Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
RACUN UNTUK MADUKUBab 1Aku merapikan tempat tidur anakku, melipat selimutnya bergambar Spiderman berwarna biru. Sesekali menepuk-nepuk bantal dan juga guling. PlokSeketika aku menoleh ke lantai membersihkan tempat tidur anakku dengan sapu lidi yang biasa aku gunakan. "Apa itu?" gumamku pelan. Lalu kembali memperhatikan benda yang tidak asing lagi di mataku. Perlahan namun pasti langkahku mendekati benda tersebut."Astagfirullahaladzim," ucapku pelan sembari tangan menutup mulut. Jantungku kian cepat, seiring kepalaku mulai berdenyut. Astaga, apa ini? Anakku berusia lima belas tahun menyimpan benda yang seharusnya tidak ia miliki karena belum saatnya. Pikiranku berkeliaran jauh, entah apa yang dilakukan putraku sedini ini. Apakah aku terlalu membiarkan dia berkembang menjadi remaja pada umumnya, terlalu bebas? Apakah aku yang kurang memperhatikan? Ya Tuhan, cobaan apa yang akan Engkau berikan kepada hamba-Mu yang lemah ini?Tidak terasa bulir-bulir air bening itu meluncur begitu
RACUN UNTUK MADUKUBab 2"Aku lagi ada meeting, Ma. Ada apa?""Penting banget ya? Bisakah kita bicara?" Aku mencoba meminta Mas Ilham bicara lebih lama. Agar aku tahu dan memastikan apa yang aku lihat baru saja tidaklah benar."Penting? Masalah Rendy?""Ya.""Kita bicara nanti, Ma. Papa nggak enak jika harus menerima telepon terlalu lama. Kesannya papa nggak menghargai atasan. Maaf, ya Ma. Nanti kita bicara lagi."Tut … TutBenar saja Mas Ilham menutup telepon tanpa berpamitan padaku. Perasaanku dan juga pikiranku semakin tidak karuan. Aku segera menghubungi nomor yang baru saja mengirimku gambar-gambar tersebut. Tidak tersambung, nomor yang baru saja mengirimiku pesan sudah tidak aktif. Ya Tuhan, jangan sampai apa yang aku lihat ini nyata. Aku hanya berharap rumah tanggaku akan baik-baik saja.*****Sudah dua hari dua malam, nomor Mas Ilham tidak dapat dihubungi. Entah apa yang dia lakukan diluar kota. Membuat pikiranku menerawang jauh kesana. "Ma." Rendy berjalan mendekat, menjat
RACUN UNTUK MADUKUBAB 3Kepulangan Mas IlhamAku menyiapkan sarapan seperti biasa. Membuatkan nasi goreng kesukaan Rendy dan juga telur mata sapi. Disaat aku tengah mengaduk nasi yang ada di wajan. Suara ponselku terus saja berbunyi. Aku hanya menoleh sekilas. Lantas kembali fokus pada nasi yang hampir matang. Satu panggilan akhirnya terputus. Hingga panggilan kedua membuatku harus mematikan kompor untuk melihat siapa yang menelpon. CeklekAku langsung mematikan kompor. Berjalan menghampiri benda pipih yang terus berbunyi."Siapa Ma?" tanya Rendy, ketika anak satu-satunya itu keluar kamar. Dan dia melihatku menatap ponsel yang menyala."Papa," jawabku begitu saja. Rendy terlihat menggeser kursi lalu duduk di sana. "Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab lelaki yang ada di seberang telepon. Membuatku menghela nafas panjang. Aku harus bisa mengendalikan emosiku agar bisa mengumpulkan bukti. Sejauh mana lelaki ini bertingkah di luaran sana. Jangan sampai dia justru menyudutk
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki