Penuturan Sarina bagaikan anak panah yang melesat tepat dijantung Nisa. Sakit! Bagaimana tidak, di usianya yang masih belia, Annisa harus menikahi pria beristri untuk menebus hutang-hutang pamannya yang telah tiada. Nisa ingin menolaknya, tapi dirinya tak kuasa. Setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, saat itu usinya masih tujuh tahun, dan semenjak itu, Nisa kecil di asuh oleh Paman dan buleknya.
"Apa tidak ada cara lain Bulek?"tanyanya berat menahan air mata."Gak ada, Lagian anggap aja ini sebagai balas budi kamu, karna selama ini, Bulek sama paklekmu yang sudah Almarhum itu yang merawat dan membesarkanmu," ketusnya tajam.Sesak Annisa menghirup udara. Mengatur nafas agar sebisa mungkin ia tak sesenggukan di depan Sarina dan Desi-putri semata wayang buleknya."Sudahlah Nis, orang yang akan jadi suamimu itu bukan orang sembarangan, dia orang kaya! kamu pasti bahagia meskipun jadi yang kedua!" tuturnya menekankan kata 'kaya' agar Annisa berhenti memasang wajah memelas tak berdosanya itu.Nisa tak mampu lagi menjawab, air yang sedari tadi ia tahan, lolos tanpa disadarinya."Sudah ya. Udah malem, Bulek mau tidur, ngantuk!" Sarina berdiri setelah berucap. Meninggalkan Nisa yang tengah duduk dengan pandangan nanar.Gontai. Annisa melangkah memasuki kamar, merebahkan tubuhnya yang lelah dengan keadaan. Menumpahkan segala beban dengan tangis dalam diam. Sampai dirinya terlelap, menuju alam mimpi yang mungkin lebih indah dari kenyataan pahit yang akan ia hadapi kedepannya.Suara adzan subuh berkumandang, membuat Annisa terbangun dengan mata yang masih berat. Ia bangkit, melangkahkan kakinya ke kamar mandi, mengambil air wudhu, kemudian menggelar sajadah dan melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah.Pagi ini seperti biasa, Nisa melakukan rutinitasnya. Memasak, menyapu, dan membersihkan apa yang kotor. Kemudian membangunkan Sarina dan Desi, saat sarapan sudah siap. Nisa dan Desi sekolah di sekolah yang sama, mereka baru lulus satu tahun yang lalu. Bedanya, Desi kuliah, dan Nisa tidak.Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Nisa tengah duduk di ruang tamu bersama Sarina. Disampingnya ada satu koper besar, dan beberapa tas yang berisi seluruh pakaian Nisa, yang sehari sebelumnya memang sudah disiapkan Sarina. Sarina mengatakan, jika ada orang yang akan menjemput Nisa hari ini. Tak lama terdengar ketukan pintu dari luar, yang lantas membuat Sarina berdiri tergopoh, menghampiri dan membukanya.Terlihat wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dengan pakaian minim, berjalan berlenggak-lenggok dengan high heels yang tinggi memasuki ruang tamu tanpa uluk salam."Silahkan duduk Non!" ucap Sarina mempersilahkan.Annisa terdiam, ia memandangi sosok di depannya. Seakan mengerti, Wanita itu mengawali pembicaraan."Saya adalah Istri pertama calon Suami kamu. Kamu ikut saya hari ini, besok Akad Nikah kalian."Dada Annisa bagai dihantam batu besar. Akad Nikah? kenapa secepat itu? dan kenapa buleknya tak mengatakan itu sebelumnya? Bahkan ia belum melihat seperti apa calon suaminya itu.Annisa menatap tajam ke arah Sarina, meminta penjelasan."Bulek, apa maksud semua ini?"Sarina merapatkan tubuhnya pada Nisa. Mencengkram kuat pergelangan tangannya, kemudian berkata lirih penuh penekanan."Jangan banyak tanya! Diam, dan turuti saja wanita itu!""Tapi, tidak begini juga Bulek!" balasnya, membuat Sarina melotot. Baru kali ini Nisa berani membantahnya."Heh! dengar Nisa! kamu harus bantu Bulek untuk melunasi hutang-hutang paklekmu. Ingat! dimana selama ini kamu tinggal! sekarang, waktunya kamu membalas semuanya!" balas Sarina. Ia semakin memperkuat cengkraman tangannya pada pergelangan Nisa. Tak di pedulikannya Nisa yang semakin meringis kesakitan.Tak ada pilihan lain, Nisa terpaksa mengikuti wanita itu memasuki mobil. Ia duduk dikursi belakang setelah memasukkan barang-barangnya. Selama perjalanan, tak ada sepatah kata pun, yang keluar dari mulut keduanya.Wanita itu memandang Nisa dari kaca spion. Cantik, manis meskipun tanpa polesan di wajahnya. Ada ketakutan dalam hatinya, bagaimana jika Suaminya benar- benar mencintainya? ia menggelengkan kepalanya kuat, mengusir bayangan yang tidak-tidak.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka sampai di sebuah gedung Apartemen. Mereka turun, membawa barang-barang masuk, dan menaiki lift. Beberapa menit kemudian, sampailah disebuah pintu ruangan Apartemen. Wanita itu memasukkan Code, kemudian pintu itu terbuka, menampakkan kemewahan di dalamnya."Masuk!" ucap wanita itu mempersilahkan.Nisa masuk, berjalan dengan gelisah mengikuti Wanita itu."Itu kamar kamu. Kamu istirahat dulu, nanti malam, akan kupertemukan kalian," ucapnya menunjuk kamar tengah.Nisa hanya mengangguk menanggapi. "Aku pergi dulu," pamitnya, setelahnya pergi entah kemana.Merasa gelisah, Nisa merebahkan tubuhnya di ranjang. Satu tetes air keluar dari matanya. fikirannya merambah pada masa depan. Bagaimana ia akan menjalani hari harinya nanti? begitu banyak pertanyaan yang bergelanyut di benaknya. Kenapa wanita itu terlihat sama sekali tak keberatan dengan pernikahan kedua suaminya? apa yang sebenarnya terjadi, masih berupa misteri....Nisa terbangun, ruangan ini terlihat sedikit gelap. Ia melihat jam dinding yang berada di kamar itu. Matanya melotot melihat angka yang menempel disana. Setengah Lima sore? dirinya lantas bergegas bangkit. Membersihkan diri, mengambil air wudhu, kemudian Sholat Ashar dengan mukena yang ia bawa. Setelah selesai, Nisa mencari dapur, perutnya terasa keroncongan karena lapar. Ia membuka tudung saji, tiada makanan. Kemudian dengan langkah pelan Nisa mendekati kulkas, membukanya dengan ragu. Matanya berbinar melihat Isi di dalamnya. Ada daging, buah, beserta sayurannya, juga beberapa bungkus roti yang masih utuh. Tak ada salahnya jika ia memasak. Kemudian dengan cekatan ia memulai ritualnya.Dua jam kemudian, semua sudah tersaji rapi. Ayam goreng, capcay, tumis, juga buah-buahan yang ia letakkan di piring. Sengaja ia masak banyak, kalau- kalau yang punya Apartemen datang. Merasa sudah beres, Nisa segera mengambil makan dan mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan.Hari semakin gelap, setelah Sholat Isya, Nisa merebahkan tubuhnya. Tak butuh waktu lama, tubuhnya yang merasa lelah membuatnya terpejam dalam sekejap.***Ditempat lain, seorang Wanita sedang bertengkar hebat dengan seorang Lelaki."Kamu sudah gila Sarah!" sergahnya berapi-api sembari mengacak rambutnya."Ini semua demi pernikahan kita! kamu gak tau gimana rasanya jadi aku, Mas! Ibumu terus mendesakku agar segera memberikanmu keturunan. Dan Ibumu mengancam akan mencarikanmu Istri kedua jika tiga bulan kedepan aku belum bisa hamil! aku gak bisa Mas, aku gak bisa melihatmu berbagi dengan wanita lain dalam kenyataan!"Suara Sarah melemah, air mata keluar tiada henti sejak perdebatan mereka. Ia mencengkram kuat dada Suaminya, hingga membuat pakainnya terlihat kusut."Tapi tidak dengan cara seperti ini Sar, kita bisa adopsi Anak dari panti," lelaki itu melemah kala melihat tangisan istrinya semakin menjadi. Sarah memang terlihat kacau dan putus asa."Ibumu hanya ingin keturunanmu Mas, darah dagingmu! Aku mohon, kalian hanya menikah siri, kemudian cerai jika anaknya sudah lahir. Tentu saja aku pura pura hamil jika Istri sirimu sudah hamil," ucap Sarah sembari menghapus air matanya."Kita terlalu jahat Sarah," tuturnya lirih, matanya menatap kosong objek di depannya."Tidak Mas, aku sudah memberikan kompensasi, dan dia menerima," sanggahnya bohong, seraya memeluk erat tubuh suaminyaLelaki itu memaki dalam hati, wanita macam apa yang rela mengorbankan harga dirinya hanya demi uang?"Temui dia sekarang Mas, dia ada di Apartemen kita. Besok kamu harus menikahinya."Ucapan Sarah semakin mengejutkan Aris. Sudah sematang itukah?Selama perjalanan menuju Apartemen, mereka hanya diam. Hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sarah terus memandangi suaminya yang tampak frustasi. Ada sedikit rasa bersalah yang bersemayam di dadanya. "Maafkan aku Mas, hanya ini satu satunya cara agar kamu punya keturunan, dan ibumu tak akan memisahkanmu dariku, karna kenyataannya aku tidak akan pernah bisa hamil," ucapnya dalam hati.Tak terasa sampailah mereka di depan pintu kamar Apartemen. Aris melangkah ragu memasuki ruangan apartemennya. Sedang Sarah, ia seolah tak ada beban, kakinya melangkah tanpa ragu, dengan tatapannya yang tegas seolah ada banyak rencana yang telah ia susun dengan matang. Sarah menatap sekeliling, ia langsung menuju kamar Nisa setelah tak melihat keberadaan Nisa di ruang tamu. Sedang Aris, ia langsung duduk di sofa ruang tengah dengan perasan campur aduk."Bangun!" titah Sarah menggoncang bahu Nisa.Nisa terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih sangat berat. Ia terkejut, rasa kantuknya hilang seketika melihat siapa orang yang membangunkannya."Ikuti Aku!" pinta Sarah tanpa basa-basi. Ia berjalan berlenggak-lenggok penuh percaya diri. Tak ada kesedihan terlihat di wajahnya.Nisa mengekori Sarah, hingga langkahnya berhenti diruang tamu. Ia melihat sekilas Lelaki yang sedang duduk dan memandanginya. Sudah pasti Itu calon suaminya, yang jelas usianya terpaut jauh dengannya. Sesak ia menghirup udara, membayangkan masa depannya yang suram, membayangkan pernikahannya akan seperti neraka.Aris terus memandangi Nisa yang berjalan menunduk, mulai dari atas, sampai bawah. Jauh berbeda dengan apa yang ia bayangkan. Ia fikir, wanita yang akan dinikahinya adalah wanita stylish yang haus uang, dengan pakaian seksi dan menggoda seperti istrinya. Namun apa yang di hadapannya kini membantah fikiran di benaknya. Gadis itu masih sangat belia, bahkan masih pantas memakai seragam SMA. Gadis bermata dalam, dengan pakaian gamis dan hijabnya yang panjang. Begitu polos tanpa sentuhan make up yang mempercantik wajahnya. Hanya satu pertanyaan yang ada difikirannya saat ini, kenapa Gadis itu menerima kompensasi dari istrinya, apa alasannya?"Ehem!" Sarah berdehem. Membuat Aris menghentikan tatapan intensnya pada Nisa."Baiklah Mas, Gadis ini yang akan menjadi Istri keduamu. Sekaligus madu siri ku," ucapnya santai, tanpa perasaan."Siri?" ucap Nisa lirih. Ia terkejut saat Sarah mengatakan Siri."Ya, Siri," balasnya enteng, seraya menatap dan menganggukkan kepalanya.Aris terus memandangi Nisa. Menebak seperti apa wanita di hadapannya. Tapi, melihat sikap dan tampilannya, tak ada keburukan yang ternilai di fikirannya."Bagaimana saksi, sah?" Mungkin bagi sebagian wanita, kalimat itu bagaikan angin sejuk yang siap menyambut kebahagiaannya. Kebahagiaan membina rumah tangga bagi mereka yang saling mencintai. Tetapi lain halnya dengan Annisa, kalimat itu seperti mimpi buruk dalam hidupnya. Kebebasannya kini sudah tiada lagi. Detik berakhirnya kalimat itu, detik itu juga ia menyandang status Istri.Annisa mencium punggung tangan suaminya dengan takzim, air matanya meleleh membasahi punggung tangan itu. Bukan karna bahagia, tetapi karna mengingat dirinya hanya sebagai penebus hutang pamannya. Pernikahannya pun di gelar sangat sederhana, hanya mendatangkan Wali hakim, dan dua orang saksi beserta kehadiran Sarah-Istri pertama dari lelaki yang kini telah menjadi suaminya."Tanda tangani ini!" pinta Sarah, meletakkan kertas beserta pulpennya di meja ruang tamu dengan kasar. Saat ini mereka duduk bertiga setelah acara pernikahannya selesai. Merasa bingung, Nisa menatap Sarah dan Aris bergantian. Ia lantas m
Kruk ... krucuk kruk ...Mendengar suara khas perut yang kelaparan, Aris membalikkan tubuhnya menghadap Nisa yang berbaring membelakanginya."Kau belum tidur?" tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Nisa.Kruk ... kruk ..."Kau jangan membohongiku, Nisa," ucapnya lagi, lantas menarik selimut yang menutupi kepala istrinya.Sedang Nisa terus merutuki perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, "benar-benar memalukan!" batinnya.Kemudian Nisa tersenyum, tatkala selimut yang menutup tubuhnya rapat rapat ditarik paksa oleh Aris."Aku juga lapar, buatkan aku makanan!" pinta Aris, kemudian beranjak dari tempat tidur. Melangkahkan kakinya menuju dapur.Mau tidak mau, Nisa terpaksa bangkit, mengekori langkah Suaminya dengan ragu."Aku tidak bisa masak," ucap Nisa menundukkan kepalanya.Aris mengernyitkan dahinya, ia lantas mendekati Nisa yang berdiri disamping meja makan dekat kursi yang ia duduki."Benarkah? lalu siapa yang memasak waktu pertama kali kau menginap disini? apakah meja itu bisa p
Aris masih memandangi Nisa yang tetap berada di atas sajadahnya. Sampai beberapa menit kemudian. Tubuh mungil itu semakin menunduk, hingga membuatnya terbaring merosot, membuat dirinya terkesiap dan bangkit, seraya melongokkan kepalanya, melihat ke bawah. Merasa tak ada pergerakan di tubuh Nisa. Perlahan Aris turun dari ranjang, lantas mendekati Nisa yang ternyata sudah tertidur dengan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. Aris terdiam sejenak, ia semakin mendekatkan pandangannya, menatap wajah istri polosnya lamat-lamat dengan hati yang kian berdesir entah kenapa. Setelah puas dirinya menikmati wajah manis Nisa. Aris kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Setelahnya ia berdiri, mengambil dua bantal beserta selimut untuknya dan Nisa. Aris mengangkat kepala Nisa dengan hati-hati, kemudian meletakkan bantal di bawahnya. Detik kemudian, ia berbaring dan masuk ke selimut yang sama.Annisa mengerjap-ngerjapkan matanya tatkala adzan subuh tengah berkumandang. Ia berg
Sarah meninggalkan Apartemen dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Ingin rasanya ia kembali. Namun, hatinya tak cukup kuat untuk melihat suaminya bersama Nisa. Ia tak mau mendengar sesuatu yang akan membuatnya menggagalkan malam panas mereka. Karena bagaimanapun juga, dirinya adalah seorang Istri, yang tak akan rela jika suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain.Sarah menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya memasuki mobil dan melaju di tengah keramaian jalan kota. Fikirannya kalut, beserta dadanya yang terasa sesak membayangkan Suaminya menyentuh wanita selain dirinya.Sebuah penyesalan tiba-tiba menyusup merasuki hatinya. Kenapa juga dia menikahkan suaminya?"Semua karena rahim kosong si*lan ini!" ucapnya dalam hati, sembari memukul setir dengan kasar. Dirinya semakin frustasi mengingat masalalunya yang kelam.Fikiran Sarah seakan buntu, ia tak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosinya yang seperti ini. Ia tak mau melampiaskan amarahnya, d
Sarah keluar dari gedung hotel dengan langkah kasar. Membawa amarah yang masih sepenuhnya menguasai hatinya. Kenapa lelaki brengsek itu muncul lagi di hidupnya yang sudah tenang? sepanjang langkahnya, tak hentinya Sarah mengutuk Danar.Sarah menghentikan langkahnya. Pandangannya menyusuri mobil yang berjejer rapi. Dirinya belum menyadari dengan siapa ia datang kesini."Sial" umpatnya dalam hati ketika dirinya mulai sadar. Ia lantas memesan taxi online.Beberapa menit kemudian, Sarah menaiki taxi pesanannya."Diskotik Ex*****s," ucap Sarah pada supir.Kemudian Mobil itu berjalan, hingga sampai ditempat yang dituju.Sarah berlari kecil setelah membayar tumpangannya. Menghampiri mobil merahnya yang terlihat mencolok dari kejauhan. Dirinya lantas membuka tas mungil brandednya, mencari sesuatu di sana. Sampai ia menumpahkan semua isinya di atas mobil, namun ia tetap dapat menemukan kunci mobilnya.Sarah terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Namun percuma, karena setelah meminum bir sem
Sarah tak menyangka dengan perlakuan suaminya yang lebih membela Nisa ketimbang dirinya. Ingin rasanya ia melempar semua barang-barang dikamar ini. Meluapkan semua amarahnya. Namun ancaman suaminya membuat dirinya terpaksa meredamnya sebisa mungkin.Bagaimana jika benar Suaminya tak akan melakukan rencananya itu? Sia-sia ia mencarikan wanita untuk menggantikan rahimnya. Sementara waktunya tiga bulan lagi, jika sampai detik itu Suaminya tak juga menyentuh dan membuat wanita itu hamil. Dirinya tidak akan bisa bersandiwara atas kehamilan palsunya, dan mertuanya pasti benar-benar akan menikahkan suaminya lagi. Bayangan posisinya akan tergeser dari keluarga Sanjaya jika sampai hal itu terjadi membuatnya bergidik.Sarah mengatur nafasnya dalam- dalam. Mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus berfikir jernih agar rencananya berjalan mulus. Menghadapi Suaminya harus dengan cara yang cantik.Yang harus dilakukannya saat ini adalah merayu dan meminta maaf atas perlakuannya beberapa menit yang
Flashback OnKematian kedua orang tua Nisa. Membuat Sarina terpaksa menampung Annisa yang saat itu usianya belum genap tujuh tahun. Karena hanya dirinyalah satu- satunya keluarga yang dimiliki. Jika saja orang tua Nisa tidak kaya, dirinya tak akan mau merawat Nisa. Mungkin Sarina lebih memilih menaruhnya di panti.Sampai akhirnya, Sarina bisa menguasai harta warisan Nisa. Menjual rumah, beserta aset-asetnya, menghabiskannya hingga tak tersisa, dengan dalih dirinyalah yang merawatnya. Sejak saat itu, awal perlakuan manis Sarina terhadap Nisa mulai memudar, seiring dengan menipisnya harta warisan yang ia gerogoti.Sarina sangat membenci Nisa, karena suaminya selalu memuji prestasinya. Membanding-badingkannya dengan Desi, seolah-olah Desi bukan anak kandungnya.Sampai Sarina menghasut Desi, meracuni fikirannya untuk membenci Nisa. Desi yang awalnya berlaku baik terhadap Nisa, perlahan terhasut ucapan ibunya. Hingga akhirnya, kebencian itu telah tertanam sempurna di hati Desi. Ia tak lagi
Sarah sengaja membanting pintu dengan keras. Berharap Aris akan mengejarnya. Ia berjalan mondar-mandir, menunggu suaminya di dalam kamar. Namun sampai menit setelahnya, tak ada tanda-tanda jika Aris menyusulnya.Kemudian Sarah mendekati jendela, menyingkap sedikit tirainya. Dilihatnya Aris masih berada dalam mobil, tengah menjentus-jentuskan kepalanya di setir.Sarah semakin cemas. Dirinya sungguh takut, jika suaminya telah menaruh rasa pada gadis itu. Baru sehari Nisa menjadi madunya, namun sudah membuat dirinya bertengkar hebat dengan Aris. Sarah sungguh tak mengerti dengan suaminya. Kenapa dia segitunya membela gadis itu?"Jika aku tak bisa mencegah Mas Aris untuk berbuat adil, maka aku yang akan membuat Nisa menolaknya!" ucapnya dalam hati, dengan seringai yang menakutkan.Setelah mengucapkan kalimat itu, Sarah menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia menggeliat, melenturkan persendiannya yang terasa pegal.Dering suara ponsel yang berada di atas nakas, membuat Sarah yang hampir terp
Matahari perlahan mulai menampakkan dirinya. Usai shalat subuh tadi, Nisa keluar kamar, bermaksud menemui Danar seperti permintaanya. Namun ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya saat Danar tak juga muncul untuk menanyakan sesuatu yang dia sendiri tak bisa menebaknya.Melihat jam dinding, Nisa lantas keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia menghampiri Simbok yang tengah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan."Selamat pagi Mbok ..." sapanya.Mbok Sumi menoleh, membalas Nisa dengan senyuman yang tak seperti biasanya. Sedang Nisa merasa aneh, kenapa hari ini sikap Mbok Sumi dan Danar terasa berbeda."Di depan mobil siapa, Mbok?" tanya Nisa kemudian, mencoba mencairkan suasana. Dirinya memang sempat ke ruang tamu untuk membuka gorden dan cendelanya. Namun ia melihat ada dua mobil terparkir di halaman. Satu milik Danar, dan satu lagi, ia tak tahu. Itu tandanya semalam ada orang yang datang saat ia tertidur."Ada temannya Den Danar, Non. Tadi malam sengaja Aden panggil ke sini untuk me
Waktu terus berputar, menorehkan kisahnya masing-masing pada takdir makhluk hidup di bumi. Bukankah yang menderita tak akan selamanya tetap tersakiti bukan? begitupun sebaliknya. Roda kehidupan masih terus berputar, seiring dengan takdir yang sudah ditetapkan sang Pencipta. Manusia hanya tinggal menunggu gilirannya masing-masing. Mendapat balasan apa yang telah mereka tuai.Tak terasa, sudah satu bulan Nisa berada disini. Ditempat dimana Danar membawanya. Meskipun siang malam ia lalui dengan gelisah. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Nama Aris sudah terpahat dengan sempurna di hatinya. Rasa rindu yang menggebu seringkali ia rasakan saat kesendirian menyelimutinya. Nisa yang malang. Ia hanya bisa berdoa. Berharap takdir berpihak padanya. Berharap agar Allah kembali menyatukannya dengan suaminya dengan cara yang berbeda, tanpa ada orang ketiga dalam rumah tangganya nanti. Tak peduli, berapa puluh tahun kemudian. Yang jelas, ia akan tetap menanti sampai saat itu tiba. Danar terdiam,
Nisa menatap keluar jendela kamarnya. Terlihat rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa tengah meliuk-liuk tertiup angin. Meskipun hari sudah siang, udara sejuk masih ia rasa.Merasa bosan, Nisa lantas keluar rumah. Kemudian duduk diteras, memandangi bunga-bunga bermekaran yang begitu memanjakan matanya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia merasa tak tenang. Statusnya yang masih sebagai Istri, membuatnya seolah dibayangi dosa, karena kepergiannya dari rumah tanpa seizin suaminya.Berkali-kali Nisa menepis bayangan Aris yang seakan melambai menunggunya kembali. Namun, rasa berdosa itu hilang entah kemana, saat sekelebat wajah Sarah muncul tiba-tiba tanpa dapat ia cegah.Nisa merasa bingung dengan kedepannya. Hidupnya menjadi rumit. Ia merasa tak bebas. Karena dirinya tahu, suaminya dan Sarah tak akan melepasnya begitu saja. Terlebih dengan Sarah. Wanita itu pasti akan mencarinya mati-matian, untuk memaksanya kembali.Jika saja Sarah adalah orang baik seperti suaminya. Ia p
Matahari perlahan merangkak naik. Membuat hawa panas semakin menyengat di kota ini. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Alan masih dalam pencariannya menemukan Nisa. Terakhir kali ia melihat di operator cctv, saat Gadis itu terserempet sebuah mobil dengan warna dan plat nomor yang tak asing dimatanya. Terlebih, saat dirinya melihat pemilik mobil itu turun dan menolong Nisa, ia semakin membenarkan dugaannya.Tanpa basa-basi, Alan langsung menghubungi seseorang yang diduga pemilik mobil itu. Memintanya untuk bertemu di sebuah cafe."Halo, Selamat siang. Dengan Bapak Danar?" tanya Alan, saat panggilannya tersambung."Ya. Saya sendiri. Anda siapa?" balas Danar."Saya Alan, Asistennya Tuan Aris. Bisakah kita bertemu?" pintanya sopan.Danar melihat jam tangan. Pekerjaannya memang hampir selesai. Tapi dirinya ingin segera pulang ke rumah kayunya untuk menemui Nayra."Bagaimana, Pak?" tanya Alan lagi, membuat Danar terpaksa mengiyakan permintaan Alan. Ia tak mau ambil pusing. Mungkin ada urusa
"Mas Aris, dimana Bik?" tanya Sarah, menghampiri Bi Limah di dapur."Keluar Non," jawabanya."Keluar?" ulangnya, heran. Bukannya tadi suaminya itu begitu kelelahan."Iya, Non.""Kemana?" tanyanya lagi."Saya gak tahu, Non. Tapi tadi Den Alan kesini, kemudian mereka pergi," jelasnya, membuat Sarah mengerti. Pasti suaminya itu meminta Alan untuk mencari Gadis sialan itu.Sarah menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel milik suaminya malah terdengar dari dalam kamar. "Aah, Sial. Ngapain sih Mas Aris pake acara ikut segala! Mana ponselnya, gak dibawa lagi!" batinnya mengumpat. Terpaksa ia harus menghubungi Alan, meski dirinya begitu tak menyukainya."Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Alan dari seberang."Mana, Mas Aris," tanyanya tanpa basa- basi."Sedang istirahat," balasnya."Dimana?" tanya Sarah lagi."Apartemen," jelas Alan.Detik kemudian, sambungan terputus sepihak oleh Sarah.Alan mencebik, mengangkat bahunya. Entah kenapa, dirinya tak menyukai istri Bosnya itu.
Danar melihat jam tangan. Masih pagi, ia duduk di taman belakang setelah meminta Simbok membawa Nisa ke kamar."Tehnya, Den," ucap Simbok menghampiri. Meletakkan secangkir teh di atas meja."Makasih Mbok," balasnya tersenyum."Sama-sama, Den!" ucap Simbok, kemudian berlalu. Meninggalkannya seorang diri di taman belakang.Danar mengambil cangkir di atas meja. Menyeruputnya perlahan. Ia mengambil napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bau embun yang masih melekat di dedaudan begitu kental dirasa. Sudah lama ia tak merasakan susana ini. Terakhir kali ia datang kesini sekitar dua bulan yang lalu. Saat ia baru kembali ke tanah air dari kepergiannya keluar negeri menemui kedua orang tuanya yang menetap disana.Setelah dirasa cukup, Danar meninggalkan tempat itu. Langkahnya mendekati kamar Nisa. Ia terdiam, merasa ragu untuk mengetuk pintunya. Danar kembali melihat jam tangan. Hari ini ada pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan."Mbok ..." panggilnya, menghampiri Simbok yang terliha
Danar menggeliat, merenggangkan persendiannya yang terasa kram karena tidur di tempat yang sempit. Merasa ada pergerakan, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Pandangannya beralih pada sosok putih yang sedang berdiri di tengah kegelapan. Matanya melebar, terkejut bukan main, Danar bergegas bangkit dengan jantung berdebar dan lututnya yang terasa lemas. Susah payah ia menekan saklar untuk menghidupkan lampunya. Detik kemudian lampu menyala, kembang kempis Danar meraup wajah dengan gelak tawanya yang tertahan. Bisa-bisanya ia merasa ketakutan. Sosok putih itu bukanlah hantu, melainkan Gadis yang ia srempet dan menyebut namanya sebagai, Nayra.Danar kembali ke sofa. Pandangannya melihat selang infus yang sudah dicabut paksa dari pemiliknya. Kemudian tatapannya beralih pada sosok yang meyejukkan jiwanya. Ia pandangi gerak gerik Nisa. Gadis itu masih belia. Namun pesonanya mampu menggetarkan hatinya yang bertahun-tahun telah mati. Ia jauh berbeda dari sekian banyak wanita yang perna
Sarah membuka matanya, kala mendengar suara knop pintu kamarnya dibuka. Meski belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia melihat betul penampilan suaminya yang begitu berantakan. Menyadari lebih jelas, Sarah tersentak lantas terduduk dari pembaringannya. Berulangkali Sarah mengucek matanya, memastikan jika dirinya tak salah lihat. Sampai Aris terlihat mendekat, kemudian tubuhnya ambruk di atas ranjang. Membuat Sarah sadar, jika penglihatannnya tak salah."Mas kenapa. Kenapa seperti ini?" tanyanya panik, sembari memegangi wajah suaminya yang lesu. Tak ada gairah di sana."Mas, habis darimana?" tanyanya lagi. Menatap intens wajah Aris, yang begitu mrnyedihkan seperti terjaga sepanjang malam."Nisa pergi," balasnya lirih, dan air itu kembali lolos dari mata elangnya.Sarah tertegun. Mencoba mencerna perkataan suaminya."Maksud Mas Aris, apa?" tanyanya bingung.Aris tak menjawab pertanyaan Sarah. Ia memilih diam sembari memejamkan mata. Dirinya kelelahan.Sarah mencoba menerka-nerka. Nisa p
"Siapa namamu?" tanya Lelaki itu. Kini ia duduk di kursi samping ranjang tempat Nisa terduduk.Nisa berfikir sejenak. Lebih baik, ia menggunakan nama belakangnya saja untuk persembunyiannya. Toh, di sini tak ada yang mengenalnya."Nayra," jawab Nisa datar."Emm, Baiklah. Nayra, adakah keluarga yang bisa dihubungi? Aku akan memberitahu tentang keadaanmu."Pertanyaan lelaki itu membuat Nisa terdiam."Tidak ada," jawabnya bohong. Nisa tak mau Sarina mengetahui kepergiannya. Bisa-bisa buleknya itu akan memaksanya untuk kembali pada Sarah.Lelaki itu mengernyitkan dahinya."Di mana orang tuamu?" tanyanya lagi."Orang tua saya sudah meninggal. Saya sebatang kara," jawabnya menatap objek di depannya. Kosong."Lalu, kau tinggal dimana?""Sa-saya tidak punya tempat tinggal," jawab Nisa tergagap.Lelaki itu terlihat berfikir. Matanya melirik pada tas besar yang ia bawa di tempat kejadian saat ia menabrak Nisa. Tas itu sudah menjelaskan bahwa Nisa pergi dari tempat tinggalnya.Tak mau banyak tan