RACUN UNTUK MADUKU
BAB 3
Kepulangan Mas Ilham
Aku menyiapkan sarapan seperti biasa. Membuatkan nasi goreng kesukaan Rendy dan juga telur mata sapi. Disaat aku tengah mengaduk nasi yang ada di wajan. Suara ponselku terus saja berbunyi. Aku hanya menoleh sekilas. Lantas kembali fokus pada nasi yang hampir matang.
Satu panggilan akhirnya terputus. Hingga panggilan kedua membuatku harus mematikan kompor untuk melihat siapa yang menelpon.
Ceklek
Aku langsung mematikan kompor. Berjalan menghampiri benda pipih yang terus berbunyi.
"Siapa Ma?" tanya Rendy, ketika anak satu-satunya itu keluar kamar. Dan dia melihatku menatap ponsel yang menyala.
"Papa," jawabku begitu saja. Rendy terlihat menggeser kursi lalu duduk di sana.
"Halo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab lelaki yang ada di seberang telepon. Membuatku menghela nafas panjang. Aku harus bisa mengendalikan emosiku agar bisa mengumpulkan bukti. Sejauh mana lelaki ini bertingkah di luaran sana. Jangan sampai dia justru menyudutkanku jika aku marah tanpa bukti.
"Iya, Pa. Gimana disana baik-baik saja kan? Kenapa dua hari papa nggak bisa dihubungi?" Aku langsung memberondong Mas Ilham dengan pertanyaan.
"Maaf, Ma. Papa sibuk, ditambah disini susah sinyal. Ini saja papa lagi di jalan makanya bisa nelpon mama." Mas Ilham dengan santai menjelaskan. Seperti tidak ada apa-apa.
"Dijalan?"
"Ya, papa dijalan. Sebentar lagi papa pulang. Kebetulan pekerjaan di sini sudah selesai. Jadi papa bisa pulang lebih cepat dari rencana. Mungkin nanti malam papa tiba di rumah. Jangan lupa masakin spesial buat papa."
"Iya, tenang pa." Aku menjawab setenang mungkin. Jangan sampai amarahku merusak semuanya. Aku akan pastikan kamu tidak bisa hidup dengan tenang, Mas.
"Rendy mana Ma?" Aku yang sudah duduk di samping Rendy, seketika menoleh ke arahnya.
"Ada nih, Pa. Disamping mama lagi sarapan. Mau bicara?"
"Sarapan Pa!" sahut Rendy. Membuatku mengusap rambutnya yang sedikit panjang itu.
"Sarapan yang banyak, Ren. Biar gemuk."
"Rendy nggak suka gemuk, Pa."
"Hahaha." Tawa Mas Ilham membuatku jengah. Rasanya laki-laki itu tidak punya hati dan perasaan.
Padahal dia lelaki yang selama ini aku anggap sempurna. Namun kini rasa hormatku ini berubah menjadi rasa jijik.
Setelah penemuan alat kontrasepsi kala itu. Ya Tuhan, ujian apa yang kini tengah engkau berikan kepadaku. Setelah cukup lama aku menikmati keluarga bahagia. Rumah tangga yang aku anggap baik-baik saja. Kini berada di ujung tanduk. Aku ingin marah, melampiaskan semua sakit hati ini.
Tapi tidak untuk sekarang. Aku harus lebih bersabar.
Dan jika waktunya tiba.
Aku akan membuat perhitungan kepadamu. Aku akan membuat kamu menyesal seumur hidupmu.
"Ma," ucap Mas Ilham membuyarkan lamunanku.
"I-iya Mas. Ada apa?"
"Kamu melamun? Atau jangan-jangan kamu sudah rindu?" Lelaki yang ada di seberang telepon terkekeh. Membuatku langsung menatap Rendy.
"Sudah dulu ya, Mas. Rendy mau berangkat sekolah. Mama harus mengantarnya terlebih dahulu."
"Oke kalau begitu. Hati-hati dijalan ya."
"Ya." Aku menutup telepon setelah mengucap salam.
"Mama nggak papa?" tanya Rendy membuatku mengulum senyum kepadanya. Aku harus kuat, demi dia.
"Nggak papa sayang, habiskan ya makannya? Apa mau Mama ambilin nasi lagi?"
"Nggak perlu, Ma. Udah kenyang."
Setelah jam menunjukan angka enam lebih lima belas menit. Aku segera mengantar Rendy ke sekolah. Jarak antara rumah dengan sekolah tidaklah jauh. Sekitar tiga puluh menit saja.
Aku memutuskan pergi ke rumah Nita, teman semasa kuliah dulu. Setelah mengantar Rendy tentunya. Dia seorang ibu rumah tangga yang beruntung. Memiliki dua orang anak yang masih balita ditambah memiliki suami yang begitu pengertian.
Aku merogoh ponsel yang ada didalam tas. Mencari nomor bernama Nita disana.
Tut … Tut.
"Halo, Ayu. Ada apa?" tanya wanita yang ada di seberang telepon.
"Di rumah nggak?"
"Di rumah kok! Mau ke sini?"
"Iya," jawabku singkat karena hari ini malas rasanya berbicara banyak.
"Oke, aku tunggu ya." Aku segera menutup telepon. Lalu meletakkannya kembali ditempat semula. Pandanganku jauh ke depan. Melihat jalanan yang sedikit lengang.
"Sepertinya aku kenal mobil itu!" ucapku pelan ketika melihat mobil berwarna hitam yang tengah melaju. Aku yang dilanda penasaran akhirnya mengikuti mobil hitam tersebut. Tidak berapa lama, aku bisa berada tidak jauh dari belakangnya. Ternyata mobil tersebut berhenti di salah satu penginapan.
Ternyata benar, mobil yang baru saja aku ikuti adalah mobil milik Mas Ilham. Padahal dia mengatakan akan tiba di rumah nanti malam. Kenapa sepagi ini dia sudah berada di sana. Benar-benar mencurigakan.
Mataku tidak lepas dari mobil milik Mas Ilham. Terlebih aku yakin dia tidak sendirian ke tempat itu.
"Ngapain Mas Ilham di sana?" gumamku pelan. Lantas aku sengaja menghentikan mobil sedikit menjauh.
Agar dia tidak mengetahui keberadaanku.
Aku memperhatikan mobil milik Mas ilham tidak ada yang terjadi cukup lama. Hingga akhirnya seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Diikuti wanita berpakaian seksi dengan mengenakan mini dress berwarna cream.
Ya Tuhan, apakah aku sanggup melihat mereka hingga akhir. Tenang, Ayu. Kamu harus tenang. Kamu harus bisa mendapatkan banyak bukti. Bukti yang bisa digunakan untuk membuat mereka hancur. Akan ada yang terluka tapi bukan aku akhirnya. Akan aku buktikan pada mereka bahwa aku bisa membuat mereka sadar, jika Paramitha Ayu dan Rendy Darmawan adalah seseorang yang begitu berharga.
Dan kamu, Mas. Kamu akan menyesal telah berbuat curang dibelakangku.
RACUN UNTUK MADUKUBab 4Sandiwara.Aku mencoba menghubungi Mas Ilham. Tentu memastikan apakah jawabannya akan sama atau justru kebalikannya.Tut … Tut.Aku menekan dada ini kuat-kuat. Merasakan sesak kala lelaki yang bergelar suami itu berjalan mesra, merangkul pinggang wanita itu masuk ke penginapan. Apa yang akan mereka lakukan? Tentunya akan menikmati surga dunia, tidak mungkin dua orang berlawanan jenis pergi ke penginapan hanya untuk makan siang.Cukup lama, sambungan telepon tidak juga diangkat oleh suamiku. Aku bertambah yakin jika dia memang bermain gila di belakangku.Aku menghentikan panggilan telepon lalu melempar benda pipih itu ke kursi penumpang di sampingku. Lantas aku melajukan mobil dengan perlahan menuju tempat parkir. Tentunya jauh dari mobil milik Mas Ilham.Buk. Aku menutup pintu cukup kuat. Lalu kembali membuka pintu lagi untuk mengambil ponsel yang tadi sempat aku lempar. Tidak mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari barang bukti. Aku menoleh ke s
RACUN UNTUK MADUKUBAB 5Sandiwara dimulaiJam menunjukan angka tiga tepat. Aku yang sudah berada di rumah lantas membersihkan rumah seperti biasa. Meskipun tidak aku pungkiri. Ada nyeri di dalam hati ini. Namun, hidup akan terus berjalan, mengenai luka yang ditoreh Mas Ilham akan aku biarkan dia terus terbuka. Agar aku selalu mengingat, ada hati yang berlubang karena lelaki itu.Aku membersihkan debu yang ada di lantai dengan vacuum cleaner. Mengelap meja lalu juga jendela. Sesekali aku menghela nafas panjang. Berharap semua yang aku hadapi saat ini hanya mimpi. Namun, lagi-lagi semua nyata. Tuling ….Sebuah pesan masuk, segera aku meletakan kain lap di atas meja.[Ma, Randy terlambat pulang. Mungkin jam lima baru tiba di rumah. Ada pekerjaan sekolah yang harus diselesaikan bersama.] Satu pesan aku baca, tertera di sana dari Rendy. Anak lelaki satu-satunya yang aku miliki.[Iya, sayang. Hati-hati. Kabari jika sudah selesai. Mama akan menjemputmu!][Siap, Ma.]Aku kembali meletakan
Malam ini aku dan juga Mas Ilham hanya berdua. Karena Rendy menginap dirumah temannya yang bernama Bian. Entah mengapa semenjak aku tahu dia mendua. Rasanya enggan berduaan dengan lelaki itu. Apalagi jika dia mendekat, mual jika mengingat dia pernah berkeringat bersama wanita lain.Tuling.Satu pesan aku terima. Mampu membuyarkan lamunanku, meskipun mata tertuju pada layar televisi yang menyala.Ternyata dari Nita, dia menanyakan keadaanku.[Gimana kamu oke kan?][Iya.]Kring ….Ketika aku tengah membalas pesan dari Nita, ponsel Mas Ilham berdering. Lelaki yang tengah mandi itu tidak mendengarnya. Apalagi berniat mengangkat. Membuat aku tidak menyia-nyiakan kesempatan.Pintu kamar yang terbuka membuat aku mendengar jelas dering ponsel Mas Ilham. Ditambah jarak antara kamar dan juga ruang keluarga tidak jauh. Biasanya aku tidak pernah melihat ataupun kepo dengan urusan Mas Ilham. Namun setelah aku tahu dia berselingkuh. Rasanya jiwa penasaran ku meronta-ronta, ingin tahu seperti apa w
Duar Bak disambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan kepalang. Bayangan-bayangan Mas ilham yang tengah bercumbu pada wanita tempo hari kembali terngiang.Rambut dan postur tubuh wanita itu nampak mirip dengan Andini. Apa Andini ini adalah selingkuhan Mas Ilham? Lantas siapa Maura? Apakah lebih dari satu orang yang bermain api dengannya?****Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku memang tengah marah, namun aku masih waras. Jangan sampai kemarahanku hanya bisa membuat semua menjadi berantakan."Oh …." Aku berusaha setenang mungkin, ada Rendy dan juga Bian. Mereka tidak seharusnya mendengarkan pertengkaran kami. Meskipun usianya sudah menginjak 15 tahun."Hem … Kamu nggak marah?" tanya Andini, wanita itu terkejut bukan main. Seperti dugaan ku. Dia menginginkan aku marah. Oh, tidak semudah itu. Aku memang mencintai Mas Ilham dan aku marah akan tindakannya. Namun, aku masih waras. Jika aku bertindak gegabah dan meminta cerai, aku akan kehilangan banyak harta. Dan a
Tidak ada seorang suami dengan bangga merasa benar atas pengkhianatan. Ah, apakah itu benar cinta bukan nafsu?Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Andai orang tuaku masih hidup aku akan mencurahkan keluh ku kepadanya. Aku akan menangis di pelukannya. Namun sayang aku hanya seorang diri, hidup tanpa mereka yang sudah lebih dulu menghadap Sang Ilahi.Menjadi satu-satunya orang yang berdiri dengan kaki sendiri. Harus menjadi bahu yang kuat untuk bersandar diri. Aku menghapus jejak air mata. Menangkupkan kedua tangan pada wajah. Aku menangis dalam sunyi, setelah pertengkaran semalam. Yang bisa aku lakukan hanya bersimpuh. Memohon ampun atas apa yang telah aku perbuat. Memohon diberikan segala kemudahan. Dan aku meminta semuanya akan indah pada akhirnya. Namun, jika Tuhan berkehendak lain. Aku hanya bisa menjalani, tentunya dengan caraku.Aku melirik ke arah ranjang. Mas Ilham tidak tidur disana. Aku yakin dia tidur di kamar tamu. Begitulah suami ku. Jika kami tengah bertengkar, kami a
"Kamu kenapa, sayang?" Aku bertanya pada Rendy ketika kami sudah berada di dalam mobil."Tamu yang datang apakah Bian dan juga ibunya?"Pertanyaan Rendy membuatku menghela napas panjang."Bukan sayang!""Lantas siapa?""Pembantu baru!"*****Aku menyiapkan kamar tamu. Mengganti sprei lalu mengepel lantai nya. Menyemprot pengharum ruangan agar lebih wangi dan penghuni bisa betah istirahat di dalamnya. Tidak lupa memberikan bunga segar yang tadi sempat aku beli saat perjalanan pulang setelah mengantar Rendy ke sekolah. Aku berjalan keluar kamar sembari membawa peralatan pembersih keluar kamar. Menyeretnya perlahan lalu kembali menutup pintu kamar.Aku menuju belakang meletakkan semua peralatan disana. Tanganku menepuk bergantian berharap debu rontok seketika. Tentunya harus mencuci tangan agar kuman bisa hilang. Gemericik air turun dari kran wastafel. Aku mengusap lembut tangan dengan sabun. Pikiranku menerawang jauh. Entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa membayangkannya.
2Deru mobil terdengar berhenti dari pekarangan rumah. Aku tersenyum kala tahu dia adalah tamuku yang lain. Aku tidak lantas menyambutnya justru aku melihat Maura yang tengah mengintip dari balik goreng jendela."Ibunya Mas Ilham? Kamu yang bawa dia kesini?" tanya wanita itu. Aku mengangguk."Gil* kamu, Mbak.""Kenapa aku yang gil*?""Wanita tua itu punya riwayat jantung. Apa kamu ingin membunuh mertua kamu sendiri?""Bukan aku yang akan memb*nuhnya, tapi kamu sendiri.""Maksud kamu apa?" Aku beranjak dari dudukku tanpa menjawab pertanyaan Maura. "Assalamualaikum." Salam terdengar membuat aku langsung menyambutnya."Waalaikumsalam, Ibu." Aku mencium takzim wanita tua yang masih awet muda itu. "Sehat, Nak?""Alhamdulilah, Bu. Ibu apa kabar?""Alhamdulilah, sehat." Wanita itu berjalan. Kemudian masuk kedalam rumah. Menatap Maura dengan tatapan heran."Dia siapa?""Dia pembantu baru yang kemarin aku ceritakan Ibu. Ibu lupa?" Aku sengaja menekankan kata pembantu. Agar Maura sadar posis
Wajah Mas Ilham berubah menjadi pias. Ketika mendapati sang istri muda berpakaian tertutup dengan rambut yang diikat di belakang. "Maura?" Suara Mas Ilham begitu lirih saat mengucap nama wanita itu. Namun masih bisa aku dengar, entah bagaimana dengan Ibu. Apakah dia mendengar atau tidak. Yang jelas dia diam seribu bahasa. Semua orang menatap Maura. Sedangkan Mas Ilham tentu menatapku penuh selidik. Bagaimana bisa wanita yang bergelar Ibu itu bisa datang ke rumah. Padahal aku sama sekali tidak mengatakan apapun padanya perihal itu. Mas Ilham pasti curiga kepadaku, terserah. Yang pasti Ibu akan tetap tinggal disini hingga wanita bergelar madu itu musnah, pergi. "Kamu mau nyapu dengan riasan menor seperti itu?" tanya Ibu mertua. Ibu mertuaku tidak akan cerewet jika apa yang ada di hadapannya sama dengan harapannya. "Kamu mau goda majikan kamu?" "Majikan?" sahut Maura bingung. "Iya, majikan kamu. Ilham, anak saya! Suami Ayu." Aku tersenyum kala mertuaku berkomentar tentang penampi
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki