Fikri duduk disofa, sedang memakaikan sepatu sekolahnya, “Mana kunci motormu?” mendengar suara dingin tersebut, Fikri langsung menoleh kearah suara. Fikri tersenyum dingin, melihat ibunya memasang wajah sinis. “Mana kunci motormu? Berikan pada saya.” sekali lagi Hanum memberi perintah. “Untuk apa ma?” tanyanya mengerutkan keningnya. “Berikan saja…. Itu perintah….” ketus Hanum dingin. Fikri langsung mengambil kunci motor dari kantong celananya, dan memberikan pada Hanum. “Jika mama mengambilnya, lalu Fikri kesekolah pakai apa ma?” keluh Fikri, membayangkan jika dia harus berjalan kaki disekolah, membuatnya semakin kesal. “Mulai sekarang, kau tidak boleh lagi kesekolah pakai motor. Kau harus diantar jemput oleh Safira…. Mulai sekarang, kau dilarang menyetir sendirian, tanpa ditemani Safira….” jelas sang ibu dingin. Setiap kata yang Hanum keluarkan penuh penekanan dan intimidasi terhadap anaknya. Fikri menghela napas berat, meninggalkan sang ibu tanpa menyalaminya terlebih dahulu.
3 tahun yang lalu.... Fikri yang memakai seragam SMP, berlari menuju meja makan. Melihat Fikri yang duduk dikursinya, seketika ayah dan ibunya beranjak dari duduknya. “Kita makan diluar saja...” ujar Hanum pada suaminya. Kemudian mereka beranjak meninggalkan ruang makan. Fikri yang tadi sangat bersemangat menyendok nasi kepiringnya, langsung terdiam, melihat kedua orang tuanya meninggalkan meja makan karena kehadiran dirinya, padahal makanan dipiring mereka, belum habis. Fikri beranjak dari duduknya. “Mau kemana tuan? Makan dulu, ibu sudah masak makanan favorit tuan....” ujar Surtinah tersenyum ramah pada tuannya. “Nggak jadi lah bu.... mama dan papa, nggak jadi makan karena Fikri.... jadi, sebagai hukumannya, Fikri juga nggak boleh sarapan, karena papa dan mama nggak sarapan....” Fikri berlari masuk ke dalam kamarnya, meraih tasnya. “Bu.... uang jajan?” pinta Fikri. Surtinah yang memegang uang keperluan tuan kecilnya itu, langsung memberikan uang pada anak majikannya itu. “Oh
Ada beberapa yang merumpi tanpa tahu masalah sebenarnya, “Tidak usah mengunjingku! Kalian tidak tahu apa yang dia lakukan, sehingga membuatku semarah ini.... apa kalian tidak ingin bertanya, sebelum kalian menyebarkan gosip? Saya tandai wajah kalian semua ya.... siap-siap kalian, juga akan menjadi target selanjutnya....” dengan gerakan cepat, Fikri membuka sepatunya. Lalu melemparnya dengan kasar ke arah wanita yang sedang mengunjingnya. Membuat para wanita tersebut terteriak kaget. “Nggak usah teriak, sakit kuping saya dengarnya.... bawa kemari sepatu saya!” perintah Fikri dengan dingin. Para wanita itu, hanya diam. “Bawa kemari sepatuku!” teriak Fikri, membuat satu wanita tersebut segera mengambil sepatu tersebut dan memberikan pada Fikri. Fikri menatapnya dengan sinis. “Pakaikan ke kakiku!” perintah Fikri tersenyum dingin. Dia sangat senang membuat orang takut dan tunduk padanya. Wanita tersebut dengan tangan gemetar memakai sepatu tersebut dikaki Fikri. “Peringatan untuk sem
Fikri memasuki rumah, dan dia sangat kaget, saat membuka pintu mendapat tamparan dari sang mama. Fikri memegang pipinya yang ditampar dan tersenyum melihat wajah kesal dari mamanya. “Ada apa bu?” tanya Fikri tersenyum. “Menurutmu apa kesalahan yang kau perbuat sehingga kau ditampar?” bentak Hanum kesal dan mendaratkan lagi satu tamparan. “Fikri tidak tahu kesalahan apa yang Fikri perbuat ma? Karena terlalu banyak kesalahan yang Fikri lakukan, sehingga membuat putih menjadi hitam….” jawab Fikri dengan tenang. “Sudah saya bilang, kau harus di antar jemput oleh Safira. Kenapa kau pulang sendirian? Dimana Safira? Apa kau meninggalkannya ditengah jalan hah?” Hanum membenturkan kepala Fikri ke dinding, membuat pria tersebut meringis. Sekali lagi tamparan mendarat di wajah pria itu. Fikri hanya diam saat sang mama melampiaskan kekesalannya. Hanya sesekali jika dia telah muak, dia memberontak. Hanum menarik dengan kasar tangan Fikri masuk kedalam kamarnya. Sedangkan Safira yang tertidur
Fikri duduk disofa sambil menikmati cake buatan Surtinah. Sedangkan Safira sudah siap hendak mengantarkan Fikri kesekolah. Safira mengerutkan keningnya saat melihat Fikri hanya memakai pakaian rumah saja. Barusaja hendak mendekati Fikri, Hartawan sudah berjalan mendekati Fikri dan membuang cake yang ada ditangan Fikri dengan kasar. Fikri menatap ayahnya dengan tenang. Sudah biasa dia diperlakukan seperti ini, sudah bukan hal yang biasa lagi. “Kenapa kau tak sekolah anak berandal? Enak saja kau malah santai-santai, mau jadi manusia bodoh kau?” bentak Hartawan menarik rambut Fikri dengan cukup keras. “Jawab saya, kenapa kau tidak masuk sekolah?” teriaknya tepat ditelinga Fikri. Lagi-lagi Safira hanya bisa menghela napas panjang, melihat target penyelidikannya diperlakukan tidak baik oleh ayahnya. “Saya di skor yah....” jawab Fikri perlahan, menahan sakit disekujur tubuhnya. “Kenapa? Apa karena kau memukul Bowo?” tanya Hartawan semakin berang. Kembali tamparan mampir kewajah Fikri. F
“Permisi....” ucap Safira mengetuk pintu. Fika menoleh menatap tajam Safira dan menghentikan aktivitas menerangkan pelajaran. “Ini lagi dalangnya....” sindir Fika kesal. “Boleh saya bertemu dengan Fikri Wijaya Kusuma bu?” tanya Safira dengan wajah sok polos. “Ada apa kau bertemu pembunuh itu?” tanya Fika dengan nada sinis. “Mau merencanakan pembunuhan dan perampokan bu....” jawab Safira asal, membuat Fika mendengus kesal. “Masuk saja.... jangan bikin onar....” sindir Fika lagi duduk dikursinya. “Kek ibu nggak pernah bikin onar aja....” balas Safira membuat Fika memutar mata kesal. “Ngomong apa kamu tadi?” Fika berdiri dan berjalan mendekati Safira. Fika nampak kesal dengan sikap Safira yang terus menjawab kata-katanya. “Tidak apa-apa bu.... Cuma ingin mengatakan, ibu itu sangat cantik, tapi akhlaknya buruk....” ucap Safira dengan berani, membuat Fika makin berang. “Jaga ya sikapmu, jika tidak ingin saya usir keluar....” ancam Fika. “Iya bu.... tadi juga ibu yang terus ngajak
Safira memasuki rumah Hartawan. Saat masuk dan mendapati Hartawan bersama istrinya sedang menonton televisi, Safira melangkah mendekat. “Maaf pak, bu, mau saya buatkan teh atau kopi?” tanya Safira saat sudah mendekati suami istri tersebut. Suami istri tersebut menoleh sebentar, “Buatkan teh saja....” jawab Hartawan dengan dingin. “Baiklah bu, pak, akan saya buatkan....” Safira undur diri. Segera melangkah ke dapur, membuatkan teh dan membawanya kehadapan Hartawan dan Hanum. Safir mengendap-endap menaiki tangga menuju kamar Fikri, “Sial malah dikunci.... Seharusnya aku ambil saja semua kuncinya kemarin....” umpat Safira mencoba membuka paksa kamar Fikri. “Sedang apa kau disini?” suara seseorang yang terdengar tidak ramah, membuat Safira menghentikan aktivitasnya. Safira menghela napas, segera berbalik badan. “Maaf bu, saya mau mengambil pakaian kotor tuan Fikri untuk dicuci....” jawab Safira mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Surtinah menatap Safira dengan tatapan penuh curiga
Safira meninggalkan bapak tersebut, dan memelankan laju motornya menikmati pemandangan disekitar jalan. Cukup lama, Safira mengendarai motornya, sebelum akhirnya mata Safira terusik oleh suatu yang membuat hatinya teriris. “Bapak sedang mencari apa?” tanya Safira mendekati seorang bapak yang sedang mengais-ngais sampah. Terlihat dari wajahnya sudah tua, namun jika dilihat dari badannya, masih terlihat kuat. “Mungkin mencari sesuatu yang bisa di makan nak.” Jawab sang bapak dengan acuh. “Kenapa harus mencari di tong sampah pak?” tanya Safira tidak mengerti. “Mungkin mencari sesuatu yang bisa di makan nak." jawabnya dengan acuh. Seharusnya dia berkerja dan mencari makanan ditempat yang semestinya. Bukan ditong sampah. “Lalu, mau mencarinya kemana lagi nak?” tanyanya dengan nada terdengar kesal. Seolah-olah Safira tak melihat betapa hancurnya dirinya sekarang. “Apa bapak tidak memiliki uang untuk makan?” kembali Safira bertanya dengan polos, seakan-akan tak melihat tampilan sang ba