Malam ini aku dan juga Mas Ilham hanya berdua. Karena Rendy menginap dirumah temannya yang bernama Bian. Entah mengapa semenjak aku tahu dia mendua. Rasanya enggan berduaan dengan lelaki itu. Apalagi jika dia mendekat, mual jika mengingat dia pernah berkeringat bersama wanita lain.
Tuling.
Satu pesan aku terima. Mampu membuyarkan lamunanku, meskipun mata tertuju pada layar televisi yang menyala.
Ternyata dari Nita, dia menanyakan keadaanku.
[Gimana kamu oke kan?]
[Iya.]
Kring ….
Ketika aku tengah membalas pesan dari Nita, ponsel Mas Ilham berdering. Lelaki yang tengah mandi itu tidak mendengarnya. Apalagi berniat mengangkat. Membuat aku tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Pintu kamar yang terbuka membuat aku mendengar jelas dering ponsel Mas Ilham. Ditambah jarak antara kamar dan juga ruang keluarga tidak jauh.
Biasanya aku tidak pernah melihat ataupun kepo dengan urusan Mas Ilham. Namun setelah aku tahu dia berselingkuh. Rasanya jiwa penasaran ku meronta-ronta, ingin tahu seperti apa wujud wanita yang berani mengusik keluargaku.
Aku lantas berjalan menghampiri benda pipih itu yang tergeletak di atas nakas. Memperhatikan nama Maura tertera di sana. Aku yakin itu adalah nomor wanita selingkuhan Mas Ilham. Lelaki itu ternyata tidak mahir menutupi keburukannya. Suara air gemericik pun berhenti. Aku menoleh pada pintu kamar mandi. Jangan sampai Mas Ilham tahu bahwa aku tengah memeriksa ponselnya.
Segera aku letakan kembali ponsel itu pada tempatnya. Kemudian aku mengambilkan pakaian ganti agar tidak terlihat mencurigakan.
Ceklek
Aku menoleh. Lelaki itu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Terlihat dari tetesan air yang jatuh dari ujung rambutnya. Membuat lelaki yang berselisih lima tahun denganku itu terlihat semakin seksi. Mungkin itu yang membuatnya digilai banyak wanita.
"Ada telepon, Mas," ucapku padanya.
"Siapa?" tanya lelaki itu.
"Nggak tahu tuh, angkat saja siapa tahu penting!" Kata-kata yang sering aku ucapkan ketika Mas Ilham mendapatkan telepon. Sering kali aku keluar kamar memberinya privasi jika seseorang menelpon.
Namun tidak untuk saat ini. Suamiku menerima panggilan itu lalu menatap ke arahku. Mungkin mencoba mengusirku tanpa berucap. Aku berjalan mendekati lelaki itu, yang tengah menempelkan benda pipih itu di telinga.
"Halo," ucap Mas Ilham setelah menggeser lingkaran hijau ke atas.
Entah apa yang dikatakan wanita yang ada di seberang telepon. Aku tidak bisa mendengarnya. Dengan cepat aku mendaratkan ciuman panas pada bibir lelaki itu. Membuatnya mendesah pelan. Hingga dia mulai menjauhkan ponselnya dari telinga. Aku terus membuatnya semakin gerah, hingga ia mengeluarkan suara yang tak tertahankan.
Hilang
Aku melirik sekilas pada layar ponsel Mas Ilham. Ternyata panggilan telepon dari wanita jalan itu sudah berakhir.
Aku merenggangkan pelukan lelaki itu.
Dia menatapku penuh harap.
"Aku masih berhalangan, Mas. Maaf."
"Terus yang tadi apa? Apa kamu mengerjaiku?"
Aku tersenyum lalu meninggalkan lelaki itu yang tengah frustasi.
Melempar ponsel ke atas ranjang lalu menyugar rambutnya ke belakang. Dia mengejarku berharap bisa meraih tanganku. Namun dengan cepat aku menutup pintu kamar rapat-rapat.
Menjijikan
Entah apa yang terjadi didalam sana. Yang pasti aku yakin wanita jalang itu pasti marah. Aku tersenyum miring, kemudian membuat dua cangkir kopi hitam di dapur.
Kita lihat saja, siapa yang akan menang kali ini. Apakah kamu bisa mengambil Mas Ilham atau kamu yang akan pergi dengan terpincang-pincang, jalang.
****
Minggu pagi, aku berniat menjemput Rendy di rumah Bian. Jika biasanya Ibu Bian lah yang mengantar Rendy pulang. Namun tidak kali ini, wanita itu tidak bisa mengantar berdalil bahwa mobilnya tengah berada di bengkel.
"Mas kamu nggak ikut?" tanyaku pada lelaki yang tengah sibuk menatap layar ponsel.
"Kemana?"
"Jemput Rendy di rumah temannya."
Aku terus menatap lelaki itu, meskipun rasa kecewa dan juga marah. Namun harapanku kami akan tetap bersama. Aku akan memaafkannya jika dia berjanji tidak akan kembali berkhianat. Namun sayang, janjinya belum terucap karena hingga detik ini dia masih menutup rapat.
"Ya sudah, hayuk!" Mas Ilham beranjak dari duduknya berjalan menuju mobil yang ada di depan.
Selama perjalanan ke rumah Bian. Tidak ada percakapan yang berarti dari aku dan juga Mas Ilham. Aku menyibukan diri dengan berselancar di dunia Maya.
Hingga tidak terasa sudah tiba di halaman rumah Bian.
Buk
"Turun yuk, Mas!" pintaku pada lelaki itu.
"Nggak usah, aku tunggu di sini saja!" jawab Mas Ilham sembari tangan mengambil ponsel.
"Oke," jawabku singkat. Keningku mengkerut ketika mendengar jawaban dari Mas Ilham. Rasanya ada yang aneh dengan lelaki ini. Mungkin wanitanya sedang marah karena ulahku semalam.
"Mbak Ayu." Wanita yang bergelar janda muda itu menghampiriku yang tengah berjalan menuju pintu utama. Dia sudah menyambutku dengan mengenakan dress selutut dengan motif bunga. Dia pintar berdandan, make up ala Korea jaman sekarang.
Penampilannya begitu menggoda, hingga nampak tidak percaya jika dia tidak memiliki pendamping hingga saat ini.
Aku memeluknya, mencium pipi kanan dan kiri.
"Mas Ilham mana, Mbak?" tanya wanita itu. Membuatnya menoleh ke arah mobil.
"Dia di mobil, nggak mau turun katanya. Mungkin capek, kemarin baru saja pulang dari luar kota."
"Ah, masak sih kecapekan? Kita makan dulu yuk di dalam, sudah saya siapkan makanannya. Aku panggil Mas Ilham, pasti dia mau!"
"Ta …." Belum juga aku menjawab perkataannya, wanita itu sudah lebih dulu pergi. Menghampiri Mas Ilham yang ada di dalam mobil. Entah apa yang dikatakan wanita itu, aku memandangnya dari kejauhan.
Benar saja, Mas Ilham nampak keluar dari mobil. Tentunya dengan raut wajah yang tidak aku mengerti.
Mas Ilham langsung berdiri disampingku, lalu kami berjalan masuk kedalam rumah setelah wanita itu terlebih dahulu masuk. Aku menatap Mas Ilham, hanya ditanggapi dengan diangkatnya kedua bahu.
Rendy nampak duduk di sofa, dengan ekspresi wajah yang sama. Sulit aku artikan. Ada apa ini? Ada apa dengan putraku.
"Kamu oke?" Aku berucap pelan. Mengusap lembut rambut Rendy lalu menatapnya lekat.
Rendy menggeleng.
"Kenapa?" Aku kembali bertanya. Namun lagi-lagi tidak dijawab oleh Rendy.
"Mbak Ayu, ayo silahkan duduk. Kita langsung saja ya makan. Takutnya makannya keburu dingin. Sini Mas Ilham kita makan bersama. Sini Rendy!" ajak wanita itu. Andini namanya.
Aku mengangguk lalu menjatuhkan bokongku pada salah satu kursi.
Terlihat wanita itu lihai, mengambilkan makanan untuk anaknya lalu Rendy dan juga Mas Ilham. Apa aku tidak salah lihat? Mas Ilham memberikan piring kosong itu pada orang lain bukan aku? Dan dia dengan senang hati mengambilkan makanan untuk suami orang? Dan Mas Ilham hanya diam saja tanpa ada penolakan.
"Mas," ucapku lirih membuatnya menoleh ke arahku.
"Ada apa, Mbak Ayu?" tanya Andini, bukan Mas Ilham.
"Apa-apaan ini? Aku istri kamu, Mas. Dan kamu malah meminta orang lain untuk melayani?" tanyaku, tentunya dengan sedikit penekanan.
"Aku juga Istrinya, Mbak. Jadi aku berhak atas Mas Ilham," ucap wanita itu dengan tersenyum miring.
Duar
Bak disambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan kepalang. Bayangan-bayangan Mas ilham yang tengah bercumbu pada wanita tempo hari kembali terngiang.
Rambut dan postur tubuh wanita itu nampak mirip dengan Andini. Apa Andini ini adalah selingkuhan Mas Ilham? Lantas siapa Maura? Apakah lebih dari satu orang yang bermain api dengannya?
Duar Bak disambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan kepalang. Bayangan-bayangan Mas ilham yang tengah bercumbu pada wanita tempo hari kembali terngiang.Rambut dan postur tubuh wanita itu nampak mirip dengan Andini. Apa Andini ini adalah selingkuhan Mas Ilham? Lantas siapa Maura? Apakah lebih dari satu orang yang bermain api dengannya?****Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku memang tengah marah, namun aku masih waras. Jangan sampai kemarahanku hanya bisa membuat semua menjadi berantakan."Oh …." Aku berusaha setenang mungkin, ada Rendy dan juga Bian. Mereka tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran kami. Meskipun usianya sudah menginjak 15 tahun."Hem … Kamu nggak marah?" tanya Andini, wanita itu terkejut bukan main. Seperti dugaan ku. Dia menginginkan aku marah. Oh, tidak semudah itu. Aku memang mencintai Mas Ilham dan aku marah akan tindakannya. Namun, aku masih waras. Jika aku bertindak gegabah dan meminta cerai, aku akan kehilangan banyak harta. Dan a
Tidak ada seorang suami dengan bangga merasa benar atas pengkhianatan. Ah, apakah itu benar cinta bukan nafsu?Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Andai orang tuaku masih hidup aku akan mencurahkan keluh ku kepadanya. Aku akan menangis di pelukannya. Namun sayang aku hanya seorang diri, hidup tanpa mereka yang sudah lebih dulu menghadap Sang Ilahi.Menjadi satu-satunya orang yang berdiri dengan kaki sendiri. Harus menjadi bahu yang kuat untuk bersandar diri. Aku menghapus jejak air mata. Menangkupkan kedua tangan pada wajah. Aku menangis dalam sunyi, setelah pertengkaran semalam. Yang bisa aku lakukan hanya bersimpuh. Memohon ampun atas apa yang telah aku perbuat. Memohon diberikan segala kemudahan. Dan aku meminta semuanya akan indah pada akhirnya. Namun, jika Tuhan berkehendak lain. Aku hanya bisa menjalani, tentunya dengan caraku.Aku melirik ke arah ranjang. Mas Ilham tidak tidur disana. Aku yakin dia tidur di kamar tamu. Begitulah suami ku. Jika kami tengah bertengkar, kami a
"Kamu kenapa, sayang?" Aku bertanya pada Rendy ketika kami sudah berada di dalam mobil."Tamu yang datang apakah Bian dan juga ibunya?"Pertanyaan Rendy membuatku menghela napas panjang."Bukan sayang!""Lantas siapa?""Pembantu baru!"*****Aku menyiapkan kamar tamu. Mengganti sprei lalu mengepel lantai nya. Menyemprot pengharum ruangan agar lebih wangi dan penghuni bisa betah istirahat di dalamnya. Tidak lupa memberikan bunga segar yang tadi sempat aku beli saat perjalanan pulang setelah mengantar Rendy ke sekolah. Aku berjalan keluar kamar sembari membawa peralatan pembersih keluar kamar. Menyeretnya perlahan lalu kembali menutup pintu kamar.Aku menuju belakang meletakkan semua peralatan disana. Tanganku menepuk bergantian berharap debu rontok seketika. Tentunya harus mencuci tangan agar kuman bisa hilang. Gemericik air turun dari kran wastafel. Aku mengusap lembut tangan dengan sabun. Pikiranku menerawang jauh. Entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa membayangkannya.
2Deru mobil terdengar berhenti dari pekarangan rumah. Aku tersenyum kala tahu dia adalah tamuku yang lain. Aku tidak lantas menyambutnya justru aku melihat Maura yang tengah mengintip dari balik goreng jendela."Ibunya Mas Ilham? Kamu yang bawa dia kesini?" tanya wanita itu. Aku mengangguk."Gil* kamu, Mbak.""Kenapa aku yang gil*?""Wanita tua itu punya riwayat jantung. Apa kamu ingin membunuh mertua kamu sendiri?""Bukan aku yang akan memb*nuhnya, tapi kamu sendiri.""Maksud kamu apa?" Aku beranjak dari dudukku tanpa menjawab pertanyaan Maura. "Assalamualaikum." Salam terdengar membuat aku langsung menyambutnya."Waalaikumsalam, Ibu." Aku mencium takzim wanita tua yang masih awet muda itu. "Sehat, Nak?""Alhamdulilah, Bu. Ibu apa kabar?""Alhamdulilah, sehat." Wanita itu berjalan. Kemudian masuk kedalam rumah. Menatap Maura dengan tatapan heran."Dia siapa?""Dia pembantu baru yang kemarin aku ceritakan Ibu. Ibu lupa?" Aku sengaja menekankan kata pembantu. Agar Maura sadar posis
Wajah Mas Ilham berubah menjadi pias. Ketika mendapati sang istri muda berpakaian tertutup dengan rambut yang diikat di belakang. "Maura?" Suara Mas Ilham begitu lirih saat mengucap nama wanita itu. Namun masih bisa aku dengar, entah bagaimana dengan Ibu. Apakah dia mendengar atau tidak. Yang jelas dia diam seribu bahasa. Semua orang menatap Maura. Sedangkan Mas Ilham tentu menatapku penuh selidik. Bagaimana bisa wanita yang bergelar Ibu itu bisa datang ke rumah. Padahal aku sama sekali tidak mengatakan apapun padanya perihal itu. Mas Ilham pasti curiga kepadaku, terserah. Yang pasti Ibu akan tetap tinggal disini hingga wanita bergelar madu itu musnah, pergi. "Kamu mau nyapu dengan riasan menor seperti itu?" tanya Ibu mertua. Ibu mertuaku tidak akan cerewet jika apa yang ada di hadapannya sama dengan harapannya. "Kamu mau goda majikan kamu?" "Majikan?" sahut Maura bingung. "Iya, majikan kamu. Ilham, anak saya! Suami Ayu." Aku tersenyum kala mertuaku berkomentar tentang penampi
"Jangan lupa, sebelum kami pulang. Semua pekerjaan rumah harus sudah selesai. Apalagi taman depan! Kamu tata Serapi mungkin! Paham!"Maura diam, rahangnya mengeras. Genggaman tangan pada spatula itu terlihat begitu kuat."Iya," jawab Maura terpaksa. Ibu akhirnya berjalan kembali sedangkan aku melambaikan tangan dengan senyuman kemenangan. "Bye … bye …." ucapku lirih. Sembari tangan kumainkan cantik. ****Di rumah, kami memiliki kendaraan roda empat dua buah. Yang satu milik Mas Ilham berwarna hitam sedangkan yang satu milikku berwarna merah. Aku masuk kedalam mobil di susul Mama mertua mengikuti. Dia tengah duduk di sisi kemudi. Membenarkan sabuk pengaman kemudian menatap kedepan. "Sudah, Ma?" tanyaku pada wanita yang tengah memperhatikan sekeliling. Aku memastikan wanita paruh baya itu sudah siap meluncur."Siap, Sayang," ucap Mama mertua itu dengan senyuman. Perlahan namun pasti aku melajukan mobil di jalanan. Jalan raya yang sedikit lengang membuatkan lancar untuk menambah ke
"Oke, Jeng. Kita eksekusi ya. Cus, tapi kita rapikan dulu. Kamu cocoknya sebahu deh, Jeng. Biar awet muda. Nggak usah dikasih poni. Nanti warnanya golden blonde ya, Jeng?" Laki-laki lembek itu memperhatikan wajahku sembari tangan menyentuh rambutku yang tergerai. Dia tersenyum sesekali mengedipkan mata. Ih, melihatnya saja rasanya aku geli sendiri.Aku meraih tas yang ada di atas meja. Merogoh benda pipih berniat menghubungi Mas Ilham. Aku menoleh ke arah jam yang ada di pergelangan tangan. Menunjukan angka dua belas. Menandakan bahwa beliau tengah istirahat.ku segera mengirim pesan. Mengatakan kepadanya bahwa ku tengah berada di salon bersama Mamanya. [ Mas, aku lagi di salon sama Mama.] Satu pesan diterima. Centang dua berwarna abu-abu. Tidak berapa lama dua centang itu berubah menjadi biru.Namun tidak ada balasan darinya. Mungkin lelaki itu masih marah, karena aku tidak memberi tahu bahwa Mama nya datang ke rumah. Mama terlihat menikmati pijatan tangan di pundaknya. Sesekali a
Oma …." Rendy berteriak ketika melihat Mama mertuaku. Dia menghamburkan pelukan kepada wanita tua itu."Gantengnya cucu Oma.""Oma …." Seketika mama berhenti mengusap rambut Rendy. Aku yang tengah tersenyum lantas menoleh ke arah Bian. Anak itu berani memanggil Oma dihadapanku dan juga Randy.****Tatapan Mama penuh keheranan dan juga kebingungan. Begitu juga aku. Aku bingung harus berkata apa.Senyum Bian semakin terlihat begitu mengerikan. Persis apa yang ditunjukkan ibunya, Maura.Rendy yang sudah selesai mencium tangan Omanya terlihat memperhatikan Bian. Menatap teman sebayanya itu dengan tatapan jengah. Ah, apa yang kau rasakan, Nak? Maaf, Mama belum sempat mencari tahu keadaanmu. "Kamu siapa?" tanya Mama mertua tangannya langsung di raih Bian kemudian dicium punggungnya. Persis seperti apa yang dilakukan dengan Rendy putraku tadi."Saya Fabian, Oma. Putra dari-""Dia anak Maura, Ma.""Siapa Maura?""Pembantu baru kita!" Aku langsung menyela ucapan Bian. Bagaimanapun Mama tidak
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki