Kruk ... krucuk kruk ...
Mendengar suara khas perut yang kelaparan, Aris membalikkan tubuhnya menghadap Nisa yang berbaring membelakanginya."Kau belum tidur?" tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Nisa.Kruk ... kruk ..."Kau jangan membohongiku, Nisa," ucapnya lagi, lantas menarik selimut yang menutupi kepala istrinya.Sedang Nisa terus merutuki perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, "benar-benar memalukan!" batinnya.Kemudian Nisa tersenyum, tatkala selimut yang menutup tubuhnya rapat rapat ditarik paksa oleh Aris."Aku juga lapar, buatkan aku makanan!" pinta Aris, kemudian beranjak dari tempat tidur. Melangkahkan kakinya menuju dapur.Mau tidak mau, Nisa terpaksa bangkit, mengekori langkah Suaminya dengan ragu."Aku tidak bisa masak," ucap Nisa menundukkan kepalanya.Aris mengernyitkan dahinya, ia lantas mendekati Nisa yang berdiri disamping meja makan dekat kursi yang ia duduki."Benarkah? lalu siapa yang memasak waktu pertama kali kau menginap disini? apakah meja itu bisa penuh dengan sendirinya?" tanya Aris dengan senyum menyelidik. Ya, Aris sudah merasakan masakan Nisa, saat ia kelaparan kemarin malam. Malam itu, Aris akan memasak Mie Instant. Tetapi urung, kala dirinya mencium aroma makanan saat kakinya menginjak lantai dapur. Tanpa basa-basi, Aris membuka tudung saji dengan kasar. Matanya langsung berbinar saat melihat bnyaknya makanan yang menggugah selera. Aris mulai mencicipi satu persatu makanan itu. "Sepertinya masih baru," batinnya kala itu.Setelahnya Aris bergegas mengambil piring. Memasukkan nasi beserta lauknya dengan cekatan. Ia ingin segera mengisi perutnya yang sudah meronta-ronta.Disela sela makannya, dirinya berfikir, tak mungkin Sarah yang menyiapkan semua ini. Sedangkan selama pernikahannya, tak pernah sekalipun ia lihat Sarah berada di dapur meski sekedar membuatkannya teh, kopi, ataupun makanan kesukaannya. Padahal hal itu sangat diinginkan oleh Aris. Pernah sekali ia mengungkapkan keinginan kecilnya itu, tetapi hanya dibalas dengan jawaban sepele yang keluar tanpa pertimbangan dari bibir merah Delima milik istri pertamanya. "Kan sudah ada pembantu Mas." Balasnya kala itu. Tak ingin kecewa lagi, Aris tak pernah kembali mengungkapkan keinginannya."Itu ..." jawab Nisa menggantung, diakhiri dengan helaan nafas panjang untuk mengusir rasa gugupnya."Baiklah, akan kubuatkan Mas, makanan!" ucapnya berlalu mendekati kulkas. Kemudian berkutat dengan bahan- bahan yang ada.Aris terdiam, ia masih duduk di posisinya. Dipandanginya punggung mungil Nisa yang dengan lincahnya meramu bahan-bahan mentah itu tanpa ragu, seolah gadis itu sudah hafal dengan semuanya. Tak bisa di pungkiri, ada rasa takjub dengan apa yang dilihatnya.Andai Sarah seperti ini, mungkin pernikahannya tetap sempurna, meski tak kunjung memiliki momongan. Keinginan Aris begitu sederhana. Sarah bisa melayaninya setiap hari, menyambutnya saat ia pulang kerja. Atau sekedar menyiapkan air hangat saat dirinya mandi. Meminum teh, dan bercengkrama dengan bahunya sebagai sandaran kepala Sarah. Ia ingin Sarah menyiapkan pakaian kerja, beserta sarapan buatan tangannya. Tetapi itu semua hanya mimpi. Sarah selalu pulang larut malam saat Aris sudah tak tahan dengan kantuknya. Bahkan sering kebutuhan biologisnya tak tersalurkan karna menunggu Sarah yang tak kunjung datang. Sarah selalu sibuk hang out, arisan sana-sini bersama teman-teman sosialitanya. Andaikan Aris mau, dengan mudahnya ia dapat mendepak Sarah dari hidupnya, ataupun bermain belakang dengan wanita lain. Namun dirinya tak sebejat itu."Mas?" ucapan Nisa membuyarkan lamunan Aris. Sudah sedari tadi, semangkuk sup dengan isian lengkap beserta kepulan asap yang kian berkurang, berada tepat di hadapannya tanpa ia sadari."Eh, ya?" jawab Aris bingung."Keburu dingin," titahnya datar. Nisa lantas menarik kursi yang berhadapan dengan Suaminya sebelum akhirnya ia mendudukkan tubuhnya.Setelah membaca doa dalam hati, Nisa mulai memakan Mie goreng pedas dengan sayur lengkap, beserta potongan sosis yang baru saja ia pindahkan ke piring keramik mewah itu.Aris melihat Nisa sudah memakan masakan miliknya dengan lahap. Sadar ada yang berbeda, Aris melongokkan kepalanya, mengamati piring milik Nisa."Itu apa?" tanya Aris basa-basi."Mie," jawab Nisa singkat, sembari menyuapkan makanan ke mulutnya."Kok punyaku beda? aku juga mau Mie sepertimu!" pintanya sembari menjauhkan mangkuk sup dihadapannya."Ini pedas, Mas gak akan kuat!" balasnya acuh."Kamu ngremehin aku? sini!" tantangnya. Aris menarik piring milik Nisa, kemudian langsung melahap mie pedas itu.Sedang Nisa melongo, menatap makanan kesukaanya diambil paksa.Aris terdiam sejenak begitu Mie itu masuk kemulutnya. Makanan itu begitu pas di lidahnya. Seumur-umur dirinya memakan mie, mie masakan Nisa adalah yang paling enak."Kamu makan yang ini saja ya, cewek gak bagus makan makanan pedas, nanti jerawatan!" ucap Aris sembari menyodorkan sup miliknya yang samasekali belum tersentuh."Tapi, itu makanan bekasku. Apa Mas gk jijik? kalo Mas mau, Nisa bakal buatin yang sama. Aku fikir tadi Mas gk suka pedas, makanya aku sengaja buatin yang beda," jelasnya.Aris tergelak mendengar jawaban istrinya. Dia mau membuatkannya lagi? sungguh jauh beda dengan Sarah. Jangankan memasak, menyiapkan saja tidak pernah."Kita kan udah Suami Istri, ngapain jijik? lagian ini bukan makanan kotor yang jatuh," ucapnya.Nisa hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kecil. Kemudian mereka melanjutkan makannya....Waktu menujukkan pukul dua dini hari, namun Nisa tak kunjung bisa memejamkan matanya. Ia membalikkan badan, melihat Suaminya yang seperti sudah tertidur. Setelahnya Nisa beranjak dari pembaringan, berniat untuk sholat malam.Setelah membersihkan diri, Nisa menggelar sajadahnya, kemudian melaksanakan sholat di kamar. Nisa bersyukur, meskipun ia hanya sebagai penebus hutang pamannya, menjadi rahim pengganti untuk wanita lain, dan meskipun buleknya dan Sarah tega terhadapnya. Setidaknya, suaminya adalah orang baik. Saat ini mungkin dirinya tak akan tertekan dengan pernikahannya, tapi tetap saja, ia masih tak bisa membayangkan, jika suatu saat nanti ia melahirkan dan harus berpisah dari bayinya....Sama halnya dengan Nisa, Aris juga tak bisa benar-benar memejamkan matanya. Ia pandangi tubuh mungil istri kecilnya yang berbaring membelakanginya. Bayang- bayang kerumitan rumah tangganya begitu membuatnya pusing. Apakah ia harus menuruti rencana Sarah? melanjutkan drama yang pasti akan sangat menyakiti pihak ketiga-Annisa.Meskipun Dirinya ingin. Aris tak tega memaksakan kehendak untuk melayaninya demi segera hadirnya sang buah hati. Aris mengakui pesona gadis disampingnya. Pun jika Nisa dengan sukarela menawarkan dirinya, mungkin Aris akan berfikir dua kali untuk melakukan hubungan itu. Masa depan Annisa yang masih panjang, adalah hal yang paling memberatkannya.Eentah berapa lama Aris berlayar dalam lautan fikirannya. Laksana kapal tanpa awak yang terbawa ombak. Seperti perahu yang kehilangan dayung, terombang-ambing. Mengikuti kemana angin akan membawanya berlabuh di antara dua hati. Karna jujur, Aris tak bisa menjamin jika dirinya tak akan jatuh cinta pada Nisa. Jika pun nanti Aris benar-benar mencintai Nisa, itu tak sepenuhnya salah dirinya bukan? pernikahan kedua ini tak pernah sekalipun terbesit difikirannya.Aris pun menyadari, dirinya sebagai lelaki. Sebagai Suami. Sebagai Imam, dan kepala rumah tangga. Sama sekali tak bisa tegas terhadap istrinya-Sarah. Air mata Sarah meluluhkan amarahnya yang sudah di ujung tanduk, saat kali pertama ia mengungkapkan rencananya ingin menikahkannya dengan Nisa sore itu.Mata Aris masih terpejam, fikirannya masih penuh dengan bayang-bayang yang terus berputar di kepalanya. Memikirkan keputusan selanjutnya yang akan ia ambil.Sampai ia sadari, Nisa juga belum tertidur seperti dirinya. Meskipun matanya tertutup, Aris bisa merasakan jika Nisa menoleh dan melihat dirinya sekilas. Membuat Aris membuka sedikit matanya. Dilihatnya Nisa mulai beranjak dari tempat tidur dengan sangat hati-hati, kemudian melangkah perlahan, sampai kaki mungil itu menghilang dibalik pintu kamar mandi.Aris masih dengan pura-pura tidurnya. Menunggu apa yang akan dilakukan gadis itu. Tak lama kemudian, Nisa keluar dari balik pintu. Tak ada hijab yang menutupi rambut indahnya. Begitu sempurna, dengan air yang masih membasahi wajahnya. Lengan bajunya yang digulung sampai atas siku, memperlihatkan kulit putih bersih itu melangkah sampai dekat dengan dirinya.Dilihatnya Nisa mulai mengenakan mukena, setelahnya menjalankan Sholat. Aris merasa malu, betapa selama ini ia telah begitu lalai. Ia bahkan sudah lupa akan bacaan-bacaan dalam gerakannya.Aris kembali merasa tersayat saat melihat Nisa menengadahkan tangannya, dirinya seperti merasakan apa yang dirasakan Nisa."Nisa, kenapa kau menerima semua ini. Seharusnya kau masih belajar, bersenang-senang bersama teman-temanmu dan menikmati masa mudamu. Bahkan kau bisa memilih, berhak menolak dan menerima mana laki-laki yang pantas menjadi Suamimu. Bukan malah masuk ke lorong hitam seperti ini. Kenapa Nisa? apa kau tak punya pilihan? atau kau terpaksa?" ucapnya dalam hati.Aris masih memandangi Nisa yang tetap berada di atas sajadahnya. Sampai beberapa menit kemudian. Tubuh mungil itu semakin menunduk, hingga membuatnya terbaring merosot, membuat dirinya terkesiap dan bangkit, seraya melongokkan kepalanya, melihat ke bawah. Merasa tak ada pergerakan di tubuh Nisa. Perlahan Aris turun dari ranjang, lantas mendekati Nisa yang ternyata sudah tertidur dengan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. Aris terdiam sejenak, ia semakin mendekatkan pandangannya, menatap wajah istri polosnya lamat-lamat dengan hati yang kian berdesir entah kenapa. Setelah puas dirinya menikmati wajah manis Nisa. Aris kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Setelahnya ia berdiri, mengambil dua bantal beserta selimut untuknya dan Nisa. Aris mengangkat kepala Nisa dengan hati-hati, kemudian meletakkan bantal di bawahnya. Detik kemudian, ia berbaring dan masuk ke selimut yang sama.Annisa mengerjap-ngerjapkan matanya tatkala adzan subuh tengah berkumandang. Ia berg
Sarah meninggalkan Apartemen dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Ingin rasanya ia kembali. Namun, hatinya tak cukup kuat untuk melihat suaminya bersama Nisa. Ia tak mau mendengar sesuatu yang akan membuatnya menggagalkan malam panas mereka. Karena bagaimanapun juga, dirinya adalah seorang Istri, yang tak akan rela jika suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain.Sarah menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya memasuki mobil dan melaju di tengah keramaian jalan kota. Fikirannya kalut, beserta dadanya yang terasa sesak membayangkan Suaminya menyentuh wanita selain dirinya.Sebuah penyesalan tiba-tiba menyusup merasuki hatinya. Kenapa juga dia menikahkan suaminya?"Semua karena rahim kosong si*lan ini!" ucapnya dalam hati, sembari memukul setir dengan kasar. Dirinya semakin frustasi mengingat masalalunya yang kelam.Fikiran Sarah seakan buntu, ia tak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosinya yang seperti ini. Ia tak mau melampiaskan amarahnya, d
Sarah keluar dari gedung hotel dengan langkah kasar. Membawa amarah yang masih sepenuhnya menguasai hatinya. Kenapa lelaki brengsek itu muncul lagi di hidupnya yang sudah tenang? sepanjang langkahnya, tak hentinya Sarah mengutuk Danar.Sarah menghentikan langkahnya. Pandangannya menyusuri mobil yang berjejer rapi. Dirinya belum menyadari dengan siapa ia datang kesini."Sial" umpatnya dalam hati ketika dirinya mulai sadar. Ia lantas memesan taxi online.Beberapa menit kemudian, Sarah menaiki taxi pesanannya."Diskotik Ex*****s," ucap Sarah pada supir.Kemudian Mobil itu berjalan, hingga sampai ditempat yang dituju.Sarah berlari kecil setelah membayar tumpangannya. Menghampiri mobil merahnya yang terlihat mencolok dari kejauhan. Dirinya lantas membuka tas mungil brandednya, mencari sesuatu di sana. Sampai ia menumpahkan semua isinya di atas mobil, namun ia tetap dapat menemukan kunci mobilnya.Sarah terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Namun percuma, karena setelah meminum bir sem
Sarah tak menyangka dengan perlakuan suaminya yang lebih membela Nisa ketimbang dirinya. Ingin rasanya ia melempar semua barang-barang dikamar ini. Meluapkan semua amarahnya. Namun ancaman suaminya membuat dirinya terpaksa meredamnya sebisa mungkin.Bagaimana jika benar Suaminya tak akan melakukan rencananya itu? Sia-sia ia mencarikan wanita untuk menggantikan rahimnya. Sementara waktunya tiga bulan lagi, jika sampai detik itu Suaminya tak juga menyentuh dan membuat wanita itu hamil. Dirinya tidak akan bisa bersandiwara atas kehamilan palsunya, dan mertuanya pasti benar-benar akan menikahkan suaminya lagi. Bayangan posisinya akan tergeser dari keluarga Sanjaya jika sampai hal itu terjadi membuatnya bergidik.Sarah mengatur nafasnya dalam- dalam. Mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus berfikir jernih agar rencananya berjalan mulus. Menghadapi Suaminya harus dengan cara yang cantik.Yang harus dilakukannya saat ini adalah merayu dan meminta maaf atas perlakuannya beberapa menit yang
Flashback OnKematian kedua orang tua Nisa. Membuat Sarina terpaksa menampung Annisa yang saat itu usianya belum genap tujuh tahun. Karena hanya dirinyalah satu- satunya keluarga yang dimiliki. Jika saja orang tua Nisa tidak kaya, dirinya tak akan mau merawat Nisa. Mungkin Sarina lebih memilih menaruhnya di panti.Sampai akhirnya, Sarina bisa menguasai harta warisan Nisa. Menjual rumah, beserta aset-asetnya, menghabiskannya hingga tak tersisa, dengan dalih dirinyalah yang merawatnya. Sejak saat itu, awal perlakuan manis Sarina terhadap Nisa mulai memudar, seiring dengan menipisnya harta warisan yang ia gerogoti.Sarina sangat membenci Nisa, karena suaminya selalu memuji prestasinya. Membanding-badingkannya dengan Desi, seolah-olah Desi bukan anak kandungnya.Sampai Sarina menghasut Desi, meracuni fikirannya untuk membenci Nisa. Desi yang awalnya berlaku baik terhadap Nisa, perlahan terhasut ucapan ibunya. Hingga akhirnya, kebencian itu telah tertanam sempurna di hati Desi. Ia tak lagi
Sarah sengaja membanting pintu dengan keras. Berharap Aris akan mengejarnya. Ia berjalan mondar-mandir, menunggu suaminya di dalam kamar. Namun sampai menit setelahnya, tak ada tanda-tanda jika Aris menyusulnya.Kemudian Sarah mendekati jendela, menyingkap sedikit tirainya. Dilihatnya Aris masih berada dalam mobil, tengah menjentus-jentuskan kepalanya di setir.Sarah semakin cemas. Dirinya sungguh takut, jika suaminya telah menaruh rasa pada gadis itu. Baru sehari Nisa menjadi madunya, namun sudah membuat dirinya bertengkar hebat dengan Aris. Sarah sungguh tak mengerti dengan suaminya. Kenapa dia segitunya membela gadis itu?"Jika aku tak bisa mencegah Mas Aris untuk berbuat adil, maka aku yang akan membuat Nisa menolaknya!" ucapnya dalam hati, dengan seringai yang menakutkan.Setelah mengucapkan kalimat itu, Sarah menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia menggeliat, melenturkan persendiannya yang terasa pegal.Dering suara ponsel yang berada di atas nakas, membuat Sarah yang hampir terp
Nisa memutuskan merebahkan tubuhnya setelah kepergian Aris dan Sarah, berharap bisa memejamkan mata walau sekejap. Ia membolak-balikkan badannya, mencari posisi ternyaman. Namun tetap tak ditemukannya. Merasa bosan menunggu rasa kantuk yang tak kunjung mendera, Nisa memutuskan bangkit, keluar kamar. Lantas melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dipandanginya kaca besar yang menembus pemandangan didepannya. Memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi berjejer tak beraturan. Asing. Itu yang ia rasakan. Dirinya lantas duduk di sofa, tangannya meraih remot tv yang berada didepannya. Ia tekan tombol itu, detik kemudian, layar kaca yang berukuran besar itu menyala. Sampai setengah jam setelahnya, TV itu berhasil membuat dirinya memejamkan mata.Nisa terbangun saat langit mulai berubah warna menjadi jingga kemerah- merahan. Dirinya lantas bangkit, membersihkan diri. Kemudian melaksanakan sholatnya.Setelahnya, Nisa menyiapkan bahan masakan untuk makan nanti malam.
"Kakek sama Nenek udah lama jualan disini?" tanya Nisa, pada kedua pasangan yang sedang sibuk membuat nasi goreng pesanannya."Masih Baru Cu, sekitar dua mingguan, jelas sang Nenek."Anak-anak Nenek kemana?" tanya Nisa ingin tahu. Bagaimana tidak, seharusnya diusia mereka, sudah saatnya mereka beristirahat. Menikmati masa tuanya."Nenek gak punya anak Cu," jelasnya. Terlihat jelas gurat kesedihan di wajahnya. Membuat Nisa merasa bersalah telah meelontarkan pertanyaan itu."Maaf, ya Nek," ucap Nisa, kemudian berdiri. Menghampiri sang kakek yang sedang berjalan tertatih mengantarkan Nasi gorengnya."Biar saya saja Kek!" ujar Nisa sembari mengambil dua porsi Nasi goreng dari tangannya."Terimakasih Cu," Balas Kakek.Setelahnya, Nisa membawa Nasi goreng ditangannya, kemudian meletakkannya di meja."Mas, kok nggak dimakan? enak lo," ucap Nisa sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.Aris menelan ludahnya berat. Ragu, ia menyendok hidangan di hadapannya.Nisa melihat gelagat Aris, dan dengan
Matahari perlahan mulai menampakkan dirinya. Usai shalat subuh tadi, Nisa keluar kamar, bermaksud menemui Danar seperti permintaanya. Namun ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya saat Danar tak juga muncul untuk menanyakan sesuatu yang dia sendiri tak bisa menebaknya.Melihat jam dinding, Nisa lantas keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia menghampiri Simbok yang tengah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan."Selamat pagi Mbok ..." sapanya.Mbok Sumi menoleh, membalas Nisa dengan senyuman yang tak seperti biasanya. Sedang Nisa merasa aneh, kenapa hari ini sikap Mbok Sumi dan Danar terasa berbeda."Di depan mobil siapa, Mbok?" tanya Nisa kemudian, mencoba mencairkan suasana. Dirinya memang sempat ke ruang tamu untuk membuka gorden dan cendelanya. Namun ia melihat ada dua mobil terparkir di halaman. Satu milik Danar, dan satu lagi, ia tak tahu. Itu tandanya semalam ada orang yang datang saat ia tertidur."Ada temannya Den Danar, Non. Tadi malam sengaja Aden panggil ke sini untuk me
Waktu terus berputar, menorehkan kisahnya masing-masing pada takdir makhluk hidup di bumi. Bukankah yang menderita tak akan selamanya tetap tersakiti bukan? begitupun sebaliknya. Roda kehidupan masih terus berputar, seiring dengan takdir yang sudah ditetapkan sang Pencipta. Manusia hanya tinggal menunggu gilirannya masing-masing. Mendapat balasan apa yang telah mereka tuai.Tak terasa, sudah satu bulan Nisa berada disini. Ditempat dimana Danar membawanya. Meskipun siang malam ia lalui dengan gelisah. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Nama Aris sudah terpahat dengan sempurna di hatinya. Rasa rindu yang menggebu seringkali ia rasakan saat kesendirian menyelimutinya. Nisa yang malang. Ia hanya bisa berdoa. Berharap takdir berpihak padanya. Berharap agar Allah kembali menyatukannya dengan suaminya dengan cara yang berbeda, tanpa ada orang ketiga dalam rumah tangganya nanti. Tak peduli, berapa puluh tahun kemudian. Yang jelas, ia akan tetap menanti sampai saat itu tiba. Danar terdiam,
Nisa menatap keluar jendela kamarnya. Terlihat rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa tengah meliuk-liuk tertiup angin. Meskipun hari sudah siang, udara sejuk masih ia rasa.Merasa bosan, Nisa lantas keluar rumah. Kemudian duduk diteras, memandangi bunga-bunga bermekaran yang begitu memanjakan matanya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia merasa tak tenang. Statusnya yang masih sebagai Istri, membuatnya seolah dibayangi dosa, karena kepergiannya dari rumah tanpa seizin suaminya.Berkali-kali Nisa menepis bayangan Aris yang seakan melambai menunggunya kembali. Namun, rasa berdosa itu hilang entah kemana, saat sekelebat wajah Sarah muncul tiba-tiba tanpa dapat ia cegah.Nisa merasa bingung dengan kedepannya. Hidupnya menjadi rumit. Ia merasa tak bebas. Karena dirinya tahu, suaminya dan Sarah tak akan melepasnya begitu saja. Terlebih dengan Sarah. Wanita itu pasti akan mencarinya mati-matian, untuk memaksanya kembali.Jika saja Sarah adalah orang baik seperti suaminya. Ia p
Matahari perlahan merangkak naik. Membuat hawa panas semakin menyengat di kota ini. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Alan masih dalam pencariannya menemukan Nisa. Terakhir kali ia melihat di operator cctv, saat Gadis itu terserempet sebuah mobil dengan warna dan plat nomor yang tak asing dimatanya. Terlebih, saat dirinya melihat pemilik mobil itu turun dan menolong Nisa, ia semakin membenarkan dugaannya.Tanpa basa-basi, Alan langsung menghubungi seseorang yang diduga pemilik mobil itu. Memintanya untuk bertemu di sebuah cafe."Halo, Selamat siang. Dengan Bapak Danar?" tanya Alan, saat panggilannya tersambung."Ya. Saya sendiri. Anda siapa?" balas Danar."Saya Alan, Asistennya Tuan Aris. Bisakah kita bertemu?" pintanya sopan.Danar melihat jam tangan. Pekerjaannya memang hampir selesai. Tapi dirinya ingin segera pulang ke rumah kayunya untuk menemui Nayra."Bagaimana, Pak?" tanya Alan lagi, membuat Danar terpaksa mengiyakan permintaan Alan. Ia tak mau ambil pusing. Mungkin ada urusa
"Mas Aris, dimana Bik?" tanya Sarah, menghampiri Bi Limah di dapur."Keluar Non," jawabanya."Keluar?" ulangnya, heran. Bukannya tadi suaminya itu begitu kelelahan."Iya, Non.""Kemana?" tanyanya lagi."Saya gak tahu, Non. Tapi tadi Den Alan kesini, kemudian mereka pergi," jelasnya, membuat Sarah mengerti. Pasti suaminya itu meminta Alan untuk mencari Gadis sialan itu.Sarah menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel milik suaminya malah terdengar dari dalam kamar. "Aah, Sial. Ngapain sih Mas Aris pake acara ikut segala! Mana ponselnya, gak dibawa lagi!" batinnya mengumpat. Terpaksa ia harus menghubungi Alan, meski dirinya begitu tak menyukainya."Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Alan dari seberang."Mana, Mas Aris," tanyanya tanpa basa- basi."Sedang istirahat," balasnya."Dimana?" tanya Sarah lagi."Apartemen," jelas Alan.Detik kemudian, sambungan terputus sepihak oleh Sarah.Alan mencebik, mengangkat bahunya. Entah kenapa, dirinya tak menyukai istri Bosnya itu.
Danar melihat jam tangan. Masih pagi, ia duduk di taman belakang setelah meminta Simbok membawa Nisa ke kamar."Tehnya, Den," ucap Simbok menghampiri. Meletakkan secangkir teh di atas meja."Makasih Mbok," balasnya tersenyum."Sama-sama, Den!" ucap Simbok, kemudian berlalu. Meninggalkannya seorang diri di taman belakang.Danar mengambil cangkir di atas meja. Menyeruputnya perlahan. Ia mengambil napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bau embun yang masih melekat di dedaudan begitu kental dirasa. Sudah lama ia tak merasakan susana ini. Terakhir kali ia datang kesini sekitar dua bulan yang lalu. Saat ia baru kembali ke tanah air dari kepergiannya keluar negeri menemui kedua orang tuanya yang menetap disana.Setelah dirasa cukup, Danar meninggalkan tempat itu. Langkahnya mendekati kamar Nisa. Ia terdiam, merasa ragu untuk mengetuk pintunya. Danar kembali melihat jam tangan. Hari ini ada pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan."Mbok ..." panggilnya, menghampiri Simbok yang terliha
Danar menggeliat, merenggangkan persendiannya yang terasa kram karena tidur di tempat yang sempit. Merasa ada pergerakan, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Pandangannya beralih pada sosok putih yang sedang berdiri di tengah kegelapan. Matanya melebar, terkejut bukan main, Danar bergegas bangkit dengan jantung berdebar dan lututnya yang terasa lemas. Susah payah ia menekan saklar untuk menghidupkan lampunya. Detik kemudian lampu menyala, kembang kempis Danar meraup wajah dengan gelak tawanya yang tertahan. Bisa-bisanya ia merasa ketakutan. Sosok putih itu bukanlah hantu, melainkan Gadis yang ia srempet dan menyebut namanya sebagai, Nayra.Danar kembali ke sofa. Pandangannya melihat selang infus yang sudah dicabut paksa dari pemiliknya. Kemudian tatapannya beralih pada sosok yang meyejukkan jiwanya. Ia pandangi gerak gerik Nisa. Gadis itu masih belia. Namun pesonanya mampu menggetarkan hatinya yang bertahun-tahun telah mati. Ia jauh berbeda dari sekian banyak wanita yang perna
Sarah membuka matanya, kala mendengar suara knop pintu kamarnya dibuka. Meski belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia melihat betul penampilan suaminya yang begitu berantakan. Menyadari lebih jelas, Sarah tersentak lantas terduduk dari pembaringannya. Berulangkali Sarah mengucek matanya, memastikan jika dirinya tak salah lihat. Sampai Aris terlihat mendekat, kemudian tubuhnya ambruk di atas ranjang. Membuat Sarah sadar, jika penglihatannnya tak salah."Mas kenapa. Kenapa seperti ini?" tanyanya panik, sembari memegangi wajah suaminya yang lesu. Tak ada gairah di sana."Mas, habis darimana?" tanyanya lagi. Menatap intens wajah Aris, yang begitu mrnyedihkan seperti terjaga sepanjang malam."Nisa pergi," balasnya lirih, dan air itu kembali lolos dari mata elangnya.Sarah tertegun. Mencoba mencerna perkataan suaminya."Maksud Mas Aris, apa?" tanyanya bingung.Aris tak menjawab pertanyaan Sarah. Ia memilih diam sembari memejamkan mata. Dirinya kelelahan.Sarah mencoba menerka-nerka. Nisa p
"Siapa namamu?" tanya Lelaki itu. Kini ia duduk di kursi samping ranjang tempat Nisa terduduk.Nisa berfikir sejenak. Lebih baik, ia menggunakan nama belakangnya saja untuk persembunyiannya. Toh, di sini tak ada yang mengenalnya."Nayra," jawab Nisa datar."Emm, Baiklah. Nayra, adakah keluarga yang bisa dihubungi? Aku akan memberitahu tentang keadaanmu."Pertanyaan lelaki itu membuat Nisa terdiam."Tidak ada," jawabnya bohong. Nisa tak mau Sarina mengetahui kepergiannya. Bisa-bisa buleknya itu akan memaksanya untuk kembali pada Sarah.Lelaki itu mengernyitkan dahinya."Di mana orang tuamu?" tanyanya lagi."Orang tua saya sudah meninggal. Saya sebatang kara," jawabnya menatap objek di depannya. Kosong."Lalu, kau tinggal dimana?""Sa-saya tidak punya tempat tinggal," jawab Nisa tergagap.Lelaki itu terlihat berfikir. Matanya melirik pada tas besar yang ia bawa di tempat kejadian saat ia menabrak Nisa. Tas itu sudah menjelaskan bahwa Nisa pergi dari tempat tinggalnya.Tak mau banyak tan