Sarah tak menyangka dengan perlakuan suaminya yang lebih membela Nisa ketimbang dirinya. Ingin rasanya ia melempar semua barang-barang dikamar ini. Meluapkan semua amarahnya. Namun ancaman suaminya membuat dirinya terpaksa meredamnya sebisa mungkin.
Bagaimana jika benar Suaminya tak akan melakukan rencananya itu? Sia-sia ia mencarikan wanita untuk menggantikan rahimnya. Sementara waktunya tiga bulan lagi, jika sampai detik itu Suaminya tak juga menyentuh dan membuat wanita itu hamil. Dirinya tidak akan bisa bersandiwara atas kehamilan palsunya, dan mertuanya pasti benar-benar akan menikahkan suaminya lagi. Bayangan posisinya akan tergeser dari keluarga Sanjaya jika sampai hal itu terjadi membuatnya bergidik.Sarah mengatur nafasnya dalam- dalam. Mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus berfikir jernih agar rencananya berjalan mulus. Menghadapi Suaminya harus dengan cara yang cantik.Yang harus dilakukannya saat ini adalah merayu dan meminta maaf atas perlakuannya beberapa menit yang lalu, kemudian mengajaknya pulang. Sarah tau betul, jika Aris akan luluh dengan perlakuannya yang lembut. Dirinya lantas bergegas bangkit dari duduknya di tepi ranjang. Kakinya melangkah keluar mencari keberadaan suaminya.Semua ruangan sudah ia datangi, namun tak ada. Tak salah lagi, suaminya pasti berada di kamar gadis itu. Amarahnya seketika memuncak, dadanya bergemuruh hebat, merasakan cemburu yang merayap membakar hatinya. Sebisa mungkin Sarah mengatur napasnya, mencoba menahan gejolak yang telah berkobar di dada.Dengan sigap ia menghampiri kamar Nisa. Kemudian mengetuk pintunya dengan keras. Detik kemudian, pintunya dibuka oleh Nisa. Setelah menanyakan Aris, dirinya langsung masuk tanpa menunggu jawaban dari Nisa. Ia berjalan cepat kearah Aris kemudian menghambur memeluknya. Tak dipedulikannya Nisa yang berdiri di ambang pintu. Ia lantas merayu Aris, dan benar saja, Aris luluh menuruti kemauannya untuk pulang.Sepanjang langkah. Sarah melingkarkan tangannya erat di pinggang suaminya. Sampai tangannya dilepas oleh Aris ketika langkah mereka sampai dipintu keluar."Tunggu sebentar," ucap Aris kemudian bergegas ke belakang.Sarah mengikuti Aris tanpa disadari olehnya. Mengintip dari balik tembok dapur yang tak berpintu, menguping percakapan mereka."Aku pulang dulu," pamit suaminya.Dilihatnya Nisa hanya mengangguk menanggapi. Selebihnya mereka bersitatap. Tatapan yang tak dapat ia artikan. Detik kemudian, jantung Sarah seperti berhenti berdetak, melihat Nisa dengan lancangnya mencium tangan suaminya, dan yang lebih membuatnya tak percaya, suaminya itu membalas ciuman di kening gadis itu. Dadanya bergemuruh hebat bersama kakinya yang reflek melangkah, namun dengan cepat ia urungkan.Susah payah Sarah menekan emosinya. Rasanya ia ingin menampar Nisa, agar dia tahu posisinya yang sebenarnya. Dia tak lebih dari sebatas Istri kontrak yang tidak sah di mata hukum.Setelah melihat adegan itu, langkah Sarah kembali ke tempat di mana Aris melepaskan tangannya. Menunggu sampai suaminya datang."Sudah Mas?" tanyanya ketika melihat Aris perlahan menghampirinya."Ya, sudah," Jawabnya datar.Setelahnya mereka keluar dari apartemen. Meninggalkan Nisa seorang diri.****Aris benar-benar melangkah pergi setelah membuat Nisa mematung seorang diri. Ciuman yang barusan terjadi adalah pertama bagi Nisa. Hatinya tak bisa membohongi. Ada debaran hebat ketika suaminya itu mendaratkan bibir, tepat di keningnya. Ada rasa perlindungan dan kasih sayang yang ia dapatkan, setelah sekian lamanya dirinya merasa tak di anggap. Bahkan oleh keluarganya sendiri.Nisa menggelengkan kepalanya kuat- kuat, kemudian beristighfar dalam hati. Sebisa mungkin ia menepis bayang-bayang wajah suaminya. "Ini tidak boleh terjadi!" ucapnya dalam hati.****"Mas!" ucap Sarah mengawali pembicaraan sembari memandangi Aris yang sedari tadi hanya diam. Saat ini mereka berada di mobil."Hmm ..." balasnya asal."Apa yang kalian lakukan semalam?" Tanyanya. Menatap Aris penuh selidik."Tolong jangan bahas ini dulu Sarah, aku pusing," jawabnya lemah."Aku hanya bertanya, apa susahnya sih buat jawab!" balasnya kesal, sembari melipat kedua tangannya."Mas belum menyentuhnya kan?" tanyanya lagi."Darimana kamu tahu?""Tadi sebelum kalian datang, aku masuk ke kamar. Ranjangnya masih rapi, spreinya tetap sama. Tak ada noda sedikitpun."Jawaban Sarah seketika membuat Aris melotot. Sampai segitunya Sarah menyelidiki? Aris sebisa mungkin menahan nada bicaranya. Berkata selembut mungkin agar tak terjadi pertengkaran."Lain kali kamu jangan main masuk ke kamar itu lagi. Karena itu sudah menjadi tempat pribadi Nisa. Kamu sendiri yang sudah memberikannya bukan?" pintanya lembut."Apartemen itu milik kita. Suka-suka aku dong Mas, mau masuk ke ruangan manapun. Lagian dia bukan siapa-siapa. Mas gak usah berlebihan terhadapnya. Aku gak SUKA!" Protesnya. Sengaja ia menekankan kata 'suka' agar suaminya mengerti."Pokoknya nanti malam Mas harus menyentuhnya, setelahnya jangan temui dia lagi! Mas boleh menemuinya jika dua minggu kedepan dia belum mendapatkan garis dua!"Aris membanting setir penuh emosi. Memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dengan kasar. Sarah benar-benar memancing emosinya."Kamu jangan keterlaluan Sarah! Tolong pikirkan perasaannya sedikit saja. Dimana nalurimu sebagai wanita? aku mohon jangan egois. Setidaknya, biarkan Gadis itu mendapatkan haknya sebagai seorang Istri, sampai waktunya tiba!" balasnya emosi."Aku akan tetap berlaku adil pada kalian, tanpa perbedaan!" imbuhnya, membuat Sarah berkerut tak percaya."Mas lupa dengan perjanjiannya itu?Nisa tak akan keberatan karna dia sudah membaca semuanya. Mas ingat kan? dia hanya meminta untuk bisa mengurus bayinya. Itu saja!" balasnya tak kalah."Persetan dengan perjanjian yang tanpa persetujuanku itu. Kau sendiri yang membuatnya Sarah. Aku akan tetap memberikannya hak seorang Istri. Bagaiamanapun juga, Nisa juga Istriku yang sah, sama sepertimu!""Kau menyakitiku Mas!""Jangan salahkan aku, kau sendiri yang membuatku mendua. Tolong! jangan terus pancing emosiku! jangan buat aku bersikap kasar padamu. Terima, atau aku tidak akan melanjutkan rencanamu!" Balasnya.Setelahnya, Aris kembali menyalakan mobilnya. Membelah jalanan yang begitu ramai.Sarah mengepalkan tangannya. Matanya mengembun menahan perih di dada. Bukan ini yang ia mau. Rencana menikahkan Suaminya dengan gadis itu hanya untuk meminjam rahimnya malah membuatnya tersakiti. Percuma ia menulis poin-poin di atas kertas perjanjian yang di tandatangani Nisa di hadapan suaminya tempo hari. Nyatanya sama sekali tak dapat memisahkan kewajiban keduanya.Setengah jam kemudian, mobil yang ditumpangi mereka berbelok pada perumahan kawasan elit. Sampai menit selanjutnya, Seseorang membukakan gerbang rumah besar mereka.Sarah langsung membuka pintu mobil setelah kendaraannya berhenti dengan sempurna. Ia berlari memasuki rumah, menaiki anak tangga, kemudian masuk ke kamar, dan membanting pintunya dengan kasar.Sedangkan Aris. Dirinya tetap berada di mobil. Membiarkan Sarah yang berlari ke dalam, hingga pintu yang dibanting itu terdengar jelas di telinganya. Percuma jika saat ini ia mengejar Sarah yang sedang di kuasai amarah. Biarlah Sarah tenang dengan sendirinya.Sebenarnya, sebelum kejadian pernikahan keduanya dengan Nisa. Tak pernah sekalipun mereka bertengkar. Aris selalu menuruti apa yang Sarah mau. Mungkin itu sebabnya Sarah tak bisa mentoleransi penolakannya untuk tak perlu menjalankan kewajibannya terhadap Nisa. Jika saja yang Sarah minta hanyalah uang, ia bisa mengabulkannya seperti biasa. Namun kali ini menyangkut kehidupan seseorang. Dirinya tak akan menuruti keegoisan Sarah lagi.Aris diam sejenak, ada perasaan bersalah dihatinya saat dirinya membentak Sarah tadi. Tak seharusnya ia juga ikut terpancing emosi yang Sarah buat. Aris membentur-benturkan kepalanya ke setir mobil, frustasi. Jika saja Sarah tak menikahkannya. Perselisihan ini tak akan peenah terjadi.Aris membuka matanya ketika hari sudah menjelang sore. Dirinya tertidur di mobil karena lelah, memikirkan kerumitan yang mendadak datang di kehidupan rumah tangganya. Aris lantas bergegas masuk ke dalam. Pandangannya melihat ke atas tangga. Pintu kamarnya masih tertutup. Itu artinya, Sarah belum keluar dari sana."Den, sudah saya siapkan air hangat untuk aden mandi," ucap wanita bertubuh gempal."Maaf, tadi Bibi gak bangunin Aden, waktu Aden ketiduran di mobil. Karena sepertinya, Aden kelelahan," imbuhnya."Iya Bik, gak papa. Makasih ya Bik," jawabnya, kemudian berlalu ke kamar mandi pribadinya.Bi Limah, pembantu yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Sanjaya. Bi Limah tahu betul karakter Aris jika sedang ada dalam masalah. Karena dirinya yang merawat Aris sedari bayi.Aris sengaja membawa Bi Limah dari rumah ibunya setelah pernikahannya dengan Sarah. Karena Aris tak mau ada asisten lain yang menggantikan Bi Limah mengurus segala keperluannya. Bahkan Aris lebih dekat dengan Bi Limah ketimbang ibunya, yang sedari kecil selalu sibuk mengurus bisnisnya dimana-mana...Tok tok tok!"Sarah?"Aris memutuskan membuka pintunya setelah beberapa kali tiada jawaban.Dilihatnya Sarah tengah tertidur dengan napas yang sudah teratur. Aris mendekati Sarah. Menaiki ranjang dengan hati-hati, kemudian berbaring di sampingnya.Aris menatap lamat-lamat wajah istrinya. Ia s***k anak rambut yang menutupi wajah cantiknya. Detik setelahnya, ia mencium keningnya sembari berkata "Maafkan aku."Flashback OnKematian kedua orang tua Nisa. Membuat Sarina terpaksa menampung Annisa yang saat itu usianya belum genap tujuh tahun. Karena hanya dirinyalah satu- satunya keluarga yang dimiliki. Jika saja orang tua Nisa tidak kaya, dirinya tak akan mau merawat Nisa. Mungkin Sarina lebih memilih menaruhnya di panti.Sampai akhirnya, Sarina bisa menguasai harta warisan Nisa. Menjual rumah, beserta aset-asetnya, menghabiskannya hingga tak tersisa, dengan dalih dirinyalah yang merawatnya. Sejak saat itu, awal perlakuan manis Sarina terhadap Nisa mulai memudar, seiring dengan menipisnya harta warisan yang ia gerogoti.Sarina sangat membenci Nisa, karena suaminya selalu memuji prestasinya. Membanding-badingkannya dengan Desi, seolah-olah Desi bukan anak kandungnya.Sampai Sarina menghasut Desi, meracuni fikirannya untuk membenci Nisa. Desi yang awalnya berlaku baik terhadap Nisa, perlahan terhasut ucapan ibunya. Hingga akhirnya, kebencian itu telah tertanam sempurna di hati Desi. Ia tak lagi
Sarah sengaja membanting pintu dengan keras. Berharap Aris akan mengejarnya. Ia berjalan mondar-mandir, menunggu suaminya di dalam kamar. Namun sampai menit setelahnya, tak ada tanda-tanda jika Aris menyusulnya.Kemudian Sarah mendekati jendela, menyingkap sedikit tirainya. Dilihatnya Aris masih berada dalam mobil, tengah menjentus-jentuskan kepalanya di setir.Sarah semakin cemas. Dirinya sungguh takut, jika suaminya telah menaruh rasa pada gadis itu. Baru sehari Nisa menjadi madunya, namun sudah membuat dirinya bertengkar hebat dengan Aris. Sarah sungguh tak mengerti dengan suaminya. Kenapa dia segitunya membela gadis itu?"Jika aku tak bisa mencegah Mas Aris untuk berbuat adil, maka aku yang akan membuat Nisa menolaknya!" ucapnya dalam hati, dengan seringai yang menakutkan.Setelah mengucapkan kalimat itu, Sarah menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia menggeliat, melenturkan persendiannya yang terasa pegal.Dering suara ponsel yang berada di atas nakas, membuat Sarah yang hampir terp
Nisa memutuskan merebahkan tubuhnya setelah kepergian Aris dan Sarah, berharap bisa memejamkan mata walau sekejap. Ia membolak-balikkan badannya, mencari posisi ternyaman. Namun tetap tak ditemukannya. Merasa bosan menunggu rasa kantuk yang tak kunjung mendera, Nisa memutuskan bangkit, keluar kamar. Lantas melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dipandanginya kaca besar yang menembus pemandangan didepannya. Memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi berjejer tak beraturan. Asing. Itu yang ia rasakan. Dirinya lantas duduk di sofa, tangannya meraih remot tv yang berada didepannya. Ia tekan tombol itu, detik kemudian, layar kaca yang berukuran besar itu menyala. Sampai setengah jam setelahnya, TV itu berhasil membuat dirinya memejamkan mata.Nisa terbangun saat langit mulai berubah warna menjadi jingga kemerah- merahan. Dirinya lantas bangkit, membersihkan diri. Kemudian melaksanakan sholatnya.Setelahnya, Nisa menyiapkan bahan masakan untuk makan nanti malam.
"Kakek sama Nenek udah lama jualan disini?" tanya Nisa, pada kedua pasangan yang sedang sibuk membuat nasi goreng pesanannya."Masih Baru Cu, sekitar dua mingguan, jelas sang Nenek."Anak-anak Nenek kemana?" tanya Nisa ingin tahu. Bagaimana tidak, seharusnya diusia mereka, sudah saatnya mereka beristirahat. Menikmati masa tuanya."Nenek gak punya anak Cu," jelasnya. Terlihat jelas gurat kesedihan di wajahnya. Membuat Nisa merasa bersalah telah meelontarkan pertanyaan itu."Maaf, ya Nek," ucap Nisa, kemudian berdiri. Menghampiri sang kakek yang sedang berjalan tertatih mengantarkan Nasi gorengnya."Biar saya saja Kek!" ujar Nisa sembari mengambil dua porsi Nasi goreng dari tangannya."Terimakasih Cu," Balas Kakek.Setelahnya, Nisa membawa Nasi goreng ditangannya, kemudian meletakkannya di meja."Mas, kok nggak dimakan? enak lo," ucap Nisa sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.Aris menelan ludahnya berat. Ragu, ia menyendok hidangan di hadapannya.Nisa melihat gelagat Aris, dan dengan
"Bulek?" Nisa meraih tangan Sarina yang masih bengong memandangi dirinya dan suaminya secara bergantian. Kemudian ia cium tangan itu takzim.Walaupun Sarina tak pernah berlaku baik padanya. Namun tak ada rasa benci sedikitpun di hati Nisa."Gimana kabar Bulek? Mana Desi?" tanya Nisa melongok, melihat ke dalam."Udah tidur!" balasnya ketusNisa merasa kikuk, karena Sarina sama sekali tak mempersilahkannya masuk."Bulek, sebenarnya Nisa kesini mau mengambil sesuatu," ucapnya dan Sarina menatap tajam."Barang-barangmu udah gak ada disini!" ucapnya kemudian.Aris yang melihat perlakuan Sarina terhadap Nisa merasa geram, tangannya terkepal tanpa ia sadari."Boleh kami masuk?" tanya Aris menekan. Napasnya terasa naik turun menahan emosi."Oh, silahkan!" jawab Sarina tak suka.Setelahnya, Nisa dan Aris masuk. Mengekori langkah Sarina."Saya membawa Nisa kesini, hanya untuk mengambil Ijazah, beserta surat- surat pribadinya," jelas Aris, setelah mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.Sarina m
Sarah mengemudikan mobilnya dengan hati yang dongkol. Kenapa juga mertuanya menawarkan Danar untuk ikut ke rumahnya?"Bagaimana dengan kandunganmu, sudah berhasil?" tanya Henni, membuat emosi Sarah seketika teralihkan."Belum, Ma. Doain aja ya," balasnya memaksakan senyum. Pertanyaan yang di lontarkan mertuanya sudah puluhan kali menghujam batinnya sebagai seorang wanita."Kamu ingat, kan, ucapan Mama?" tanyanya."Jika sampai kamu belum hamil, sampai batas waktu yang sudah Mama tentukan. Dengan terpaksa Mama akan mencarikan Istri kedua untuk suamimu. Mama sudah tidak bisa menahannya lagi. Mama sudah semakin tua. Sedang umur Aris juga semakin bertambah. Tapi sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda kehamilan di rahimmu," imbuhnya mantap."Sarah mengerti Ma. Sarah jamin, sarah akan hamil secepatnya," balasnya yakin."Aku harus secepatnya menyuruh Mas Aris, menyentuh wanita itu. Jika perlu, aku akan menjebak mereka," batinnya menyeringai licik.*****Yono, yang tak lain adalah tukang kebu
Nisa menatap kosong jalanan yang mulai sepi kendaraan. Fikirannya masih tertinggal di rumah Sarina. Sedang Aris hanya diam, sambil sesekali melirik Nisa yang terlihat gelisah."Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Aris membuyarkan lamunan Nisa."Gak usah Mas, kita pulang saja," jawabnya datar."Bisa lebih cepat gak Mas, Nisa ngantuk. Pengen istirahat," imbuhnya lagi. Padahal, bukan itu alasannya.Aris mengangguk, lantas mempercepat laju mobilnya.*****"Mas gak pulang?" tanya Nisa sembari meletakkan surat-surat pribadinya ke dalam lemari kamarnya. Setelahnya menghampiri Aris yang tengah bersandar di kepala ranjang.Aris menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal."Emm ... aku tidur disini saja," jawabnya sembari menggeliatkan tubuhnya. Kemudian berbaring, dan membalut tubuhnya dengan selimut."Mas Aris sudah izin sama Mbak Sarah kan?" tanya Nisa memastikan."Sudah," jawabnya bohong.Nisa mengangguk. Kemudian berbaring dan masuk ke selimut yang sama.****Berulang kali Nisa mengerja
Henni mondar mandir di dalam kamar tamu. cemas. Pandangannya sesekali melihat Danar yang tak kunjung sadar dari pingsannya. Ia melangkah keluar, menelfon kembali Dokter Adam yang tak kunjung datang."Halo, Dokter?" sapa Henni, setelah panggilannya diangkat."Ya, Nyonya. Saya sedang dalam perjalanan," balas Dokter Adam." Baiklah. Saya tunggu secepatnya!" balas Henni, kemudian memutuskan sambungan telfon.Henni ingin kembali ke kamar saat sebelum ponsel yang masih dalam genggamannya berdering, membuat langkahnya terhenti. Ia lihat nama yang tertera dilayar, kemudian mengangkatnya."Darimana saja kamu! cepat pulang, sekarang!" pintanya kesal, kemudian memutuskan sambungan."Permisi Nyonya!" ucap seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu. Membuat langkah Henni kembali terhenti."Dokter, Mari silahkan masuk!""Siapa yang sakit?" tanya Dokter Adam."Dokter, ikut saya!" pinta HenniDokter adam mengangguk, lantas mengekori langkah Henni masuk ke ruang tamu.Dokter Adam terkesiap melihat
Matahari perlahan mulai menampakkan dirinya. Usai shalat subuh tadi, Nisa keluar kamar, bermaksud menemui Danar seperti permintaanya. Namun ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya saat Danar tak juga muncul untuk menanyakan sesuatu yang dia sendiri tak bisa menebaknya.Melihat jam dinding, Nisa lantas keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia menghampiri Simbok yang tengah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan."Selamat pagi Mbok ..." sapanya.Mbok Sumi menoleh, membalas Nisa dengan senyuman yang tak seperti biasanya. Sedang Nisa merasa aneh, kenapa hari ini sikap Mbok Sumi dan Danar terasa berbeda."Di depan mobil siapa, Mbok?" tanya Nisa kemudian, mencoba mencairkan suasana. Dirinya memang sempat ke ruang tamu untuk membuka gorden dan cendelanya. Namun ia melihat ada dua mobil terparkir di halaman. Satu milik Danar, dan satu lagi, ia tak tahu. Itu tandanya semalam ada orang yang datang saat ia tertidur."Ada temannya Den Danar, Non. Tadi malam sengaja Aden panggil ke sini untuk me
Waktu terus berputar, menorehkan kisahnya masing-masing pada takdir makhluk hidup di bumi. Bukankah yang menderita tak akan selamanya tetap tersakiti bukan? begitupun sebaliknya. Roda kehidupan masih terus berputar, seiring dengan takdir yang sudah ditetapkan sang Pencipta. Manusia hanya tinggal menunggu gilirannya masing-masing. Mendapat balasan apa yang telah mereka tuai.Tak terasa, sudah satu bulan Nisa berada disini. Ditempat dimana Danar membawanya. Meskipun siang malam ia lalui dengan gelisah. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan. Nama Aris sudah terpahat dengan sempurna di hatinya. Rasa rindu yang menggebu seringkali ia rasakan saat kesendirian menyelimutinya. Nisa yang malang. Ia hanya bisa berdoa. Berharap takdir berpihak padanya. Berharap agar Allah kembali menyatukannya dengan suaminya dengan cara yang berbeda, tanpa ada orang ketiga dalam rumah tangganya nanti. Tak peduli, berapa puluh tahun kemudian. Yang jelas, ia akan tetap menanti sampai saat itu tiba. Danar terdiam,
Nisa menatap keluar jendela kamarnya. Terlihat rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa tengah meliuk-liuk tertiup angin. Meskipun hari sudah siang, udara sejuk masih ia rasa.Merasa bosan, Nisa lantas keluar rumah. Kemudian duduk diteras, memandangi bunga-bunga bermekaran yang begitu memanjakan matanya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia merasa tak tenang. Statusnya yang masih sebagai Istri, membuatnya seolah dibayangi dosa, karena kepergiannya dari rumah tanpa seizin suaminya.Berkali-kali Nisa menepis bayangan Aris yang seakan melambai menunggunya kembali. Namun, rasa berdosa itu hilang entah kemana, saat sekelebat wajah Sarah muncul tiba-tiba tanpa dapat ia cegah.Nisa merasa bingung dengan kedepannya. Hidupnya menjadi rumit. Ia merasa tak bebas. Karena dirinya tahu, suaminya dan Sarah tak akan melepasnya begitu saja. Terlebih dengan Sarah. Wanita itu pasti akan mencarinya mati-matian, untuk memaksanya kembali.Jika saja Sarah adalah orang baik seperti suaminya. Ia p
Matahari perlahan merangkak naik. Membuat hawa panas semakin menyengat di kota ini. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Alan masih dalam pencariannya menemukan Nisa. Terakhir kali ia melihat di operator cctv, saat Gadis itu terserempet sebuah mobil dengan warna dan plat nomor yang tak asing dimatanya. Terlebih, saat dirinya melihat pemilik mobil itu turun dan menolong Nisa, ia semakin membenarkan dugaannya.Tanpa basa-basi, Alan langsung menghubungi seseorang yang diduga pemilik mobil itu. Memintanya untuk bertemu di sebuah cafe."Halo, Selamat siang. Dengan Bapak Danar?" tanya Alan, saat panggilannya tersambung."Ya. Saya sendiri. Anda siapa?" balas Danar."Saya Alan, Asistennya Tuan Aris. Bisakah kita bertemu?" pintanya sopan.Danar melihat jam tangan. Pekerjaannya memang hampir selesai. Tapi dirinya ingin segera pulang ke rumah kayunya untuk menemui Nayra."Bagaimana, Pak?" tanya Alan lagi, membuat Danar terpaksa mengiyakan permintaan Alan. Ia tak mau ambil pusing. Mungkin ada urusa
"Mas Aris, dimana Bik?" tanya Sarah, menghampiri Bi Limah di dapur."Keluar Non," jawabanya."Keluar?" ulangnya, heran. Bukannya tadi suaminya itu begitu kelelahan."Iya, Non.""Kemana?" tanyanya lagi."Saya gak tahu, Non. Tapi tadi Den Alan kesini, kemudian mereka pergi," jelasnya, membuat Sarah mengerti. Pasti suaminya itu meminta Alan untuk mencari Gadis sialan itu.Sarah menghubungi nomor suaminya. Namun, ponsel milik suaminya malah terdengar dari dalam kamar. "Aah, Sial. Ngapain sih Mas Aris pake acara ikut segala! Mana ponselnya, gak dibawa lagi!" batinnya mengumpat. Terpaksa ia harus menghubungi Alan, meski dirinya begitu tak menyukainya."Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Alan dari seberang."Mana, Mas Aris," tanyanya tanpa basa- basi."Sedang istirahat," balasnya."Dimana?" tanya Sarah lagi."Apartemen," jelas Alan.Detik kemudian, sambungan terputus sepihak oleh Sarah.Alan mencebik, mengangkat bahunya. Entah kenapa, dirinya tak menyukai istri Bosnya itu.
Danar melihat jam tangan. Masih pagi, ia duduk di taman belakang setelah meminta Simbok membawa Nisa ke kamar."Tehnya, Den," ucap Simbok menghampiri. Meletakkan secangkir teh di atas meja."Makasih Mbok," balasnya tersenyum."Sama-sama, Den!" ucap Simbok, kemudian berlalu. Meninggalkannya seorang diri di taman belakang.Danar mengambil cangkir di atas meja. Menyeruputnya perlahan. Ia mengambil napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bau embun yang masih melekat di dedaudan begitu kental dirasa. Sudah lama ia tak merasakan susana ini. Terakhir kali ia datang kesini sekitar dua bulan yang lalu. Saat ia baru kembali ke tanah air dari kepergiannya keluar negeri menemui kedua orang tuanya yang menetap disana.Setelah dirasa cukup, Danar meninggalkan tempat itu. Langkahnya mendekati kamar Nisa. Ia terdiam, merasa ragu untuk mengetuk pintunya. Danar kembali melihat jam tangan. Hari ini ada pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan."Mbok ..." panggilnya, menghampiri Simbok yang terliha
Danar menggeliat, merenggangkan persendiannya yang terasa kram karena tidur di tempat yang sempit. Merasa ada pergerakan, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Pandangannya beralih pada sosok putih yang sedang berdiri di tengah kegelapan. Matanya melebar, terkejut bukan main, Danar bergegas bangkit dengan jantung berdebar dan lututnya yang terasa lemas. Susah payah ia menekan saklar untuk menghidupkan lampunya. Detik kemudian lampu menyala, kembang kempis Danar meraup wajah dengan gelak tawanya yang tertahan. Bisa-bisanya ia merasa ketakutan. Sosok putih itu bukanlah hantu, melainkan Gadis yang ia srempet dan menyebut namanya sebagai, Nayra.Danar kembali ke sofa. Pandangannya melihat selang infus yang sudah dicabut paksa dari pemiliknya. Kemudian tatapannya beralih pada sosok yang meyejukkan jiwanya. Ia pandangi gerak gerik Nisa. Gadis itu masih belia. Namun pesonanya mampu menggetarkan hatinya yang bertahun-tahun telah mati. Ia jauh berbeda dari sekian banyak wanita yang perna
Sarah membuka matanya, kala mendengar suara knop pintu kamarnya dibuka. Meski belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, ia melihat betul penampilan suaminya yang begitu berantakan. Menyadari lebih jelas, Sarah tersentak lantas terduduk dari pembaringannya. Berulangkali Sarah mengucek matanya, memastikan jika dirinya tak salah lihat. Sampai Aris terlihat mendekat, kemudian tubuhnya ambruk di atas ranjang. Membuat Sarah sadar, jika penglihatannnya tak salah."Mas kenapa. Kenapa seperti ini?" tanyanya panik, sembari memegangi wajah suaminya yang lesu. Tak ada gairah di sana."Mas, habis darimana?" tanyanya lagi. Menatap intens wajah Aris, yang begitu mrnyedihkan seperti terjaga sepanjang malam."Nisa pergi," balasnya lirih, dan air itu kembali lolos dari mata elangnya.Sarah tertegun. Mencoba mencerna perkataan suaminya."Maksud Mas Aris, apa?" tanyanya bingung.Aris tak menjawab pertanyaan Sarah. Ia memilih diam sembari memejamkan mata. Dirinya kelelahan.Sarah mencoba menerka-nerka. Nisa p
"Siapa namamu?" tanya Lelaki itu. Kini ia duduk di kursi samping ranjang tempat Nisa terduduk.Nisa berfikir sejenak. Lebih baik, ia menggunakan nama belakangnya saja untuk persembunyiannya. Toh, di sini tak ada yang mengenalnya."Nayra," jawab Nisa datar."Emm, Baiklah. Nayra, adakah keluarga yang bisa dihubungi? Aku akan memberitahu tentang keadaanmu."Pertanyaan lelaki itu membuat Nisa terdiam."Tidak ada," jawabnya bohong. Nisa tak mau Sarina mengetahui kepergiannya. Bisa-bisa buleknya itu akan memaksanya untuk kembali pada Sarah.Lelaki itu mengernyitkan dahinya."Di mana orang tuamu?" tanyanya lagi."Orang tua saya sudah meninggal. Saya sebatang kara," jawabnya menatap objek di depannya. Kosong."Lalu, kau tinggal dimana?""Sa-saya tidak punya tempat tinggal," jawab Nisa tergagap.Lelaki itu terlihat berfikir. Matanya melirik pada tas besar yang ia bawa di tempat kejadian saat ia menabrak Nisa. Tas itu sudah menjelaskan bahwa Nisa pergi dari tempat tinggalnya.Tak mau banyak tan