Zoya bingung sendiri menghadapi Gama yang katanya sudah mencintainya. Sejak kapan? Apa waktu bersama membuat mereka terbiasa dan mulai tumbuh rasa. Zoya menggelengkan kepalanya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. Niat ingin merampungkan pekerjaannya malah jadi memikirkan sikap Gama dan ucapan Gama tadi di mobil. Zoya tentu saja berkesan dengan ucapan Gama. Wanita mana yang tak kebawa perasaan, tapi hati kecilnya belum mau terlibat jauh dengan cinta. Kebersamaan mereka membuatnya ketergantungan tapi untuk cinta, Zoya masih sangat takut. Ada hal yang menyakitkan yang membuatnya enggan mengulangi. Namun Zoya sadar, tak mungkin tak melibatkan hati. Sekuat-kuatnya dia melawan, jika Gama terus bersikap baik dan manis padanya. Tak mungkin dia bisa bertahan. Hanya saja untuk sekarang, Zoya belum merasakan ada cinta untuk Gama selain rasa kagum karena kebaikan pria itu. Entah belum ada atau belum menyadari, tapi pikiran Zoya terlalu banyak yang harus dipertimbangkan dan
Zoya pun menerima suapan demi suapan yang Gama berikan. Wajahnya merona melihat tatapan Gama yang begitu lekat padanya dan Gama pun sangat perhatian. Gama terlihat begitu telaten mengurusnya bahkan sisa makanannya dimakan oleh Gama hingga membuat Zoya tercengang melihat itu. "Kak jangan dimakan! Ini bekas aku loh." "Liur kamu saja aku tidak masalah. Lagian mubazir jika di buang, Zoya." Enteng sekali Gama mengatakan demikian. Zoya yang malu sendiri mendengarnya. "Mau kemana?" tanya Gama saat Zoya hendak beranjak dari sana. "Aku mau ke kamar dulu sebentar, Kak. Kakak selesaikan dulu saja makannya. Zoya mau bersih-bersih." Zoya pun masuk kamar. Sebenernya bukan hanya mandi tapi dia ingin menghindari tatapan Gama yang hangat dan perhatian pria itu yang membuatnya resah. Usai mandi dan mengoleskan obat lagi di tangannya, Zoya pun keluar dari kamar untuk kembali menemui Gama. Terlihat pria itu tengah berada di dapur. Zoya yang penasaran pun segera menghampiri. "Kak j
"Kak... " Kedua mata Zoya mengerjab kemudian perlahan melepaskan diri dari Gama. Tatapan matanya bertemu dengan sapuan hangat dari kedua mata pria itu. "Kenapa, Zoya?" "Aku... " "Hhmm?" "Aku takut tapi aku ingat apa katamu. Aku melawan rasa takut itu. Semalaman aku berusaha untuk tidur. Apa masih ada darah itu di luar, Kak?" tanya Zoya kala teringat akan apa yang ia lihat semalam. Zoya ingin melihat keluar tapi ditahan oleh Gama. "Hentikan! Sudah tidak ada darah di sana. Aku sudah meminta pihak dari apartemen untuk menjagamu dan juga semalam darah itu dibersihkan segera. Maaf jika aku tidak kembali ke sini dan menemanimu, Zoya. Kebetulan semalam badanku kurang vit tapi aku memantau keadaanmu dari sana." Zoya mengangguk paham. "Terimakasih banyak Kak, tapi apa Kakak tau siapa pelakunya? Apa itu Zein? Maaf jika aku selalu merepotkanmu padahal kamu sedang kurang enak badan. Apa sekarang sudah lebih baik, Kak?" tanya Zoya lagi dan dijawab gelengan kepala oleh Gama. "U
Semakin hari semakin tubuhnya mengkhianati hati yang menolak untuk kembali menjalin hubungan. Bukan atas kehendaknya tapi pengkhianatan sungguh masih membekas di jiwa. Bahkan terkadang Zoya masih merasakan sakit atas tamparan dan perlakuan kasar Zein yang kembali masuk dalam. ingatan. Tubuhnya tak bisa menolak saat sentuhan yang Gama berikan semakin membuat tubuhnya merespon dengan baik. Tubuh Zoya menerima dan membalas sentuhan itu hingga tanpa sadar Zoya kembali membalas kecupan mesra Gama untuk yang kedua kalinya. Kecupan yang berawal dari kening dan perlahan turun ke bibirnya yang mungkin sudah menjadi candu untuk pria itu. Terasa hangat dan membuat Zoya semakin tak berdaya. Pagutan Gama membuat syaraf-syarafnya terjaga dan mengajak untuk bisa mengimbangi. Deru nafas pun semakin tak terkendali. Kedua tangan Zoya mencengkeram ujung jas Gama saat gejolak semakin ia rasakan. Lidahnya membalas setiap gerakan lembut Gama hingga suara decapan mulai terdengar manja di tel
Zoya pun mengikuti apa yang Gama perintahkan. Kedua matanya semakin rapat terpejam dan mendadak dia tak merasakan apa-apa. Semua seakan hilang. Rasa yang Gama berikan pun tak lagi ia rasakan. Bayangan akan dirinya yang sendiri membuat batinnya semakin terasa sesak hingga tersiksa. Kebersamaan yang mereka lalui beberapa bulan ini tak bisa dipungkiri jika sudah menimbulkan hal yang biasa hingga tumbuh rasa yang sulit didefinisikan. Zoya meraba tubuhnya dan tak ia rasakan keberadaan Gama yang tadi mulai nakal menyentuh dirinya. Rasa panas itu berangsur normal dan semakin lama semakin dingin. Suhu AC ruangan kembali Zoya rasakan. Hilang, Gama tak ada dan hanya aroma maskulin dari pria itu yang masih tertinggal. Zoya menarik nafas dalam. Dia membayangkan jika benar-benar tak ada Gama. Perlahan kepalanya menggeleng tak mau. Tak mau jika pria itu pergi. Tak bisa ia sendiri, tapi apa itu cinta? Apa dia sudah mulai membuka hati untuk Gama? Cintanya dengan Zein sudah mati sejak melih
Zoya melenguh dan mendesah kala Gama terus saja menyerang leher jenjangnya. Hasrat pria itu agaknya terbakar karena keduanya yang sudah sama-sama dekat. Kedua tangan Zoya meraih rambut Gama dan menjambaknya dengan kuat. Reflek saja karena tubuhnya yang juga sudah serasa panas. Sama-sama sendiri dan sudah lama tak memuaskan diri tentunya mereka sangat ingin. Terlebih Gama yang sudah lama menduda meskipun pria itu hanya mengecup leher Zoya dan menggoda dengan lidah yang tak bisa diam, tapi Zoya yakin Gama sudah bergairah saat ini. "Kak kamu... " Zoya merasakan benda keras yang begitu mendesak. Ya, Gama sudah mulai on. Zoya yang menahan diri agar tidak melakukan lebih pun kalang kabut sendiri karena Gama semakin menjadi. Tangan pria itu sudah tak bisa diam dan lumrahnya seorang pria pasti akan mengincar benda kesukaannya dan itu jelas semakin membuat Gama tegang. "Kak sudah... Ssssttt... " Zoya kembali mendongak. Hisapan itu mampu membuat tubuhnya menggeliat seolah kena set
Gama menatap nyalang Dito yang masuk ke ruangannya. Tak biasa-biasanya dia begitu, entah mengapa menyangkut Zoya, Gama tak bisa santai. Padahal jelas tadi Dito dan Zoya hanya berkomunikasi tak lebih dari dua menit tapi rasanya sudah membuat Gama ingin menggaruk wajah Dito. Terlebih Zoya tak membalas pesannya. Entah Zoya sengaja atau memang tak suka dia berubah posesif seperti ini. Namun ini begitu saja dia rasakan setelah cintanya mulai berbalas. "Ada apa?" tanya Gama. Dia sadar suaranya terdengar membuat salah paham dan sikapnya dingin menatap Dito yang kini pun memperhatikan. Tatapan Dito seolah sedang mengingat sesuatu dan mencocokologi apa yang dilihat hingga kedua mata Dito menyipit menatap Gama. "Ada apa, Dito? Kenapa kamu melihatku seperti itu? Ada yang salah denganku?" tanya Gama lagi. Dia cukup geregetan dengan Dito yang begitu aneh dalam memperhatikannya. "Dito!" "Eh iya maaf, Pak. Saya... " Dito menggaruk kepalanya. Dito terlihat bingung untuk menjelask
"Aku ajak ke rumah nggak mau," ujar Gama kemudian membuka pintu. "Apa sich, Kak? Mau apa? Jangan kemana-mana pikirannya! Aku marah nich!" sahut Zoya yang lama-lama geregetan juga. Ajakan Gama membuatnya negatif thinking saja. "Apa sich, Sayang? Pikiran kamu saja yang kemana-mana. Aku hanya mengajak kamu main ke rumah. Ada Bibi juga di rumah. Mau apa memangnya? Barang-barang kamu masih banyak di rumahku. Apa kamu tidak ingin membereskannya dari kamar Zein atau mau dipindahkan ke kamarku juga boleh?" tanya Gama yang kemudian duduk di sofa. Keduanya sampai di apartemen beberapa menit perjalanan dari kantor. Zoya menolak keras ajakan Gama yang tadi sangat ingin sekali dirinya berkunjung ke rumah pria itu. "Aku sudah tidak minat dengan barang-barangku yang masih tertinggal, Kak. Kamu bisa membuangnya saja. Terlalu buruk kenangan di sana." Zoya melangkah menuju dapur untuk membuatkan Gama kopi. "Jadi kamu tidak mau berkunjung ke rumahku lagi?" "Tidak minat juga. Rumah itu me
"Sayang.... " "Keluar, Mas! Kamu tidak tuli 'kan?" tanya Zoya dengan sangat jengkel sekali. Rasanya ingin getok kapala Gama. Hawanya kok ya kesal. Tatapan mata Zoya tajam pada Gama yang memperhatikan dengan begitu intens. "Kenapa, Yank?" tanya Gama. "Keluar! Nggak ada apa-apa. Sana!" Zoya mendorong tubuh Gama yang tidak mau mendengarkan. Sewot sekali Zoya tetapi sayangnya Gama tidak mau menyerah. Gama tidak kunjung beranjak dari sana. Tidak mau juga pergi dari samping Zoya. Tidak mau sama sekali meninggalkan Zoya yang saat ini tengah merajuk. Mimpinya Zoya bangun, mereka akan melepaskan rindu. Namun sayangnya tidak begitu. Keduanya malah musuhan setelah Zoya sadar. "Jangan gini, Sayang! Aku di sini aja. Kamu kalau main tidur silahkan! Jangan banyak yang dipikirin biar kamu cepat sembuh. Kamu terlalu overthinking Sayang. Aku. temani ya." Gama mengusap kepala Zoya. Pria itu tidak sama sekali membiarkan Zoya sendirian. "Mas kamu tuh kenapa sich? Nggak ngerti banget tau
Lama Dokter memeriksa sampai dimana ruangan itu kembali terbuka. Gama oun bergegas beranjak dari sana kemudian mendekati dokter tersebut. "Bagaimana dengan istri saya, Dok?" tanya Gama dengan wajah yang sangat khawatir sekali. Namun sebisa mungkin berpikir positif akan semua yang terjadi. Sudah cukup dia merutuki dirinya sendiri tadi. "Kondisinya sudah kembali stabil. Jangan dulu diajak bicara banyak dan juga jangan biarkan lama-lama berinteraksi karena masih dalam tahap pemulihan. Pasien masih harus banyak beristirahat." "Baik Dok. Apa saya sudah boleh masuk? Saya ingin bertemu, Dok." "Silahkan tapi pasien belum ingin bertemu. Kebetulan sudah kembali sadar dan mengatakan pada saya jika ingin lebih dulu sendiri. Jadi saya sarankan jangan dulu diganggu! Ini semua demi kesehatan pasien. Nanti jika sudah lebih baik lagi, Bapak bisa kembali menjenguk." Gama menghela nafas berat mendengar itu. Jadi tidak boleh dulu bertemu? Padahal ingin sekali dia menjelaskan dan memeluk Zoy
"Aku tidak keberatan, Pah. Aku akan ikut kemana pun suamiku berada. Tidak usah memikirkan aku. Lagi pula Zoya sedang sakit, tidak mungkin aku bersenang-senang di saat dia sedang seperti ini." "Syukurlah, ya sudah kami pamit. Jaga dirimu baik-baik! Papah selalu merindukanmu, Nak." "Iya, Pah." Mereka pun pergi, Gama dan Sena masih di sana sampai ketiga keluarga mereka sudah tak lagi terlihat. Gama diam memperhatikan kemudian menoleh ke arah Asisten Dito yang terdiam si belakangnya. "Bawa pulang dan pasung dia!" DEG. "Kak!" Sena hendak meraih tangan Gama tetapi Asisten Dito lebih dulu menangkap tubuh wanita itu. "Baik, Tuan." "Lepaskan aku!" pinta Sena dengan wajah panik. "Kak aku tidak gila kenapa kamu memasungkku?" seru Sena menghentikan langkah Gama yang hendak masuk ke dalam. "Siapa bilang kamu tidak gila? Orang gila yang akan menyakiti tanpa berpikir panjang karena dia tidak punya otak!" sahut Gama kemudian masuk kembali ke ruangan Zoya sedangkan Sena kemba
"Oh tidak, aku hanya bertanya saja Kak. Hanya ingin tau. Tidak lebih," jawab Sena kemudian menoleh kembali ke arah Zoya. "Jangan terlalu lama memandang istriku!" ujar Gama memperingati. "Namanya Dito, sudah berapa kali kamu dibuat keluar olehnya? Senang?" tanya Gama membuat Sena kembali menoleh ke arahnya. "Kak aku... " "Kamu itu wanita gatal, Sena! Dengan siapapun kamu mau. Jangan lagi berharap denganku! Aku tidak akn sudi melakukan lebih untukmu! Berani kamu fitnah aku setelah akhirnya kamu hamil, maka jangan salahkan aku jika aku sendiri yang akan mematahkan lehermu!" Seolah sudah mengerti ujungnya, Gama sudah lebih dulu antisipasi. Dia tau jika Sena itu licik. Bisa jadi hamil dengan Dito lalu meminta tanggung jawab dengannya. "Kak aku tidak berpikiran sampai sana!" "Bagus! karena aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu! Jadi sebelum kamu berbuat curang, sudah lebih dulu aku lawan!" sahut Gama kemudian pintu terbuka dan masuklah Dito. "Maaf Tuan, aada kelua
"Ayo mandi! Pak Gama meminta kamu untuk datang ke rumah sakit." Dito mendekati Sena setelah panggilan dari atasannya dimatikan. Langkahnya membawa pada wanita itu yang bergelung selimut di lantai. Masih tanpa busana jika dilepas selimutnya. Dito pun membongkar selimut itu membuat tubuh Sena terguling sedikit menjauh. "Kamu ini!" pekik Sena tidak terima. "Tidak mungkin kamu ke rumah sakit dengan menggunakan selimut seperti ini, atau mau telanjang saja, hhm?" tanya Dito santai tapi dia bergerak membuka ikatan di kaki Sena dan membantu wanita itu untuk beranjak dari sana. "Mau apa?" tanya Sena dengan selidik. "Mau memandikan kamu," jawab Dito kemudian meraih lengan Sena agar segera masuk ke dalam kamar mandi. "Lepas! Aku bisa sendiri!" sentai Sena dengan suara bernada kesal. Sena benar-benar masih tidak terima karena semalam dia sempat dibuat tersiksa oleh Dito. "Aku nggak mau kamu siksa lagi! Aku tau di dalam sana pasti kamu akan kembali menyentuhku!" "Percaya di
Sejenak Dito membiarkan dulu Sena menggatal dengan miliknya. Tak juga melepaskan tangannya yang kini masih menempel mengerjai Sena. "Buka Kak!" "Apanya?" tanya Dito yang kini menunduk memperhatikan Sena. Wanita itu sangat liar dan tatapannya sangat menggoda. Belum lagi lidahnya yang menjulur membuat Dito semakin ingin merasakannya. "Celananya." Dito tersenyum miring mendengar itu kemudian meraih pipi Sena dan mengapitnya hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan. "Kamu minta milikku, kamu mengemis padaku hanya ingin dipuaskan oleh Kacung sepertiku? Sayangnya Kacung ini tidak suka denganmu. Wanita jahat yang tega menyakiti wanita lain. Kacung ini lebih suka dengan wanita baik-baik yang masih lugu, sekali pun kamu sangat menggoda imanku!" "Jangan sok jual mahal! Milikmu sudah berdiri dengan kencang." "Ya, aku sudah katakan tadi. Jika aku tergoda denganmu, tapi aku tidak akan menyentuhmu lebih dalam jika kamu belum mengakui kesalahanmu di depan keluar dan orang b
"Jangan!" Sena kembali melarang tetapi Dito membuat wanita itu semakin belingsatan dan tak bisa diam. Sena kewalahan merasakan gejolak yang menggebu meminta dituntaskan. Dito benar-benar gila malam ini. Sisi kalemnya tertutup karena Sena yang kurang ajar dan licik tentunya. Namun sebagai pria normal tentu dia merasakan tubuhnya bereaksi dengan sempurna. Hanya saja Dito mampu menahan dan terus saja dia mengerjai Sena. Tangan Dito bergerak semakin menyiksa dan lidahnya ikut serta memberikan sapuan di tubuh Sena yang membuat wanita itu semakin bergairah. "Ampun, Kacung!" "Panggil namaku dengan benar! Aku bukan kacungmu!" sahut Dito dengan suara mendesis pada Sena yang kini sudah tak lagi mengenakan apapun. Dito sempat terpanah kembali melihat bagian inti Sena yang mulus terurus. Sepertinya memang Sena merawatnya dengan baik sama seperti Sena merawat tubuhnya hingga terlihat seksi begini. "Aku nggak kuat! Sudah! Jangan buat aku... " "Apa? Sange? Kamu sange parah? M
"Kamu pikir aku perempuan gampangan?" sahut Sena tak terima dengan apa yang Dito katakan. "Bukannya seperti itu? Kamu gampang terpikat hanya karena paras yang tampan hingga membuat kamu menjadi gila dan menyakiti sesama wanita." "Tapi bukan kamu yang hanya kacung!" sahut Sena menciptakan seringai tipis di wajah Dito. Begini membuat penilaian Dito pada Sena bertambah semakin buruk saja. "Aku kacung tapi aku bukan kriminal seperti kamu! Sekarang waktunya mandi, sudah selesai makannya, Njing?" tanya Dito yang semakin membuat Sena marah. "Sialand kamu! Pergi kamu dari sini! Aku bukan binatang!" sentak Sena tidak terima. Tatapan wanita itu semakin tajam pada Dito yang tertawa melihat kemarahan Sena dengan mulut wanita itu yang kotor. "Ya kamu memang bukan binatang tapi kelakuan kamu sudah seperti binatang yang bisa mencabik sesamanya. Mandi sekarang!" Dito tidak minat walaupun Gama memberikannya kebebasan. Awalnya dia terpesona melihat Sena apalagi postur tubuh wanita itu
"Akh! Ampun Kak!" teriak Sena setelah ikat pinggang Gama melingkar di kedua tangan wanita itu dan Gama menariknya hingga tangan Sena terasa sakit. Tak cukup sampai di situ, Gama pun menarik kedua kaki Sena dan mengikatnya dengan dasi yang ia kenakan hingga wanita itu tidak lagi bisa melakukan apapun. "Kamu pikir aku akan sudi menyentuhmu lebih dalam lagi, hmm? Menyentuhmu sama saja aku menyentuh seorang pembunuh. Najis!" ujar Gama dengan sinis. Tangan Gama mengalir kedua pipi Sena dan menariknya hingga wanita itu mendongak kesakitan. Kedua mata Sena pun basah dan menggeleng meminta dilepaskan. "Kak aku mohon, lepaskan aku! Ampun Kak." "Permohonanmu sudah terlambat Sena. Aku akan menyiksamu sebelum memasukkanmu ke dalam penjara. Kamu, tanganmu, dan otakmu, aku pastikan akan lumpuh!" Kedua mata Sena terbelalak mendengar itu. Gurat ketakutan semakin nyata terlihat. Sena kembali menggelengkan kepala dan mencoba memberontak. tetapi tidak bisa. Gama meraih selimut dan m