RACUN UNTUK MADUKU
Bab 1
Aku merapikan tempat tidur anakku, melipat selimutnya bergambar Spiderman berwarna biru. Sesekali menepuk-nepuk bantal dan juga guling.
Plok
Seketika aku menoleh ke lantai membersihkan tempat tidur anakku dengan sapu lidi yang biasa aku gunakan.
"Apa itu?" gumamku pelan. Lalu kembali memperhatikan benda yang tidak asing lagi di mataku. Perlahan namun pasti langkahku mendekati benda tersebut.
"Astagfirullahaladzim," ucapku pelan sembari tangan menutup mulut. Jantungku kian cepat, seiring kepalaku mulai berdenyut. Astaga, apa ini? Anakku berusia lima belas tahun menyimpan benda yang seharusnya tidak ia miliki karena belum saatnya.
Pikiranku berkeliaran jauh, entah apa yang dilakukan putraku sedini ini. Apakah aku terlalu membiarkan dia berkembang menjadi remaja pada umumnya, terlalu bebas? Apakah aku yang kurang memperhatikan? Ya Tuhan, cobaan apa yang akan Engkau berikan kepada hamba-Mu yang lemah ini?
Tidak terasa bulir-bulir air bening itu meluncur begitu saja. Ada rasa sesal dan juga rasa marah. Aku segera bangkit dari dudukku, berjalan ke ruang tamu mencari benda pipih yang tadi aku letakan di atas nakas.
Segera aku menekan nomor yang bertuliskan Mas Ilham. Berniat ingin menanyakan perihal alat kontrasepsi itu.
Aku Paramitha Ayu, usia 40 tahun. Pernikahan kami cukup lama, lima belas tahun. Usia pernikahan kami sama dengan usia anak satu-satunya yang aku miliki. Kami menikah di saat usia kami masih terbilang muda bukan aku tetapi Mas Ilham, ketika menikah dia masih berusia 20 tahun. Sedangkan aku 25 tahun.
Setelah menikah kami langsung diberi kepercayaan untuk menjadi orang tua. Itu yang membuat kebahagiaan kita semakin lengkap. Aku menganggap usia bukanlah sebuah masalah. Karena selama ini Mas Ilham adalah sosok suami yang bertanggung jawab dan juga perhatian. Namun nampaknya diusianya yang ke 35 tahun ini. Sepertinya ia mengalami masa Buper kedua. Terbukti dia memilih berselingkuh dibelakangku. Itu yang aku pikirkan saat ini.
"Halo, Assalamualaikum," salam terdengar dari seseorang yang ada di seberang telepon mampu membuyarkan lamunanku.
"Mas, kapan tugasmu di luar kota selesai?" tanyaku setelah menjawab salam darinya.
"Ada apa, Dek? Bukannya Mas sudah bilang masih seminggu lagi? Tidak ingatkah kamu?"
"Ada sesuatu, Mas. Aku tidak bisa menjelaskan di telepon. Aku harap kamu bisa pulang secepatnya."
"Ada apa? Apakah itu soal Rendy?"
"Ya, tentang putra kita." Aku menggigit bibir bawahku.
"Sudahlah, Dek. Rendy sudah mulai besar, kamu harus sedikit membebaskannya. Jangan terlalu dikekang. Nanti dia tidak nyaman."
"Justru aku terlalu membebaskannya hingga tanpa aku sadari aku sudah merusaknya."
"Apa maksudmu, Dek?"
"Pulanglah, akan aku ceritakan semua di rumah."
"Aku akan berbicara dengan pimpinan terlebih dahulu. Jika beliau berkenan, Mas akan pulang lebih dulu."
***
Rendy duduk di salah satu kursi di meja makan. Rumah yang lumayan besar ini hanya ditinggali aku dan juga Rendy, putra satu-satunya yang aku miliki. Ada satu orang pembantu, namun dia bekerja dua hari sekali. Datang ke rumah lalu pulang kembali. Aku memang tidak suka jika harus tinggal dengan orang asing.
"Rendy, bisa Mama bicara sebentar?" tanyaku sembari tangan meletakan gelas berisi jus jambu.
"Bicara apa, Ma? Sepertinya penting." Putraku menjawab setelah meletakan benda pipih yang ada ditangannya.
"Ini apa?" tanyaku langsung pada intinya. Membuat Rendy melirik ke arah benda yang diletakan diatas meja. Netranya membulat sempurna, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Putraku langsung mengambil gelas yang berisi air putih lalu meneguknya hingga tandas. Seolah kerongkongan nya kering, terlihat dengan susah payah dia menelan cairan bening itu.
"Kamu kenapa, Rendy? Pelan-pelan minumnya."
Uhuk … uhuk
Rendy tersedak hingga terbatuk-batuk. Aku yang melihat respon Rendy seketika berpikir jauh. Ya Tuhan, jangan sampai apa yang ada di dalam pikiranku saat ini benar adanya. Aku harap semua ini hanya kesalahpahaman saja.
"Rendy, nggak papa, Ma."
"Bisa kamu jelaskan soal ini?"
Rendy menunduk, semakin membuatku penasaran. Entah kenapa mataku mulai memanas, tingkah Rendy membuatku semakin tidak karuan. Menerka-nerka sesuatu yang tidak pasti.
"Jawab, Rendy! Ini apa?!" Kini suaraku mulai meninggi.
"Itu milik Papa, Ma," ucap Rendy dengan suara bergetar.
Duar
Bagai disambar petir disiang hari. Dadaku kian gemuruh hebat, apakah aku tidak salah dengar? Benda ini milik suamiku? Tapi selama ini aku melakukan hubungan suami istri tidak pernah sekalipun memakai benda itu.
"Apa maksudmu benda ini milik Papa, Rendy?" Aku kembali bertanya.
Rendy masih diam membisu, kini dia terlihat menunduk. Pandangannya jelas ke arah tangan yang terlihat gelisah dibawah sana.
"Jawab Mama, Rendy!" Kini suaraku terdengar lantang. Pandanganku semakin lama semakin mengabur, pertanda air bening itu sudah siap meluncur.
Aku mengarahkan pandanganku ke segala arah. Menghapus air yang hampir jatuh di sudut mata.
Aku berkali-kali menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Sesekali memejamkan mata lalu membukanya, berharap semua ini hanya mimpi belaka. Namun sayang, ini nyata adanya.
Jika benda ini berada di kamar Rendy, berarti benda ini milik anak lelakiku. Ya Tuhan, hukum aku jika ini benar adanya. Aku sudah gagal mendidik putraku. Aku sudah tidak bisa dianggap Ibu. Bagaimanapun ini sesuatu yang tidak wajar, tidak baik.
Namun dia mengatakan benda ini milik Mas Ilham, papanya. Lantas apa yang dilakukan Mas Ilham dengan benda ini? Apakah dia selama ini telah bermain api di belakangku? Pikiran-pikiran negatif itu terus aja menghantuiku.
"Ma," ucap putraku pelan.
"Apa Rendy? Kamu jelaskan semuanya pada Mama!"
"Rendy sudah telat, Ma."
Astagfirullahaladzim, aku lupa seharusnya Rendy pergi ke sekolah sejak sepuluh menit yang lalu. Kini dia harus berangkat ke sekolah sedikit terlambat. Aku segera membuang napas dengan kasar. Meraih kunci mobil yang tergantung. Segera aku mengantar Rendy kesekolah.
Setibanya disekolah, Rendy mencium tanganku dengan takzim. Namun masih menunduk. Apakah pertanyaanku tadi melukai hatinya. Ya Tuhan, maafkan hamba- Mu ini yang tidak bisa mengontrol amarah.
Aku menurunkan kaca mobil, memperhatikan setiap langkah putraku berjalan menuju gerbang sekolah. Disana terlihat wanita mengenakan kemeja coklat dan juga rok span dengan panjang selutut.
Menundukan kepala saat melihat aku menatap ke arahnya. Parasnya cantik mengenakan kacamata dan juga rambut yang digerai.
Dia adalah salah satu guru yang mengajar di sekolah ini. Entah pelajaran apa yang ia berikan.
Ya, Putraku memang sekolah di salah satu sekolah swasta di kota. Memasukan sekolah swasta menurutku keputusan yang tepat.
Maka dari itu kebanyakan pakaian yang dikenakan oleh pengajar di sekolahan itu tidak mengenakan seragam guru pada umumnya.
Dert
Ponselku terdengar bergetar, segera aku mengusap layar dan mencari tahu siapa yang sudah mengirimiku pesan.
Deg
Bagai disambar petir di siang hari. Tanganku mendadak dingin, jantungku seakan berdetak lebih cepat. Setelah aku melihat foto-foto pernikahan suamiku.
Astagfirullahaladzim.
Aku beristighfar dalam hati, lalu mencoba menghubungi Mas Ilham.
"Halo, Assalamualaikum, Ma. Ada apa?"
"Kamu dimana, Mas?"
"Aku …" Cukup lama Mas Ilham tidak menjawab ku. Terkesan dia gugup dan salah tingkah. Ayo, Mas. Jawab pertanyaanku, dimana kamu dan juga gundikmu itu!
Bersambung
RACUN UNTUK MADUKUBab 2"Aku lagi ada meeting, Ma. Ada apa?""Penting banget ya? Bisakah kita bicara?" Aku mencoba meminta Mas Ilham bicara lebih lama. Agar aku tahu dan memastikan apa yang aku lihat baru saja tidaklah benar."Penting? Masalah Rendy?""Ya.""Kita bicara nanti, Ma. Papa nggak enak jika harus menerima telepon terlalu lama. Kesannya papa nggak menghargai atasan. Maaf, ya Ma. Nanti kita bicara lagi."Tut … TutBenar saja Mas Ilham menutup telepon tanpa berpamitan padaku. Perasaanku dan juga pikiranku semakin tidak karuan. Aku segera menghubungi nomor yang baru saja mengirimku gambar-gambar tersebut. Tidak tersambung, nomor yang baru saja mengirimiku pesan sudah tidak aktif. Ya Tuhan, jangan sampai apa yang aku lihat ini nyata. Aku hanya berharap rumah tanggaku akan baik-baik saja.*****Sudah dua hari dua malam, nomor Mas Ilham tidak dapat dihubungi. Entah apa yang dia lakukan diluar kota. Membuat pikiranku menerawang jauh kesana. "Ma." Rendy berjalan mendekat, menjat
RACUN UNTUK MADUKUBAB 3Kepulangan Mas IlhamAku menyiapkan sarapan seperti biasa. Membuatkan nasi goreng kesukaan Rendy dan juga telur mata sapi. Disaat aku tengah mengaduk nasi yang ada di wajan. Suara ponselku terus saja berbunyi. Aku hanya menoleh sekilas. Lantas kembali fokus pada nasi yang hampir matang. Satu panggilan akhirnya terputus. Hingga panggilan kedua membuatku harus mematikan kompor untuk melihat siapa yang menelpon. CeklekAku langsung mematikan kompor. Berjalan menghampiri benda pipih yang terus berbunyi."Siapa Ma?" tanya Rendy, ketika anak satu-satunya itu keluar kamar. Dan dia melihatku menatap ponsel yang menyala."Papa," jawabku begitu saja. Rendy terlihat menggeser kursi lalu duduk di sana. "Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab lelaki yang ada di seberang telepon. Membuatku menghela nafas panjang. Aku harus bisa mengendalikan emosiku agar bisa mengumpulkan bukti. Sejauh mana lelaki ini bertingkah di luaran sana. Jangan sampai dia justru menyudutk
RACUN UNTUK MADUKUBab 4Sandiwara.Aku mencoba menghubungi Mas Ilham. Tentu memastikan apakah jawabannya akan sama atau justru kebalikannya.Tut … Tut.Aku menekan dada ini kuat-kuat. Merasakan sesak kala lelaki yang bergelar suami itu berjalan mesra, merangkul pinggang wanita itu masuk ke penginapan. Apa yang akan mereka lakukan? Tentunya akan menikmati surga dunia, tidak mungkin dua orang berlawanan jenis pergi ke penginapan hanya untuk makan siang.Cukup lama, sambungan telepon tidak juga diangkat oleh suamiku. Aku bertambah yakin jika dia memang bermain gila di belakangku.Aku menghentikan panggilan telepon lalu melempar benda pipih itu ke kursi penumpang di sampingku. Lantas aku melajukan mobil dengan perlahan menuju tempat parkir. Tentunya jauh dari mobil milik Mas Ilham.Buk. Aku menutup pintu cukup kuat. Lalu kembali membuka pintu lagi untuk mengambil ponsel yang tadi sempat aku lempar. Tidak mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari barang bukti. Aku menoleh ke s
RACUN UNTUK MADUKUBAB 5Sandiwara dimulaiJam menunjukan angka tiga tepat. Aku yang sudah berada di rumah lantas membersihkan rumah seperti biasa. Meskipun tidak aku pungkiri. Ada nyeri di dalam hati ini. Namun, hidup akan terus berjalan, mengenai luka yang ditoreh Mas Ilham akan aku biarkan dia terus terbuka. Agar aku selalu mengingat, ada hati yang berlubang karena lelaki itu.Aku membersihkan debu yang ada di lantai dengan vacuum cleaner. Mengelap meja lalu juga jendela. Sesekali aku menghela nafas panjang. Berharap semua yang aku hadapi saat ini hanya mimpi. Namun, lagi-lagi semua nyata. Tuling ….Sebuah pesan masuk, segera aku meletakan kain lap di atas meja.[Ma, Randy terlambat pulang. Mungkin jam lima baru tiba di rumah. Ada pekerjaan sekolah yang harus diselesaikan bersama.] Satu pesan aku baca, tertera di sana dari Rendy. Anak lelaki satu-satunya yang aku miliki.[Iya, sayang. Hati-hati. Kabari jika sudah selesai. Mama akan menjemputmu!][Siap, Ma.]Aku kembali meletakan
Malam ini aku dan juga Mas Ilham hanya berdua. Karena Rendy menginap dirumah temannya yang bernama Bian. Entah mengapa semenjak aku tahu dia mendua. Rasanya enggan berduaan dengan lelaki itu. Apalagi jika dia mendekat, mual jika mengingat dia pernah berkeringat bersama wanita lain.Tuling.Satu pesan aku terima. Mampu membuyarkan lamunanku, meskipun mata tertuju pada layar televisi yang menyala.Ternyata dari Nita, dia menanyakan keadaanku.[Gimana kamu oke kan?][Iya.]Kring ….Ketika aku tengah membalas pesan dari Nita, ponsel Mas Ilham berdering. Lelaki yang tengah mandi itu tidak mendengarnya. Apalagi berniat mengangkat. Membuat aku tidak menyia-nyiakan kesempatan.Pintu kamar yang terbuka membuat aku mendengar jelas dering ponsel Mas Ilham. Ditambah jarak antara kamar dan juga ruang keluarga tidak jauh. Biasanya aku tidak pernah melihat ataupun kepo dengan urusan Mas Ilham. Namun setelah aku tahu dia berselingkuh. Rasanya jiwa penasaran ku meronta-ronta, ingin tahu seperti apa w
Duar Bak disambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan kepalang. Bayangan-bayangan Mas ilham yang tengah bercumbu pada wanita tempo hari kembali terngiang.Rambut dan postur tubuh wanita itu nampak mirip dengan Andini. Apa Andini ini adalah selingkuhan Mas Ilham? Lantas siapa Maura? Apakah lebih dari satu orang yang bermain api dengannya?****Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku memang tengah marah, namun aku masih waras. Jangan sampai kemarahanku hanya bisa membuat semua menjadi berantakan."Oh …." Aku berusaha setenang mungkin, ada Rendy dan juga Bian. Mereka tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran kami. Meskipun usianya sudah menginjak 15 tahun."Hem … Kamu nggak marah?" tanya Andini, wanita itu terkejut bukan main. Seperti dugaan ku. Dia menginginkan aku marah. Oh, tidak semudah itu. Aku memang mencintai Mas Ilham dan aku marah akan tindakannya. Namun, aku masih waras. Jika aku bertindak gegabah dan meminta cerai, aku akan kehilangan banyak harta. Dan a
Tidak ada seorang suami dengan bangga merasa benar atas pengkhianatan. Ah, apakah itu benar cinta bukan nafsu?Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Andai orang tuaku masih hidup aku akan mencurahkan keluh ku kepadanya. Aku akan menangis di pelukannya. Namun sayang aku hanya seorang diri, hidup tanpa mereka yang sudah lebih dulu menghadap Sang Ilahi.Menjadi satu-satunya orang yang berdiri dengan kaki sendiri. Harus menjadi bahu yang kuat untuk bersandar diri. Aku menghapus jejak air mata. Menangkupkan kedua tangan pada wajah. Aku menangis dalam sunyi, setelah pertengkaran semalam. Yang bisa aku lakukan hanya bersimpuh. Memohon ampun atas apa yang telah aku perbuat. Memohon diberikan segala kemudahan. Dan aku meminta semuanya akan indah pada akhirnya. Namun, jika Tuhan berkehendak lain. Aku hanya bisa menjalani, tentunya dengan caraku.Aku melirik ke arah ranjang. Mas Ilham tidak tidur disana. Aku yakin dia tidur di kamar tamu. Begitulah suami ku. Jika kami tengah bertengkar, kami a
"Kamu kenapa, sayang?" Aku bertanya pada Rendy ketika kami sudah berada di dalam mobil."Tamu yang datang apakah Bian dan juga ibunya?"Pertanyaan Rendy membuatku menghela napas panjang."Bukan sayang!""Lantas siapa?""Pembantu baru!"*****Aku menyiapkan kamar tamu. Mengganti sprei lalu mengepel lantai nya. Menyemprot pengharum ruangan agar lebih wangi dan penghuni bisa betah istirahat di dalamnya. Tidak lupa memberikan bunga segar yang tadi sempat aku beli saat perjalanan pulang setelah mengantar Rendy ke sekolah. Aku berjalan keluar kamar sembari membawa peralatan pembersih keluar kamar. Menyeretnya perlahan lalu kembali menutup pintu kamar.Aku menuju belakang meletakkan semua peralatan disana. Tanganku menepuk bergantian berharap debu rontok seketika. Tentunya harus mencuci tangan agar kuman bisa hilang. Gemericik air turun dari kran wastafel. Aku mengusap lembut tangan dengan sabun. Pikiranku menerawang jauh. Entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa membayangkannya.
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki