sudah bangun. Aku takut, Zoya." Gama tertunduk mengecup tangan Zoya. Tangan pria itu mengusap air mata sebelum kembali menatap Zoya. Zoya mengerti, Gama pasti malu terlihat sedih hingga menangis, tapi Zoya paham, laki-laki tak akan sampai seperti ini jika tidak dengan tulus mencintai. "Mas apa kamu setakut itu?" "Apa yang kamu pikirkan Sayang? M
Yang katanya sudah keluar dari masa kritis itu tidak serta merta membuat Zoya segera sadarkan diri. Sudah dua hari masih belum ada perkembangan yang signifikan. Zoya belum terjaga dari tidur panjangnya. Gama pun masih setia menunggu di sana. Sama sekali Gama tidak meninggalkan Zoya barang sekejap pun. Bahkan Gama juga tidak makan selama dua hari ini. Mana selera makan di saat hati gundah gulana begini. Bisa masuk air saja sudah sangat bersyukur sekali. Zoya sakit dan Gama merasakan kesakitan yang sama. Hanya saja bukan fisik, karena lapar masih bisa di tahan melainkan hati yang sangat geram dengan apa yang telah terjadi. Mengapa harus Zoya yang menjadi korban? Setiap harinya Asisten Dion datang membawakan makanan dan itu hanya dibiarkan oleh Gama di atas meja sofa tanpa minat membukanya hingga terpaksa Asisten Dion buang setelah keesokan harinya. Gama diam di samping Zoya dengan terus memperhatikan sang istri yang terbaring lemas.. "Kapan kamu bangun, Sayang? Apa kamu tidak
"Cepat cari pendonor darah untuk istriku, Dion! Jangan sampai istriku tidak bisa diselamatkan! Kalau perlu bayar mereka dengan uang yang banyak untuk setiap tetes darah yang mereka sumbangkan!" perintah Gama setelah Dokter kembali ke ruangan beliau. Gama tak ingin menyalahkan pihak rumah sakit yang sedang kehabisan stok darah. Namun Gama menyesalkan itu harus terjadi karena Zoya sangat membutuhkan saat ini. Bagaimana jika terlambat? Pikiran Gama sudah diisi dengan hal buruk tentang Zoya terlebih dokter mengatakan jika Zoya kritis saat ini. "Baik Pak." Dion pun segera pergi dari sana untuk mencari pendonor darah yang sesuai dengan Zoya. Urgent dan harus bergerak cepat. Jika tidak, sudah pasti Dion pun mendapatkan amukan dari Gama. Gama belum diperbolehkan untuk menjenguk karena Zoya yang masih mendapatkan penanganan serius oleh dokter lainnya. Sementara di ruangan itu masuk satu korban lainnya yaitu Amanda yang baru saja tiba tetapi Gama tidak perduli akan wanita itu. Dia
"Zoya kamu gila!" teriak Amanda saat tubuhnya terpelanting dan beruntungnya dia masih kuat berpegangan pada pintu mobil. Semua itu karena tendangan dari Zoya yang mengakibatkan Amanda terpental hampir keluar padahal mobil masih melaju kencang. "Jika kegilaanmu membuat kamu bisa mencelakaiku sesuka hati, kenapa aku tidak mengikuti? Dan akan aku celakai kamu juga hingga kamu tidak lagi bisa menggangguku!" Pintu mobil semakin terbuka dan Amanda hampir saja jatuh jika kakinya tidak wanita itu jepit kan pada jok mobil, sedangkan Zoya mengambil alih kemudi dengan membelokkan ketepian. Mobil menabrak pengendara lain hingga benturan itu membuat Amanda tak mampu bertahan dan terseret ke jalan. CKIIIIIITTTT BRAAKK Suara sirine mobil polisi pun begitu terdengar kencang disusul dengan ambulan yang mendekati. Zoya sudah tak sadarkan diri akibat benturan kencang di kepalanya sedangkan Amanda terpental keluar dari mobil hingga membuat wanita itu terluka parah. Kecelakaan ini jel
