RAHASIA TIGA HATI - MaluTiga puluh menit saja katanya, ah itu hanya sebuah teori. Prakteknya jelas kelipatan dari tiga puluh menit. Ketika sudah terbang melayang, waktu hanyalah angka."Ayah pasti sudah datang, Mas.""Biar beliau menunggu," jawab Alan. "Tanggung kalau harus disudahi. Sayang kan, kalau orang kafirnya hanya sekarat saja. Tidak sampai mati."Lain kali, Livia harus aware dengan waktu tiga puluh menit. Bisa jadi tiga puluh menit itu hanya lebihannya. Kalau Alan 'meminta' di waktu yang tidak memungkinkan, lebih baik diperjelas lebih dulu."Sepertinya kita terlalu awal datang, Pak Syam," ujar Pak Tamin setelah mengintip dari kaca jendela. Bukan terlalu cepat, sebenarnya mereka pun datang sudah telat.Pak Rosyam tersenyum. Dia pernah muda, tentu paham apa yang terjadi di dalam sana. Dan berharap kalau bulan depan akan mendapatkan kabar gembira. "Bentar lagi kita momong cucu, Pak Syam," ujar Pak Tamin kembali duduk di kursi teras sambil memperhatikan jalanan depan."Itu yan
"Bukan. Karena Livia adalah Livia," jawab Alan sambil tersenyum. Ella mengalihkan pandangan. Ternyata dia dikalahkan oleh janda. Padahal dirinya seorang gadis yang cantik, terpelajar, juga berasal dari keluarga kaya. Pendidikan S2, setara dengan Alan. Apa dia yang kurang cepat memberikan perhatian?Mereka berbincang sambil menikmati cemilan di halaman belakang. Livia ikut bergabung sambil membawakan es buah di nampan. Tetap mengajak Ella berbincang seperti biasa, seolah-olah ia tidak tahu tentang perasaan gadis itu.Alan mengucapkan banyak terima kasih pada tim kerjanya karena keberhasilan event di Jakarta dua Minggu ini. Tentu saja setelah ini mereka harus bekerja lebih giat lagi untuk mengembangkan usaha. Bertanggungjawab sepenuhnya atas tender besar yang telah dimenangkan.Rombongan akhirnya pamitan jam dua siang. Mereka hendak singgah sejenak di Telaga Sarangan yang jaraknya sekitar empat kilometer dari kediaman Bu Ana, baru melanjutkan perjalanan ke Surabaya.***L***"Sayang, ban
RAHASIA TIGA HATI- Pregnant Agatha melempar bantal tepat mengenai tubuh Bre. Ketika ia sudah berada di puncak rasa geram karena lelaki itu tidak bereaksi apa-apa saat di rayu. Bahkan di belai dan dicumbu. Sampai Agatha merasa malu sendiri."Kamu benar-benar sinting, Mas." Bahkan diomeli dan dipukuli pun Bre bergeming. Memejam dan tidak peduli Agatha memperlakukan kasar tubuhnya. Agatha mengambil bantal dan menutup wajah Bre, tapi laki-laki itu hanya menggeliat sejenak untuk melepaskan diri. Lantas berbaring miring memeluk guling. Tak lama kemudian dengkur halusnya yang terdengar.Makin geram Agatha dibuatnya. Wanita itu duduk memeluk lutut sambil menangis di lantai. Bre sudah keterlaluan. Kalau sampai orang tuanya tahu bagaimana Bre memperlakukannya selama ini, mereka pasti mengamuk. Tapi bukankah dirinya yang beriya sangat supaya bisa menikah dengan Bre. Ia mencintai laki-laki itu sejak mereka sama-sama masih duduk di bangku SMA. Lantas, setelah mendapati Bre seperti ini, apa dir
Satu bulan kemudian ....Begini rasanya setiap hari jatuh cinta pada orang yang sama. Livia kian hari makin terlihat memukau dan menarik. Tidak ada satu malam pun terlewatkan tanpa membuat wanita itu berkeringat kelelahan. Tidak ada alasan bagi Livia untuk berkata 'tidak'.Nyaris setiap hari mereka tidak pernah terpisahkan. Kecuali jika Alan ada urusan di luar, Livia akan pulang ke rumah lebih dulu. Memasak di sisa waktu luangnya sebelum azan Maghrib berkumandang. Dan ia akan menyambut suaminya pulang dengan wajah segar dan senyum menawan."Dimakan, Mas. Bukan dilihatin doang. Nanti telat ke kampus, loh." Livia menaruh teh hangat di depan suaminya. Ia juga menggeser piring berisi nasi goreng sosis yang belum tersentuh.Pagi itu, Alan minta dibuatkan nasi goreng untuk sarapan. Dia juga ada jadwal mengajar untuk pagi ini."Sayang, kamu nggak ingin kuliah lagi. Ngambil S2." Ucapan Alan yang tiba-tiba membuat Livia menghentikan tangannya yang sedang mengupas apel."Memang Mas ngizinin?""
RAHASIA TIGA HATI - Di mana Livia?Livia membuka mata dengan kepala yang terasa berat dan pusing. Pandangannya berkunang-kunang dan mual. Dia ingat beberapa saat yang lalu, tiba-tiba ada yang menyeretnya masuk mobil dan ia tidak sadarkan diri setelahnya.Sekarang sadar kalau Bre telah membawanya ke sebuah tempat. Livia panik sambil beringsut turun dari pembaringan. Ia sadar sedang di sandera oleh mantan suaminya."Bre, bukain pintunya." Livia menarik handle pintu dengan kasar. Namun usahanya sia-sia. Di kursi pojok kamar, Bre hanya diam memperhatikan."Apa maksudmu membawaku ke sini? Brengs*k kamu, Bre." Livia emosi sambil menatap nanar pria yang hanya diam memandangnya. Ada senyum bahagia melihat Livia sepanik itu.Livia meraih apapun yang ada di dekatnya dan melemparkannya pada lelaki yang memakai jaket warna cokelat. Mata Livia sudah basah berembun. Namun Bre tetap bergeming."Keluarkan aku dari sini," teriak Livia.Bre hanya menyeringai, kemudian bangkit dan mengintip keluar dari
Bre hanya menyeringai. Kata-kata Livia sangat menyakitkan, tapi ia tidak peduli. Sedangkan Livia diam memeluk lutut. Jika sampai Bre macam-macam, bahkan hendak melecehkannya, Livia bertekad akan melawannya. Semoga Alan bisa memahami jika janinnya tidak selamat. Untuk beberapa saat keduanya saling diam. Bre menyalakan sebatang rokok sambil duduk di lantai, tidak jauh dari Livia. Melihat Livia menutup mulut dan hidungnya, Bre mematikan rokok karena menyadari Livia tidak nyaman. "Kamu lapar?"Livia tidak menjawab. Bre bangkit dan mengambil sesuatu di nakas. Ada roti dan air mineral di dalam tas kresek. "Makanlah!"Sedikit pun Livia tidak memandangnya walaupun perutnya terasa lapar. "Makanlah! Kamu pasti lapar."Dengan sekuat tenaga, Livia mendorong Bre hingga terjengkang ke belakang. Dengan cepat, Livia mencari kunci kamar di saku baju dan celana Bre. Namun lelaki itu mencekal tangannya dan menarik tubuh Livia hingga menimpa raganya. "Kamu nggak akan menemukan apa-apa."Akhirnya Livia
RAHASIA TIGA HATI - Dua Lelaki Satu Perempuan Alan berhenti seratus meter dari alamat yang ditujunya. Suasana sepi karena wilayah perumahan itu masih banyak lahan kosong. Beberapa unit rumah saja yang sudah dibangun, tapi belum berpenghuni. Ada beberapa kaplingan ditumbuhi ilalang. Dia memperhatikan layar ponselnya untuk memastikan bahwa alamat yang ditujunya itu benar. Namun Alan tidak melihat ada mobil Bre di sana. Mungkin ada di dalam garasi yang ditutup rapat.Rumah itu minim penerangan. Lampu yang menyala hanya di bagian pagar depan, teras, dan dalam rumah di lantai dua. Tapi Alan yakin kalau alamat itu pasti benar. Ia turun dari motornya dan melangkah ke arah pagar yang terkunci rapat.Diperhatikannya sekeliling. Di sekitar tempat itu belum ada CCTV. Sepi. Tidak terdengar suara apapun di sana selain suara serangga malam.Alan melompat masuk. Di depan pintu tidak ada sandal atau sepatu. Ketika mengintip ke dalam garasi, suasana remang-remang dan ia melihat ada mobil di sana.
Wanita itu histeris melihat kondisi Bre yang pingsan dan memar di bagian rahangnya. Direngkuh Bre ke dalam pangkuannya. "Apa yang terjadi?""Suamimu membawa kabur istriku. Jika kamu, Bre, atau keluarganya tidak terima. Besok bisa menemuiku di kantor. Kita buat perhitungan," ujar Alan kemudian membopong Livia ke arah taksi yang sudah datang.Pras berlari untuk membukakan pintu. "Tolong urusi motorku, ini kuncinya. Aku akan membawa Livia ke klinik.""Oke, Bos.""Bantu dia untuk memapah suaminya masuk ke mobil." Perintah Alan sambil memandang Agatha yang masih memeluk Bre.Pras mengangguk lantas kembali ke teras rumahnya Bre. Memapah laki-laki itu masuk ke dalam mobilnya Agatha. Setelah itu Pras menghubungi salah seorang karyawan AFBC untuk menyusulnya dan membawa pulang motor bos mereka.Agatha yang geram bercampur sedih, hendak membawa Bre ke sebuah klinik. Namun Bre yang sudah sadar berontak tidak mau turun, justru minta pulang. Akhirnya Agatha menghubungi mama mertua dan kakak iparny