Nisa memutuskan merebahkan tubuhnya setelah kepergian Aris dan Sarah, berharap bisa memejamkan mata walau sekejap. Ia membolak-balikkan badannya, mencari posisi ternyaman. Namun tetap tak ditemukannya. Merasa bosan menunggu rasa kantuk yang tak kunjung mendera, Nisa memutuskan bangkit, keluar kamar. Lantas melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dipandanginya kaca besar yang menembus pemandangan didepannya. Memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi berjejer tak beraturan. Asing. Itu yang ia rasakan. Dirinya lantas duduk di sofa, tangannya meraih remot tv yang berada didepannya. Ia tekan tombol itu, detik kemudian, layar kaca yang berukuran besar itu menyala. Sampai setengah jam setelahnya, TV itu berhasil membuat dirinya memejamkan mata.Nisa terbangun saat langit mulai berubah warna menjadi jingga kemerah- merahan. Dirinya lantas bangkit, membersihkan diri. Kemudian melaksanakan sholatnya.Setelahnya, Nisa menyiapkan bahan masakan untuk makan nanti malam.
"Kakek sama Nenek udah lama jualan disini?" tanya Nisa, pada kedua pasangan yang sedang sibuk membuat nasi goreng pesanannya."Masih Baru Cu, sekitar dua mingguan, jelas sang Nenek."Anak-anak Nenek kemana?" tanya Nisa ingin tahu. Bagaimana tidak, seharusnya diusia mereka, sudah saatnya mereka beristirahat. Menikmati masa tuanya."Nenek gak punya anak Cu," jelasnya. Terlihat jelas gurat kesedihan di wajahnya. Membuat Nisa merasa bersalah telah meelontarkan pertanyaan itu."Maaf, ya Nek," ucap Nisa, kemudian berdiri. Menghampiri sang kakek yang sedang berjalan tertatih mengantarkan Nasi gorengnya."Biar saya saja Kek!" ujar Nisa sembari mengambil dua porsi Nasi goreng dari tangannya."Terimakasih Cu," Balas Kakek.Setelahnya, Nisa membawa Nasi goreng ditangannya, kemudian meletakkannya di meja."Mas, kok nggak dimakan? enak lo," ucap Nisa sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.Aris menelan ludahnya berat. Ragu, ia menyendok hidangan di hadapannya.Nisa melihat gelagat Aris, dan dengan
"Bulek?" Nisa meraih tangan Sarina yang masih bengong memandangi dirinya dan suaminya secara bergantian. Kemudian ia cium tangan itu takzim.Walaupun Sarina tak pernah berlaku baik padanya. Namun tak ada rasa benci sedikitpun di hati Nisa."Gimana kabar Bulek? Mana Desi?" tanya Nisa melongok, melihat ke dalam."Udah tidur!" balasnya ketusNisa merasa kikuk, karena Sarina sama sekali tak mempersilahkannya masuk."Bulek, sebenarnya Nisa kesini mau mengambil sesuatu," ucapnya dan Sarina menatap tajam."Barang-barangmu udah gak ada disini!" ucapnya kemudian.Aris yang melihat perlakuan Sarina terhadap Nisa merasa geram, tangannya terkepal tanpa ia sadari."Boleh kami masuk?" tanya Aris menekan. Napasnya terasa naik turun menahan emosi."Oh, silahkan!" jawab Sarina tak suka.Setelahnya, Nisa dan Aris masuk. Mengekori langkah Sarina."Saya membawa Nisa kesini, hanya untuk mengambil Ijazah, beserta surat- surat pribadinya," jelas Aris, setelah mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.Sarina m
Sarah mengemudikan mobilnya dengan hati yang dongkol. Kenapa juga mertuanya menawarkan Danar untuk ikut ke rumahnya?"Bagaimana dengan kandunganmu, sudah berhasil?" tanya Henni, membuat emosi Sarah seketika teralihkan."Belum, Ma. Doain aja ya," balasnya memaksakan senyum. Pertanyaan yang di lontarkan mertuanya sudah puluhan kali menghujam batinnya sebagai seorang wanita."Kamu ingat, kan, ucapan Mama?" tanyanya."Jika sampai kamu belum hamil, sampai batas waktu yang sudah Mama tentukan. Dengan terpaksa Mama akan mencarikan Istri kedua untuk suamimu. Mama sudah tidak bisa menahannya lagi. Mama sudah semakin tua. Sedang umur Aris juga semakin bertambah. Tapi sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda kehamilan di rahimmu," imbuhnya mantap."Sarah mengerti Ma. Sarah jamin, sarah akan hamil secepatnya," balasnya yakin."Aku harus secepatnya menyuruh Mas Aris, menyentuh wanita itu. Jika perlu, aku akan menjebak mereka," batinnya menyeringai licik.*****Yono, yang tak lain adalah tukang kebu
Nisa menatap kosong jalanan yang mulai sepi kendaraan. Fikirannya masih tertinggal di rumah Sarina. Sedang Aris hanya diam, sambil sesekali melirik Nisa yang terlihat gelisah."Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Aris membuyarkan lamunan Nisa."Gak usah Mas, kita pulang saja," jawabnya datar."Bisa lebih cepat gak Mas, Nisa ngantuk. Pengen istirahat," imbuhnya lagi. Padahal, bukan itu alasannya.Aris mengangguk, lantas mempercepat laju mobilnya.*****"Mas gak pulang?" tanya Nisa sembari meletakkan surat-surat pribadinya ke dalam lemari kamarnya. Setelahnya menghampiri Aris yang tengah bersandar di kepala ranjang.Aris menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal."Emm ... aku tidur disini saja," jawabnya sembari menggeliatkan tubuhnya. Kemudian berbaring, dan membalut tubuhnya dengan selimut."Mas Aris sudah izin sama Mbak Sarah kan?" tanya Nisa memastikan."Sudah," jawabnya bohong.Nisa mengangguk. Kemudian berbaring dan masuk ke selimut yang sama.****Berulang kali Nisa mengerja
Henni mondar mandir di dalam kamar tamu. cemas. Pandangannya sesekali melihat Danar yang tak kunjung sadar dari pingsannya. Ia melangkah keluar, menelfon kembali Dokter Adam yang tak kunjung datang."Halo, Dokter?" sapa Henni, setelah panggilannya diangkat."Ya, Nyonya. Saya sedang dalam perjalanan," balas Dokter Adam." Baiklah. Saya tunggu secepatnya!" balas Henni, kemudian memutuskan sambungan telfon.Henni ingin kembali ke kamar saat sebelum ponsel yang masih dalam genggamannya berdering, membuat langkahnya terhenti. Ia lihat nama yang tertera dilayar, kemudian mengangkatnya."Darimana saja kamu! cepat pulang, sekarang!" pintanya kesal, kemudian memutuskan sambungan."Permisi Nyonya!" ucap seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu. Membuat langkah Henni kembali terhenti."Dokter, Mari silahkan masuk!""Siapa yang sakit?" tanya Dokter Adam."Dokter, ikut saya!" pinta HenniDokter adam mengangguk, lantas mengekori langkah Henni masuk ke ruang tamu.Dokter Adam terkesiap melihat
Sarina menatap kepergian Nisa dengan seringai liciknya. Ia mengantar keponakannya sampai di pintu, menunggu hingga mobil yang membawanya menghilang dari pandangannya. Kemudian dengan tak sabar, ia melangkah tergesa sembari menyambar tas persegi berwarna hitam yang tergeletak di sofa ruang tamu. Membawanya ke kamar putrinya.Dengan hati berdebar Sarina membuka tas itu. Matanya hampir copot melihat tumpukan uang yang tertata hampir memenuhi tas dihadapannya."Kita kaya Desi! Kita kaya!" teriak Sarina kegirangan, melihat uang yang baru saja ia buka dari dalam tas yang di berikan Sarah.Desi yang sedari tadi acuh memainkan gawainya, sontak terduduk membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Uang siapa ini Ma!" sentak Desi terkejut."Uang kita lah. Ada untungnya juga kita nampung si Annisa itu!" jawabnya tanpa dosa.Mata Desi semakin melebar mendengar jawaban ibunya."Mama jual Annisa?" tanyanya lagi, walau sebenarnya ia tak peduli."Bisa dibilang begitu juga sih!" jawab Sarina ac
Sarah tersentak kaget. Dirinya terbangun dengan napas terengah-engah tak beraturan. Keringat dingin begitu deras keluar dari pelipisnya. Ia pegang jantungnya yang berdegup kencang. "Sial!" umpatnya dalam hati.Rasa bersalahnya terhadap Danar begitu merasuk dalam alam bawah sadarnya. Hingga memori kejadian lima tahun lalu berputar dengan detailnya kedalam mimpi, bagai tayangan slide yang terus berulang-ulang mengejarnya.Sarah beranjak dari tempat tidur, dengan gemetar ia melangkah kekamar mandi. Kemudian membasuh wajahnya. Sarah termenung menatap lamat-lamat gambaran dirinya di cermin. Kenapa semua harus terjadi? rasa bersalah, hingga ketakutan rahasianya terbongkar, ditambah dengan masalah rumah tangganya yang begitu rumit. Membuat dirinya merasa pusing. Mana yang harus ia bereskan terlebih dulu?"Aaargghhh!" teriaknya dalam hati.Sarah tak ingin semuanya terbongkar. Tapi, ia juga tak ingin jika suaminya mulai mencintai Nisa. Keduanya adalah masalah besar yang bisa mendepaknya dalam
Matahari perlahan mulai menampakkan dirinya. Usai shalat subuh tadi, Nisa keluar kamar, bermaksud menemui Danar seperti permintaanya. Namun ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya saat Danar tak juga muncul untuk menanyakan sesuatu yang dia sendiri tak bisa menebaknya.Melihat jam dinding, Nisa lantas keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia menghampiri Simbok yang tengah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan."Selamat pagi Mbok ..." sapanya.Mbok Sumi menoleh, membalas Nisa dengan senyuman yang tak seperti biasanya. Sedang Nisa merasa aneh, kenapa hari ini sikap Mbok Sumi dan Danar terasa berbeda."Di depan mobil siapa, Mbok?" tanya Nisa kemudian, mencoba mencairkan suasana. Dirinya memang sempat ke ruang tamu untuk membuka gorden dan cendelanya. Namun ia melihat ada dua mobil terparkir di halaman. Satu milik Danar, dan satu lagi, ia tak tahu. Itu tandanya semalam ada orang yang datang saat ia tertidur."Ada temannya Den Danar, Non. Tadi malam sengaja Aden panggil ke sini untuk me
Waktu terus berputar, menorehkan kisahnya masing-masing pada takdir makhluk hidup di bumi. Bukankah yang menderita tak akan selamanya tetap tersakiti bukan? begitupun sebaliknya. Roda kehidupan masih terus berputar, seiring dengan takdir yang sudah ditetapkan sang Pencipta. Manusia hanya tinggal menunggu gilirannya masing-masing. Mendapat balasan apa yang telah mereka tuai.Tak terasa, sudah satu bulan Nisa berada disini. Ditempat dimana Danar membawanya. Meskipun siang malam ia lalui dengan gelisah. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Nama Aris sudah terpahat dengan sempurna di hatinya. Rasa rindu yang menggebu seringkali ia rasakan saat kesendirian menyelimutinya. Nisa yang malang. Ia hanya bisa berdoa. Berharap takdir berpihak padanya. Berharap agar Allah kembali menyatukannya dengan suaminya dengan cara yang berbeda, tanpa ada orang ketiga dalam rumah tangganya nanti. Tak peduli, berapa puluh tahun kemudian. Yang jelas, ia akan tetap menanti sampai saat itu tiba. Danar terdiam,
Nisa menatap keluar jendela kamarnya. Terlihat rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa tengah meliuk-liuk tertiup angin. Meskipun hari sudah siang, udara sejuk masih ia rasa.Merasa bosan, Nisa lantas keluar rumah. Kemudian duduk diteras, memandangi bunga-bunga bermekaran yang begitu memanjakan matanya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia merasa tak tenang. Statusnya yang masih sebagai Istri, membuatnya seolah dibayangi dosa, karena kepergiannya dari rumah tanpa seizin suaminya.Berkali-kali Nisa menepis bayangan Aris yang seakan melambai menunggunya kembali. Namun, rasa berdosa itu hilang entah kemana, saat sekelebat wajah Sarah muncul tiba-tiba tanpa dapat ia cegah.Nisa merasa bingung dengan kedepannya. Hidupnya menjadi rumit. Ia merasa tak bebas. Karena dirinya tahu, suaminya dan Sarah tak akan melepasnya begitu saja. Terlebih dengan Sarah. Wanita itu pasti akan mencarinya mati-matian, untuk memaksanya kembali.Jika saja Sarah adalah orang baik seperti suaminya. Ia p
Matahari perlahan merangkak naik. Membuat hawa panas semakin menyengat di kota ini. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Alan masih dalam pencariannya menemukan Nisa. Terakhir kali ia melihat di operator cctv, saat Gadis itu terserempet sebuah mobil dengan warna dan plat nomor yang tak asing dimatanya. Terlebih, saat dirinya melihat pemilik mobil itu turun dan menolong Nisa, ia semakin membenarkan dugaannya.Tanpa basa-basi, Alan langsung menghubungi seseorang yang diduga pemilik mobil itu. Memintanya untuk bertemu di sebuah cafe."Halo, Selamat siang. Dengan Bapak Danar?" tanya Alan, saat panggilannya tersambung."Ya. Saya sendiri. Anda siapa?" balas Danar."Saya Alan, Asistennya Tuan Aris. Bisakah kita bertemu?" pintanya sopan.Danar melihat jam tangan. Pekerjaannya memang hampir selesai. Tapi dirinya ingin segera pulang ke rumah kayunya untuk menemui Nayra."Bagaimana, Pak?" tanya Alan lagi, membuat Danar terpaksa mengiyakan permintaan Alan. Ia tak mau ambil pusing. Mungkin ada urusa
"Mas Aris, dimana Bik?" tanya Sarah, menghampiri Bi Limah di dapur."Keluar Non," jawabanya."Keluar?" ulangnya, heran. Bukannya tadi suaminya itu begitu kelelahan."Iya, Non.""Kemana?" tanyanya lagi."Saya gak tahu, Non. Tapi tadi Den Alan kesini, kemudian mereka pergi," jelasnya, membuat Sarah mengerti. Pasti suaminya itu meminta Alan untuk mencari Gadis sialan itu.Sarah menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel milik suaminya malah terdengar dari dalam kamar. "Aah, Sial. Ngapain sih Mas Aris pake acara ikut segala! Mana ponselnya, gak dibawa lagi!" batinnya mengumpat. Terpaksa ia harus menghubungi Alan, meski dirinya begitu tak menyukainya."Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Alan dari seberang."Mana, Mas Aris," tanyanya tanpa basa- basi."Sedang istirahat," balasnya."Dimana?" tanya Sarah lagi."Apartemen," jelas Alan.Detik kemudian, sambungan terputus sepihak oleh Sarah.Alan mencebik, mengangkat bahunya. Entah kenapa, dirinya tak menyukai istri Bosnya itu.
Danar melihat jam tangan. Masih pagi, ia duduk di taman belakang setelah meminta Simbok membawa Nisa ke kamar."Tehnya, Den," ucap Simbok menghampiri. Meletakkan secangkir teh di atas meja."Makasih Mbok," balasnya tersenyum."Sama-sama, Den!" ucap Simbok, kemudian berlalu. Meninggalkannya seorang diri di taman belakang.Danar mengambil cangkir di atas meja. Menyeruputnya perlahan. Ia mengambil napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bau embun yang masih melekat di dedaudan begitu kental dirasa. Sudah lama ia tak merasakan susana ini. Terakhir kali ia datang kesini sekitar dua bulan yang lalu. Saat ia baru kembali ke tanah air dari kepergiannya keluar negeri menemui kedua orang tuanya yang menetap disana.Setelah dirasa cukup, Danar meninggalkan tempat itu. Langkahnya mendekati kamar Nisa. Ia terdiam, merasa ragu untuk mengetuk pintunya. Danar kembali melihat jam tangan. Hari ini ada pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan."Mbok ..." panggilnya, menghampiri Simbok yang terliha
Danar menggeliat, merenggangkan persendiannya yang terasa kram karena tidur di tempat yang sempit. Merasa ada pergerakan, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Pandangannya beralih pada sosok putih yang sedang berdiri di tengah kegelapan. Matanya melebar, terkejut bukan main, Danar bergegas bangkit dengan jantung berdebar dan lututnya yang terasa lemas. Susah payah ia menekan saklar untuk menghidupkan lampunya. Detik kemudian lampu menyala, kembang kempis Danar meraup wajah dengan gelak tawanya yang tertahan. Bisa-bisanya ia merasa ketakutan. Sosok putih itu bukanlah hantu, melainkan Gadis yang ia srempet dan menyebut namanya sebagai, Nayra.Danar kembali ke sofa. Pandangannya melihat selang infus yang sudah dicabut paksa dari pemiliknya. Kemudian tatapannya beralih pada sosok yang meyejukkan jiwanya. Ia pandangi gerak gerik Nisa. Gadis itu masih belia. Namun pesonanya mampu menggetarkan hatinya yang bertahun-tahun telah mati. Ia jauh berbeda dari sekian banyak wanita yang perna
Sarah membuka matanya, kala mendengar suara knop pintu kamarnya dibuka. Meski belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia melihat betul penampilan suaminya yang begitu berantakan. Menyadari lebih jelas, Sarah tersentak lantas terduduk dari pembaringannya. Berulangkali Sarah mengucek matanya, memastikan jika dirinya tak salah lihat. Sampai Aris terlihat mendekat, kemudian tubuhnya ambruk di atas ranjang. Membuat Sarah sadar, jika penglihatannnya tak salah."Mas kenapa. Kenapa seperti ini?" tanyanya panik, sembari memegangi wajah suaminya yang lesu. Tak ada gairah di sana."Mas, habis darimana?" tanyanya lagi. Menatap intens wajah Aris, yang begitu mrnyedihkan seperti terjaga sepanjang malam."Nisa pergi," balasnya lirih, dan air itu kembali lolos dari mata elangnya.Sarah tertegun. Mencoba mencerna perkataan suaminya."Maksud Mas Aris, apa?" tanyanya bingung.Aris tak menjawab pertanyaan Sarah. Ia memilih diam sembari memejamkan mata. Dirinya kelelahan.Sarah mencoba menerka-nerka. Nisa p
"Siapa namamu?" tanya Lelaki itu. Kini ia duduk di kursi samping ranjang tempat Nisa terduduk.Nisa berfikir sejenak. Lebih baik, ia menggunakan nama belakangnya saja untuk persembunyiannya. Toh, di sini tak ada yang mengenalnya."Nayra," jawab Nisa datar."Emm, Baiklah. Nayra, adakah keluarga yang bisa dihubungi? Aku akan memberitahu tentang keadaanmu."Pertanyaan lelaki itu membuat Nisa terdiam."Tidak ada," jawabnya bohong. Nisa tak mau Sarina mengetahui kepergiannya. Bisa-bisa buleknya itu akan memaksanya untuk kembali pada Sarah.Lelaki itu mengernyitkan dahinya."Di mana orang tuamu?" tanyanya lagi."Orang tua saya sudah meninggal. Saya sebatang kara," jawabnya menatap objek di depannya. Kosong."Lalu, kau tinggal dimana?""Sa-saya tidak punya tempat tinggal," jawab Nisa tergagap.Lelaki itu terlihat berfikir. Matanya melirik pada tas besar yang ia bawa di tempat kejadian saat ia menabrak Nisa. Tas itu sudah menjelaskan bahwa Nisa pergi dari tempat tinggalnya.Tak mau banyak tan