RAHASIA TIGA HATI- Lamaran Seharian ini Livia sibuk menyelesaikan laporan keuangannya. Sambil memantau Pak Tamin yang tadi belanja buah-buahan untuk menyambut tamu nanti malam. Ah, lelaki itu sudah seperti ibu rumah tangga saja. Pokoknya di tangan Pak Tamin, dijamin semuanya beres.Keadaan yang membuatnya menjadi serba bisa. Sopir, memasak, membereskan rumah. Kalau soal pakaian kotor, semua masuk laundry. Namun untuk menu acara nanti malam, Alan sudah memesan makanan di katering langganan. Jadi Livia tidak kerepotan mengurusi hidangan. Hingga selesai istirahat siang, Livia belum sempat bertemu dan ngobrol dengan Alan. Dia pun sibuk memantau event di Jakarta sambil menyelesaikan pekerjaannya di sini.Para karyawan tidak ada satu pun yang tahu kalau malam nanti bos mereka akan lamaran. Selama ini kedekatan Alan dan Livia sudah dianggap hal biasa bagi para staf. Sebab sejak awal mulai bekerja, mereka sudah terbiasa melihat Alan memang seperhatian itu pada Livia.Ponsel di sebelah lap
"Kamu jangan pikirkan hal itu. Aku yang akan nge-handle semuanya. Ketika aku siap melangkah untuk melamarmu, berarti aku sudah siap bertanggungjawab secara mental dan finansial."Keduanya bersipandang. Livia speechless. Tidak bisa berkata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. "Mulai besok kita siapkan surat-surat untuk mendaftarkan pernikahan."Livia mengangguk. Bagi lelaki memang tidak seribet perempuan. Apalagi pria seperti Alan. Nikah pakai kemeja dan jas saja sudah cukup. Sedangkan untuk perempuan, Livia harus mempersiapkan baju untuk akad nikah, make up, dan beberapa perlengkapan yang njelimet."Kamu jangan khawatir. Aku akan bantuin kamu." Ucapan Dina membuat Livia bernapas lega. Kalau dia bisa tampil sebaik mungkin, tentu ia lakukan bukan untuk dirinya sendiri. Tapi supaya Alan tidak malu, agar Alan merasa senang dan bahagia karena Livia sangat peduli dan memperhatikan secara detail untuk pernikahan mereka.Jam sembilan malam Bu Ana sekeluarga pamitan. Sekalian bilang kalau b
RAHASIA TIGA HATI- Tiga Puluh Menit Saja"Maaf, Mas telat. Tadi macet karena perbaikan jalan," bisik Alan lirih setelah duduk di samping Livia. Alan merasa bersalah melihat kekhawatiran di wajah ayu calon istrinya.Mulai hari itu Alan harus mulai membiasakan dirinya dengan sebutan 'Mas'. Pembahasaan diri yang sangat berbeda tentunya.Livia mengangguk pelan sambil menyeka air mata menggunakan tisu yang disodorkan oleh Dina. Pikirannya tadi sudah ke mana-mana. Bayangan buruk menjelma menjadi sebuah ketakutan. Padahal mustahil Alan mengingkari janjinya. Dia kenal betul, Alan bukan lelaki seperti itu.Alan juga menyampaikan permintaan maaf pada Pak Rosyam dan kepada petugas KUA karena keterlambatannya.Beberapa menit kemudian, acara akad nikah di mulai. Pak Rosyam yang memakai jas warna hitam menjabat erat tangan Alan. Ada rasa bahagia dan juga bangga, karena masih diberikan kesempatan mengantarkan putrinya ke gerbang rumah tangga."Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan en
Bre bergeming saat Agatha menghampiri dan duduk di kursi sebelahnya. Mereka tengah duduk berdua di balkon sebuah kamar hotel di kota Malang. Sudah dua hari ini mereka ada pekerjaan di Malang. Satu perjalanan kerja yang sebenarnya direncanakan oleh Bu Rika. Wanita itu sekarang tahu kalau hubungan Bre dan Agatha tidak seperti hubungan sepasang suami istri pada umumnya."Kamu mengadu apa saja pada mamaku?" tanya Bre dingin."Bukan mengadu, aku cerita kenyataan yang sebenarnya. Aku lakukan semua itu untuk membela diri. Sebab mama menuntutku agar segera promil. Dikira aku yang bermasalah, padahal selama menikah kita nggak pernah melakukan kewajiban selayaknya suami istri."Bre menghela nafas panjang sambil mengembuskan asap rokok ke udara. Agatha menutup hidungnya sambil mengibaskan tangannya. Dia benci asap rokok, dia benci bau rokok. "Kenapa nggak kamu ceritakan hal ini pada keluargamu juga. Biar hubungan kita lekas selesai."Agatha tersenyum sinis. Dia ingin melihat sejauh mana Bre sa
RAHASIA TIGA HATI - MaluTiga puluh menit saja katanya, ah itu hanya sebuah teori. Prakteknya jelas kelipatan dari tiga puluh menit. Ketika sudah terbang melayang, waktu hanyalah angka."Ayah pasti sudah datang, Mas.""Biar beliau menunggu," jawab Alan. "Tanggung kalau harus disudahi. Sayang kan, kalau orang kafirnya hanya sekarat saja. Tidak sampai mati."Lain kali, Livia harus aware dengan waktu tiga puluh menit. Bisa jadi tiga puluh menit itu hanya lebihannya. Kalau Alan 'meminta' di waktu yang tidak memungkinkan, lebih baik diperjelas lebih dulu."Sepertinya kita terlalu awal datang, Pak Syam," ujar Pak Tamin setelah mengintip dari kaca jendela. Bukan terlalu cepat, sebenarnya mereka pun datang sudah telat.Pak Rosyam tersenyum. Dia pernah muda, tentu paham apa yang terjadi di dalam sana. Dan berharap kalau bulan depan akan mendapatkan kabar gembira. "Bentar lagi kita momong cucu, Pak Syam," ujar Pak Tamin kembali duduk di kursi teras sambil memperhatikan jalanan depan."Itu yan
"Bukan. Karena Livia adalah Livia," jawab Alan sambil tersenyum. Ella mengalihkan pandangan. Ternyata dia dikalahkan oleh janda. Padahal dirinya seorang gadis yang cantik, terpelajar, juga berasal dari keluarga kaya. Pendidikan S2, setara dengan Alan. Apa dia yang kurang cepat memberikan perhatian?Mereka berbincang sambil menikmati cemilan di halaman belakang. Livia ikut bergabung sambil membawakan es buah di nampan. Tetap mengajak Ella berbincang seperti biasa, seolah-olah ia tidak tahu tentang perasaan gadis itu.Alan mengucapkan banyak terima kasih pada tim kerjanya karena keberhasilan event di Jakarta dua Minggu ini. Tentu saja setelah ini mereka harus bekerja lebih giat lagi untuk mengembangkan usaha. Bertanggungjawab sepenuhnya atas tender besar yang telah dimenangkan.Rombongan akhirnya pamitan jam dua siang. Mereka hendak singgah sejenak di Telaga Sarangan yang jaraknya sekitar empat kilometer dari kediaman Bu Ana, baru melanjutkan perjalanan ke Surabaya.***L***"Sayang, ban
RAHASIA TIGA HATI- Pregnant Agatha melempar bantal tepat mengenai tubuh Bre. Ketika ia sudah berada di puncak rasa geram karena lelaki itu tidak bereaksi apa-apa saat di rayu. Bahkan di belai dan dicumbu. Sampai Agatha merasa malu sendiri."Kamu benar-benar sinting, Mas." Bahkan diomeli dan dipukuli pun Bre bergeming. Memejam dan tidak peduli Agatha memperlakukan kasar tubuhnya. Agatha mengambil bantal dan menutup wajah Bre, tapi laki-laki itu hanya menggeliat sejenak untuk melepaskan diri. Lantas berbaring miring memeluk guling. Tak lama kemudian dengkur halusnya yang terdengar.Makin geram Agatha dibuatnya. Wanita itu duduk memeluk lutut sambil menangis di lantai. Bre sudah keterlaluan. Kalau sampai orang tuanya tahu bagaimana Bre memperlakukannya selama ini, mereka pasti mengamuk. Tapi bukankah dirinya yang beriya sangat supaya bisa menikah dengan Bre. Ia mencintai laki-laki itu sejak mereka sama-sama masih duduk di bangku SMA. Lantas, setelah mendapati Bre seperti ini, apa dir
Satu bulan kemudian ....Begini rasanya setiap hari jatuh cinta pada orang yang sama. Livia kian hari makin terlihat memukau dan menarik. Tidak ada satu malam pun terlewatkan tanpa membuat wanita itu berkeringat kelelahan. Tidak ada alasan bagi Livia untuk berkata 'tidak'.Nyaris setiap hari mereka tidak pernah terpisahkan. Kecuali jika Alan ada urusan di luar, Livia akan pulang ke rumah lebih dulu. Memasak di sisa waktu luangnya sebelum azan Maghrib berkumandang. Dan ia akan menyambut suaminya pulang dengan wajah segar dan senyum menawan."Dimakan, Mas. Bukan dilihatin doang. Nanti telat ke kampus, loh." Livia menaruh teh hangat di depan suaminya. Ia juga menggeser piring berisi nasi goreng sosis yang belum tersentuh.Pagi itu, Alan minta dibuatkan nasi goreng untuk sarapan. Dia juga ada jadwal mengajar untuk pagi ini."Sayang, kamu nggak ingin kuliah lagi. Ngambil S2." Ucapan Alan yang tiba-tiba membuat Livia menghentikan tangannya yang sedang mengupas apel."Memang Mas ngizinin?""
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K