"Bel akan berbunyi dalam waktu lima menit lagi! Bapak harap peserta baru berkumpul dilapangan sesuai kelompoknya masing masing."
Hampir saja telat. Untung lari Rania lumayan kencang. Ia mengambil nafas sembari menyeka peluh di dahinya sesekali menatap kesal arah belakang.
"Hufft, Liat aja! nanti Rania bakal buat kak Rino jadi makanan kucing!" gumamnya.
"masuk!"
Rania setengah berlari menuju lapangan tempat peserta MOS berlangsung. Matanya melirik ke kanan dan Ke kiri hingga ia mendapati sahabatnya tengah mengangkat kedua tangannya memanggil Rania.
"Sini," ucap Desfa dengan bahasa bibirnya.
"Oke!"
Ketua osis beserta anggotanya berdiri dengan tangguh di depan. Ada yang berkacak pinggang memarahi siswa yang tak bisa diam, ada yang saling menggoda demi memenuhi kencan mereka, dan berbagai macam tipe yang dapat merrka temukan.
"Kali ini kakak beri kalian satu jam untuk membuat puisi bertema bebas. Setiap kelompok harus menyediakan satu korban untuk membacakan puisi di depan kita semua. Disini ada berapa kelompok ya?" Ketua osis itu tampak menghitung jumlah kelompok. Untung saja ada anggota-nya yang langsung menjawab sehingga tak perlu menghabiskan waktu.
"ada tiga belas kelompok, Dit!"
Mereka langsung memulai pekerjaan mereka. Rania berada di kelompok dua yang berisi lima belas orang. Semuanya adalah laki-laki kecuali Rania dan Desfa.
"sudah tiga puluh menit, gak ada yang siap?" Desfa lagi lagi mengeluh entah yang keberapa kalinya. Teman temannya itu hanya diam menatapi kertas dan pena mereka.
"Aku baru setengah!"
"Aku masih satu bait"
"Aku sudah selesai"
Desfa tak habis pikir kalau kegiatan puisi mereka buruk sekali. Lagian siapa yang mampu menulis puisi di tengah teriknya mentari dan diantara kebisingan yang terjadi?
"Coba kalian bacakan satu satu" pinta Desfa.
Mereka semua terdiam termasuk Rania, alhasil Desfa menarik kertas mereka dan mengoreksinya.
"Cinta itu buta
Tapi mataku bersinar ketika menatap dirimuCinta itu tuliTetapi aku terpana mendengar suara merdumuSekarang Cinta itu apa ketika bersamamu?Kupikir kau cinta sejatiBagai malaikat maut yang sulit ditebak kapan mau menjemput"Puisi Gara akhirnya menjadi kandidat pertama puisi yang akan dibacakan. Sekarang giliran puisi Yanto yang dikoreksi Desfa.
"Hidup itu sulit
Hidup itu rumitAkhirnya sama sajaKenapa kita harus sekolahGue capek pengen nikahKalau mati gue belum siap"Desfa berusaha menahan tawa setelah membaca puisi Yanto. Karena penasaran, Rania merebut kertas itu dan membacanya bergantian dengan yang lainnya. Seketika tawa mereka semua pecah, tak menyangka humor mereka serendah ini hingga menertawakan hal sepele. Mungkin karena mereka terlalu lelah.
"Waktu sudah habis! Kumpulkan kertas dan pilih wakil kalian!"
Desfa langsung menunjuk Rania agar mewakili mereka membacakan puisi karya Gara.
"Nggak!! Kamu aja, Des." Rania menolak ajuan Desfa tetapi tetap saja Desfa kekeh dengan pendiriannya.
"Cepet! Nih bawa kertasnya"
Hihihi
Terdengar tawa berbisik dari teman-temannya hingga Rania menghentakan kakinya. Untung saja nomor urut mereka dua, sehingga tak harus menjadi yang pertama.
Mereka menunggu peserta urut pertama membacakan puisi hingga selesai. Bait nya panjang sekali dan irama-nya lambat. Mengayun-ayun hingga yang mendengarkan menyempatkan waktunya itu untuk menguap.
"nomor urut dua"
Rania bergetar hebat ketika nomor urutnya disebut. Ia mengepalkan tangan kesal dan menatap Desfa penuh amarah.
"awas aja!" peringat Rania pada Desfa.
"Hidup itu sulit...." Rania berhenti sejenak menatap sekitar. Semua orang masih terdiam. Hingga fokusnya pecah ketika ia menangkap manik mata Gama. Itu membuatnya gugup.
"H–hidup itu ru–rumit..." Rania tak kuasa menahan gugupnya sehingga ia menenangkan dirinya dengan melihat sepatunya.
"akhirnya sama saja..." Rania berhenti lagi dan membelalakan matanya. Ia begitu malu ketika ia melihat kata selanjutnya. Ternyata ia membaca puisi buatan Yanto yang aneh dan memalukan.
"KENAPA BERHENTI!" teriak ketua osis mengetahui adik tingkatnya memakan waktu lama sekedar jeda puisi.
"Kenapa kita harus sekolah..." Rania menarik nafas gugup menatap teman temannya satu persatu berharap dapat memprediksikan respon mereka nanti.
"G–gue ca--pek pengen...n-nikah"
Hahaha...
Hahaha...
Hahaha...
Tawa mereka meledak seketika membiarkan perempuan itu menunduk bergetar malu.
Ketika Rania mengangkat kepalanya, lagi-lagi ia menangkap manik mata Gama. Cowok yang ia suka ikut menertawainya. Kandas sudah harapannya untuk mendekati Gama. Rania yakin sekali kalau Gama akan jijik dengan Rania.
"BERHENTI TERTAWA!"
"Kamu! Kembali ketempatmu. Terimakasih karena puisi aneh itu cukup menghibur!"
Entah kenapa ucapan ketua osis semakin membuatnya malu. Besok-besok ia tak akan mau ini terjadi lagi.
______________________________
"Ran!"
"Ran!"
Beberapa kali Desfa memanggil sahabatnya itu tetap saja tidak menyahut. Padahal, Desfa sudah minta maaf dan ini sudah waktunya pulang. Rania belum juga memaafkannya.
"Maafin aku dong!" Desfa merangkul Rania, tapi Rania mengelak.
"Maaf, bunda Gama!" Rania melirik Desfa dan mengacuhkan Desfa lagi.
"Maaf ya Nyonya Gamalio yang cantik, pintar dan bijak!"
Rania memberhentikan jalannya dan melirik Desfa sekali lagi. Rania tersenyum seketika karena rayuan sahabatnya itu.
"Jangan gitulah, Des! Aku jadinya nggak bisa diamin kamu!" .
Desfa tertawa dan memukul bahu Rania tak menyangka hanya dengan kata kata itu Rania kembali berbicara padanya,
"RANIA! KAMU SESUKA ITU SAMA GAMMMM..."
Rania menutup mulutnya Desfa agar ia tak melanjutkan kata kata itu. Namun, terlambat ternyata Gama mendengar itu semua. Gama ternyata berjalan dibelakang mereka dan sekarang menatap mereka.
"mampus! Aku udah ngaku ngaku istrinya Gama!" Batinnya.
Rania yang tak sanggup menahan malu akhirnya menutup wajahnya dengan buku. Sialnya, Desfa menarik buku di wajah Rania dan menyapa Gama.
"Hai Gama!" sapa Desfa.
Ingin Rania marah ataupum lari saat itu, hanya saja ini sudah menyangkut harga dirinya. Ia pun ikut menyapa Gama dan menampilkan senyum pepsodent andalannya.
Rania segera berjalan meninggalkan Desfa dan Gama. Ia berjalan agak cepat guna menjauhi mereka. Ia tidak menghiraukan panggilan Desfa yang setengah tertawa itu. Ia menghentakan kakinya dan duduk di kursi tunggu menunggu supir menjemput.
Dengan terengah-engah, Desfa berlari menuju kursi tunggu itu. Ia memegang pundak Rania sebagai tumpuannya dalam mengambil nafas.
"Sorry..."
Rania membuang muka memilih menatap jalanan yang disinari teriknya matahari. Kali ini ia harus benar-benar memberikan Desfa pelajaran. Ia begitu malu mengingat itu.
"YA AMPUN! ADA KEDAI ES KRIM BARU BUKA!" histeris Desfa sembari menunjuk kedai yang berlokasi tepat didepan sekolah mereka.
"Mana mana" Rania mengikuti arah telunjuk Desfa. Ia teringat kalau ia butuh sesuatu yang dingin di siang yang terik.
"Yuk, kita langsung kesana!" ajak Desfa.
Rania tanpa sadar mengikuti Desfa dan melupakan rencananya untuk mendiamkan Desfa.
"Berapa harganya, pak?"
"Dua ribu aja dek"
Rania dan Desfa mengeluarkan uang saku mereka dan memberikannya kepada penjual itu.
Supir Rania sudah datang, waktunya pulang. Desfa seperti biasa akan dijemput bibinya. Bila bibinya tak sempat, maka ia akan pulang bersama Rania.
"Kak Rania aku mau nunjukin sesuatu."Rania yang baru saja pulang sekolah segera meletakan tasnya asal dan berjalan menuju adiknya."emang ada apaan?" Rania menelusuri ruangan yang pintunya telah ditutup oleh Fani."Cerpen Fani bakal terbit di majalah anak dan Fani bakal dapat uang. Nanti, Fani beliin kakak hadiah!"Fani membuka laptopnya dan menunjukan bukti pengiriman cerpen di email dan sudah di setujui oleh pihak penerbit."Wow!! Keren! Sejak kapan kamu jadi suka nulis?" tanya Rania."Udah lama. Sebenarnya, bukan ini aja cerpen Fani yang sudah terbit. Masih ada, tapi nggak Fani kasih tau."Fani tersenyum menatap Rania. Tampak dari raut wajah Fani tersimpan sesuatu yang tersembunyi. Fani enggan bercerita karena takut salah bicara."Tapi kenapa?" tanya Rania karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Fani. Jujur, F
Desfa pulang untuk mengambil barang pentingnya sebelum menginap beberapa hari di rumah Rania.Hari sudah gelap, rumah tampak kosong. Mobil milik bibi-nya tak nampak terparkir. Desfa yakin kalau Bibinya sedang pergi.Perlahan Desfa berjalan meraih knop pintu. Nafasnya tertahan berharap tak ada yang memergokinya. Desfa mengehela nafas saat dilihatnya tak ada sepupunya yang biasa duduk di kursi."Uwh, si pungut pulang. Aku pikir sudah mati. Padahal, aku sudah berharap loh"Sepupu Desfa datang tiba tiba. Ia duduk di kursi menyilangkan kakinya bagaikan model.Desfa diam saja tidak membalas, ia bahkan langsung pergi ke kamarnya kembali dengan tujuannya."Buku, baju, tas, oke. Apalagi ya?" Desfa mengingat-ingat apalagi yang dibutuhkannya."Kayaknya sudah semua, deh"Desfa menggandeng tas-nya dengan bertatih-tatih. Beratnya tas itu sungguh mengham
Rania memandangi wajah Gama yang ada di albumnya. Dia sedang membayangkan bagaimana bentuk bingkai yang akan dia beli nanti.Rania melirik jam dinding yang mengarah pada jarum jam ke tiga sore. Rania ingat kalau ia dan Desfa belum makan siang, pantas saja perutnya berbunyi meminta hak-nya."laper, nih!" ujar Rania."Delivery aja, yuk!" Jawab Desfa.Rania pun meraih ponselnya dan memesan makanan dari rumah makan padang langganan mereka. "Kamu mau lauk apa?" tanya Rania.Desfa pun mendekat pada Rania dan menimbang-nimbang apa yang ingin dia makan."Hmmm, nasi kuning pake rendang jangan lupa perkedelnya""Oke aku telepon, ya."Rania pun menekan nomor pemilik rumah makan itu. Seperti biasa, penjualnya akan langsung menjawab."Halo, bang. Mau mesan nasi padang, rendang, perkedel, sama ayam pedas m
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu
Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.
"Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la
Kring...Apa yang paling membahagiakan bagi anak sekolah?Sangat jelas dari suara bel pertanda pulang sekolah. Namun, hanya beberapa siswa yang menganggap itu adalah kebahagiaan karena ada siswa yang harus beberapa kali pergi ke tempat bimbel mereka.Rania tak pernah ikut bimbel selama ini. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukannya seperti anak lainnya."Apa yang kamu katakan pada Fani kemarin?" Desfa membuka pembicaraan untuk memecahkan kesunyian yang ada."Aku tak ada berkata pada Fani," elaknya."Bohong, aku lihat kamu berbisik padanya." ujar Desfa.Rania tetap diam menatap jalan lurus ke depan. Tak jarang ia harus menendang batu yang berserak dan mungkin akan menyakiti kakinya."aku bilang terserah pada Fani,""Ran, kamu nggak bohong? Kalau gitu ren
"pa!""ma!"Rania memanggil kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai setelah kembali dari perjalanan bisnis mereka.Vita dan Doni menatap putri mereka bingung, baru saja mereka sampai bukannya disambut dengan baik malah disuguhi teriakan gadis itu."tak pantas di sore hari yang cerah ini di isi oleh keributan, bisakah kau ceritakan mengapa kau melakukan itu?" ujar Vita.Rania berkacak pinggang di depan Vita dan Doni. Gadis itu juga menatap sangar mereka."Hentikan semua ini, nak! Kau terlihat seperti tak diajarkan sopan santun. Bukannya menghibur kami yang letih, kau malah menambah beban kami dengan kau seperti itu!" omel Vita."kalian yang harusnya menghentikan semua ini, apa ada orang tua semacam kalian membiarkan anaknya terlantar di rumah orang lain?!" sergahnya. Rania semakin menjadi, hatinya memanas, ia terlanjur kecewa dan marah pada orang-tua
Sudah tiga hari Rania memikirkan jalan agar ia membawa Fani kembali bersama mereka, namun semua itu sia-sia. Orang tua-nya 'masa bodoh' dengan Fani, yang mereka pikirkan hanyalah Rania, anak kesayangan mereka."Sudahlah, jangan dijadikan beban pikiran. Toh, Fani bakal balik lagi kalau butuh duit. Kamu tidur aja, ya. Istirahat!" ujar Vita seperti biasanya. Bisa-bisanya mereka tidak peduli dengan Fani yang bahkan mereka tidak akan tahu bagaimana keadaannya nanti."Tapi ma-""Ssssstt, nggak ada tapi-tapian! Tidur!" perintah mamanya itu.Seberapa besar usahanya membujuk Mama dan papanya tetap saja mereka tak peduli. Lalu untuk apa mereka menghadirkan Fani di dunia jika begini jadinya."Bagaimana?""Mereka keras, Des! Mereka nggak bisa aku pahami. Sungguh, ini keterlaluan!""Bagaimana kalau kita saja yang menjemput Fani, kalau begini caranya sampai setahun pu
Udara terasa sejuk di pagi hari, angin membelai wajah mereka seakan menyambut mereka yang semangat menjalani hidup.Rania membuka kaca mobilnya lebar diikuti oleh Desfa, mereka berteriak, bersiul, bernyanyi, bahkan berdebat di dalam mobil itu.Tak terasa mereka sampai ke sekolah, seperti memulai cerita baru setiap harinya. Sering cerita itu menjadi bahan yang akan mereka jadikan kenangan nantinya."Kemarin itu seperti mimpi, aku tak menyangka bisa berlari dN menangkap pistol itu. Lari ku terasa lambat bagaikan film action, kau harus tahu bahwa aku menikmati setiap detiknya!" oceh Rania."Aku kagum pada kak Rino, dia lihai sekali mengendalikan pistol itu. Jarinya seakan menari dan memainkan piano di musim gugur!" ujar Desfa."Kau pasti menyukai kak Rino, bukan? Lihat saja matamu tak bisa berbohong!" godanya."aku memang menyukainya, tapi apa suka artinya cinta juga?" Desfa memiri
"Wow, aku tak menyangka ini! Apakah dia benar-benar membantu kita atau menipu kita?"Berkali-kali Desfa melontarkan kalimat itu, ia begitu baru untuk menjadikan ini pengalamannya."Kalau kita tertangkap, apa yang harus kita lakukan?""Apakah kita harus lanjut atau menyerah?""Desfa, sahabatku. Ini demi kebaikanmu!" peringat Rania."Tapi, ini soal nyawa, Ran!" balasnya.Bukannya menjawab, Rania malah tersenyum. Desfa yang merasa diabaikan itu kesal dan terdiam."Rasanya seperti hidup. ketika kau mampu berkata mempertaruhkan nyawa disaat kau tau hari itu akan tiba." ucap Rania.Desfa pun menatap Rania, ia mencoba mencerna perkataan sahabatnya itu. Mengapa ia terlihat aneh sekarang?"Ran, kamu nggak lagi sakit 'kan?" tanya Desfa.Rania memiringkan kepalanya lalu tertawa kemudian mengalihkan pandangnya pada la
Purnama sudah menghilang dari angkasa. Kini sudah lewat tengah malam, tapi mereka masih saja terjaga. Ini.semua karena ada hal menarik yang sedang mereka rencanakan, membuat jantung mereka berdebar ketika membicarakannya."Aku membawa dua telepon ku dan satu perekam suara!" ujar Desfa."Aku punya perekam suara sekaligus perekam video yang canggih. Aku punya yang berbentuk seperti pulpen dan anting. Kalau kau mau aku akan memberinya kepadamu." Rania menggeledah laci yang ada di lemarinya dan mengambil barang yang dimaksud."Wah, pasti harganya sangat mahal. Aku takut merusaknya." Desfa terlihat hati-hati saat menyentuh kotak kayu yang berisi benda berharga itu, ia sama sekali tak menyentuh isi kotak itu."jangan pikirkan harga, kita tak punya waktu untuk itu!" peringat Rania.Kemudian, Rania masuk ke kolong ranjangnya dan mendorong peti segi lima untuk ditunjukan pada Desfa.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln