RAHASIA TIGA HATI- Suara HatiMotor melaju dengan kecepatan sedang di sore yang cerah. Warna jingga merona di langit barat. Semilir angin terasa antara panas dan segar meski jelas saja bercampur pekatnya polusi dari asap knalpot dan debu jalanan.Livia berpegangan pada kedua sisi jaket kulit yang dipakai Alan. Tasnya di taruh di antara dirinya dan Alan sebagai pembatas. Ketika traffic light menyala merah, motor berhenti di antara kendaraan lainnya. Tanpa mereka sadari, dari salah satu mobil yang berhenti. Ada Bre di dalamnya. Tangan pria itu mencengkram kuat steering mobil saat mengenal dengan jelas siapa yang berboncengan di sampingnya. Bahkan sampai rahangnya mengeras dan giginya gemertak. Alan lelaki yang paling dibenci dan dicemburuinya selama ini. Selama enam bulan ini, Bre diam-diam terus mengikuti kegiatan Livia tanpa sepengetahuan mantan istrinya. Bahkan ia tahu kapan Livia berangkat kerja dan jam berapa pulangnya.Dia lebih banyak tahu tentang aktivitas Livia daripada keg
Bre menikmati rokoknya di balkon kamar. Sendirian sambil menatap langit malam. Sedangkan Agatha sudah berselimut di atas pembaringan setelah menelan satu pil tidur. Kalau pikirannya sedang kalut, Agatha akan mengonsumsi obat tidur supaya bisa terlelap tanpa memikirkan suaminya, memikirkan keinginannya sebagai wanita dewasa yang butuh s*ntuhan dan b*laian suami. Pada kenyataannya ia tetap belum tersentuh. Menyedihkan sekali. Agatha ingin tahu, sampai sejauh mana Bre bisa bertahan. Makanya untuk menghibur diri, ia memanjakan diri di salon, shopping, jalan-jalan dengan gengnya. Yang penting waktunya pulang ia pulang agar mama mertuanya tidak curiga."Tha, kamu dan Bre nggak ada rencana untuk program hamil ke dokter?" tanya Bu Rika suatu pagi."Belum, Ma," jawabnya singkat. Progam hamil apanya, disentuh saja belum.Terkadang Agatha berharap Bre pulang malam dalam keadaan mabuk dan mereka melakukannya. Tidak mengapa bercinta dalam kondisi setengah siuman. Siapa tahu sekali saja melakukan
RAHASIA TIGA HATI- Kejutan Setelah menutup laptopnya, Livia masih diam di tempat. Antara lega dan heran. Event sebesar itu, kenapa Alan mempercayakan pada rekannya. Tapi juga lega karena Alan tidak pergi bersama Ella.Duh, makin mengadi-ngadi kamu, Liv.Livia menarik napas panjang, kemudian berdiri dan melangkah keluar. Di depan pintu ruangan Alan, Livia kembali mematung untuk menata ekspresi wajahnya. Baru mengetuk pintu ruangan bosnya yang tertutup rapat. "Masuk!""Kupikir Mas Alan sudah berangkat. Aku kaget waktu Rasty ngasih tahu tadi." Livia berkata sambil duduk di kursi depan lelaki yang tengah menatap layar laptopnya. Ekspresi wajahnya dibuat datar-datar saja."Adi yang pergi," jawab Alan."Keputusan dadakan ya, Mas?" Pokoknya Livia bersikap sebiasa mungkin. Pura-pura tidak tahu. Malu sebagai perempuan menunjukkan perasaannya duluan. Dikira janda yang kegatelan dan tidak tahu diri. Iya kalau terbalas, bagaimana kalau tidak? Malunya seumur hidup.Alan belum menjawab, ia menye
Terkadang cinta sejati tercipta karena sama-sama pernah patah hati dengan pasangan sebelumnya? Jadi apapun bisa saja menjadi alasan cinta itu tumbuh di hati.Livia menyelesaikan pekerjaannya dengan penuh semangat dan rasa haru. Bagaimana tidak, untuk mempersunting seorang janda seperti dirinya, Alan masih mempersiapkan diri dan finansialnya. Tidak mau sembarangan menikah tanpa persiapan. Segitunya Alan menghargai Livia.Hal ini seperti yang dilakukan Alan sewaktu melamar kakaknya dulu. Kala itu Alan sudah punya pekerjaan dan penghasilan yang menjanjikan. Kalau sekarang, dia baru keluar dari pekerjaannya dan baru memulai membangun bisnisnya. Makanya butuh persiapan lagi meski usianya sekarang lebih matang. Livia harus bersyukur, dia mendapatkan Alan dengan versi terbaiknya ketika ini. ***L***Sore itu langit secerah hati Livia. Setelah berhari-hari dengan perasaan melow, sekarang berseri-seri.Wanita itu memasuki minimarket untuk berbelanja. Sepulang dari kantor langsung mampir untuk
RAHASIA TIGA HATI- Lamaran Seharian ini Livia sibuk menyelesaikan laporan keuangannya. Sambil memantau Pak Tamin yang tadi belanja buah-buahan untuk menyambut tamu nanti malam. Ah, lelaki itu sudah seperti ibu rumah tangga saja. Pokoknya di tangan Pak Tamin, dijamin semuanya beres.Keadaan yang membuatnya menjadi serba bisa. Sopir, memasak, membereskan rumah. Kalau soal pakaian kotor, semua masuk laundry. Namun untuk menu acara nanti malam, Alan sudah memesan makanan di katering langganan. Jadi Livia tidak kerepotan mengurusi hidangan. Hingga selesai istirahat siang, Livia belum sempat bertemu dan ngobrol dengan Alan. Dia pun sibuk memantau event di Jakarta sambil menyelesaikan pekerjaannya di sini.Para karyawan tidak ada satu pun yang tahu kalau malam nanti bos mereka akan lamaran. Selama ini kedekatan Alan dan Livia sudah dianggap hal biasa bagi para staf. Sebab sejak awal mulai bekerja, mereka sudah terbiasa melihat Alan memang seperhatian itu pada Livia.Ponsel di sebelah lap
"Kamu jangan pikirkan hal itu. Aku yang akan nge-handle semuanya. Ketika aku siap melangkah untuk melamarmu, berarti aku sudah siap bertanggungjawab secara mental dan finansial."Keduanya bersipandang. Livia speechless. Tidak bisa berkata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. "Mulai besok kita siapkan surat-surat untuk mendaftarkan pernikahan."Livia mengangguk. Bagi lelaki memang tidak seribet perempuan. Apalagi pria seperti Alan. Nikah pakai kemeja dan jas saja sudah cukup. Sedangkan untuk perempuan, Livia harus mempersiapkan baju untuk akad nikah, make up, dan beberapa perlengkapan yang njelimet."Kamu jangan khawatir. Aku akan bantuin kamu." Ucapan Dina membuat Livia bernapas lega. Kalau dia bisa tampil sebaik mungkin, tentu ia lakukan bukan untuk dirinya sendiri. Tapi supaya Alan tidak malu, agar Alan merasa senang dan bahagia karena Livia sangat peduli dan memperhatikan secara detail untuk pernikahan mereka.Jam sembilan malam Bu Ana sekeluarga pamitan. Sekalian bilang kalau b
RAHASIA TIGA HATI- Tiga Puluh Menit Saja"Maaf, Mas telat. Tadi macet karena perbaikan jalan," bisik Alan lirih setelah duduk di samping Livia. Alan merasa bersalah melihat kekhawatiran di wajah ayu calon istrinya.Mulai hari itu Alan harus mulai membiasakan dirinya dengan sebutan 'Mas'. Pembahasaan diri yang sangat berbeda tentunya.Livia mengangguk pelan sambil menyeka air mata menggunakan tisu yang disodorkan oleh Dina. Pikirannya tadi sudah ke mana-mana. Bayangan buruk menjelma menjadi sebuah ketakutan. Padahal mustahil Alan mengingkari janjinya. Dia kenal betul, Alan bukan lelaki seperti itu.Alan juga menyampaikan permintaan maaf pada Pak Rosyam dan kepada petugas KUA karena keterlambatannya.Beberapa menit kemudian, acara akad nikah di mulai. Pak Rosyam yang memakai jas warna hitam menjabat erat tangan Alan. Ada rasa bahagia dan juga bangga, karena masih diberikan kesempatan mengantarkan putrinya ke gerbang rumah tangga."Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan en
Bre bergeming saat Agatha menghampiri dan duduk di kursi sebelahnya. Mereka tengah duduk berdua di balkon sebuah kamar hotel di kota Malang. Sudah dua hari ini mereka ada pekerjaan di Malang. Satu perjalanan kerja yang sebenarnya direncanakan oleh Bu Rika. Wanita itu sekarang tahu kalau hubungan Bre dan Agatha tidak seperti hubungan sepasang suami istri pada umumnya."Kamu mengadu apa saja pada mamaku?" tanya Bre dingin."Bukan mengadu, aku cerita kenyataan yang sebenarnya. Aku lakukan semua itu untuk membela diri. Sebab mama menuntutku agar segera promil. Dikira aku yang bermasalah, padahal selama menikah kita nggak pernah melakukan kewajiban selayaknya suami istri."Bre menghela nafas panjang sambil mengembuskan asap rokok ke udara. Agatha menutup hidungnya sambil mengibaskan tangannya. Dia benci asap rokok, dia benci bau rokok. "Kenapa nggak kamu ceritakan hal ini pada keluargamu juga. Biar hubungan kita lekas selesai."Agatha tersenyum sinis. Dia ingin melihat sejauh mana Bre sa