Wajah Mas Ilham berubah menjadi pias. Ketika mendapati sang istri muda berpakaian tertutup dengan rambut yang diikat di belakang. "Maura?" Suara Mas Ilham begitu lirih saat mengucap nama wanita itu. Namun masih bisa aku dengar, entah bagaimana dengan Ibu. Apakah dia mendengar atau tidak. Yang jelas dia diam seribu bahasa. Semua orang menatap Maura. Sedangkan Mas Ilham tentu menatapku penuh selidik. Bagaimana bisa wanita yang bergelar Ibu itu bisa datang ke rumah. Padahal aku sama sekali tidak mengatakan apapun padanya perihal itu. Mas Ilham pasti curiga kepadaku, terserah. Yang pasti Ibu akan tetap tinggal disini hingga wanita bergelar madu itu musnah, pergi. "Kamu mau nyapu dengan riasan menor seperti itu?" tanya Ibu mertua. Ibu mertuaku tidak akan cerewet jika apa yang ada di hadapannya sama dengan harapannya. "Kamu mau goda majikan kamu?" "Majikan?" sahut Maura bingung. "Iya, majikan kamu. Ilham, anak saya! Suami Ayu." Aku tersenyum kala mertuaku berkomentar tentang penampi
"Jangan lupa, sebelum kami pulang. Semua pekerjaan rumah harus sudah selesai. Apalagi taman depan! Kamu tata Serapi mungkin! Paham!"Maura diam, rahangnya mengeras. Genggaman tangan pada spatula itu terlihat begitu kuat."Iya," jawab Maura terpaksa. Ibu akhirnya berjalan kembali sedangkan aku melambaikan tangan dengan senyuman kemenangan. "Bye … bye …." ucapku lirih. Sembari tangan kumainkan cantik. ****Di rumah, kami memiliki kendaraan roda empat dua buah. Yang satu milik Mas Ilham berwarna hitam sedangkan yang satu milikku berwarna merah. Aku masuk kedalam mobil di susul Mama mertua mengikuti. Dia tengah duduk di sisi kemudi. Membenarkan sabuk pengaman kemudian menatap kedepan. "Sudah, Ma?" tanyaku pada wanita yang tengah memperhatikan sekeliling. Aku memastikan wanita paruh baya itu sudah siap meluncur."Siap, Sayang," ucap Mama mertua itu dengan senyuman. Perlahan namun pasti aku melajukan mobil di jalanan. Jalan raya yang sedikit lengang membuatkan lancar untuk menambah ke
"Oke, Jeng. Kita eksekusi ya. Cus, tapi kita rapikan dulu. Kamu cocoknya sebahu deh, Jeng. Biar awet muda. Nggak usah dikasih poni. Nanti warnanya golden blonde ya, Jeng?" Laki-laki lembek itu memperhatikan wajahku sembari tangan menyentuh rambutku yang tergerai. Dia tersenyum sesekali mengedipkan mata. Ih, melihatnya saja rasanya aku geli sendiri.Aku meraih tas yang ada di atas meja. Merogoh benda pipih berniat menghubungi Mas Ilham. Aku menoleh ke arah jam yang ada di pergelangan tangan. Menunjukan angka dua belas. Menandakan bahwa beliau tengah istirahat.ku segera mengirim pesan. Mengatakan kepadanya bahwa ku tengah berada di salon bersama Mamanya. [ Mas, aku lagi di salon sama Mama.] Satu pesan diterima. Centang dua berwarna abu-abu. Tidak berapa lama dua centang itu berubah menjadi biru.Namun tidak ada balasan darinya. Mungkin lelaki itu masih marah, karena aku tidak memberi tahu bahwa Mama nya datang ke rumah. Mama terlihat menikmati pijatan tangan di pundaknya. Sesekali a
Oma …." Rendy berteriak ketika melihat Mama mertuaku. Dia menghamburkan pelukan kepada wanita tua itu."Gantengnya cucu Oma.""Oma …." Seketika mama berhenti mengusap rambut Rendy. Aku yang tengah tersenyum lantas menoleh ke arah Bian. Anak itu berani memanggil Oma dihadapanku dan juga Randy.****Tatapan Mama penuh keheranan dan juga kebingungan. Begitu juga aku. Aku bingung harus berkata apa.Senyum Bian semakin terlihat begitu mengerikan. Persis apa yang ditunjukkan ibunya, Maura.Rendy yang sudah selesai mencium tangan Omanya terlihat memperhatikan Bian. Menatap teman sebayanya itu dengan tatapan jengah. Ah, apa yang kau rasakan, Nak? Maaf, Mama belum sempat mencari tahu keadaanmu. "Kamu siapa?" tanya Mama mertua tangannya langsung di raih Bian kemudian dicium punggungnya. Persis seperti apa yang dilakukan dengan Rendy putraku tadi."Saya Fabian, Oma. Putra dari-""Dia anak Maura, Ma.""Siapa Maura?""Pembantu baru kita!" Aku langsung menyela ucapan Bian. Bagaimanapun Mama tidak
Aku menjatuhkan bokong di kursi. Lalu mengambil nasi dan beberapa lauk. Meletakkannya pada piring kosong lalu memberikan kepada Rendy. Remaja itu menerimanya dengan senyuman. Lalu ia menatapku dengan seksama."Mama nggak papa?" Pertanyaan Rendy hanya mampu aku jawab dengan helaan napas berat. Tidak aku pungkiri ada hati yang terluka di sini. Namun, aku harus tetap memastikan keluargaku akan baik-baik saja. Meskipun pada kenyataannya entah. Tap … tap.Langkah Mama terdengar dari meja makan. Aku dan juga Rendy menoleh ke belakang. Wanita itu berjalan dari arah belakang?Ada apa? Kenapa? Darimana Mama mertuaku itu? Apakah dia dari kamar Maura? Padahal sebelum aku pergi ke kamar, terlihat Mama mertua lebih dulu masuk kedalam kamarnya. Apakah setelah aku menutup pintu dia diam-diam pergi kesana? Untuk apa?"Oma darimana?" Pertanyaan yang sama terlontar dari anak semata wayangku. Wajah Mama biasa saja. Dia terkesan tengah menyembunyikan sesuatu. "Iya, tadi Ayu cari di kamar nggak ada.""S
"Maura, dia itu suamiku. Kalau aku gatel sama suami sendiri itu wajar! Yang nggak wajar itu kalau gatel ma suami orang!" Seketika wajah Maura berubah mendung. Aku yakin jika aku mempertahankan ini dan membuat Maura cemburu aku yakin dia akan keceplosan sendiri."Nikmati saja makan siangmu! Takutnya besok kamu sudah nggak tinggal di sini lagi!" Aku meninggalkan Maura dan juga anaknya di meja makan. Berjalan perlahan menuju kamar. Langkahku terhenti lalu membalik badan. "Jangan lupa, bereskan semuanya!" pintaku pada wanita itu dengan nada sedikit meremehkan.Bibir Maura mencebik. Dia terlihat tidak suka dengan ucapanku itu.Mas Ilham terlihat melepas dasinya. Membuka kancing bajunya satu persatu. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun membuatnya masih terlihat gagah. Perutnya yang rata, terlihat seksi. Apalagi dia juga sering berolahraga."Ma, kamu cantik hari ini! Beda seperti biasanya, aku suka!"Aku hanya membalas dengan senyuman sinis. Lagi-lagi dia memelukku dari belakang ketika
"Nanti aku hubungi lagi!" ucap wanita yang ada di seberang telepon. Aku mengangguk meskipun benar wanita itu tidak tahu akan gerakan kepalaku. Tidak lama kemudian panggilan telepon itu terputus secara sepihak. Tepatnya di hentikan oleh Mbak Nadia sendiri. Kakak iparku. **** Seperti biasa aku bangun lebih awal. Berjalan turun dari ranjang bergegas menunaikan ibadah sholat subuh. Menangkupkan kedua tangan pada wajah setelah selesai aku melangitkan gundah gulana dan harapan. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan turun dari kamar. Menuju dapur. Membuka kulkas menatap seluruh penghuni yang ada didalamnya. "Masak apa ya?" tanyaku pada diri sendiri. Mengambil beberapa potong ayam dan juga sayuran. "Pembantumu mana?" Tiba-tiba suara Mama mertua mengagetkanku. Aku seketika menoleh ke arahnya mengambil beberapa wadah untuk digunakan memotong sayur. Sembari bibir mengulum senyum. "Mungkin masih tidur!" jawabku biasa saja. "Jam segini masih tidur? Apa kamu nggak merasa an
"Ma …. " Aku berjalan mendekati wanita itu. Namun ia mengangkat tangannya. Lalu meninggalkan kami berjalan menuju kamarnya. Mas Ilham tidak kalah panik. Wajahnya berubah menjadi pias, pucat sekali. Dia terlihat menghampiri Ibunya lalu ingin menjelaskan semua. Namun lagi-lagi wanita itu menolak. Aku melipat tanganku di depan dada lalu menatap mereka bergantian dengan senyuman."Apakah ini yang kamu inginkan? " tanya Mas Ilham kepada Maura. "Aku nggak tahan lagi, Mas. Suami sundal mu ini dan juga Mama mu selalu menyebut aku seorang pembantu! Dan aku tidak terima. Di perut ini ada janin anakmu dan kamu diam saja aku diperlakukan seperti itu oleh mereka!" Maura menunjuk Mas Ilham dengan mata melotot seakan ingin keluar. Sedangkan aku. Aku hanya diam menyaksikan pertengkaran mereka pagi ini. "Suutttt … jangan keras-keras! Ibu masih di kamar. Nanti beliau tahu kalau kamu tengah hamil! Bisa tambah kacau … hidupmu!" ucapku membuat Maura tambah berapi-api."Aku nggak tahan lagi, Mas. Istri s
Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur
Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi
Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter
[Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe
Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki