RAHASIA TIGA HATI - Di mana Livia?Livia membuka mata dengan kepala yang terasa berat dan pusing. Pandangannya berkunang-kunang dan mual. Dia ingat beberapa saat yang lalu, tiba-tiba ada yang menyeretnya masuk mobil dan ia tidak sadarkan diri setelahnya.Sekarang sadar kalau Bre telah membawanya ke sebuah tempat. Livia panik sambil beringsut turun dari pembaringan. Ia sadar sedang di sandera oleh mantan suaminya."Bre, bukain pintunya." Livia menarik handle pintu dengan kasar. Namun usahanya sia-sia. Di kursi pojok kamar, Bre hanya diam memperhatikan."Apa maksudmu membawaku ke sini? Brengs*k kamu, Bre." Livia emosi sambil menatap nanar pria yang hanya diam memandangnya. Ada senyum bahagia melihat Livia sepanik itu.Livia meraih apapun yang ada di dekatnya dan melemparkannya pada lelaki yang memakai jaket warna cokelat. Mata Livia sudah basah berembun. Namun Bre tetap bergeming."Keluarkan aku dari sini," teriak Livia.Bre hanya menyeringai, kemudian bangkit dan mengintip keluar dari
Bre hanya menyeringai. Kata-kata Livia sangat menyakitkan, tapi ia tidak peduli. Sedangkan Livia diam memeluk lutut. Jika sampai Bre macam-macam, bahkan hendak melecehkannya, Livia bertekad akan melawannya. Semoga Alan bisa memahami jika janinnya tidak selamat. Untuk beberapa saat keduanya saling diam. Bre menyalakan sebatang rokok sambil duduk di lantai, tidak jauh dari Livia. Melihat Livia menutup mulut dan hidungnya, Bre mematikan rokok karena menyadari Livia tidak nyaman. "Kamu lapar?"Livia tidak menjawab. Bre bangkit dan mengambil sesuatu di nakas. Ada roti dan air mineral di dalam tas kresek. "Makanlah!"Sedikit pun Livia tidak memandangnya walaupun perutnya terasa lapar. "Makanlah! Kamu pasti lapar."Dengan sekuat tenaga, Livia mendorong Bre hingga terjengkang ke belakang. Dengan cepat, Livia mencari kunci kamar di saku baju dan celana Bre. Namun lelaki itu mencekal tangannya dan menarik tubuh Livia hingga menimpa raganya. "Kamu nggak akan menemukan apa-apa."Akhirnya Livia
RAHASIA TIGA HATI - Dua Lelaki Satu Perempuan Alan berhenti seratus meter dari alamat yang ditujunya. Suasana sepi karena wilayah perumahan itu masih banyak lahan kosong. Beberapa unit rumah saja yang sudah dibangun, tapi belum berpenghuni. Ada beberapa kaplingan ditumbuhi ilalang. Dia memperhatikan layar ponselnya untuk memastikan bahwa alamat yang ditujunya itu benar. Namun Alan tidak melihat ada mobil Bre di sana. Mungkin ada di dalam garasi yang ditutup rapat.Rumah itu minim penerangan. Lampu yang menyala hanya di bagian pagar depan, teras, dan dalam rumah di lantai dua. Tapi Alan yakin kalau alamat itu pasti benar. Ia turun dari motornya dan melangkah ke arah pagar yang terkunci rapat.Diperhatikannya sekeliling. Di sekitar tempat itu belum ada CCTV. Sepi. Tidak terdengar suara apapun di sana selain suara serangga malam.Alan melompat masuk. Di depan pintu tidak ada sandal atau sepatu. Ketika mengintip ke dalam garasi, suasana remang-remang dan ia melihat ada mobil di sana.
Wanita itu histeris melihat kondisi Bre yang pingsan dan memar di bagian rahangnya. Direngkuh Bre ke dalam pangkuannya. "Apa yang terjadi?""Suamimu membawa kabur istriku. Jika kamu, Bre, atau keluarganya tidak terima. Besok bisa menemuiku di kantor. Kita buat perhitungan," ujar Alan kemudian membopong Livia ke arah taksi yang sudah datang.Pras berlari untuk membukakan pintu. "Tolong urusi motorku, ini kuncinya. Aku akan membawa Livia ke klinik.""Oke, Bos.""Bantu dia untuk memapah suaminya masuk ke mobil." Perintah Alan sambil memandang Agatha yang masih memeluk Bre.Pras mengangguk lantas kembali ke teras rumahnya Bre. Memapah laki-laki itu masuk ke dalam mobilnya Agatha. Setelah itu Pras menghubungi salah seorang karyawan AFBC untuk menyusulnya dan membawa pulang motor bos mereka.Agatha yang geram bercampur sedih, hendak membawa Bre ke sebuah klinik. Namun Bre yang sudah sadar berontak tidak mau turun, justru minta pulang. Akhirnya Agatha menghubungi mama mertua dan kakak iparny
RAHASIA TIGA HATI - Kemelut dalam Hati"Siapa yang Mas hubungi?" tanya Kenny pada suaminya ketika mereka tengah berada di kamar. Saat itu Ferry baru saja selesai menelepon seseorang."Teman.""Teman apa Irma?" Kenny berkata penuh selidik. Jelas ia tadi mendengar Ferry menyebut nama Irma."Irma menyarankan supaya kita segera melakukan pemeriksaan ke dokter dan melaporkan kejadian ini."Kenny geram dan tersenyum sinis pada suaminya. "O, jadi Mas minta pendapat dia? Dia siapamu, Mas? Apa dia tahu secara detail semua permasalahan kita? Tahu apa dia tentang keluargamu?"Oke, buat saja laporan kalau kamu ingin menggali lubangmu sendiri. Lakukan saja jika kalian ingin bunuh diri. Bre yang salah telah membawa kabur istri orang. Kamu harusnya sadar, Mas. Alan itu bagaimana orangnya. Jangan usik dia kalau nggak ingin dikuliti sama dia."Ferry termangu mendengar ucapan Kenny. Tentu saja dirinya akan menggali lubang sendiri jika sampai menuntut Alan. Ferry sebenarnya juga tahu itu."Kamu ternyat
"Ini kopimu!" Agatha muncul dan meletakkan secangkir kopi di atas meja sebelah Bre. Kopi yang tadi dibuatkan oleh ART mereka."Makasih," jawab Bre lirih."Sudahi rokokmu atau kamu akan mati sia-sia." Dengan paksa Agatha mengambil rokok di tangan Bre dan melemparkannya dari atas balkon.Bre diam tidak berontak. Hanya menghela nafas panjang seraya menatap langit kelabu di angkasa sana. Agatha duduk di sebelahnya."Kamu nggak akan bahagia hidup bersamaku, Ta. Selamanya rumah tangga kita akan seperti ini. Aku nggak akan menghalangimu untuk pergi. Daripada membuang waktu untuk orang yang tidak tahu bagaimana menghargaimu." Bre berkata lirih tanpa memandang sang istri.Agatha menatap tajam pada suaminya. Sakit, marah, kecewa, mendengar kalimat itu terucap dari bibir seorang lelaki yang sangat ia cintai."Maafkan aku untuk kesalahan semalam. Ini bukan khilaf karena aku memang merencanakannya. Aku ini suami yang nggak layak kamu pertahankan dan kamu perjuangkan. Aku sudah banyak menyakitimu s
RAHASIA TIGA HATI - Mari Kita BicaraAlan meletakkan kotak nasi di atas meja. Kemudian duduk berhadapan dengan Livia. Mati-matian Livia menyembunyikan betapa hatinya rapuh dan air mata yang nyaris luruh."Mas temani makan." Alan membuka kotak nasinya, lalu membukakan milik sang istri.Livia yang tidak bisa menahan diri lagi, urung duduk. "Aku cuci muka sebentar, Mas. Ngantuk soalnya," ujarnya dengan suara bergetar, kemudian meninggalkan Alan untuk ke kamar mandi. Padahal di wastafel pun ia bisa cuci muka.Di dalam sana Livia membiarkan air matanya tumpah. Sumpah, ia tidak ingin seperti ini sebenarnya. Ia ingin kembali menjadi Livia yang dulu. Yang kuat dan tangguh. Kalau bisa ingin menyembunyikan lukanya dalam-dalam. Menyiapkan mentalnya jika kembali harus terluka dan tersungkur. Jelas kalau menangis, matanya bakalan bengkak. Satu hal yang sulit sekali di sembunyikan.Dibiarkannya kran terus menyala dan ia membasuh wajahnya berkali-kali. Menyusut hidungnya yang ikut berair karena ef
Jujur saja, ia bisa gila memikirkan kehidupan dan keluarganya sekarang ini. Penyesalan dan kerinduannya pada Livia yang tidak berujung, pernikahan dengan Agatha yang sangat menyiksa, juga ingatannya pada Livia yang sekarang ini ternyata tengah mengandung anaknya Alan.Masih segar dalam ingatan. Bagaimana Livia bilang dengan penuh rasa khawatir, kalau dia tengah hamil anak suaminya. Ingat bagaimana wanita itu mendekap perutnya seolah ingin melindungi janin yang bersemayam dalam rahimnya.Bre menghela nafas panjang. Keinginan Livia untuk punya anak, akhirnya bakalan terkabul tidak lama lagi. Andai saja, di hari terakhir mereka berhubungan dan membuat Livia hamil, tentu ia punya alasan kuat untuk membuat wanita itu kembali. Namun sayang, keberuntungan itu tidak berpihak padanya."Jika kamu terlalu menuruti apa kata mamamu, bahkan tidak ada pembelaan untukku ketika aku dijatuhkan dan dihina, lalu cinta seperti apa yang sebenarnya kita perjuangkan, Mas." Masih teringat jelas kata demi kat