“Permisi....” ucap Safira mengetuk pintu. Fika menoleh menatap tajam Safira dan menghentikan aktivitas menerangkan pelajaran. “Ini lagi dalangnya....” sindir Fika kesal. “Boleh saya bertemu dengan Fikri Wijaya Kusuma bu?” tanya Safira dengan wajah sok polos. “Ada apa kau bertemu pembunuh itu?” tanya Fika dengan nada sinis. “Mau merencanakan pembunuhan dan perampokan bu....” jawab Safira asal, membuat Fika mendengus kesal. “Masuk saja.... jangan bikin onar....” sindir Fika lagi duduk dikursinya. “Kek ibu nggak pernah bikin onar aja....” balas Safira membuat Fika memutar mata kesal. “Ngomong apa kamu tadi?” Fika berdiri dan berjalan mendekati Safira. Fika nampak kesal dengan sikap Safira yang terus menjawab kata-katanya. “Tidak apa-apa bu.... Cuma ingin mengatakan, ibu itu sangat cantik, tapi akhlaknya buruk....” ucap Safira dengan berani, membuat Fika makin berang. “Jaga ya sikapmu, jika tidak ingin saya usir keluar....” ancam Fika. “Iya bu.... tadi juga ibu yang terus ngajak
Safira memasuki rumah Hartawan. Saat masuk dan mendapati Hartawan bersama istrinya sedang menonton televisi, Safira melangkah mendekat. “Maaf pak, bu, mau saya buatkan teh atau kopi?” tanya Safira saat sudah mendekati suami istri tersebut. Suami istri tersebut menoleh sebentar, “Buatkan teh saja....” jawab Hartawan dengan dingin. “Baiklah bu, pak, akan saya buatkan....” Safira undur diri. Segera melangkah ke dapur, membuatkan teh dan membawanya kehadapan Hartawan dan Hanum. Safir mengendap-endap menaiki tangga menuju kamar Fikri, “Sial malah dikunci.... Seharusnya aku ambil saja semua kuncinya kemarin....” umpat Safira mencoba membuka paksa kamar Fikri. “Sedang apa kau disini?” suara seseorang yang terdengar tidak ramah, membuat Safira menghentikan aktivitasnya. Safira menghela napas, segera berbalik badan. “Maaf bu, saya mau mengambil pakaian kotor tuan Fikri untuk dicuci....” jawab Safira mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Surtinah menatap Safira dengan tatapan penuh curiga
Safira meninggalkan bapak tersebut, dan memelankan laju motornya menikmati pemandangan disekitar jalan. Cukup lama, Safira mengendarai motornya, sebelum akhirnya mata Safira terusik oleh suatu yang membuat hatinya teriris. “Bapak sedang mencari apa?” tanya Safira mendekati seorang bapak yang sedang mengais-ngais sampah. Terlihat dari wajahnya sudah tua, namun jika dilihat dari badannya, masih terlihat kuat. “Mungkin mencari sesuatu yang bisa di makan nak.” Jawab sang bapak dengan acuh. “Kenapa harus mencari di tong sampah pak?” tanya Safira tidak mengerti. “Mungkin mencari sesuatu yang bisa di makan nak." jawabnya dengan acuh. Seharusnya dia berkerja dan mencari makanan ditempat yang semestinya. Bukan ditong sampah. “Lalu, mau mencarinya kemana lagi nak?” tanyanya dengan nada terdengar kesal. Seolah-olah Safira tak melihat betapa hancurnya dirinya sekarang. “Apa bapak tidak memiliki uang untuk makan?” kembali Safira bertanya dengan polos, seakan-akan tak melihat tampilan sang ba
“Aku tidak membawamu kemana-mana....” balas Safira meringis terdesak ke tembok. “Jangan berbohong, aku melihatmu, diruangan yang bukan kamar dan rumahku. Jawab!” teriak Fikri emosi. “Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.... Jangan asal menuduh orang. Kau memiliki bukti menuduhku seperti itu?” tanya Safira dengan nada menantang. Fikri sejenak terdiam memikirkan jawabannya. “Seharusnya kau berterima kasih padaku, telah membawamu pulang kerumah.... Kalau aku ingin berniat jahat padamu, pasti sudah kutinggalkan dirimu dijalan, atau pun kubunuh kau dan membuang mayatmu kelaut....” jelas Safira menatap dingin Fikri. “Atau jangan-jangan kau suka ya denganku? makanya kau suka sekali membuat masalah denganku?” ledek Safira menyeringai membuat Fikri melototkan matanya. “Apa kau merasa pantas untukku?” tanya Fikri dingin. “Apa kau merasa sangat cantik, seksi, kaya, sehingga kau merasa pantas menjadi pendamping ku?” bentak Fikri tidak suka dengan kata-kata yang dilontarkan Safira. “
Keduanya berhenti berdebat, saat Hanum berdehem beberapa kali, membuat keduanya diam. “Apa yang sedang kalian lakukan disini?” tanya Hanum dingin. “Dia Ma, tadi mencoba menyekapku disebuah rumah....” jelas Fikri kepada mamanya, yang hanya mendengus kasar mendengar penjelasan Fikri. “Bukan bu, saya membawanya dan mengendongnya sampai rumah, karena tuan Fikri tertidur dengan pulas....” potong Safira cepat. “Harusnya kau berterima kasih padanya Fik.... Kenapa kau malah menuduhnya?” tanya Hanum dengan tatapan tajam, dan selanjutnya Fikri mendapat tamparan dari sang mama, membuat Safira sempat terperanjat kaget. “Bisa tidak, kau tidak harus berbohong dan membuat kenakalan? Seharusnya kau belajar dikamarmu, bukan malah disini mengobrol dengan ART.” ketus Hanum menatap Fikri dan Safira dengan tajam. “Tapi, memang dia berniat jahat pada keluarga kita ma.... Dia sedang merencanakan sesuatu untuk menghancurkan keluarga kita....” jelas Fikri mencoba menyakinkan mamanya. “Kau yang telah men
Saat malam tiba, setelah membereskan makan malam, Safira langsung masuk ke dalam kamarnya, membuka laptopnya. Sunyi, itu yang dia dengar. “Ada nggak sih manusia didalam sana?” celutuk Safira kesal. Safira setia duduk diam mendengarkan melalui earphonenya, apa yang terjadi dikamar Fikri. Menit berikutnya, dia hanya mendengar petikan gitar dan perlahan-lahan terdengar sayup-sayup orang bernyanyi. Lagu Fiersa Besari: Kau dan aku sepasang orang asing Yang membawa kisah masing-masing Bertemu karena sakit berbeda…..“ terdengar Fikri menyanyikan lirik demi lirik dengan wajah sangat menghayati isi lagu. Sedangkan Safira hanya menghela napas pendek, saat lirik demi lirik didengarnya dengan cukup jelas. Berjuang untuk sembuh yang sama Aku tahu mereka berdusta Kita tidak baik-baik saja Tapi dengan segenggam harapan…. Fikri menyunggingkan senyum, sesekali matanya mengadah ke langit-langit kamar . Hatinya sakit, dia menghela napas lelah. Tubuh ini mencoba bertahan Di napas yang tersisa
Safira langsung keluar dari kelas, di perjalanan Safira menghentikan motornya disebuah rumah. Safira diam mengamati yang terjadi di dalam rumah tersebut. “Angkat tangan dan tiarap! Kami polisi!” teriak para polisi menodongkan senjata. Belasan orang yang sedang berpesta sesaat menoleh kea rah polisi. “Selamat datang tikus-tikus berseragam,” ujar salah satu dari belasan orang yang sedang berpesta minuman keras dan narkoba, jenis sabu tersebut tanpa rasa takut. Tidak lain adalah seorang bandar yang terkenal dengan kejam dan menyuap siapa saja yang berusaha menghalangi perdagangan haramnya. “Jangan bergerak! Tiarap sekarang! Kalian kami tangkap!” “Hmmm, kalian yakin bisa menangkap kami, tikus-tikus berseragam?” ledek sang bandar menyulut rokoknya lalu menghembuskan asapnya dengan angkuh. “Setelah menangkap kami, apa yang akan kalian lakukan wahai tikus-tuikus yang di perbudak?” lanjutnya lagi dengan santai, melempar rokoknya kelantai dan menginjak rokok tersebut hingga padam. Sang b
Sesampainya di kantor polisi, beberapa polisi keluar membawa para tahan masuk ke jeruji. Haikal mengerutkan keningnya saat melihat rekan sesama polisinya juga di borgol. “Kalian harus menjelaskan semuanya? Apa yang terjadi?” tanya Haikal seorang Kapolres Rohil. “Mereka ini pengkhianat pak, mereka berpihak dengan sang bandar. Mereka juga hampir menembak saya, jika Fira tidak datang dan menyelamatkan saya.” jelas Abbas jujur. Haikal nampak menghela napas. “Bisa kamu ceritakan bagaimana anda bisa ada di lokasi kejadian?” tanya polisi mengintrogasi Safira. “Saya tidak sengaja melewati bangunan tempat pak Abbas sedang menangkap tersangka…. Saya melewati tempat tersebut, karena baru saja pulang mengantar tuan Fikri ke sekolah….” jawab Safira dengan tenang. “Tapi, kamu tidak memiliki wewenang untuk ikut menangkap tersangka, karena tidak ada perintah dari atasanmu…. Kenapa kau melakukannya? Mencoba sok pintar dan jagoan, agar kamu terlihat hebat dimata semua orang?” polisi yang mengintrog