2005
"anak anda terkena leukemia stadium satu. Kami akan memberikan antibiotik sebagai tahapan awal. Kita akan menunggu perkembangan untuk pengobatan selanjutnya." dokter itu menutup map-nya dan melepas kacamatanya. Ia menatap sekilas pasien dihadapannya yang bergetar cemas dan ketakutan.
"Saya nggak mau kehilangan anak sulung saya. Berapapun akan saya berikan, asalkan dokter melakukan segala cara agar anak saya bisa sembuh" Vita pasrah, menjambak rambutnya pelan dan menyembunyikan wajahnya di pundak suaminya, Doni.
"Anak kalian sangat kuat dan semangat dalam hidupnya. Saya yakin Rania bisa melewatinya" Ucap dokter seperti biasa guna menenangkan pasiennya.
Doni menghela nafas dan menggenggam tangan istrinya itu.
______________________________
(2015)
"Indonesia tanah air ku, tanah tumpah darahku....."
Semua siswa berbaris dan hormat pada sang merah putih, menyanyikan lagu kebangsaan dengan khidmah kecuali anak yang berada pada barisan paling belakang. Rusuh. Pengacau.
Setelah upacara selesai, siswa baru berkumpul ke aula untuk memulai Masa Orientasi Sekolah.
Rania dan sahabatnya Desfa duduk di kursi paling depan. Mereka tampak antusias untuk memulai masa putih abu-abu mereka."kita saksikan, Gamalio Keano. Siswa berprestasi yang menjadi bintang di sekolah kita dengan nilai rata-rata 4,0 dari 4,0 nilai rata rata maximum! Kita beri tepuk tangan yang meriah!"
Sosok yang ditunggu semua orang yang penasaran bagaimana rupa si jenius yang dimaksud. Mulai dari langkah kakinya yang terdengar, semua orang langsung menghadap ke sumber suara tersebut.
Tuk...tuk...tuk....
Sosok itu nampak megah diikuti langkah kakinya. Wajahnya bagaikan dewa surgawi yang di kelilingi cahaya. Saat memegang microphone lelaki itu bagaikan idola yang hendak bernyanyi, suaranya begitu merdu ketika mengucapkan satu per satu kata.
"Terimakasih saya ucapakan kepada.......Sekian dari saya selamat menempuh menjadi siswa putih abu-abu." ucapnya mengakhiri pembicaraannya.
Rania tak sadar kalau pembicaraan telah usai karena ia terlalu menikmati sosok yang menjadi pusat perhatian yang menjelma menjadi idola semua wanita disini.
"Pokoknya aku mau sama dia. Inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?" Rania meletakan tangannya di dadanya, menghela nafas tak menyangka kalau jantungnya berdebar begitu cepat.
"Lebay!!" ledek sahabatnya itu.
Rania mengerucutkan bibirnya setelah mendengar ledekan sahabatnya itu, namun tetap saja akhirnya ia tak bisa menahan tawa.
"Halo, namaku Devi. Kita satu kelas 'kan? Tadi aku perhatikan kalian keluar dari ruang kelas sepuluh A" seseorang datang memberhentikan tawa Rania yang begitu menggelegar memenuhi aula.
"Oh iya, salam kenal. Mau gabung sama kami?" tawar Rania.
Devi mengangguk dan mereka pun mengobrol bertiga dan inti pembicaraan mereka hanya mengenai cowok tampan jenius itu.
"Gamalio itu tetangga aku" ucap Devi membuat Rania dan Desfa melongo.
"Nggak salah tuh?!!" Desfa dan Rania mengucap bersamaan.
Devi menggeleng.
"Berarti kalian dekat dong!" Rania menggoyangkan kedua bahu Devi saking senangnya.
"Kalau gitu kamu harus bantuin aku supaya bisa dekat sama Gamalio Keano!!!" Teriaknya.
Desfa menyumpal mulut Rania dengan tangannya, sungguh suara Rania kini membuat nya malu. Bayangkan saja kalian adalah anak baru tetapi ke-alay-an sudah tampak dan dikenali banyak orang.
"Asin!" wajah Rania berubah masam, namun mengingat dia akan berdekatan dengan Gamalio ia tersenyum kembali.
Ketua osis datang dengan pembesar suara mengumumkan bahwa siswa harus berkumpul bersama wali kelas mereka. Untung saja Wali kelas mereka Ramah dan baik, sehingga memaklumi kelakuan Rania dan kawan kawannya yang selalu bercanda setiap menanggapi sesuatu.
Tak terasa waktu sudah habis. Siswa MOS harus kembali kerumah masing-masing, berbeda dengan Rania yang harus menunggu jemputan untuk pergi ke rumah sakit.
"Aku ikut ya!" rengek Desfa sahabatnya itu.
"Antre-nya lama. Kamu bosan nanti!"
"Pokoknya ikut! Aku mau nginap dirumah kamu!"
Karena paksaan akhirnya Desfa ikut bersama Rania. Beruntung sekali ia memiliki sahabat seperti Desfa, mau menemaninya agar tidak bosan berjuang dan semangat untuk sembuh.
Rania dapat nomor antrean ke 38, terkadang ia harus mendahulukan seseorang yang kondisinya lebih buruk dari-nya sehingga memakan waktu cukup lama untuk menunggu.
"nomor 38"
Huft...
Akhirnya...
Batin Rania
Rania memasuki ruangan dokter yang sudah ia kenal sejak kecil. Itulah mengapa Rania begitu akrab dengan dokter Rio.
"sejauh ini kondisi kamu masih normal dan ini sungguh keajaiban karena kamu bisa bertahan seperti ini. Saya salut!" Dokter Rio tampak membuka selembar kertas yang menunjukan grafik medis Rania.
"makasih, dok!"
"Kamu harus makan obatnya dengan teratur!"
"Oke!!"
Rania keluar dari ruangan tersebut dan berpapasan dengan seseorang yang tak asing baginya sedang mendorong kursi roda untuk wanita parubaya.
"Tunggu, kayak kenal!" Rania berbalik dan menghampiri cowok tadi dan menatapnya sebentar sampai ia benar benar membuat mulut nya menganga.
"Gama 'kan?" tunjuk Rania.
"Siapa?" lawan bicaranya menganggap aneh orang dihadapannya.
"Owalah, kita satu sekolah dan satu kelas juga. Kamu si Tampan dan Jenius jelmaan Dewa 'kan?"
Wanita yang didorong Gama tertawa menyaksikan keluguan teman anak-nya itu.
"Hai, Tante!" Rania menunduk menyapa wanita itu. Terlihat mirip dengan Gama sehingga Rania yakin kalau dia adalah Ibu Gama.
"Hai juga Cantik." jawab Ibu Gama.
"Udah sore! Rania pulang dulu ya, tante. Sampai ketemu besok Gama" Rania melesat pergi meninggalkan mereka yang terpelongo akan gadis yang penuh energi positif itu.
Rania berjalan sambil bersenandung ria sesekali tersenyum. Tak menyangka kalau akan bertemu Gama di rumah sakit.
"Ngapain senyum-senyum?" Desfa menggetok kepala Rania dengan harapan gadis itu waras kembali.
"Aww..." Ringis Rania.
"Makanya jangan senyum senyum!" peringat Desfa dan Rania hanya mengerucutkan bibirnya.
"kek curut!" ledeknya.
"Ihh. Jangan gitu dong!"
"iya! Hahaha!!!" tawa Desfa menggelegar merasa menang dalam hal meledek sahabatnya itu.
Mereka pun segera pulang dan di sepanjang perjalanan Rania menceritakan tentang pertemuan tak terduganya dengan Gama. Ia menganggap pertemuan itu adalah pertanda kalau ia berjodoh dengan Gama.
"Yakin?"
"yakinlah! Kata orang kalau pertemuan nggak sengaja selama tiga kali maka orang itu jodoh kita!" jelas Rania.
"Okey. Terserah bu boss!"
Mereka sudah sampai dirumah, seperti biasa rumah sangat sepi. Hanya ada Fani dan Rino sepupunya itu. Mama dan Papa nya pergi sebentar untuk urusan bisnis mereka. Tapi tak apa, bagi Rania ini adalah usaha orang tuanya agar dapat membiayai hidup mereka.
Rania tersenyum mengingat banyak sekali yang mencintai dirinya. Ia bersyukur kalau Tuhan memberinya kesempatan hidup sejauh ini.
___________________________________
Awal pertemuan kita sungguh menarik, sampai sekarang aku masih mengingatnya. Kenangan itu begitu manis sehingga sulit untuk memudarkannya. Kini aku menyesal mengenalmu, bukan karena aku benci tapi karena aku tak suka kata perpisahan. Ketika kita berbeda dunia, itu hanya menyadarkanku kalau kau hanya ilusi. Biarlah kau dicintai seseorang yang mencintaimu lebih dari diriku. Lupakanlah aku, karena diriku tak pasntas untuk dikenang.
---Rania Jihan--
-----2022-----"Bel akan berbunyi dalam waktu lima menit lagi! Bapak harap peserta baru berkumpul dilapangan sesuai kelompoknya masing masing." Hampir saja telat. Untung lari Rania lumayan kencang. Ia mengambil nafas sembari menyeka peluh di dahinya sesekali menatap kesal arah belakang."Hufft, Liat aja! nanti Rania bakal buat kak Rino jadi makanan kucing!" gumamnya."masuk!"Rania setengah berlari menuju lapangan tempat peserta MOS berlangsung. Matanya melirik ke kanan dan Ke kiri hingga ia mendapati sahabatnya tengah mengangkat kedua tangannya memanggil Rania."Sini," ucap Desfa dengan bahasa bibirnya."Oke!"Ketua osis beserta anggotanya berdiri dengan tangguh di depan. Ada yang berkacak pinggang memarahi siswa yang tak bisa diam, ada yang saling menggoda demi memenuhi kencan mereka, dan berbagai macam tipe yang dapat merrka temukan."Kali ini kakak
"Kak Rania aku mau nunjukin sesuatu."Rania yang baru saja pulang sekolah segera meletakan tasnya asal dan berjalan menuju adiknya."emang ada apaan?" Rania menelusuri ruangan yang pintunya telah ditutup oleh Fani."Cerpen Fani bakal terbit di majalah anak dan Fani bakal dapat uang. Nanti, Fani beliin kakak hadiah!"Fani membuka laptopnya dan menunjukan bukti pengiriman cerpen di email dan sudah di setujui oleh pihak penerbit."Wow!! Keren! Sejak kapan kamu jadi suka nulis?" tanya Rania."Udah lama. Sebenarnya, bukan ini aja cerpen Fani yang sudah terbit. Masih ada, tapi nggak Fani kasih tau."Fani tersenyum menatap Rania. Tampak dari raut wajah Fani tersimpan sesuatu yang tersembunyi. Fani enggan bercerita karena takut salah bicara."Tapi kenapa?" tanya Rania karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Fani. Jujur, F
Desfa pulang untuk mengambil barang pentingnya sebelum menginap beberapa hari di rumah Rania.Hari sudah gelap, rumah tampak kosong. Mobil milik bibi-nya tak nampak terparkir. Desfa yakin kalau Bibinya sedang pergi.Perlahan Desfa berjalan meraih knop pintu. Nafasnya tertahan berharap tak ada yang memergokinya. Desfa mengehela nafas saat dilihatnya tak ada sepupunya yang biasa duduk di kursi."Uwh, si pungut pulang. Aku pikir sudah mati. Padahal, aku sudah berharap loh"Sepupu Desfa datang tiba tiba. Ia duduk di kursi menyilangkan kakinya bagaikan model.Desfa diam saja tidak membalas, ia bahkan langsung pergi ke kamarnya kembali dengan tujuannya."Buku, baju, tas, oke. Apalagi ya?" Desfa mengingat-ingat apalagi yang dibutuhkannya."Kayaknya sudah semua, deh"Desfa menggandeng tas-nya dengan bertatih-tatih. Beratnya tas itu sungguh mengham
Rania memandangi wajah Gama yang ada di albumnya. Dia sedang membayangkan bagaimana bentuk bingkai yang akan dia beli nanti.Rania melirik jam dinding yang mengarah pada jarum jam ke tiga sore. Rania ingat kalau ia dan Desfa belum makan siang, pantas saja perutnya berbunyi meminta hak-nya."laper, nih!" ujar Rania."Delivery aja, yuk!" Jawab Desfa.Rania pun meraih ponselnya dan memesan makanan dari rumah makan padang langganan mereka. "Kamu mau lauk apa?" tanya Rania.Desfa pun mendekat pada Rania dan menimbang-nimbang apa yang ingin dia makan."Hmmm, nasi kuning pake rendang jangan lupa perkedelnya""Oke aku telepon, ya."Rania pun menekan nomor pemilik rumah makan itu. Seperti biasa, penjualnya akan langsung menjawab."Halo, bang. Mau mesan nasi padang, rendang, perkedel, sama ayam pedas m
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu
Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.
Kring...Apa yang paling membahagiakan bagi anak sekolah?Sangat jelas dari suara bel pertanda pulang sekolah. Namun, hanya beberapa siswa yang menganggap itu adalah kebahagiaan karena ada siswa yang harus beberapa kali pergi ke tempat bimbel mereka.Rania tak pernah ikut bimbel selama ini. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukannya seperti anak lainnya."Apa yang kamu katakan pada Fani kemarin?" Desfa membuka pembicaraan untuk memecahkan kesunyian yang ada."Aku tak ada berkata pada Fani," elaknya."Bohong, aku lihat kamu berbisik padanya." ujar Desfa.Rania tetap diam menatap jalan lurus ke depan. Tak jarang ia harus menendang batu yang berserak dan mungkin akan menyakiti kakinya."aku bilang terserah pada Fani,""Ran, kamu nggak bohong? Kalau gitu ren
"pa!""ma!"Rania memanggil kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai setelah kembali dari perjalanan bisnis mereka.Vita dan Doni menatap putri mereka bingung, baru saja mereka sampai bukannya disambut dengan baik malah disuguhi teriakan gadis itu."tak pantas di sore hari yang cerah ini di isi oleh keributan, bisakah kau ceritakan mengapa kau melakukan itu?" ujar Vita.Rania berkacak pinggang di depan Vita dan Doni. Gadis itu juga menatap sangar mereka."Hentikan semua ini, nak! Kau terlihat seperti tak diajarkan sopan santun. Bukannya menghibur kami yang letih, kau malah menambah beban kami dengan kau seperti itu!" omel Vita."kalian yang harusnya menghentikan semua ini, apa ada orang tua semacam kalian membiarkan anaknya terlantar di rumah orang lain?!" sergahnya. Rania semakin menjadi, hatinya memanas, ia terlanjur kecewa dan marah pada orang-tua
Sudah tiga hari Rania memikirkan jalan agar ia membawa Fani kembali bersama mereka, namun semua itu sia-sia. Orang tua-nya 'masa bodoh' dengan Fani, yang mereka pikirkan hanyalah Rania, anak kesayangan mereka."Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Toh, Fani bakal balik lagi kalau butuh duit. Kamu tidur aja, ya. Istirahat!" ujar Vita seperti biasanya. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan Fani yang bahkan mereka tidak akan tahu bagaimana keadaannya nanti."Tapi ma-""Ssssstt, nggak ada tapi-tapian! Tidur!" perintah mamanya itu.Seberapa besar usahanya membujuk Mama dan papanya tetap saja mereka tak peduli. Lalu untuk apa mereka menghadirkan Fani di dunia jika begini jadinya."Bagaimana?""Mereka keras, Des! Mereka nggak bisa aku pahami. Sungguh, ini keterlaluan!""Bagaimana kalau kita saja yang menjemput Fani, kalau begini caranya sampai setahun pu
Udara terasa sejuk di pagi hari, angin membelai wajah mereka seakan menyambut mereka yang semangat menjalani hidup.Rania membuka kaca mobilnya lebar diikuti oleh Desfa, mereka berteriak, bersiul, bernyanyi, bahkan berdebat di dalam mobil itu.Tak terasa mereka sampai ke sekolah, seperti memulai cerita baru setiap harinya. Sering cerita itu menjadi bahan yang akan mereka jadikan kenangan nantinya."Kemarin itu seperti mimpi, aku tak menyangka bisa berlari dN menangkap pistol itu. Lari ku terasa lambat bagaikan film action, kau harus tahu bahwa aku menikmati setiap detiknya!" oceh Rania."Aku kagum pada kak Rino, dia lihai sekali mengendalikan pistol itu. Jarinya seakan menari dan memainkan piano di musim gugur!" ujar Desfa."Kau pasti menyukai kak Rino, bukan? Lihat saja matamu tak bisa berbohong!" godanya."aku memang menyukainya, tapi apa suka artinya cinta juga?" Desfa memiri
"Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la
Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln