RAHASIA TIGA HATI- Tiga Puluh Menit Saja"Maaf, Mas telat. Tadi macet karena perbaikan jalan," bisik Alan lirih setelah duduk di samping Livia. Alan merasa bersalah melihat kekhawatiran di wajah ayu calon istrinya.Mulai hari itu Alan harus mulai membiasakan dirinya dengan sebutan 'Mas'. Pembahasaan diri yang sangat berbeda tentunya.Livia mengangguk pelan sambil menyeka air mata menggunakan tisu yang disodorkan oleh Dina. Pikirannya tadi sudah ke mana-mana. Bayangan buruk menjelma menjadi sebuah ketakutan. Padahal mustahil Alan mengingkari janjinya. Dia kenal betul, Alan bukan lelaki seperti itu.Alan juga menyampaikan permintaan maaf pada Pak Rosyam dan kepada petugas KUA karena keterlambatannya.Beberapa menit kemudian, acara akad nikah di mulai. Pak Rosyam yang memakai jas warna hitam menjabat erat tangan Alan. Ada rasa bahagia dan juga bangga, karena masih diberikan kesempatan mengantarkan putrinya ke gerbang rumah tangga."Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan en
Bre bergeming saat Agatha menghampiri dan duduk di kursi sebelahnya. Mereka tengah duduk berdua di balkon sebuah kamar hotel di kota Malang. Sudah dua hari ini mereka ada pekerjaan di Malang. Satu perjalanan kerja yang sebenarnya direncanakan oleh Bu Rika. Wanita itu sekarang tahu kalau hubungan Bre dan Agatha tidak seperti hubungan sepasang suami istri pada umumnya."Kamu mengadu apa saja pada mamaku?" tanya Bre dingin."Bukan mengadu, aku cerita kenyataan yang sebenarnya. Aku lakukan semua itu untuk membela diri. Sebab mama menuntutku agar segera promil. Dikira aku yang bermasalah, padahal selama menikah kita nggak pernah melakukan kewajiban selayaknya suami istri."Bre menghela nafas panjang sambil mengembuskan asap rokok ke udara. Agatha menutup hidungnya sambil mengibaskan tangannya. Dia benci asap rokok, dia benci bau rokok. "Kenapa nggak kamu ceritakan hal ini pada keluargamu juga. Biar hubungan kita lekas selesai."Agatha tersenyum sinis. Dia ingin melihat sejauh mana Bre sa
RAHASIA TIGA HATI - MaluTiga puluh menit saja katanya, ah itu hanya sebuah teori. Prakteknya jelas kelipatan dari tiga puluh menit. Ketika sudah terbang melayang, waktu hanyalah angka."Ayah pasti sudah datang, Mas.""Biar beliau menunggu," jawab Alan. "Tanggung kalau harus disudahi. Sayang kan, kalau orang kafirnya hanya sekarat saja. Tidak sampai mati."Lain kali, Livia harus aware dengan waktu tiga puluh menit. Bisa jadi tiga puluh menit itu hanya lebihannya. Kalau Alan 'meminta' di waktu yang tidak memungkinkan, lebih baik diperjelas lebih dulu."Sepertinya kita terlalu awal datang, Pak Syam," ujar Pak Tamin setelah mengintip dari kaca jendela. Bukan terlalu cepat, sebenarnya mereka pun datang sudah telat.Pak Rosyam tersenyum. Dia pernah muda, tentu paham apa yang terjadi di dalam sana. Dan berharap kalau bulan depan akan mendapatkan kabar gembira. "Bentar lagi kita momong cucu, Pak Syam," ujar Pak Tamin kembali duduk di kursi teras sambil memperhatikan jalanan depan."Itu yan
"Bukan. Karena Livia adalah Livia," jawab Alan sambil tersenyum. Ella mengalihkan pandangan. Ternyata dia dikalahkan oleh janda. Padahal dirinya seorang gadis yang cantik, terpelajar, juga berasal dari keluarga kaya. Pendidikan S2, setara dengan Alan. Apa dia yang kurang cepat memberikan perhatian?Mereka berbincang sambil menikmati cemilan di halaman belakang. Livia ikut bergabung sambil membawakan es buah di nampan. Tetap mengajak Ella berbincang seperti biasa, seolah-olah ia tidak tahu tentang perasaan gadis itu.Alan mengucapkan banyak terima kasih pada tim kerjanya karena keberhasilan event di Jakarta dua Minggu ini. Tentu saja setelah ini mereka harus bekerja lebih giat lagi untuk mengembangkan usaha. Bertanggungjawab sepenuhnya atas tender besar yang telah dimenangkan.Rombongan akhirnya pamitan jam dua siang. Mereka hendak singgah sejenak di Telaga Sarangan yang jaraknya sekitar empat kilometer dari kediaman Bu Ana, baru melanjutkan perjalanan ke Surabaya.***L***"Sayang, ban
RAHASIA TIGA HATI- Pregnant Agatha melempar bantal tepat mengenai tubuh Bre. Ketika ia sudah berada di puncak rasa geram karena lelaki itu tidak bereaksi apa-apa saat di rayu. Bahkan di belai dan dicumbu. Sampai Agatha merasa malu sendiri."Kamu benar-benar sinting, Mas." Bahkan diomeli dan dipukuli pun Bre bergeming. Memejam dan tidak peduli Agatha memperlakukan kasar tubuhnya. Agatha mengambil bantal dan menutup wajah Bre, tapi laki-laki itu hanya menggeliat sejenak untuk melepaskan diri. Lantas berbaring miring memeluk guling. Tak lama kemudian dengkur halusnya yang terdengar.Makin geram Agatha dibuatnya. Wanita itu duduk memeluk lutut sambil menangis di lantai. Bre sudah keterlaluan. Kalau sampai orang tuanya tahu bagaimana Bre memperlakukannya selama ini, mereka pasti mengamuk. Tapi bukankah dirinya yang beriya sangat supaya bisa menikah dengan Bre. Ia mencintai laki-laki itu sejak mereka sama-sama masih duduk di bangku SMA. Lantas, setelah mendapati Bre seperti ini, apa dir
Satu bulan kemudian ....Begini rasanya setiap hari jatuh cinta pada orang yang sama. Livia kian hari makin terlihat memukau dan menarik. Tidak ada satu malam pun terlewatkan tanpa membuat wanita itu berkeringat kelelahan. Tidak ada alasan bagi Livia untuk berkata 'tidak'.Nyaris setiap hari mereka tidak pernah terpisahkan. Kecuali jika Alan ada urusan di luar, Livia akan pulang ke rumah lebih dulu. Memasak di sisa waktu luangnya sebelum azan Maghrib berkumandang. Dan ia akan menyambut suaminya pulang dengan wajah segar dan senyum menawan."Dimakan, Mas. Bukan dilihatin doang. Nanti telat ke kampus, loh." Livia menaruh teh hangat di depan suaminya. Ia juga menggeser piring berisi nasi goreng sosis yang belum tersentuh.Pagi itu, Alan minta dibuatkan nasi goreng untuk sarapan. Dia juga ada jadwal mengajar untuk pagi ini."Sayang, kamu nggak ingin kuliah lagi. Ngambil S2." Ucapan Alan yang tiba-tiba membuat Livia menghentikan tangannya yang sedang mengupas apel."Memang Mas ngizinin?""
RAHASIA TIGA HATI - Di mana Livia?Livia membuka mata dengan kepala yang terasa berat dan pusing. Pandangannya berkunang-kunang dan mual. Dia ingat beberapa saat yang lalu, tiba-tiba ada yang menyeretnya masuk mobil dan ia tidak sadarkan diri setelahnya.Sekarang sadar kalau Bre telah membawanya ke sebuah tempat. Livia panik sambil beringsut turun dari pembaringan. Ia sadar sedang di sandera oleh mantan suaminya."Bre, bukain pintunya." Livia menarik handle pintu dengan kasar. Namun usahanya sia-sia. Di kursi pojok kamar, Bre hanya diam memperhatikan."Apa maksudmu membawaku ke sini? Brengs*k kamu, Bre." Livia emosi sambil menatap nanar pria yang hanya diam memandangnya. Ada senyum bahagia melihat Livia sepanik itu.Livia meraih apapun yang ada di dekatnya dan melemparkannya pada lelaki yang memakai jaket warna cokelat. Mata Livia sudah basah berembun. Namun Bre tetap bergeming."Keluarkan aku dari sini," teriak Livia.Bre hanya menyeringai, kemudian bangkit dan mengintip keluar dari
Bre hanya menyeringai. Kata-kata Livia sangat menyakitkan, tapi ia tidak peduli. Sedangkan Livia diam memeluk lutut. Jika sampai Bre macam-macam, bahkan hendak melecehkannya, Livia bertekad akan melawannya. Semoga Alan bisa memahami jika janinnya tidak selamat. Untuk beberapa saat keduanya saling diam. Bre menyalakan sebatang rokok sambil duduk di lantai, tidak jauh dari Livia. Melihat Livia menutup mulut dan hidungnya, Bre mematikan rokok karena menyadari Livia tidak nyaman. "Kamu lapar?"Livia tidak menjawab. Bre bangkit dan mengambil sesuatu di nakas. Ada roti dan air mineral di dalam tas kresek. "Makanlah!"Sedikit pun Livia tidak memandangnya walaupun perutnya terasa lapar. "Makanlah! Kamu pasti lapar."Dengan sekuat tenaga, Livia mendorong Bre hingga terjengkang ke belakang. Dengan cepat, Livia mencari kunci kamar di saku baju dan celana Bre. Namun lelaki itu mencekal tangannya dan menarik tubuh Livia hingga menimpa raganya. "Kamu nggak akan menemukan apa-apa."Akhirnya Livia