Penuturan Sarina bagaikan anak panah yang melesat tepat dijantung Nisa. Sakit! Bagaimana tidak, di usianya yang masih belia, Annisa harus menikahi pria beristri untuk menebus hutang-hutang pamannya yang telah tiada. Nisa ingin menolaknya, tapi dirinya tak kuasa. Setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, saat itu usinya masih tujuh tahun, dan semenjak itu, Nisa kecil di asuh oleh Paman dan buleknya."Apa tidak ada cara lain Bulek?"tanyanya berat menahan air mata."Gak ada, Lagian anggap aja ini sebagai balas budi kamu, karna selama ini, Bulek sama paklekmu yang sudah Almarhum itu yang merawat dan membesarkanmu," ketusnya tajam.Sesak Annisa menghirup udara. Mengatur nafas agar sebisa mungkin ia tak sesenggukan di depan Sarina dan Desi-putri semata wayang buleknya."Sudahlah Nis, orang yang akan jadi suamimu itu bukan orang sembarangan, dia orang kaya! kamu pasti bahagia meskipun jadi yang kedua!" tuturnya menekankan kata 'kaya' agar Annisa berhenti memasang wajah memelas
"Bagaimana saksi, sah?" Mungkin bagi sebagian wanita, kalimat itu bagaikan angin sejuk yang siap menyambut kebahagiaannya. Kebahagiaan membina rumah tangga bagi mereka yang saling mencintai. Tetapi lain halnya dengan Annisa, kalimat itu seperti mimpi buruk dalam hidupnya. Kebebasannya kini sudah tiada lagi. Detik berakhirnya kalimat itu, detik itu juga ia menyandang status Istri.Annisa mencium punggung tangan suaminya dengan takzim, air matanya meleleh membasahi punggung tangan itu. Bukan karna bahagia, tetapi karna mengingat dirinya hanya sebagai penebus hutang pamannya. Pernikahannya pun di gelar sangat sederhana, hanya mendatangkan Wali hakim, dan dua orang saksi beserta kehadiran Sarah-Istri pertama dari lelaki yang kini telah menjadi suaminya."Tanda tangani ini!" pinta Sarah, meletakkan kertas beserta pulpennya di meja ruang tamu dengan kasar. Saat ini mereka duduk bertiga setelah acara pernikahannya selesai. Merasa bingung, Nisa menatap Sarah dan Aris bergantian. Ia lantas m
Kruk ... krucuk kruk ...Mendengar suara khas perut yang kelaparan, Aris membalikkan tubuhnya menghadap Nisa yang berbaring membelakanginya."Kau belum tidur?" tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Nisa.Kruk ... kruk ..."Kau jangan membohongiku, Nisa," ucapnya lagi, lantas menarik selimut yang menutupi kepala istrinya.Sedang Nisa terus merutuki perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, "benar-benar memalukan!" batinnya.Kemudian Nisa tersenyum, tatkala selimut yang menutup tubuhnya rapat rapat ditarik paksa oleh Aris."Aku juga lapar, buatkan aku makanan!" pinta Aris, kemudian beranjak dari tempat tidur. Melangkahkan kakinya menuju dapur.Mau tidak mau, Nisa terpaksa bangkit, mengekori langkah Suaminya dengan ragu."Aku tidak bisa masak," ucap Nisa menundukkan kepalanya.Aris mengernyitkan dahinya, ia lantas mendekati Nisa yang berdiri disamping meja makan dekat kursi yang ia duduki."Benarkah? lalu siapa yang memasak waktu pertama kali kau menginap disini? apakah meja itu bisa p
Aris masih memandangi Nisa yang tetap berada di atas sajadahnya. Sampai beberapa menit kemudian. Tubuh mungil itu semakin menunduk, hingga membuatnya terbaring merosot, membuat dirinya terkesiap dan bangkit, seraya melongokkan kepalanya, melihat ke bawah. Merasa tak ada pergerakan di tubuh Nisa. Perlahan Aris turun dari ranjang, lantas mendekati Nisa yang ternyata sudah tertidur dengan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. Aris terdiam sejenak, ia semakin mendekatkan pandangannya, menatap wajah istri polosnya lamat-lamat dengan hati yang kian berdesir entah kenapa. Setelah puas dirinya menikmati wajah manis Nisa. Aris kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Setelahnya ia berdiri, mengambil dua bantal beserta selimut untuknya dan Nisa. Aris mengangkat kepala Nisa dengan hati-hati, kemudian meletakkan bantal di bawahnya. Detik kemudian, ia berbaring dan masuk ke selimut yang sama.Annisa mengerjap-ngerjapkan matanya tatkala adzan subuh tengah berkumandang. Ia berg
Sarah meninggalkan Apartemen dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Ingin rasanya ia kembali. Namun, hatinya tak cukup kuat untuk melihat suaminya bersama Nisa. Ia tak mau mendengar sesuatu yang akan membuatnya menggagalkan malam panas mereka. Karena bagaimanapun juga, dirinya adalah seorang Istri, yang tak akan rela jika suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain.Sarah menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya memasuki mobil dan melaju di tengah keramaian jalan kota. Fikirannya kalut, beserta dadanya yang terasa sesak membayangkan Suaminya menyentuh wanita selain dirinya.Sebuah penyesalan tiba-tiba menyusup merasuki hatinya. Kenapa juga dia menikahkan suaminya?"Semua karena rahim kosong si*lan ini!" ucapnya dalam hati, sembari memukul setir dengan kasar. Dirinya semakin frustasi mengingat masalalunya yang kelam.Fikiran Sarah seakan buntu, ia tak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosinya yang seperti ini. Ia tak mau melampiaskan amarahnya, d
Sarah keluar dari gedung hotel dengan langkah kasar. Membawa amarah yang masih sepenuhnya menguasai hatinya. Kenapa lelaki brengsek itu muncul lagi di hidupnya yang sudah tenang? sepanjang langkahnya, tak hentinya Sarah mengutuk Danar.Sarah menghentikan langkahnya. Pandangannya menyusuri mobil yang berjejer rapi. Dirinya belum menyadari dengan siapa ia datang kesini."Sial" umpatnya dalam hati ketika dirinya mulai sadar. Ia lantas memesan taxi online.Beberapa menit kemudian, Sarah menaiki taxi pesanannya."Diskotik Ex*****s," ucap Sarah pada supir.Kemudian Mobil itu berjalan, hingga sampai ditempat yang dituju.Sarah berlari kecil setelah membayar tumpangannya. Menghampiri mobil merahnya yang terlihat mencolok dari kejauhan. Dirinya lantas membuka tas mungil brandednya, mencari sesuatu di sana. Sampai ia menumpahkan semua isinya di atas mobil, namun ia tetap dapat menemukan kunci mobilnya.Sarah terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Namun percuma, karena setelah meminum bir sem
Sarah tak menyangka dengan perlakuan suaminya yang lebih membela Nisa ketimbang dirinya. Ingin rasanya ia melempar semua barang-barang dikamar ini. Meluapkan semua amarahnya. Namun ancaman suaminya membuat dirinya terpaksa meredamnya sebisa mungkin.Bagaimana jika benar Suaminya tak akan melakukan rencananya itu? Sia-sia ia mencarikan wanita untuk menggantikan rahimnya. Sementara waktunya tiga bulan lagi, jika sampai detik itu Suaminya tak juga menyentuh dan membuat wanita itu hamil. Dirinya tidak akan bisa bersandiwara atas kehamilan palsunya, dan mertuanya pasti benar-benar akan menikahkan suaminya lagi. Bayangan posisinya akan tergeser dari keluarga Sanjaya jika sampai hal itu terjadi membuatnya bergidik.Sarah mengatur nafasnya dalam- dalam. Mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus berfikir jernih agar rencananya berjalan mulus. Menghadapi Suaminya harus dengan cara yang cantik.Yang harus dilakukannya saat ini adalah merayu dan meminta maaf atas perlakuannya beberapa menit yang
Flashback OnKematian kedua orang tua Nisa. Membuat Sarina terpaksa menampung Annisa yang saat itu usianya belum genap tujuh tahun. Karena hanya dirinyalah satu- satunya keluarga yang dimiliki. Jika saja orang tua Nisa tidak kaya, dirinya tak akan mau merawat Nisa. Mungkin Sarina lebih memilih menaruhnya di panti.Sampai akhirnya, Sarina bisa menguasai harta warisan Nisa. Menjual rumah, beserta aset-asetnya, menghabiskannya hingga tak tersisa, dengan dalih dirinyalah yang merawatnya. Sejak saat itu, awal perlakuan manis Sarina terhadap Nisa mulai memudar, seiring dengan menipisnya harta warisan yang ia gerogoti.Sarina sangat membenci Nisa, karena suaminya selalu memuji prestasinya. Membanding-badingkannya dengan Desi, seolah-olah Desi bukan anak kandungnya.Sampai Sarina menghasut Desi, meracuni fikirannya untuk membenci Nisa. Desi yang awalnya berlaku baik terhadap Nisa, perlahan terhasut ucapan ibunya. Hingga akhirnya, kebencian itu telah tertanam sempurna di hati Desi. Ia tak lagi
Matahari perlahan mulai menampakkan dirinya. Usai shalat subuh tadi, Nisa keluar kamar, bermaksud menemui Danar seperti permintaanya. Namun ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya saat Danar tak juga muncul untuk menanyakan sesuatu yang dia sendiri tak bisa menebaknya.Melihat jam dinding, Nisa lantas keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia menghampiri Simbok yang tengah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan."Selamat pagi Mbok ..." sapanya.Mbok Sumi menoleh, membalas Nisa dengan senyuman yang tak seperti biasanya. Sedang Nisa merasa aneh, kenapa hari ini sikap Mbok Sumi dan Danar terasa berbeda."Di depan mobil siapa, Mbok?" tanya Nisa kemudian, mencoba mencairkan suasana. Dirinya memang sempat ke ruang tamu untuk membuka gorden dan cendelanya. Namun ia melihat ada dua mobil terparkir di halaman. Satu milik Danar, dan satu lagi, ia tak tahu. Itu tandanya semalam ada orang yang datang saat ia tertidur."Ada temannya Den Danar, Non. Tadi malam sengaja Aden panggil ke sini untuk me
Waktu terus berputar, menorehkan kisahnya masing-masing pada takdir makhluk hidup di bumi. Bukankah yang menderita tak akan selamanya tetap tersakiti bukan? begitupun sebaliknya. Roda kehidupan masih terus berputar, seiring dengan takdir yang sudah ditetapkan sang Pencipta. Manusia hanya tinggal menunggu gilirannya masing-masing. Mendapat balasan apa yang telah mereka tuai.Tak terasa, sudah satu bulan Nisa berada disini. Ditempat dimana Danar membawanya. Meskipun siang malam ia lalui dengan gelisah. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Nama Aris sudah terpahat dengan sempurna di hatinya. Rasa rindu yang menggebu seringkali ia rasakan saat kesendirian menyelimutinya. Nisa yang malang. Ia hanya bisa berdoa. Berharap takdir berpihak padanya. Berharap agar Allah kembali menyatukannya dengan suaminya dengan cara yang berbeda, tanpa ada orang ketiga dalam rumah tangganya nanti. Tak peduli, berapa puluh tahun kemudian. Yang jelas, ia akan tetap menanti sampai saat itu tiba. Danar terdiam,
Nisa menatap keluar jendela kamarnya. Terlihat rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa tengah meliuk-liuk tertiup angin. Meskipun hari sudah siang, udara sejuk masih ia rasa.Merasa bosan, Nisa lantas keluar rumah. Kemudian duduk diteras, memandangi bunga-bunga bermekaran yang begitu memanjakan matanya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia merasa tak tenang. Statusnya yang masih sebagai Istri, membuatnya seolah dibayangi dosa, karena kepergiannya dari rumah tanpa seizin suaminya.Berkali-kali Nisa menepis bayangan Aris yang seakan melambai menunggunya kembali. Namun, rasa berdosa itu hilang entah kemana, saat sekelebat wajah Sarah muncul tiba-tiba tanpa dapat ia cegah.Nisa merasa bingung dengan kedepannya. Hidupnya menjadi rumit. Ia merasa tak bebas. Karena dirinya tahu, suaminya dan Sarah tak akan melepasnya begitu saja. Terlebih dengan Sarah. Wanita itu pasti akan mencarinya mati-matian, untuk memaksanya kembali.Jika saja Sarah adalah orang baik seperti suaminya. Ia p
Matahari perlahan merangkak naik. Membuat hawa panas semakin menyengat di kota ini. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Alan masih dalam pencariannya menemukan Nisa. Terakhir kali ia melihat di operator cctv, saat Gadis itu terserempet sebuah mobil dengan warna dan plat nomor yang tak asing dimatanya. Terlebih, saat dirinya melihat pemilik mobil itu turun dan menolong Nisa, ia semakin membenarkan dugaannya.Tanpa basa-basi, Alan langsung menghubungi seseorang yang diduga pemilik mobil itu. Memintanya untuk bertemu di sebuah cafe."Halo, Selamat siang. Dengan Bapak Danar?" tanya Alan, saat panggilannya tersambung."Ya. Saya sendiri. Anda siapa?" balas Danar."Saya Alan, Asistennya Tuan Aris. Bisakah kita bertemu?" pintanya sopan.Danar melihat jam tangan. Pekerjaannya memang hampir selesai. Tapi dirinya ingin segera pulang ke rumah kayunya untuk menemui Nayra."Bagaimana, Pak?" tanya Alan lagi, membuat Danar terpaksa mengiyakan permintaan Alan. Ia tak mau ambil pusing. Mungkin ada urusa
"Mas Aris, dimana Bik?" tanya Sarah, menghampiri Bi Limah di dapur."Keluar Non," jawabanya."Keluar?" ulangnya, heran. Bukannya tadi suaminya itu begitu kelelahan."Iya, Non.""Kemana?" tanyanya lagi."Saya gak tahu, Non. Tapi tadi Den Alan kesini, kemudian mereka pergi," jelasnya, membuat Sarah mengerti. Pasti suaminya itu meminta Alan untuk mencari Gadis sialan itu.Sarah menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel milik suaminya malah terdengar dari dalam kamar. "Aah, Sial. Ngapain sih Mas Aris pake acara ikut segala! Mana ponselnya, gak dibawa lagi!" batinnya mengumpat. Terpaksa ia harus menghubungi Alan, meski dirinya begitu tak menyukainya."Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Alan dari seberang."Mana, Mas Aris," tanyanya tanpa basa- basi."Sedang istirahat," balasnya."Dimana?" tanya Sarah lagi."Apartemen," jelas Alan.Detik kemudian, sambungan terputus sepihak oleh Sarah.Alan mencebik, mengangkat bahunya. Entah kenapa, dirinya tak menyukai istri Bosnya itu.
Danar melihat jam tangan. Masih pagi, ia duduk di taman belakang setelah meminta Simbok membawa Nisa ke kamar."Tehnya, Den," ucap Simbok menghampiri. Meletakkan secangkir teh di atas meja."Makasih Mbok," balasnya tersenyum."Sama-sama, Den!" ucap Simbok, kemudian berlalu. Meninggalkannya seorang diri di taman belakang.Danar mengambil cangkir di atas meja. Menyeruputnya perlahan. Ia mengambil napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bau embun yang masih melekat di dedaudan begitu kental dirasa. Sudah lama ia tak merasakan susana ini. Terakhir kali ia datang kesini sekitar dua bulan yang lalu. Saat ia baru kembali ke tanah air dari kepergiannya keluar negeri menemui kedua orang tuanya yang menetap disana.Setelah dirasa cukup, Danar meninggalkan tempat itu. Langkahnya mendekati kamar Nisa. Ia terdiam, merasa ragu untuk mengetuk pintunya. Danar kembali melihat jam tangan. Hari ini ada pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan."Mbok ..." panggilnya, menghampiri Simbok yang terliha
Danar menggeliat, merenggangkan persendiannya yang terasa kram karena tidur di tempat yang sempit. Merasa ada pergerakan, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Pandangannya beralih pada sosok putih yang sedang berdiri di tengah kegelapan. Matanya melebar, terkejut bukan main, Danar bergegas bangkit dengan jantung berdebar dan lututnya yang terasa lemas. Susah payah ia menekan saklar untuk menghidupkan lampunya. Detik kemudian lampu menyala, kembang kempis Danar meraup wajah dengan gelak tawanya yang tertahan. Bisa-bisanya ia merasa ketakutan. Sosok putih itu bukanlah hantu, melainkan Gadis yang ia srempet dan menyebut namanya sebagai, Nayra.Danar kembali ke sofa. Pandangannya melihat selang infus yang sudah dicabut paksa dari pemiliknya. Kemudian tatapannya beralih pada sosok yang meyejukkan jiwanya. Ia pandangi gerak gerik Nisa. Gadis itu masih belia. Namun pesonanya mampu menggetarkan hatinya yang bertahun-tahun telah mati. Ia jauh berbeda dari sekian banyak wanita yang perna
Sarah membuka matanya, kala mendengar suara knop pintu kamarnya dibuka. Meski belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia melihat betul penampilan suaminya yang begitu berantakan. Menyadari lebih jelas, Sarah tersentak lantas terduduk dari pembaringannya. Berulangkali Sarah mengucek matanya, memastikan jika dirinya tak salah lihat. Sampai Aris terlihat mendekat, kemudian tubuhnya ambruk di atas ranjang. Membuat Sarah sadar, jika penglihatannnya tak salah."Mas kenapa. Kenapa seperti ini?" tanyanya panik, sembari memegangi wajah suaminya yang lesu. Tak ada gairah di sana."Mas, habis darimana?" tanyanya lagi. Menatap intens wajah Aris, yang begitu mrnyedihkan seperti terjaga sepanjang malam."Nisa pergi," balasnya lirih, dan air itu kembali lolos dari mata elangnya.Sarah tertegun. Mencoba mencerna perkataan suaminya."Maksud Mas Aris, apa?" tanyanya bingung.Aris tak menjawab pertanyaan Sarah. Ia memilih diam sembari memejamkan mata. Dirinya kelelahan.Sarah mencoba menerka-nerka. Nisa p
"Siapa namamu?" tanya Lelaki itu. Kini ia duduk di kursi samping ranjang tempat Nisa terduduk.Nisa berfikir sejenak. Lebih baik, ia menggunakan nama belakangnya saja untuk persembunyiannya. Toh, di sini tak ada yang mengenalnya."Nayra," jawab Nisa datar."Emm, Baiklah. Nayra, adakah keluarga yang bisa dihubungi? Aku akan memberitahu tentang keadaanmu."Pertanyaan lelaki itu membuat Nisa terdiam."Tidak ada," jawabnya bohong. Nisa tak mau Sarina mengetahui kepergiannya. Bisa-bisa buleknya itu akan memaksanya untuk kembali pada Sarah.Lelaki itu mengernyitkan dahinya."Di mana orang tuamu?" tanyanya lagi."Orang tua saya sudah meninggal. Saya sebatang kara," jawabnya menatap objek di depannya. Kosong."Lalu, kau tinggal dimana?""Sa-saya tidak punya tempat tinggal," jawab Nisa tergagap.Lelaki itu terlihat berfikir. Matanya melirik pada tas besar yang ia bawa di tempat kejadian saat ia menabrak Nisa. Tas itu sudah menjelaskan bahwa Nisa pergi dari tempat tinggalnya.Tak mau banyak tan