Gama dibuat kalang kabut setelah tau yang membawa Zoya pergi adalah Amanda. Bagaimana bisa? Bukankah Amanda sudah ia jebloskan ke dalam penjara? Sial! "Siapa yang mengeluarkan Amanda? Wanita itu tidak mungkin bisa bebas jika tidak ada yang menebusnya." "Maaf Pak, saya kurang tau. Mungkin karena sibuk dengan masalah yang ada membuat kita juga kecolongan masalah Amanda. Apa mungkin Zein yang sudah membebaskan, Pak? Mereka dekat. Bisa jadi mereka berdua bersekongkol untuk membalas dendam." "Berengsek! Cepat cari wanita itu sampai ketemu. Dia sudah membawa istriku, Dion! Zoya terluka saat ini," perintah Gama. Pria itu rasanya ingin mencekik Amanda hidup-hidup. Terlebih setelah tau Amanda sudah melukai istrinya. Gama sudah tau semua itu setelah tadi sempat pulang dan melihat CCTV di rumah. Tampak jelas apa yang Zoya dan Amanda perdebatkan sebelumnya hingga terjadi aksi jambak-jambakan dan berujung Zoya kalah melawan Amanda. Wanita gila itu sungguh keterlaluan. Gama geram sen
"Amanda?" Zoya tak menyangka jika Amanda ada di rumahnya. Rumah sang suami yang mana adalah mantan suami Amanda. Ya, bukannya wanita itu sedang dipenjara? Kenapa sekarang bisa bebas berada di rumahnya? Zoya berbalik melihat tak ada lagi Gama di sana. Suaminya sudah pergi menuju kantor polisi untuk kasus Pak Iwan. Sementara dia yang tadi rasanya ingin ikut justru terjebak di rumah bersama Amanda. Hati Zoya tak enak. Dia yakin jika Amanda memiliki niat tidak baik padanya. Terlebih sebelumnya Zoya pun pernah dijebak hingga Gama balas dendam dan memasukkan Amanda ke dalam penjara. "Kenapa? Takut sama aku? Bukankah kita bersahabat?" tanya Amanda dengan seringai tipis di wajahnya. "Tidak ada sahabat yang tega menyakiti! Kamu bukan sahabat aku, Amanda!" sahut Zoya dengan lantang. Dia berusaha untuk bisa membela diri dan tidak takut dengan Amanda. Zoya melihat ke sekitar dan tidak ada Bibi di sana. Apa mungkin Bibi pulang? Astaga... Berarti hanya dia saja dan juga wanita gil
Seringai tipis terlihat jelas dari wajah Pak Iwan. Mendengar apa yang Zoya katakan tentu Gama tidak bisa mengabaikan begitu saja. Pria itu segera memanggil Iwan tapi sayangnya orang itu sudah melarikan diri dan saat ini Pak Iwan sudah membawa kabur banyak uang yang tentunya membuat Gama murka. "Pak Iwan diduga sudah mengambil banyak uang perusahaan, Pak." Asisten Dion yang ikut dipanggil pun segera memberikan laporan itu pada Gama. "Brengsek!" sentak Gama hingga membuat Zoya terjingkat mendengarnya. "Sudah aku katakan padamu, Dion. Awasi Iwan! Aku sudah mulai curiga dari beberapa hari yang lalu. Kamu lalai, Dion! Saya nggak mau tau, sekarang juga kamu harus berhasil meringkus Iwan atau kamu saya pecat tanpa pesangon!" Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan dan Gama yang sangat royal pada orang kepercayaannya, tentu saja Dion tidak mungkin mau dipecat hanya karena Iwan. Zoya memperhatikan gelagat Dion yang ketakutan. Banar saja, Asisten Dion segera pergi untuk mengurus Iw
"Sialan kamu Gama!" umpat Zein dan tak lama polisi pun kembali meminta Zein untuk masuk karena jam besuk sudah selesai. Gama sendiri sedang berada di lantai atas untuk diperiksa atas kasus yang ia laporkan. Semua sudah Gama persiapkan serta bukti kecurangan Zein yang akan semakin menjerat adik tirinya mendekam di sana lebih lama. Gama juga melaporkan beberapa orang dalam yang bekerja sama dengan Zein hingga mereka pun dipanggil untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. "Terimakasih atas kerja samanya, Pak. Akan kami usut tuntas karena ini sudah sangat melanggar. Kami pun akan sangat tegas pada oknum yang terkait." Mereka pun saling berjabat tangan kemudian Gama pergi dari sana diikuti oleh Dion yang segera membukakan pintu mobil untuknya. "Langsung ke kantor!" "Baik Pak." Asisten Dion pun segera melajukan mobilnya melesat dari sana. Hari ini cukup membuat mereka lelah. Banyak urusan yang harus mereka kerjakan dengan cepat karena lengah dikit, perusahaan jatuh ke t