Share

Gadis keturunan barat

Penulis: Asyera Kesita
last update Terakhir Diperbarui: 2020-11-20 02:15:40

Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya.

"Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.

Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani.

"Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.

Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela.

"Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.

Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari.

"Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir.

"Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"

Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.

Hati Rania menjadi tak tenang. Rania mengira-ngira kesalahan apa yang telah ia lakukan. Sesampainya disekolah pun, Rania melamun memikirkan hal itu.

"HEY!!"

Rania membalikkan badannya ketika seseorang merangkul pundaknya. Ternyata itu adalah Desfa.

"Hih, ngejutin aja!"

"Hehe, kamu sih melamun. Mikirin apa neng?" tanya Desfa.

Rania tersenyum, walaupun hatinya masih tak enak,  Rania masih memilih untuk menyimpannya sendiri ketimbang mencurahkan semuanya pada sahabat baiknya itu.

"Aku tahu, Ran. Kamu gak perlu cerita,"

"Kamu tahu apa?" tanya Rania penasaran.

Desfa ingin menceritakan semuanya, namun ia teringat kata-kata Fani untuk tidak menceritakannya.

"Pasti kamu sedih karena nggak ikut MOS!" ujar Desfa.

Rania tersenyum. Setidaknya walaupun Desfa tak menceritakannya, hati Rania akan tetap aman.

"Aku mau main ke rumah kamu, boleh ya?" mohon Rania.

Selama ia bersahabat dengan Desfa, tak pernah sekalipun ia di izinkan masuk ke rumah Desfa. Paling tidak, Rania hanya berdiri di teras ataupun di depan pintu rumah Desfa.

"masih ada kakak sepupuku, males!" tolak Desfa.

"ayolah, plis!"

"Plis"

"Plis"

Desfa menimbang-nimbang, apa yang akan terjadi pada Rania jika ia nekat membawa Rania ke rumahnya. Apa yang akan dilakukan sepupu jahatnya itu.

"Nggak pokoknya! Titik."

Mendengar jawaban itu, Rania berbalik pura-pura meninggalkan Desfa. Ia berbalik sejenak, ternyata Desfa tak kunjung membujuknya. Mau tak mau Rania kembali berjalan ke arah Desfa.

"Jahat banget aku nggak di bujuk,"

"Males, tukang ngambek ngapain dibujuk,"

"ih, Desfa gitu!"

Bel berbunyi, untung saja berbicara sambil berjalan. Kalau tidak mereka harus berlari dan berkeringat untuk sampai ke kelas.

"Kamu nggak sekolah tiga hari. Jadi, kamu ketinggalan berita!" Desfa meletakan tas-nya dan tas Rania bersebelahan. Ternyata, Desfa sudah menjaga kursi untuk Rania.

"Makasih dan Berita nya tentang apa?" tanya Rania.

"Gama duduk sama cewek berkacamata, kamu bisa liat rambutnya blonde itu berarti dia keturunan bule!"

"Tidak bisa di biarkan! Pokoknya Gama itu punya aku titik!"

"No, no! Cewek itu nama-nya Sophian. Dia itu pinter banget pokoknya. Humoris dan bisa buat Gama ketawa!" jelas Desfa.

Rania seketika menatap Gama dan Sophian yang duduk di kursi paling depan.

Rania pun menghampiri mereka. Berpura-pura kenalan dan mencoba menjadi seperti yang dikatakan Desfa mengenai Sophian.

"Hai!" sapa Rania dengan antusias.

"Aku Rania, kamu?"

"Aku Sophian, dan ini--" ucapan Sophian terpotong.

"Aku tahu dia Gama. Aku sudah ketemu dia berkali-kali di sekolah ini bahkan kami tanpa sengaja bertemu di rumah sakit. Mungkin jodoh?" Rania menyisipkan anak rambutnya ke telinga kirinya.

"Wah, berarti kalian dekat?" tanya Sophian.

Rania mengedipkan matanya dan menatap ke kiri dan ke kanan. Ia mengigit bibir bawahnya sambil mengerutkan roknha.

"emm, ya-" gugupnya.

"Kami mau deket! Pdkt" jawab Rania terang-terangan.

"Owhh, kamu marah aku duduk sama Gama?" tanya Sophian spontan.

"nggak kok, mau nyapa aja"

Rania buru-buru kembali ke kursinya, ia mengepalkan tangannya.

"Bodoh banget, sih!" gumam Rania.

Desfa sedari tadi menutup wajahnya dengan buku tulis. Ia tak sanggup menahan malu atas apa yang dilakukan Sahabatnya itu.

"Fiks, aku kalah!"

"Aku nyerah!!"

Rania membenamkan wajah dengan tasnya. Menahan malu dan membayangkan bagaimana wajah-nya tadi.

"Muka kamu udah kayak kepiting rebus, tinggal di makan aja tuh!" ejek Desfa.

"Des, Diam!"

"Bwekk!!" Desfa menjulurkan lidahnya.

"Gitu ya, Des!"

"ssstt, guru Fisika dah masuk!"

Mereka pun berdiri, mengucap salam dan berdoa sebelum memulai aktifitas mereka.

"Baik anak anak, karena ini masih seger-segernya. Gimana kita main game dulu?" tanya Guru fisika dengan rambut pendek.

"Main game!!" jawab semua murid.

"Bagaimana kalau kita main...."

Mereka semua setuju dan bermain hingga mereka rasa cukup.

"Baik, kita akan mulai dari bab pertama. Sebelum itu kita baca terlebih dahulu sambil ibu jelaskan jika ibu rasa ada yang harus di jelaskan!"

"siapa yang mau membaca?"

Guru Fisika itu memilih Sophian yang mengangkat tangannya terlebih dahulu. Sophian membaca seperti pembawa berita, namun lantang dan jelas.

"Berhenti, ibu akan jelaskan. Siapa disini yang pernah mengukur panjang? Pasti pernah kan?" 

"Nah, kali ini kita tidak akan mengenal tentang panjang saja. Namun ada massa, waktu, suhu, intensitas cahaya dan lainnya yang termasuk besaran" guru fisika itu berhenti sejenak, kemudian ia menunjuk Gama untuk menjawab pertanyaannya.

"Apa saja yang termasuk besaran, dan apa satuannya? Sebutkan lima aja deh! Pasti tau kan, waktu smp pernah di pelajari loh" perintah guru itu.

Gama menjawabnya tanpa melihat buku. Terlihat sekali kalau Gama belajar saat liburan. Sepertinya anak rangking satu sudah terlihat.

"Oke, kamu melampaui batas! Ibu kan minta lima. Tapi, nggak apa!"

Guru fisika itu kembali menjelaskannya. Desfa terlihat mengantuk, dan Rania terlihat segar. Fisika kelas sepuluh masih terlihat ramah. Mungkin ketika kenaikan kelas nanti akan menjadi cuek pada mereka.

"aku lebih suka matematika daripada fisika!" terang Desfa.

"Yah, aku suka semua pelajaran dan aku lebih suka Sastra" balas Rania.

Desfa menatap jam dinding itu berharap kekuatan datang mengubah waktu sekejab hingga bel berbunyi dan guru mata pelajaran olah raga datang. Sesederhana itu keinginan Desfa.

"Ini pr kalian, besok pagi harus di kumpul sebelum bel jam pertama. Kumpul di meja ibu. Kalau nggak tahu tanya guru piket"

"Baik, bu!"

Setelah guru fisika keluar, mereka berhamburan keluar ruangan. Khususnya para gadis,  Mereka sudah siap dengan perlengkapan mereka masing masing seperti, baju olahraga, bedak dan pewangi.

Untung saja Rania diingatkan Desfa untuk membawa baju olah raga, jadi dia tak perlu malu.

"Yang mana Rania?" tanya guru olahraga.

Semua orang mencari-cari sosok tersebut sampai mereka berhenti dan melihat Rania mengangkat tangannya.

"Saya pak!"

"Oke, kamu nggak perlu ikut olah raga karena papa dan mama kamu sudah datang kesekolah untuk menyatakan ini.  Kamu belajar teorinya aja ya" ujar Guru itu.

"Baik, pak." jawab Rania lemah.

Pupus sudah harapan Rania untuk ikut pelajaran ini. Padahal yang ada di bayangannya, ia memasukan bola ke dalam ring, bermain raket, lari estafet dan kegiatan seru lainnya. Tapi, kalau melihat keadaannya Rania hanya bisa pasrah.

Bab terkait

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Memulai

    "Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-21
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Aksi

    Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-23
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Aksi dua

    "Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-25
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Fani, jangan pergi!

    Udara terasa sejuk di pagi hari, angin membelai wajah mereka seakan menyambut mereka yang semangat menjalani hidup.Rania membuka kaca mobilnya lebar diikuti oleh Desfa, mereka berteriak, bersiul, bernyanyi, bahkan berdebat di dalam mobil itu.Tak terasa mereka sampai ke sekolah, seperti memulai cerita baru setiap harinya. Sering cerita itu menjadi bahan yang akan mereka jadikan kenangan nantinya."Kemarin itu seperti mimpi, aku tak menyangka bisa berlari dN menangkap pistol itu. Lari ku terasa lambat bagaikan film action, kau harus tahu bahwa aku menikmati setiap detiknya!" oceh Rania."Aku kagum pada kak Rino, dia lihai sekali mengendalikan pistol itu. Jarinya seakan menari dan memainkan piano di musim gugur!" ujar Desfa."Kau pasti menyukai kak Rino, bukan? Lihat saja matamu tak bisa berbohong!" godanya."aku memang menyukainya, tapi apa suka artinya cinta juga?" Desfa memiri

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-26
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Mama Jia

    Sudah tiga hari Rania memikirkan jalan agar ia membawa Fani kembali bersama mereka, namun semua itu sia-sia. Orang tua-nya 'masa bodoh' dengan Fani, yang mereka pikirkan hanyalah Rania, anak kesayangan mereka."Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Toh, Fani bakal balik lagi kalau butuh duit. Kamu tidur aja, ya. Istirahat!" ujar Vita seperti biasanya. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan Fani yang bahkan mereka tidak akan tahu bagaimana keadaannya nanti."Tapi ma-""Ssssstt, nggak ada tapi-tapian! Tidur!" perintah mamanya itu.Seberapa besar usahanya membujuk Mama dan papanya tetap saja mereka tak peduli. Lalu untuk apa mereka menghadirkan Fani di dunia jika begini jadinya."Bagaimana?""Mereka keras, Des! Mereka nggak bisa aku pahami. Sungguh, ini keterlaluan!""Bagaimana kalau kita saja yang menjemput Fani, kalau begini caranya sampai setahun pu

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-03
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Kecewa

    "pa!""ma!"Rania memanggil kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai setelah kembali dari perjalanan bisnis mereka.Vita dan Doni menatap putri mereka bingung, baru saja mereka sampai bukannya disambut dengan baik malah disuguhi teriakan gadis itu."tak pantas di sore hari yang cerah ini di isi oleh keributan, bisakah kau ceritakan mengapa kau melakukan itu?" ujar Vita.Rania berkacak pinggang di depan Vita dan Doni. Gadis itu juga menatap sangar mereka."Hentikan semua ini, nak! Kau terlihat seperti tak diajarkan sopan santun. Bukannya menghibur kami yang letih, kau malah menambah beban kami dengan kau seperti itu!" omel Vita."kalian yang harusnya menghentikan semua ini, apa ada orang tua semacam kalian membiarkan anaknya terlantar di rumah orang lain?!" sergahnya. Rania semakin menjadi, hatinya memanas, ia terlanjur kecewa dan marah pada orang-tua

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-09
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Belajar dulu

    Kring...Apa yang paling membahagiakan bagi anak sekolah?Sangat jelas dari suara bel pertanda pulang sekolah. Namun, hanya beberapa siswa yang menganggap itu adalah kebahagiaan karena ada siswa yang harus beberapa kali pergi ke tempat bimbel mereka.Rania tak pernah ikut bimbel selama ini. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukannya seperti anak lainnya."Apa yang kamu katakan pada Fani kemarin?" Desfa membuka pembicaraan untuk memecahkan kesunyian yang ada."Aku tak ada berkata pada Fani," elaknya."Bohong, aku lihat kamu berbisik padanya." ujar Desfa.Rania tetap diam menatap jalan lurus ke depan. Tak jarang ia harus menendang batu yang berserak dan mungkin akan menyakiti kakinya."aku bilang terserah pada Fani,""Ran, kamu nggak bohong? Kalau gitu ren

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-10
  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Prolog: Dewa Tampan dan Jenius

    2005"anak anda terkena leukemia stadium satu. Kami akan memberikan antibiotik sebagai tahapan awal. Kita akan menunggu perkembangan untuk pengobatan selanjutnya." dokter itu menutup map-nya dan melepas kacamatanya. Ia menatap sekilas pasien dihadapannya yang bergetar cemas dan ketakutan."Saya nggak mau kehilangan anak sulung saya. Berapapun akan saya berikan, asalkan dokter melakukan segala cara agar anak saya bisa sembuh" Vita pasrah, menjambak rambutnya pelan dan menyembunyikan wajahnya di pundak suaminya, Doni."Anak kalian sangat kuat dan semangat dalam hidupnya. Saya yakin Rania bisa melewatinya" Ucap dokter seperti biasa guna menenangkan pasiennya.Doni menghela nafas dan menggenggam tangan istrinya itu.______________________________(2015)"Indonesia tanah air ku, tanah tumpah darahku....."Semua siswa berbaris dan horm

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-10

Bab terbaru

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Belajar dulu

    Kring...Apa yang paling membahagiakan bagi anak sekolah?Sangat jelas dari suara bel pertanda pulang sekolah. Namun, hanya beberapa siswa yang menganggap itu adalah kebahagiaan karena ada siswa yang harus beberapa kali pergi ke tempat bimbel mereka.Rania tak pernah ikut bimbel selama ini. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukannya seperti anak lainnya."Apa yang kamu katakan pada Fani kemarin?" Desfa membuka pembicaraan untuk memecahkan kesunyian yang ada."Aku tak ada berkata pada Fani," elaknya."Bohong, aku lihat kamu berbisik padanya." ujar Desfa.Rania tetap diam menatap jalan lurus ke depan. Tak jarang ia harus menendang batu yang berserak dan mungkin akan menyakiti kakinya."aku bilang terserah pada Fani,""Ran, kamu nggak bohong? Kalau gitu ren

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Kecewa

    "pa!""ma!"Rania memanggil kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai setelah kembali dari perjalanan bisnis mereka.Vita dan Doni menatap putri mereka bingung, baru saja mereka sampai bukannya disambut dengan baik malah disuguhi teriakan gadis itu."tak pantas di sore hari yang cerah ini di isi oleh keributan, bisakah kau ceritakan mengapa kau melakukan itu?" ujar Vita.Rania berkacak pinggang di depan Vita dan Doni. Gadis itu juga menatap sangar mereka."Hentikan semua ini, nak! Kau terlihat seperti tak diajarkan sopan santun. Bukannya menghibur kami yang letih, kau malah menambah beban kami dengan kau seperti itu!" omel Vita."kalian yang harusnya menghentikan semua ini, apa ada orang tua semacam kalian membiarkan anaknya terlantar di rumah orang lain?!" sergahnya. Rania semakin menjadi, hatinya memanas, ia terlanjur kecewa dan marah pada orang-tua

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Mama Jia

    Sudah tiga hari Rania memikirkan jalan agar ia membawa Fani kembali bersama mereka, namun semua itu sia-sia. Orang tua-nya 'masa bodoh' dengan Fani, yang mereka pikirkan hanyalah Rania, anak kesayangan mereka."Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Toh, Fani bakal balik lagi kalau butuh duit. Kamu tidur aja, ya. Istirahat!" ujar Vita seperti biasanya. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan Fani yang bahkan mereka tidak akan tahu bagaimana keadaannya nanti."Tapi ma-""Ssssstt, nggak ada tapi-tapian! Tidur!" perintah mamanya itu.Seberapa besar usahanya membujuk Mama dan papanya tetap saja mereka tak peduli. Lalu untuk apa mereka menghadirkan Fani di dunia jika begini jadinya."Bagaimana?""Mereka keras, Des! Mereka nggak bisa aku pahami. Sungguh, ini keterlaluan!""Bagaimana kalau kita saja yang menjemput Fani, kalau begini caranya sampai setahun pu

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Fani, jangan pergi!

    Udara terasa sejuk di pagi hari, angin membelai wajah mereka seakan menyambut mereka yang semangat menjalani hidup.Rania membuka kaca mobilnya lebar diikuti oleh Desfa, mereka berteriak, bersiul, bernyanyi, bahkan berdebat di dalam mobil itu.Tak terasa mereka sampai ke sekolah, seperti memulai cerita baru setiap harinya. Sering cerita itu menjadi bahan yang akan mereka jadikan kenangan nantinya."Kemarin itu seperti mimpi, aku tak menyangka bisa berlari dN menangkap pistol itu. Lari ku terasa lambat bagaikan film action, kau harus tahu bahwa aku menikmati setiap detiknya!" oceh Rania."Aku kagum pada kak Rino, dia lihai sekali mengendalikan pistol itu. Jarinya seakan menari dan memainkan piano di musim gugur!" ujar Desfa."Kau pasti menyukai kak Rino, bukan? Lihat saja matamu tak bisa berbohong!" godanya."aku memang menyukainya, tapi apa suka artinya cinta juga?" Desfa memiri

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Aksi dua

    "Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Aksi

    Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Memulai

    "Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Gadis keturunan barat

    Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.

  • RANIA: PERFECT TEARS (INDONESIA)   Masa suram Fani

    Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln

DMCA.com Protection Status