Erem berdiri tegap di gerbang utama istana, matanya tajam mengawasi keadaan sekitar. Sebagai tangan kanan Ratu Zhefora, ia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keamanan kerajaan iblis. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi di wilayah yang dipenuhi energi iblis yang panas dan mengancam.
Beberapa prajurit menghampirinya, memberi laporan tentang situasi di sekitar istana. "Perbatasan aman, Tuan Erem," ujar salah satu prajurit. Erem mengangguk, tetapi firasatnya mengatakan sebaliknya. Ada sesuatu yang tidak beres. Hawa di sekitarnya terasa berbeda—terlalu sunyi, seolah alam semesta menahan napas. Ia melangkah ke menara pengawas dan menatap ke arah hutan kegelapan yang mengelilingi kerajaan. Dalam kegelapan itu, ia menangkap sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Siluet-siluet bergerak di antara pepohonan, mata mereka merah menyala, tapi aura mereka… berbeda dari para iblis. Mereka bukan prajurit kerajaan iblis, juga bukan makhluk-makhluk dari wilayah kekuasaan mereka. Erem menyipitkan mata. "Ini… bukan pasukan kita," gumamnya pelan. Salah satu prajurit di sampingnya tampak tegang. "Apakah mereka penyusup?" Erem tak menjawab, tetapi sorot matanya semakin tajam. Ia tahu satu hal: ini bisa menjadi ancaman besar bagi Ratu Zhefora dan kerajaan iblis. Erem mengepalkan tangannya, matanya tetap tertuju pada siluet-siluet yang bergerak di antara pepohonan gelap. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—auranya terasa asing, tetapi juga samar-samar familiar. Ia menoleh ke prajurit di sampingnya. "Kumpulkan lima orang terbaik. Jangan bertindak gegabah, kita harus mencari tahu siapa mereka sebelum mengambil tindakan." Prajurit itu segera memberi isyarat, dan lima prajurit terlatih berkumpul di belakang Erem dalam hitungan detik. Dengan gerakan cepat, mereka melesat menuju hutan, langkah mereka nyaris tak bersuara di atas tanah berbatu. Begitu mendekati area di mana siluet-siluet itu terlihat, Erem memberi tanda untuk berhenti. Ia bersembunyi di balik pohon besar, matanya menajam, mengamati lebih jelas. Yang ia lihat membuat dadanya berdegup kencang. Makhluk-makhluk itu memiliki tubuh tinggi dan ramping, dengan kulit kehitaman seperti bayangan. Mata mereka bersinar merah, tetapi tidak memiliki pupil seperti iblis biasa. Mereka bergerak dengan gesit, seolah tak terikat oleh hukum fisika. Namun, yang paling mengejutkan adalah simbol bercahaya di dada mereka—simbol yang pernah ia lihat di buku-buku kuno istana. "Mustahil…" bisik Erem. Salah satu prajurit mendekat, suaranya lirih namun waspada. "Tuan Erem, siapa mereka?" Erem menggeleng perlahan, wajahnya tegang. "Jika dugaanku benar… mereka bukan sekadar penyusup. Mereka adalah Shadarin—makhluk dari kegelapan murni yang seharusnya sudah punah ribuan tahun lalu." Para prajurit terdiam, merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti mereka. Lalu, salah satu makhluk itu tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah mereka. Mata merahnya berkilat tajam. "Erem…" Sebuah suara serak dan dalam menggema di dalam kepalanya, seolah berbicara langsung ke dalam pikirannya. Erem tersentak, pupilnya menyempit. Makhluk itu mengenal namanya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghunus belatinya. "Mundur. Kita harus kembali ke istana dan melaporkan ini pada Ratu Zhefora. Sekarang!" Namun, sebelum mereka bisa bergerak, bayangan hitam melesat ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa. Mata Erem melebar. Serangan telah dimulai. Bayangan hitam itu bergerak begitu cepat, nyaris tak kasatmata. Erem hanya punya sepersekian detik untuk bereaksi. —Crasht! Salah satu prajurit di sampingnya terpental ke belakang, tubuhnya menghantam batang pohon dengan keras. Ia tak sempat berteriak, hanya terdengar suara napas tersengal sebelum tubuhnya lunglai tak bergerak. "Persiapkan formasi bertahan!" seru Erem dengan suara penuh tekanan. Empat prajurit tersisa segera menarik senjata mereka, mata mereka menatap makhluk-makhluk itu dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Namun sebelum mereka bisa benar-benar bersiap, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. —Desir. Hawa di sekitar mereka berubah. Bayangan hitam yang tadinya hanya beberapa kini mulai bergerak dari segala arah, membentuk lingkaran mengelilingi mereka. Mata-mata merah menyala itu menatap tajam, seolah menunggu saat yang tepat untuk menerkam. Erem mengepalkan rahangnya. Ini buruk. Lalu, satu langkah ke depan, makhluk yang pertama kali menyebut namanya mulai mendekat. "Erem…" Suara itu menggema lagi di dalam kepalanya, kali ini lebih jelas. Dalam suara itu, ada sesuatu yang dingin—seperti bisikan kematian yang tak terelakkan. Erem mengangkat belatinya, bersiap bertarung. "Siapa kalian?!" Makhluk itu berhenti hanya beberapa langkah di depannya. Matanya yang merah menyala seperti bara api menatapnya tanpa ekspresi, tanpa emosi, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya—sebuah kehampaan yang membuat bulu kuduk Erem meremang. "Kami…" Suara makhluk itu semakin dalam. "… adalah awal dari kegelapan yang akan menelan dunia ini." Erem merasakan tenggorokannya mengering. Lalu, dalam sekejap— —Braak! Sebuah energi hitam meledak dari tubuh makhluk itu, menghempaskan debu dan angin panas ke segala arah. Erem mundur selangkah, menahan tubuhnya agar tidak terdorong. Prajurit di belakangnya berusaha bertahan, tetapi salah satu dari mereka kembali terpental ke tanah, tubuhnya gemetar hebat. Erem tahu ini bukan pertarungan yang bisa mereka menangkan. "Tidak ada pilihan lain," gumamnya. Dengan cepat, ia menghunus belatinya dan menggoreskan simbol sihir di udara. Cahaya merah gelap muncul, membentuk lingkaran sihir yang berkedip-kedip. Ia tak punya waktu. Jika terlambat sedikit saja, mereka semua akan habis. "Kita harus kembali ke istana. Sekarang!" Namun sebelum teleportasi selesai, makhluk itu melesat ke arahnya—dengan tangan panjang yang berubah menjadi bayangan tajam, mengarah lurus ke jantungnya. Mata Erem membelalak. —Apakah ini akhirnya? Tepat saat cakar kegelapan itu hampir menembus dadanya— —DUAARR!! Sebuah ledakan besar menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang menghempaskan semua yang ada di sekitarnya. Hanya ada satu orang yang bisa menghasilkan serangan sebesar itu di wilayah iblis. Erem terbatuk, lalu membuka matanya. Di depan gerbang istana, berdiri seseorang yang auranya begitu dominan dan tak terbantahkan. Dibalut jubah hitam yang berkilat di bawah cahaya merah, dengan tatapan dingin yang tak tertandingi. Ratu Iblis Zhefora telah tiba. Kehadiran Zhefora mengubah segalanya. Aura iblisnya yang pekat berpendar kuat, menciptakan tekanan luar biasa yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Bahkan makhluk-makhluk Shadarin itu tampak ragu, seolah mereka baru menyadari siapa yang kini berdiri di hadapan mereka. Zhefora menatap Erem yang masih bertahan dengan luka-luka di tubuhnya. "Kau terlambat melaporkan ini, Erem," ucapnya dingin, suaranya tajam seperti bilah pedang. Erem terbatuk, lalu berdiri tegak. "Yang Mulia… mereka menyebut diri sebagai awal dari kegelapan." Zhefora menyipitkan matanya. "Mereka bukan sekadar penyusup biasa, rupanya." —Srrrkkh! Salah satu Shadarin menggeram, lalu maju dengan gerakan menghilang-muncul yang tak bisa diikuti oleh mata biasa. Namun, sebelum ia bisa mendekat lebih jauh— —BRUGH!! Dalam satu gerakan, tangan Zhefora mencengkeram wajah makhluk itu, menghentikannya dengan mudah. Cakar makhluk itu berusaha menebasnya, tetapi sebelum berhasil, Zhefora mengencangkan genggamannya. —KRAKK!! Makhluk itu meledak menjadi bayangan gelap yang lenyap dalam hitungan detik. Sunyi. Makhluk-makhluk Shadarin lainnya menegang. Ini bukan lawan yang bisa mereka remehkan. Zhefora mengibaskan tangannya, seolah yang baru saja ia hancurkan hanyalah debu tak berharga. "Aku tidak tahu dari mana kalian berasal, tetapi jika kalian pikir bisa bermain-main di wilayahku…" Tatapan matanya berubah keemasan, sebuah tanda bahwa cakra iblis dalam dirinya mulai aktif. "…maka kalian sudah membuat kesalahan besar." Tiba-tiba, angin berputar dengan liar, dan lingkaran sihir muncul di bawah kaki Zhefora. Api hitam menyembur ke segala arah, membuat tanah di sekitarnya retak. Aura kegelapan yang ia pancarkan begitu kuat hingga membuat beberapa Shadarin mundur selangkah—hal yang jarang terjadi, karena makhluk-makhluk ini seharusnya tak mengenal rasa takut. Tapi mereka takut. Salah satu dari mereka—makhluk yang sebelumnya memanggil nama Erem—akhirnya berbicara lagi. Suaranya tetap dalam dan mengancam, tetapi kali ini ada nada kewaspadaan di dalamnya. "Zhefora, Ratu Iblis," ucapnya. "Kami tidak datang untuk perang… bukan malam ini." Zhefora menyeringai tipis. "Jadi kalian hanya ingin bermain-main di depan gerbang istanaku? Sungguh hiburan yang membosankan." Makhluk itu diam sejenak, lalu mengangkat tangannya. —Srrtt! Dalam sekejap, bayangan-bayangan itu mulai menghilang satu per satu, seperti kabut yang tersapu angin. Namun, sebelum benar-benar lenyap, suara makhluk itu kembali menggema di udara. "Kami akan kembali… saat malam paling gelap tiba." Lalu semuanya menghilang. Hanya tersisa sunyi, tanah yang retak, dan hawa panas dari api hitam Zhefora yang masih berpendar di udara. Erem menghela napas berat. Tangannya mengepal. "Mereka tidak seharusnya ada… mereka seharusnya sudah punah ribuan tahun lalu." Zhefora menatap kosong ke arah tempat makhluk-makhluk itu menghilang, ekspresinya sulit ditebak. Namun, dalam hati, ia tahu satu hal: Ini baru permulaan. ------- Di sisi lain, di balik pegunungan yang membatasi wilayah iblis dan manusia, berdiri megah Kerajaan Astraeon. Istana putihnya menjulang, memancarkan kemegahan di bawah cahaya bulan. Namun, di dalamnya, suasana jauh dari kedamaian. Di balairung utama, Raja Alistair duduk di atas singgasananya. Sorot matanya tajam, penuh api yang membara. Rahangnya mengeras saat ia menatap ke depan, menahan gelombang amarah yang nyaris meledak. Di hadapannya, seorang pria berlutut—panglima perangnya, Adrian Valtore, yang baru saja kembali dari misi yang diperintahkan langsung oleh sang raja. "Jelaskan." Suara Alistair terdengar dingin, bagaikan es yang menusuk tulang. Adrian menundukkan kepalanya, rahangnya mengeras. "Pasukan bayangan kita telah gagal, Yang Mulia. Mereka berhadapan langsung dengan… Zhefora." —BRUGH! Cangkir emas di tangan Alistair terhempas ke lantai, suara dentingannya menggema di seluruh ruangan. "Jadi kau ingin mengatakan kepadaku," ucapnya, suaranya bergetar menahan amarah, "bahwa makhluk-makhluk yang kubentuk dengan darah dan sihir kuno—makhluk yang seharusnya tak bisa dikalahkan—telah dihancurkan begitu saja?" Adrian mengepalkan tangannya. "Ratu Iblis itu… lebih kuat dari yang kita duga. Dia bukan hanya seorang penguasa. Dia adalah—" "—monster," potong Alistair, suaranya rendah namun penuh kebencian. "Aku tahu." Ruangan menjadi sunyi. Para bangsawan dan penasihat yang berdiri di sisi kiri dan kanan aula hanya menundukkan kepala, tak ada yang berani angkat bicara. Lalu, Alistair berdiri dari singgasananya. Jubah hitam-emasnya berkibar saat ia melangkah turun dari tangga. Ia mendekati Adrian, menatapnya dengan sorot mata tajam yang tak bisa dibaca. "Berapa banyak yang selamat?" tanyanya lirih, tapi ada ketegangan di balik suaranya. Adrian mengepalkan rahangnya sebelum menjawab. "Dua. Hanya dua yang kembali." Mata Alistair berkilat marah. "Aku mengorbankan kekuatan sihir kuno untuk membangkitkan pasukan itu. Aku mengorbankan waktu, tenaga… dan kau mengatakan kepadaku hanya dua yang kembali?" Adrian tak menjawab. Ia tahu tak ada jawaban yang bisa meredakan amarah sang raja. Alistair menutup matanya sejenak, mengatur napasnya. Saat ia membuka mata kembali, sinarnya lebih gelap. Lebih berbahaya. "Zhefora…" bisiknya. "Seberapa dalam kekuatan yang kau sembunyikan?" Namun, di balik kemarahan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak diketahui oleh para penasihat dan pasukannya. Ketakutan. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Raja Alistair merasa takut. Jika Zhefora bisa menghancurkan pasukan Shadarin dengan mudah, maka perang yang akan datang bukan sekadar pertempuran memperebutkan kekuasaan. Perang ini bisa menjadi kehancuran bagi umat manusia. Dengan tangan yang terkepal kuat, Alistair menoleh ke Adrian. "Kita butuh rencana lain." Adrian menegakkan punggungnya. "Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?" Alistair menatap ke luar jendela istana, ke arah cakrawala gelap di mana kerajaan iblis berada. Napasnya bergetar, bukan karena gentar, tetapi karena amarah yang berlipat. "Kita buat Zhefora tunduk… atau kita hancurkan dia."Dunia ini lebih dari sekadar perang antara iblis dan manusia. Ada mereka yang hidup dalam senyap, bergerak dalam bayangan, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Di antara lembah curam yang tertutup kabut, Vordesh berdiri tanpa hukum, hanya dikuasai oleh mereka yang cukup kuat untuk bertahan. Kota ini adalah tempat di mana kepercayaan bisa dibeli, dan pengkhianatan adalah mata uang yang lebih berharga dari emas. Di salah satu sudut pasar yang remang-remang, seorang wanita bertudung gelap berusaha menyelinap di antara kerumunan. Nafasnya terengah, keringat dingin membasahi tengkuknya. Ia sedang diburu. Tangan kanannya erat menggenggam gulungan perkamen tua—bukan sembarang dokumen, melainkan sesuatu yang bisa mengubah keseimbangan dunia. Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya. Wanita itu menegang. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi berbaju hitam, mata merahnya berkilauan seperti bara api. Senyumnya tipis, dingin. "Kau membawa sesuatu yang berbaha
Takdir Sang Ratu IblisGadis kecil itu berdiri di tengah aula megah yang dingin, sendirian. Cahaya redup dari obor yang tergantung di dinding membuat bayangannya memanjang di lantai marmer hitam. Matanya yang merah menyala menatap lurus ke depan, penuh keteguhan yang terlalu besar untuk anak seusianya.Di sekelilingnya, para bangsawan iblis berbisik satu sama lain, bisikan yang cukup lirih untuk terdengar namun cukup menusuk untuk melukai."Anak itu bukan seperti kita.""Apa kau bisa merasakannya? Energinya begitu jahat, bahkan untuk kita sendiri.""Bagaimana bisa darah kerajaan mengalir dalam tubuhnya? Ini adalah aib."Zhefora tahu. Ia selalu tahu.Sejak ia mengerti dunia, ia tahu bahwa ia tidak diinginkan. Sejak ia bisa berbicara, ia tahu bahwa kata-katanya tidak pernah diinginkan. Sejak ia bisa berjalan, ia tahu bahwa keberadaannya lebih mirip kutukan daripada anugerah.Cakra iblis yang mengalir dalam tubuhnya terlalu kuat, terlalu mengerikan, bahkan bagi kaum iblis yang terbiasa d
Langit Merah dan Takdir yang Terukir Di atas langit kerajaan iblis, cahaya merah menyala seperti bara api yang berkobar. Angin kencang berdesir, membawa aroma belerang dan debu magis yang berkilauan di udara. Hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah hari di mana seorang ratu baru akan bangkit, menggantikan penguasa sebelumnya. Di tengah altar batu hitam yang menjulang di pusat istana, seorang gadis berdiri dengan jubah panjang berwarna merah darah yang berkibar tertiup angin. Dia adalah Zhefora, sang pewaris tahta kerajaan iblis. Mata hitam legamnya menatap tajam ke depan, menyiratkan keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Usianya baru 16 tahun, tetapi beban takdir yang ia emban jauh lebih berat dari usianya. Hari ini, ia akan meninggalkan masa kecilnya dan menerima gelar sebagai Ratu Iblis. Di sekelilingnya, ribuan iblis dari berbagai klan berkumpul. Mereka berdiri berjejer, memenuhi tanah luas di bawah altar. Beberapa memiliki sayap raksasa yang mengepak, menggetarkan udara. Yan
Ratu Iblis Zhefora, yang kini tak lagi hanya seorang putri, berdiri di atas panggung batu besar, matahari yang terbenam memancarkan sinar merah ke seluruh kerajaan. Gaun hitam pekat yang dikenakannya berkilau di bawah cahaya senja, menambahkan kesan mistis pada dirinya. Di sekelilingnya, para prajurit manusia berdiri tegak, menyaksikan dengan penuh perhatian. Tidak ada iblis yang hadir di sana. Ini adalah hari milik manusia dan rakyat yang selama ini telah mengikuti perjalanan panjangnya. Setelah pelantikan yang penuh perayaan dengan darah iblis, Zhefora beralih pada peran barunya sebagai pemimpin bukan hanya untuk iblis, tetapi untuk seluruh rakyat manusia yang memilih untuk mengikutinya. Kerajaan yang besar ini, yang kini berada di bawah takhtanya, menantikan untuk melihat apakah ia bisa mengubah sejarah. Tidak ada lagi yang harus disembunyikan—bahwa seorang Ratu Iblis akan memimpin mereka. Di depan rakyat manusia, wajah Zhefora tampak lebih keras, lebih tegas dari sebelumnya, m
Di dalam istana yang megah namun kelam, Zhefora berdiri di hadapan cermin besar yang terbuat dari obsidian. Kilau merah dari matanya memantul di permukaan gelap itu, menampilkan sosoknya yang dingin dan tak tergoyahkan. Gaun hitam dengan corak ungu gelap membalut tubuhnya, sementara mahkota bertatahkan batu iblis berkilauan di kepalanya. Ia adalah penguasa mutlak, Ratu dari kegelapan, namun di dalam keheningan ini, ada sesuatu yang terasa hampa. Ia memejamkan mata sejenak, mengingat kembali hari-hari di mana ia harus merangkak dalam bayang-bayang, dijauhi bahkan oleh bangsanya sendiri. Cakra iblis yang mengalir dalam dirinya bukan anugerah, melainkan kutukan yang membuatnya dianggap berbeda. Dulu ia merindukan kehangatan, menginginkan penerimaan, tetapi kini? Itu semua sudah terkubur bersama masa lalunya. Ia bukan lagi gadis yang rapuh—ia adalah penguasa, dan tidak ada tempat bagi kelemahan. Langkah-langkah sepatu berhaknya menggema di sepanjang lorong istana. Pilar-pilar raksas
Malam itu, istana terasa lebih sunyi dari biasanya.Di lorong-lorong panjang, obor api biru masih menyala seperti biasa, tetapi cahayanya tampak lebih redup. Udara dingin berhembus pelan, menelusup ke setiap celah dinding batu obsidian.Zhefora duduk di singgasananya, mengamati keanehan yang terus terjadi dalam beberapa hari terakhir.Bukan hanya perubahan kecil seperti obor yang meredup atau pintu yang bergeser sendiri.Bukan hanya suara langkah samar yang terdengar di lorong-lorong kosong.Tapi sesuatu yang lebih dari itu.Sesuatu… yang mengawasi.Bayangan di Balik Kegelapan“Yang Mulia.”Suara Erem memecah kesunyian. Ia berjalan mendekat, wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegangan di balik sorot matanya.“Apa yang kau temukan?” tanya Zhefora tanpa menoleh.Erem berhenti di beberapa langkah darinya. Ia tampak ragu sejenak.Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Kami menemukan sebuah tanda.”Zhefora akhirnya menoleh. “Tanda?”Erem mengangguk. “Di ukir di lantai aula timur… dengan d
Di dalam istana kegelapan yang menjulang tinggi, di balik jendela yang menghadap ke hamparan tanah tandus, Zhefora duduk dalam keheningan. Cahaya merah temaram dari kristal iblis yang menggantung di langit-langit kamarnya menerangi wajahnya yang pucat. Mata ungunya yang tajam menatap ke luar, ke arah langit kelam tanpa bintang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada gemuruh. Tidak ada jeritan. Tidak ada bisikan-bisikan penuh kebencian yang mengganggu pikirannya. Hanya ada keheningan yang mengalir seperti air dingin di dalam dadanya. Ia menghela napas pelan, membiarkan tubuhnya sedikit bersandar ke kursi megah berlapis beludru hitam. Jemarinya yang ramping menyentuh permukaan meja kayu eboni di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Seolah-olah dunia memberi jeda, sekejap saja, untuk membiarkannya bernapas. "Kenapa tenang sekali?" batinnya. Namun, bukannya jawaban dari luar, yang menjawab justru adalah sesuatu yang ada di dalam dirinya. "Karena kau mul
Dunia ini lebih dari sekadar perang antara iblis dan manusia. Ada mereka yang hidup dalam senyap, bergerak dalam bayangan, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Di antara lembah curam yang tertutup kabut, Vordesh berdiri tanpa hukum, hanya dikuasai oleh mereka yang cukup kuat untuk bertahan. Kota ini adalah tempat di mana kepercayaan bisa dibeli, dan pengkhianatan adalah mata uang yang lebih berharga dari emas. Di salah satu sudut pasar yang remang-remang, seorang wanita bertudung gelap berusaha menyelinap di antara kerumunan. Nafasnya terengah, keringat dingin membasahi tengkuknya. Ia sedang diburu. Tangan kanannya erat menggenggam gulungan perkamen tua—bukan sembarang dokumen, melainkan sesuatu yang bisa mengubah keseimbangan dunia. Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya. Wanita itu menegang. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi berbaju hitam, mata merahnya berkilauan seperti bara api. Senyumnya tipis, dingin. "Kau membawa sesuatu yang berbaha
Erem berdiri tegap di gerbang utama istana, matanya tajam mengawasi keadaan sekitar. Sebagai tangan kanan Ratu Zhefora, ia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keamanan kerajaan iblis. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi di wilayah yang dipenuhi energi iblis yang panas dan mengancam. Beberapa prajurit menghampirinya, memberi laporan tentang situasi di sekitar istana. "Perbatasan aman, Tuan Erem," ujar salah satu prajurit. Erem mengangguk, tetapi firasatnya mengatakan sebaliknya. Ada sesuatu yang tidak beres. Hawa di sekitarnya terasa berbeda—terlalu sunyi, seolah alam semesta menahan napas. Ia melangkah ke menara pengawas dan menatap ke arah hutan kegelapan yang mengelilingi kerajaan. Dalam kegelapan itu, ia menangkap sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Siluet-siluet bergerak di antara pepohonan, mata mereka merah menyala, tapi aura mereka… berbeda dari para iblis. Mereka bukan prajurit kerajaan iblis, juga bukan
Di dalam istana kegelapan yang menjulang tinggi, di balik jendela yang menghadap ke hamparan tanah tandus, Zhefora duduk dalam keheningan. Cahaya merah temaram dari kristal iblis yang menggantung di langit-langit kamarnya menerangi wajahnya yang pucat. Mata ungunya yang tajam menatap ke luar, ke arah langit kelam tanpa bintang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada gemuruh. Tidak ada jeritan. Tidak ada bisikan-bisikan penuh kebencian yang mengganggu pikirannya. Hanya ada keheningan yang mengalir seperti air dingin di dalam dadanya. Ia menghela napas pelan, membiarkan tubuhnya sedikit bersandar ke kursi megah berlapis beludru hitam. Jemarinya yang ramping menyentuh permukaan meja kayu eboni di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Seolah-olah dunia memberi jeda, sekejap saja, untuk membiarkannya bernapas. "Kenapa tenang sekali?" batinnya. Namun, bukannya jawaban dari luar, yang menjawab justru adalah sesuatu yang ada di dalam dirinya. "Karena kau mul
Malam itu, istana terasa lebih sunyi dari biasanya.Di lorong-lorong panjang, obor api biru masih menyala seperti biasa, tetapi cahayanya tampak lebih redup. Udara dingin berhembus pelan, menelusup ke setiap celah dinding batu obsidian.Zhefora duduk di singgasananya, mengamati keanehan yang terus terjadi dalam beberapa hari terakhir.Bukan hanya perubahan kecil seperti obor yang meredup atau pintu yang bergeser sendiri.Bukan hanya suara langkah samar yang terdengar di lorong-lorong kosong.Tapi sesuatu yang lebih dari itu.Sesuatu… yang mengawasi.Bayangan di Balik Kegelapan“Yang Mulia.”Suara Erem memecah kesunyian. Ia berjalan mendekat, wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegangan di balik sorot matanya.“Apa yang kau temukan?” tanya Zhefora tanpa menoleh.Erem berhenti di beberapa langkah darinya. Ia tampak ragu sejenak.Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Kami menemukan sebuah tanda.”Zhefora akhirnya menoleh. “Tanda?”Erem mengangguk. “Di ukir di lantai aula timur… dengan d
Di dalam istana yang megah namun kelam, Zhefora berdiri di hadapan cermin besar yang terbuat dari obsidian. Kilau merah dari matanya memantul di permukaan gelap itu, menampilkan sosoknya yang dingin dan tak tergoyahkan. Gaun hitam dengan corak ungu gelap membalut tubuhnya, sementara mahkota bertatahkan batu iblis berkilauan di kepalanya. Ia adalah penguasa mutlak, Ratu dari kegelapan, namun di dalam keheningan ini, ada sesuatu yang terasa hampa. Ia memejamkan mata sejenak, mengingat kembali hari-hari di mana ia harus merangkak dalam bayang-bayang, dijauhi bahkan oleh bangsanya sendiri. Cakra iblis yang mengalir dalam dirinya bukan anugerah, melainkan kutukan yang membuatnya dianggap berbeda. Dulu ia merindukan kehangatan, menginginkan penerimaan, tetapi kini? Itu semua sudah terkubur bersama masa lalunya. Ia bukan lagi gadis yang rapuh—ia adalah penguasa, dan tidak ada tempat bagi kelemahan. Langkah-langkah sepatu berhaknya menggema di sepanjang lorong istana. Pilar-pilar raksas
Ratu Iblis Zhefora, yang kini tak lagi hanya seorang putri, berdiri di atas panggung batu besar, matahari yang terbenam memancarkan sinar merah ke seluruh kerajaan. Gaun hitam pekat yang dikenakannya berkilau di bawah cahaya senja, menambahkan kesan mistis pada dirinya. Di sekelilingnya, para prajurit manusia berdiri tegak, menyaksikan dengan penuh perhatian. Tidak ada iblis yang hadir di sana. Ini adalah hari milik manusia dan rakyat yang selama ini telah mengikuti perjalanan panjangnya. Setelah pelantikan yang penuh perayaan dengan darah iblis, Zhefora beralih pada peran barunya sebagai pemimpin bukan hanya untuk iblis, tetapi untuk seluruh rakyat manusia yang memilih untuk mengikutinya. Kerajaan yang besar ini, yang kini berada di bawah takhtanya, menantikan untuk melihat apakah ia bisa mengubah sejarah. Tidak ada lagi yang harus disembunyikan—bahwa seorang Ratu Iblis akan memimpin mereka. Di depan rakyat manusia, wajah Zhefora tampak lebih keras, lebih tegas dari sebelumnya, m
Langit Merah dan Takdir yang Terukir Di atas langit kerajaan iblis, cahaya merah menyala seperti bara api yang berkobar. Angin kencang berdesir, membawa aroma belerang dan debu magis yang berkilauan di udara. Hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah hari di mana seorang ratu baru akan bangkit, menggantikan penguasa sebelumnya. Di tengah altar batu hitam yang menjulang di pusat istana, seorang gadis berdiri dengan jubah panjang berwarna merah darah yang berkibar tertiup angin. Dia adalah Zhefora, sang pewaris tahta kerajaan iblis. Mata hitam legamnya menatap tajam ke depan, menyiratkan keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Usianya baru 16 tahun, tetapi beban takdir yang ia emban jauh lebih berat dari usianya. Hari ini, ia akan meninggalkan masa kecilnya dan menerima gelar sebagai Ratu Iblis. Di sekelilingnya, ribuan iblis dari berbagai klan berkumpul. Mereka berdiri berjejer, memenuhi tanah luas di bawah altar. Beberapa memiliki sayap raksasa yang mengepak, menggetarkan udara. Yan
Takdir Sang Ratu IblisGadis kecil itu berdiri di tengah aula megah yang dingin, sendirian. Cahaya redup dari obor yang tergantung di dinding membuat bayangannya memanjang di lantai marmer hitam. Matanya yang merah menyala menatap lurus ke depan, penuh keteguhan yang terlalu besar untuk anak seusianya.Di sekelilingnya, para bangsawan iblis berbisik satu sama lain, bisikan yang cukup lirih untuk terdengar namun cukup menusuk untuk melukai."Anak itu bukan seperti kita.""Apa kau bisa merasakannya? Energinya begitu jahat, bahkan untuk kita sendiri.""Bagaimana bisa darah kerajaan mengalir dalam tubuhnya? Ini adalah aib."Zhefora tahu. Ia selalu tahu.Sejak ia mengerti dunia, ia tahu bahwa ia tidak diinginkan. Sejak ia bisa berbicara, ia tahu bahwa kata-katanya tidak pernah diinginkan. Sejak ia bisa berjalan, ia tahu bahwa keberadaannya lebih mirip kutukan daripada anugerah.Cakra iblis yang mengalir dalam tubuhnya terlalu kuat, terlalu mengerikan, bahkan bagi kaum iblis yang terbiasa d