Desfa pulang untuk mengambil barang pentingnya sebelum menginap beberapa hari di rumah Rania.
Hari sudah gelap, rumah tampak kosong. Mobil milik bibi-nya tak nampak terparkir. Desfa yakin kalau Bibinya sedang pergi.
Perlahan Desfa berjalan meraih knop pintu. Nafasnya tertahan berharap tak ada yang memergokinya. Desfa mengehela nafas saat dilihatnya tak ada sepupunya yang biasa duduk di kursi.
"Uwh, si pungut pulang. Aku pikir sudah mati. Padahal, aku sudah berharap loh"
Sepupu Desfa datang tiba tiba. Ia duduk di kursi menyilangkan kakinya bagaikan model.
Desfa diam saja tidak membalas, ia bahkan langsung pergi ke kamarnya kembali dengan tujuannya.
"Buku, baju, tas, oke. Apalagi ya?" Desfa mengingat-ingat apalagi yang dibutuhkannya.
"Kayaknya sudah semua, deh"
Desfa menggandeng tas-nya dengan bertatih-tatih. Beratnya tas itu sungguh menghambat jalannya keluar rumah.
Bugh...
Skrekk...
Hidung Desfa penuh dengan darah. Tak lupa dengan rambutnya yang sudah digunting asal oleh Fika, sepupu kejamnya itu.
"Sakit, kak!!" erangnya.
"Ya iyalah sakit!!"
Rambut Desfa kini tinggal sebahu. Fika seperrinya belum puas mengacak-acak Desfa. Kini pakaian Desfa digunting hingga modelnya sudah tak beraturan.
"Mumpung mama nggak ada disini, aku mau puas-puasin nyiksa anak pungut!"
Dengan berapi-api, Fika meninju Desfa hingga hampit tak sadarkan diri. Setelah puas, Fika pergi tanpa menyesali perbuatannya itu.
"Aku masih kuat!!" Desfa mencoba berdiri, walaupun jatuh berkali kali setidaknya dia bisa kabur dari lubang buaya.
Desfa akhirnya bisa berdiri dan berjalan normal saat energinya mulai terkumpul. Ia mencari ojek yang beraktivitas di malam hari. Untung saja, rumahnya dejat dengan pengkolan ojek sehingga ia tak perlu bersusah payah berjalan mencari.
"Adik korban aniaya, sebaiknya lapor ke polisi. Bapak bisa bantu jadi wali, kok." pria dewasa itu menatap Desfa dengan tatapan kasihan.
"Nggak usah, Pak. Makasih!"
Sesampainya dirumah Rania, tangis Desfa pecah saat itu juga. Air matanya melunturkan darah kering yang bersemayam di kulit sekitar hidungnya. Belum, lagi lebam di keningnya dan di badannya. Desfa runtuh saat itu juga, di depan pintu rumah Rania.
"Astaga, Desfa!! Kak Rino! Bantuin Rania!" teriaknya.
Rania menepuk pelan pipi kiri dan kanan Desfa, namun tetap saja tak kunjung sadar.
"Apasih, Ran? Astaga temen kamu itu kenapa!" Teriak Rino.
"Mending kakak bantu bopong Desfa ke kamar aku!"
Desfa sempat sadar dirinya di bopong, namun ia terlalu lemah untuk bangkit. Saat sadar tadi ia hanya melihat seorang pria namun pandangannya buram sehingga tak tahu siapa yang menggendongnya itu.
"Lukanya banyak, kakak Coba telepon dokter ya!" Ujar Rino setelah meletakan Desfa diatas kasur.
"iya, kak. Cepetan!" Pinta Rania.
Rania yang sadar kalau pakaian Desfa sudah tergunting tak karuan akhirnya menggantikan pakaian Desfa. Untung saja, Desfa membawa daster, jadi Rania tak perlu susah menggantinya
Tak berselang beberapa lama, dokter keluarga mereka datang dan langsung memeriksa Desfa.
"Gimana dok?" tanya Rania setelah dokter telah usai memeriksa.
"sampai saat ini, pasien menderita depresi ringan. Dia butuh istirahat dan dukungan." ujar dokter.
Sudah satu jam, namun Desfa tsk kunjung sadar. Rania menaikan suhu AC agar sahabatnya itu tidak kedinginan.
Sambil menunggu Desfa, ia berdiri di Balkon kamarnya. Menghirup udara segar dan memandang pemandangan di atas langit.
"Ada satu bintang yang menarik perhatianku, Bintang Sirius. Aku yakin diriku ibarat bintang Sirius, bersinar paling terang walaupun tahu dirinya akan padam, namun ia akan di kenang selamanya dan menjadi cahaya baru." Rania menengadahkan kepalanya dan bersenandung kecil. Hingga ia bosan dan memilih untuk tidur.
______________________________
"Ran!"
"Apa?" Rania masih belum membuka matanya.
"makasih ya!" ucap Desfa.
Rania membuka matanya seketika. Ia memeluk sahabatnya dan menepuk punggungnya.
"Kalau kamu nggak kuat, kamu tinggal disini aja!" pinta Rania.
"Kakak sepupu aku cuman semingguan disini, jadi aku bakal pulang nanti bibi khawatir" jelasnya.
Rania terkadang bingung dengan Desfa. Mengapa ia bisa tahan dengan perlakuan kakak sepupunya itu. Memang iya Bibinya baik, tapi menyembunyikan kejahatan bisa berakibat fatal.
"Aku nggak bisa diam. Aku bakal nyari bukti kekerasan kak Fika dan melaporkannya ke polisi!" Rania mengepalkan kedua tangannya. Keinginannya membara. Ia ingin melakukannya sekarang juga. Membayangkannya hanya membuat darah Rania naik.
"Nggak bisa semudah itu, Ran. Dia psikopat, lacur dan pemabuk! Kamu bisa aja di bawa ketempat bordil!" Desfa memegang tangan Rania untuk menenagkan sahabatnya yang membara itu.
"Emang Bibi kamu nggak berusaha cegah kakak kamu itu?" Pertanyaan ini timbul sejak lama, namun Rania urung dan sekarang Rania bertanya pertanyaan ini.
"Sudah, tapi bibi malah di ancam di jual ke rumah bordil. Bibi-pun tak bisa berkata apa-apa." jelasnya.
"Makanya, Bibi menganggap aku sebagai anaknya daripada putri kandungnya sendiri. Dari situ, Kak Fika tertelan api cemburu dan dengki. Ia malah ingin melenyapkanku perlahan!"
Waktu menunjukan pukul tujuh Waktu Indonesia Barat. Sudah terlambat untuk bergegas ke sekolah. Lagi pula sahabatnya sedang sakit. Mereka beraktifitas dirumah, termasuk membaca cerpen karya Fina.
"Adik kamu keren! Tulisannya rapi dan ceritanya bermakna. Cocok untuk dibaca anak seusia dia,"
"Yang ini coba kamu baca! Cerpen berjudul Raja dan Sepatu" Rania menunjukan cerpen itu kepada Desfa.
"Wah, bagus. Tapi, aku selesaikan yang ini dulu."
Rania yang telah membaca cerpen adiknya itu, kemudian memilih untuk melihat isi keseluruhan majalah.
"Des!"
"Des! Coba liat sini!" panggilnya.
Rania menunjukan foto Gama yang terpampang di halaman sepuluh majalah. Judulnya adalah PUTRA NEGERI: SI JENIUS.
"Ya ampun!!! Aku mau pingsan!" Rania kegirangan hingga ia bangkit dan meraih lacinya dan mengambil gunting.
"Mau ngapain?!" tanya Desfa.
"Mau gunting terus dibingkai." jawab Rania enteng.
Desfa memilih untuk mengamati Rania saja dari pada mengomentari. Toh, namanya juga lagi jatuh cinta. Kalau dibilangin sekali malah makin menjadi.
"Aku belum beli bingkai, jadi aku tempel di album dulu." Rania memakai kursi untuk mengambil albumnya yang berada di atas lemari.
Rania hampir terjatuh karena menahan album di tangannya yang beratnya hampir satu kilogram. Untung saja ia bisa mempertahankan keseimbangannya, jadi dia tak terjatuh.
"Ya ampun, deg-deg-kan aku, Ran!!!" ujar Desfa.
"Santai, Bro! Kayak nggak kenal Rania aja!"
"tetap aja harus hati hati!" peringatnya.
"iya iya!"
Rania memandangi wajah Gama yang ada di albumnya. Dia sedang membayangkan bagaimana bentuk bingkai yang akan dia beli nanti.Rania melirik jam dinding yang mengarah pada jarum jam ke tiga sore. Rania ingat kalau ia dan Desfa belum makan siang, pantas saja perutnya berbunyi meminta hak-nya."laper, nih!" ujar Rania."Delivery aja, yuk!" Jawab Desfa.Rania pun meraih ponselnya dan memesan makanan dari rumah makan padang langganan mereka. "Kamu mau lauk apa?" tanya Rania.Desfa pun mendekat pada Rania dan menimbang-nimbang apa yang ingin dia makan."Hmmm, nasi kuning pake rendang jangan lupa perkedelnya""Oke aku telepon, ya."Rania pun menekan nomor pemilik rumah makan itu. Seperti biasa, penjualnya akan langsung menjawab."Halo, bang. Mau mesan nasi padang, rendang, perkedel, sama ayam pedas m
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu
Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.
"Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la
Udara terasa sejuk di pagi hari, angin membelai wajah mereka seakan menyambut mereka yang semangat menjalani hidup.Rania membuka kaca mobilnya lebar diikuti oleh Desfa, mereka berteriak, bersiul, bernyanyi, bahkan berdebat di dalam mobil itu.Tak terasa mereka sampai ke sekolah, seperti memulai cerita baru setiap harinya. Sering cerita itu menjadi bahan yang akan mereka jadikan kenangan nantinya."Kemarin itu seperti mimpi, aku tak menyangka bisa berlari dN menangkap pistol itu. Lari ku terasa lambat bagaikan film action, kau harus tahu bahwa aku menikmati setiap detiknya!" oceh Rania."Aku kagum pada kak Rino, dia lihai sekali mengendalikan pistol itu. Jarinya seakan menari dan memainkan piano di musim gugur!" ujar Desfa."Kau pasti menyukai kak Rino, bukan? Lihat saja matamu tak bisa berbohong!" godanya."aku memang menyukainya, tapi apa suka artinya cinta juga?" Desfa memiri
Sudah tiga hari Rania memikirkan jalan agar ia membawa Fani kembali bersama mereka, namun semua itu sia-sia. Orang tua-nya 'masa bodoh' dengan Fani, yang mereka pikirkan hanyalah Rania, anak kesayangan mereka."Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Toh, Fani bakal balik lagi kalau butuh duit. Kamu tidur aja, ya. Istirahat!" ujar Vita seperti biasanya. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan Fani yang bahkan mereka tidak akan tahu bagaimana keadaannya nanti."Tapi ma-""Ssssstt, nggak ada tapi-tapian! Tidur!" perintah mamanya itu.Seberapa besar usahanya membujuk Mama dan papanya tetap saja mereka tak peduli. Lalu untuk apa mereka menghadirkan Fani di dunia jika begini jadinya."Bagaimana?""Mereka keras, Des! Mereka nggak bisa aku pahami. Sungguh, ini keterlaluan!""Bagaimana kalau kita saja yang menjemput Fani, kalau begini caranya sampai setahun pu
Kring...Apa yang paling membahagiakan bagi anak sekolah?Sangat jelas dari suara bel pertanda pulang sekolah. Namun, hanya beberapa siswa yang menganggap itu adalah kebahagiaan karena ada siswa yang harus beberapa kali pergi ke tempat bimbel mereka.Rania tak pernah ikut bimbel selama ini. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukannya seperti anak lainnya."Apa yang kamu katakan pada Fani kemarin?" Desfa membuka pembicaraan untuk memecahkan kesunyian yang ada."Aku tak ada berkata pada Fani," elaknya."Bohong, aku lihat kamu berbisik padanya." ujar Desfa.Rania tetap diam menatap jalan lurus ke depan. Tak jarang ia harus menendang batu yang berserak dan mungkin akan menyakiti kakinya."aku bilang terserah pada Fani,""Ran, kamu nggak bohong? Kalau gitu ren
"pa!""ma!"Rania memanggil kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai setelah kembali dari perjalanan bisnis mereka.Vita dan Doni menatap putri mereka bingung, baru saja mereka sampai bukannya disambut dengan baik malah disuguhi teriakan gadis itu."tak pantas di sore hari yang cerah ini di isi oleh keributan, bisakah kau ceritakan mengapa kau melakukan itu?" ujar Vita.Rania berkacak pinggang di depan Vita dan Doni. Gadis itu juga menatap sangar mereka."Hentikan semua ini, nak! Kau terlihat seperti tak diajarkan sopan santun. Bukannya menghibur kami yang letih, kau malah menambah beban kami dengan kau seperti itu!" omel Vita."kalian yang harusnya menghentikan semua ini, apa ada orang tua semacam kalian membiarkan anaknya terlantar di rumah orang lain?!" sergahnya. Rania semakin menjadi, hatinya memanas, ia terlanjur kecewa dan marah pada orang-tua
Sudah tiga hari Rania memikirkan jalan agar ia membawa Fani kembali bersama mereka, namun semua itu sia-sia. Orang tua-nya 'masa bodoh' dengan Fani, yang mereka pikirkan hanyalah Rania, anak kesayangan mereka."Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Toh, Fani bakal balik lagi kalau butuh duit. Kamu tidur aja, ya. Istirahat!" ujar Vita seperti biasanya. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan Fani yang bahkan mereka tidak akan tahu bagaimana keadaannya nanti."Tapi ma-""Ssssstt, nggak ada tapi-tapian! Tidur!" perintah mamanya itu.Seberapa besar usahanya membujuk Mama dan papanya tetap saja mereka tak peduli. Lalu untuk apa mereka menghadirkan Fani di dunia jika begini jadinya."Bagaimana?""Mereka keras, Des! Mereka nggak bisa aku pahami. Sungguh, ini keterlaluan!""Bagaimana kalau kita saja yang menjemput Fani, kalau begini caranya sampai setahun pu
Udara terasa sejuk di pagi hari, angin membelai wajah mereka seakan menyambut mereka yang semangat menjalani hidup.Rania membuka kaca mobilnya lebar diikuti oleh Desfa, mereka berteriak, bersiul, bernyanyi, bahkan berdebat di dalam mobil itu.Tak terasa mereka sampai ke sekolah, seperti memulai cerita baru setiap harinya. Sering cerita itu menjadi bahan yang akan mereka jadikan kenangan nantinya."Kemarin itu seperti mimpi, aku tak menyangka bisa berlari dN menangkap pistol itu. Lari ku terasa lambat bagaikan film action, kau harus tahu bahwa aku menikmati setiap detiknya!" oceh Rania."Aku kagum pada kak Rino, dia lihai sekali mengendalikan pistol itu. Jarinya seakan menari dan memainkan piano di musim gugur!" ujar Desfa."Kau pasti menyukai kak Rino, bukan? Lihat saja matamu tak bisa berbohong!" godanya."aku memang menyukainya, tapi apa suka artinya cinta juga?" Desfa memiri
"Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la
Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln