RACUN UNTUK MADUKU
BAB 5
Sandiwara dimulai
Jam menunjukan angka tiga tepat. Aku yang sudah berada di rumah lantas membersihkan rumah seperti biasa. Meskipun tidak aku pungkiri. Ada nyeri di dalam hati ini. Namun, hidup akan terus berjalan, mengenai luka yang ditoreh Mas Ilham akan aku biarkan dia terus terbuka. Agar aku selalu mengingat, ada hati yang berlubang karena lelaki itu.
Aku membersihkan debu yang ada di lantai dengan vacuum cleaner. Mengelap meja lalu juga jendela. Sesekali aku menghela nafas panjang. Berharap semua yang aku hadapi saat ini hanya mimpi. Namun, lagi-lagi semua nyata.
Tuling ….
Sebuah pesan masuk, segera aku meletakan kain lap di atas meja.
[Ma, Randy terlambat pulang. Mungkin jam lima baru tiba di rumah. Ada pekerjaan sekolah yang harus diselesaikan bersama.] Satu pesan aku baca, tertera di sana dari Rendy. Anak lelaki satu-satunya yang aku miliki.
[Iya, sayang. Hati-hati. Kabari jika sudah selesai. Mama akan menjemputmu!]
[Siap, Ma.]
Aku kembali meletakan benda pipih itu kedalam saku celana. Lalu fokus pada jendela yang baru saja aku lap. Setelah selesai aku berjalan menuju dapur. Kembali memeriksa ponsel namun tidak ada panggilan dari Mas Ilham. Ya Tuhan, apakah pergulatan panas antara mereka belum juga usai?
Pikiranku terus meracuniku, bayangan menjijikan itu terus saja terlintas di benakku. Seakan masih terekam jelas di memori.
Aku kembali menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan, haruskah aku menghubungi Mas Ilham? Ah, rasanya tidak ingin aku mendengar suara lelaki itu.
Aku segera membuka kulkas, mencari tahu bahan apa saja yang bisa aku masak. Mengeluarkan telur tempe dan juga sayuran. Tidak lupa daging yang sudah aku beli beberapa hari lalu.
Meskipun Mas Ilham sudah bertindak sejauh itu, namun aku masih setia melayani. Karena tugasku sebagai istri hanyalah melayani suami dan juga anak. Terlebih jika dia berkhianat, salahkan lelaki itu bukan aku! Bukan aku yang tidak pandai menjaga hati dan juga tubuh ini. Tapi aku terlalu sibuk mengurus mereka hingga lupa mengurus diriku sendiri.
Aku menoleh pada jam yang melingkar pada dinding. Jarinya menunjukan angka empat lebih lima belas menit. Cukup jika digunakan untuk memasak.
Tin ….
Suara deru mobil terdengar berhenti di halaman rumah. Aku yang tengah mengaduk masakan tidak sempat melihat siapa yang datang.
"Assalamualaikum," salam terdengar dari balik pintu.
Ceklek
"Waalaikumsalam," jawabku, pandanganku seketika menoleh ke arah sumber suara. Rendy yang baru saja tiba berjalan menghampiri, diletakkannya tas pada meja makan. Lalu Rendy menyeret kursi kemudian menjatuhkan bokongnya di sana.
"Halo Ma. Mama ngapain?"
"Masak sayang, kan papa pulang. Lho kok kamu sudah pulang? Diantar siapa?"
Rendy tidak menjawab, justru ia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
"Ada apa? Ada masalah?" tanyaku khawatir. Terlihat wajah putraku itu terlihat masam.
"Mama baik-baik saja?" Rendy kembali bertanya. Memastikan aku dalam keadaan baik.
"Iya sayang. Mama oke kok. Kamu tenang saja." Aku menutupi tangisku dengan senyuman. Menutupi lukaku dengan wajah berseri. Jangan sampai Rendy menjadi korban keegoisanku.
"Ma …."
Aku mengangguk, memberi isyarat bahwa aku bisa menjalani semuanya. Aku tahu Rendy sudah beranjak remaja. Dia tahu apa artinya patah hati dan terluka. Wajar jika menanyakan keadaanku saat ini. Terlebih kemarin dia melihat tangisku.
Deru mobil milik Mas Ilham terdengar memasuki pekarangan rumah. Aku yang tengah mengaduk masakan akhirnya mematikan kompor. Mengecilkan api yang menyala di lubang kompor yang lain.
"Rendy mandi dulu, Ma."
"Iya, sayang. Nanti setelah sholat magrib kita makan malam bersama ya!" pintaku pada Rendy. Hanya dibalas dengan anggukan olehnya.
Aku melepas celemek yang menempel pada tubuh bagian depan. Meletakkannya di atas meja makan lalu berjalan menuju pintu utama.
Ceklek.
Aku membuka pintu, wajah dengan rahang tegas dengan juga jambang tipis itu terlihat berdiri dibalik pintu. Tersenyum sembari tangan membawa buket bunga. Ya Tuhan, apakah dia benar-benar melakukan ini semua demi cinta? Atau hanya menutupi kesalahannya?
"Assalamualaikum, Sayang." Tangan lelaki itu tangannya terbuka lebar. Biasanya aku langsung menghamburkan pelukan padanya. Namun kali ini berbeda. Aku hanya tersenyum lalu mencium tangannya dengan takzim. Meskipun aku melihat Mas Ilham juga terkejut dengan perubahanku. Namun ya sudahlah, tidak aku pungkiri bersikap biasa saja. Dan berpura-pura tidak tahu apa-apa itu begitu sulit.
"Waalaikumsalam, Mas. Kok sudah tiba dirumah? Katanya habis magrib?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku menerima buket bunga itu lalu mencium aromanya. Buket bunga mawar berwarna merah itu begitu cantik.
"Iya, nggak papa. Sengaja, habis aku sudah kangen sama istriku tercinta ini," ucap lelaki yang bergelar suami itu. Tangannya lantas merangkul pinggangku dan membawa tubuhku jatuh pada pelukannya. Biasanya aku akan menghadiahinya dengan kecupan hangat pada bibir. Namun tidak untuk saat ini. Aku mencoba menghindari sentuhan lelaki itu.
"Kalau begitu, kamu mandi dulu ya, Mas. Aku siapin air hangat dulu. Habis itu kita makan malam bersama."
Terlihat wajah Mas Ilham berubah. Dia mengangguk lantas mengikutiku berjalan di belakang.
Aku berjalan lebih dulu menuju dapur. Meletakan buket bunga diatas meja lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang tadi.
Setelah itu aku menyiapkan air hangat untuk Mas Ilham mandi. Tentu saja dia harus mandi.
"Makasih, sayang." Lagi-lagi aku hanya tersenyum tanpa berniat menjawab.
Makan malam sudah siap. Di meja tertata rapi beberapa menu. Ada SOP daging hingga tempe mendoan. Mas Ilham turun dari tangga sedangkan Rendy keluar dari kamarnya. Tatapan anak dan juga ayah itu bertemu. Membuat Rendy terkejut bukan main.
"Papa …." Rendy menghamburkan pelukannya pada lelaki yang bergelar Ayah itu.
"Apa kabar kamu, Rendy?" tanya Mas Ilham membuat Rendy tersenyum.
"Baik, Pa."
"Papa nggak lihat kamu beberapa hari sepertinya kamu kurusan?" sapa Ilham sembari memperhatikan tubuh Rendy dari atas hingga bawah.
"Apa Mama nggak pernah masak?" Ilham terkekeh. Membuat Rendy melirik ke arahku. Aku pun hanya tersenyum kecut.
"Rendy sengaja hanya makan sedikit, Pa."
"Gimana sekolah kamu?" tanya Mas Ilham. Aku lantas menyiapkan nasi diatas piring lelaki itu. Mengambilkan beberapa lauk diatasnya. Lalu beralih pada Rendy.
"Cukup, Ma," pinta Rendy ketika melihat aku menuangkan nasi diatas piring untuknya.
"Baik Pa, lancar. Kerjaan papa gimana?" Kini giliran Rendy yang bertanya. Mas Ilham memasukan sendok ke dalam mulut sebelum menjawabnya.
"Semuanya lancar, kalau kamu gimana Ma? Setelah papa pergi Mama ngapain saja di rumah?"
"Ha?" tanyaku spontan. Karena jujur aku tidak memperhatikan.
"Mama di rumah Pa, seperti biasa. Mengurus Rendy, membersihkan rumah. Apalagi? Mama selalu demikian." Rendy yang menjawab pertanyaan papanya.
Aku tersenyum, benar apa yang dikatakan Rendy. Aku tidak melakukan kegiatan yang lain selain membersihkan rumah.
"Pa, kamu nginep di hotel mana?" tanyaku sengaja. Ingin tahu apa reaksi lelaki itu.
Uhuk … uhuk.
Benar saja, lelaki itu gelagapan. Dia panik menjawab apa. Hingga asal saja berbicara.
"Hotel? Ow, penginapan. Biasalah, Ma. Diurus sama kantor." Mas Ilham terlihat lebih tenang.
Aku mengangguk lantas kembali melanjutkan makan malamku seperti biasa.
Setelah selesai makan malam Rendy masuk kedalam kamarnya. Lalu aku membereskan meja. Tentu ditemani Mas Ilham. Namun nampaknya dia tengah fokus pada ponselnya. Hingga tidak menyadari bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Sesekali lelaki itu tersenyum menatap layar yang menyala. Aku yakin dia tengah berbalas pesan dengan gundiknya.
Brak.
Aku sengaja meletakan piring sedikit kasar. Agar lelaki itu menyadarinya. Benar saja Mas Ilham meletakan ponselnya lalu mendekatiku. Memelukku dari belakang. Nafasnya terasa hangat ditelingaku.
"Ma, kamu cantik sekali malam ini."
"Maaf, Mas. Aku lagi berhalangan." Aku melepas tangan Mas Ilham yang tengah memelukku. Terlihat jelas wajah Mas Ilham menunjukan kekecewaan. Maaf, Mas. Namun untuk melayanimu diatas ranjang. Sepertinya aku belum siap.
****
Rendy keluar dari kamarnya, tentunya dengan pakaian seragam seperti biasa. Dia berjalan perlahan menuju aku yang tengah sibuk menyiapkan bekal.
"Pagi, Ma, Pa."
"Pagi, Ren."
"Ma, ini kan hari Sabtu. Rendy mau nginep dirumah teman. Boleh?"
"Siapa?" tanya Mas Ilham.
"Biasa, Pa. Bian."
"Oh …." Mas Ilham menjawab. Sembari tangannya mengambil secangkir kopi.
"Iya, boleh. Tapi ingat, jangan malam-malam tidurnya, oke!"
"Siap Ma."
Rendy berjalan lebih dulu menuju mobil, sedangkan aku masih berada di meja makan memperhatikan Mas Ilham.
"Papa nggak mau antar Rendy ke sekolah?" tanyaku.
"Nggak ah, Ma. Papa capek. Mama saja."
"Capek kerja malam terus ya?" tanyaku sembari berlalu.
"Maksud Mama apa?" Mas Ilham menatapku. Netra laki-laki itu terus mengawasi.
"Aku antar Rendy dulu, Pa. Assalamualaikum," ucapku sembari menyelipkan rambut di belakang telinga.
Tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.
Bersambung
Malam ini aku dan juga Mas Ilham hanya berdua. Karena Rendy menginap dirumah temannya yang bernama Bian. Entah mengapa semenjak aku tahu dia mendua. Rasanya enggan berduaan dengan lelaki itu. Apalagi jika dia mendekat, mual jika mengingat dia pernah berkeringat bersama wanita lain.Tuling.Satu pesan aku terima. Mampu membuyarkan lamunanku, meskipun mata tertuju pada layar televisi yang menyala.Ternyata dari Nita, dia menanyakan keadaanku.[Gimana kamu oke kan?][Iya.]Kring ….Ketika aku tengah membalas pesan dari Nita, ponsel Mas Ilham berdering. Lelaki yang tengah mandi itu tidak mendengarnya. Apalagi berniat mengangkat. Membuat aku tidak menyia-nyiakan kesempatan.Pintu kamar yang terbuka membuat aku mendengar jelas dering ponsel Mas Ilham. Ditambah jarak antara kamar dan juga ruang keluarga tidak jauh. Biasanya aku tidak pernah melihat ataupun kepo dengan urusan Mas Ilham. Namun setelah aku tahu dia berselingkuh. Rasanya jiwa penasaran ku meronta-ronta, ingin tahu seperti apa w
Duar Bak disambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan kepalang. Bayangan-bayangan Mas ilham yang tengah bercumbu pada wanita tempo hari kembali terngiang.Rambut dan postur tubuh wanita itu nampak mirip dengan Andini. Apa Andini ini adalah selingkuhan Mas Ilham? Lantas siapa Maura? Apakah lebih dari satu orang yang bermain api dengannya?****Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku memang tengah marah, namun aku masih waras. Jangan sampai kemarahanku hanya bisa membuat semua menjadi berantakan."Oh …." Aku berusaha setenang mungkin, ada Rendy dan juga Bian. Mereka tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran kami. Meskipun usianya sudah menginjak 15 tahun."Hem … Kamu nggak marah?" tanya Andini, wanita itu terkejut bukan main. Seperti dugaan ku. Dia menginginkan aku marah. Oh, tidak semudah itu. Aku memang mencintai Mas Ilham dan aku marah akan tindakannya. Namun, aku masih waras. Jika aku bertindak gegabah dan meminta cerai, aku akan kehilangan banyak harta. Dan a
Tidak ada seorang suami dengan bangga merasa benar atas pengkhianatan. Ah, apakah itu benar cinta bukan nafsu?Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Andai orang tuaku masih hidup aku akan mencurahkan keluh ku kepadanya. Aku akan menangis di pelukannya. Namun sayang aku hanya seorang diri, hidup tanpa mereka yang sudah lebih dulu menghadap Sang Ilahi.Menjadi satu-satunya orang yang berdiri dengan kaki sendiri. Harus menjadi bahu yang kuat untuk bersandar diri. Aku menghapus jejak air mata. Menangkupkan kedua tangan pada wajah. Aku menangis dalam sunyi, setelah pertengkaran semalam. Yang bisa aku lakukan hanya bersimpuh. Memohon ampun atas apa yang telah aku perbuat. Memohon diberikan segala kemudahan. Dan aku meminta semuanya akan indah pada akhirnya. Namun, jika Tuhan berkehendak lain. Aku hanya bisa menjalani, tentunya dengan caraku.Aku melirik ke arah ranjang. Mas Ilham tidak tidur disana. Aku yakin dia tidur di kamar tamu. Begitulah suami ku. Jika kami tengah bertengkar, kami a
"Kamu kenapa, sayang?" Aku bertanya pada Rendy ketika kami sudah berada di dalam mobil."Tamu yang datang apakah Bian dan juga ibunya?"Pertanyaan Rendy membuatku menghela napas panjang."Bukan sayang!""Lantas siapa?""Pembantu baru!"*****Aku menyiapkan kamar tamu. Mengganti sprei lalu mengepel lantai nya. Menyemprot pengharum ruangan agar lebih wangi dan penghuni bisa betah istirahat di dalamnya. Tidak lupa memberikan bunga segar yang tadi sempat aku beli saat perjalanan pulang setelah mengantar Rendy ke sekolah. Aku berjalan keluar kamar sembari membawa peralatan pembersih keluar kamar. Menyeretnya perlahan lalu kembali menutup pintu kamar.Aku menuju belakang meletakkan semua peralatan disana. Tanganku menepuk bergantian berharap debu rontok seketika. Tentunya harus mencuci tangan agar kuman bisa hilang. Gemericik air turun dari kran wastafel. Aku mengusap lembut tangan dengan sabun. Pikiranku menerawang jauh. Entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa membayangkannya.
2Deru mobil terdengar berhenti dari pekarangan rumah. Aku tersenyum kala tahu dia adalah tamuku yang lain. Aku tidak lantas menyambutnya justru aku melihat Maura yang tengah mengintip dari balik goreng jendela."Ibunya Mas Ilham? Kamu yang bawa dia kesini?" tanya wanita itu. Aku mengangguk."Gil* kamu, Mbak.""Kenapa aku yang gil*?""Wanita tua itu punya riwayat jantung. Apa kamu ingin membunuh mertua kamu sendiri?""Bukan aku yang akan memb*nuhnya, tapi kamu sendiri.""Maksud kamu apa?" Aku beranjak dari dudukku tanpa menjawab pertanyaan Maura. "Assalamualaikum." Salam terdengar membuat aku langsung menyambutnya."Waalaikumsalam, Ibu." Aku mencium takzim wanita tua yang masih awet muda itu. "Sehat, Nak?""Alhamdulilah, Bu. Ibu apa kabar?""Alhamdulilah, sehat." Wanita itu berjalan. Kemudian masuk kedalam rumah. Menatap Maura dengan tatapan heran."Dia siapa?""Dia pembantu baru yang kemarin aku ceritakan Ibu. Ibu lupa?" Aku sengaja menekankan kata pembantu. Agar Maura sadar posis
Wajah Mas Ilham berubah menjadi pias. Ketika mendapati sang istri muda berpakaian tertutup dengan rambut yang diikat di belakang. "Maura?" Suara Mas Ilham begitu lirih saat mengucap nama wanita itu. Namun masih bisa aku dengar, entah bagaimana dengan Ibu. Apakah dia mendengar atau tidak. Yang jelas dia diam seribu bahasa. Semua orang menatap Maura. Sedangkan Mas Ilham tentu menatapku penuh selidik. Bagaimana bisa wanita yang bergelar Ibu itu bisa datang ke rumah. Padahal aku sama sekali tidak mengatakan apapun padanya perihal itu. Mas Ilham pasti curiga kepadaku, terserah. Yang pasti Ibu akan tetap tinggal disini hingga wanita bergelar madu itu musnah, pergi. "Kamu mau nyapu dengan riasan menor seperti itu?" tanya Ibu mertua. Ibu mertuaku tidak akan cerewet jika apa yang ada di hadapannya sama dengan harapannya. "Kamu mau goda majikan kamu?" "Majikan?" sahut Maura bingung. "Iya, majikan kamu. Ilham, anak saya! Suami Ayu." Aku tersenyum kala mertuaku berkomentar tentang penampi
"Jangan lupa, sebelum kami pulang. Semua pekerjaan rumah harus sudah selesai. Apalagi taman depan! Kamu tata Serapi mungkin! Paham!"Maura diam, rahangnya mengeras. Genggaman tangan pada spatula itu terlihat begitu kuat."Iya," jawab Maura terpaksa. Ibu akhirnya berjalan kembali sedangkan aku melambaikan tangan dengan senyuman kemenangan. "Bye … bye …." ucapku lirih. Sembari tangan kumainkan cantik. ****Di rumah, kami memiliki kendaraan roda empat dua buah. Yang satu milik Mas Ilham berwarna hitam sedangkan yang satu milikku berwarna merah. Aku masuk kedalam mobil di susul Mama mertua mengikuti. Dia tengah duduk di sisi kemudi. Membenarkan sabuk pengaman kemudian menatap kedepan. "Sudah, Ma?" tanyaku pada wanita yang tengah memperhatikan sekeliling. Aku memastikan wanita paruh baya itu sudah siap meluncur."Siap, Sayang," ucap Mama mertua itu dengan senyuman. Perlahan namun pasti aku melajukan mobil di jalanan. Jalan raya yang sedikit lengang membuatkan lancar untuk menambah ke
"Oke, Jeng. Kita eksekusi ya. Cus, tapi kita rapikan dulu. Kamu cocoknya sebahu deh, Jeng. Biar awet muda. Nggak usah dikasih poni. Nanti warnanya golden blonde ya, Jeng?" Laki-laki lembek itu memperhatikan wajahku sembari tangan menyentuh rambutku yang tergerai. Dia tersenyum sesekali mengedipkan mata. Ih, melihatnya saja rasanya aku geli sendiri.Aku meraih tas yang ada di atas meja. Merogoh benda pipih berniat menghubungi Mas Ilham. Aku menoleh ke arah jam yang ada di pergelangan tangan. Menunjukan angka dua belas. Menandakan bahwa beliau tengah istirahat.ku segera mengirim pesan. Mengatakan kepadanya bahwa ku tengah berada di salon bersama Mamanya. [ Mas, aku lagi di salon sama Mama.] Satu pesan diterima. Centang dua berwarna abu-abu. Tidak berapa lama dua centang itu berubah menjadi biru.Namun tidak ada balasan darinya. Mungkin lelaki itu masih marah, karena aku tidak memberi tahu bahwa Mama nya datang ke rumah. Mama terlihat menikmati pijatan tangan di pundaknya. Sesekali a
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki