Safira langsung keluar dari kelas, di perjalanan Safira menghentikan motornya disebuah rumah. Safira diam mengamati yang terjadi di dalam rumah tersebut. “Angkat tangan dan tiarap! Kami polisi!” teriak para polisi menodongkan senjata. Belasan orang yang sedang berpesta sesaat menoleh kea rah polisi. “Selamat datang tikus-tikus berseragam,” ujar salah satu dari belasan orang yang sedang berpesta minuman keras dan narkoba, jenis sabu tersebut tanpa rasa takut. Tidak lain adalah seorang bandar yang terkenal dengan kejam dan menyuap siapa saja yang berusaha menghalangi perdagangan haramnya. “Jangan bergerak! Tiarap sekarang! Kalian kami tangkap!” “Hmmm, kalian yakin bisa menangkap kami, tikus-tikus berseragam?” ledek sang bandar menyulut rokoknya lalu menghembuskan asapnya dengan angkuh. “Setelah menangkap kami, apa yang akan kalian lakukan wahai tikus-tuikus yang di perbudak?” lanjutnya lagi dengan santai, melempar rokoknya kelantai dan menginjak rokok tersebut hingga padam. Sang b
Sesampainya di kantor polisi, beberapa polisi keluar membawa para tahan masuk ke jeruji. Haikal mengerutkan keningnya saat melihat rekan sesama polisinya juga di borgol. “Kalian harus menjelaskan semuanya? Apa yang terjadi?” tanya Haikal seorang Kapolres Rohil. “Mereka ini pengkhianat pak, mereka berpihak dengan sang bandar. Mereka juga hampir menembak saya, jika Fira tidak datang dan menyelamatkan saya.” jelas Abbas jujur. Haikal nampak menghela napas. “Bisa kamu ceritakan bagaimana anda bisa ada di lokasi kejadian?” tanya polisi mengintrogasi Safira. “Saya tidak sengaja melewati bangunan tempat pak Abbas sedang menangkap tersangka…. Saya melewati tempat tersebut, karena baru saja pulang mengantar tuan Fikri ke sekolah….” jawab Safira dengan tenang. “Tapi, kamu tidak memiliki wewenang untuk ikut menangkap tersangka, karena tidak ada perintah dari atasanmu…. Kenapa kau melakukannya? Mencoba sok pintar dan jagoan, agar kamu terlihat hebat dimata semua orang?” polisi yang mengintrog
Safira pulang dari kantor polisi dengan kesal. Sesekali menghela napas panjang, motornya melaju dengan kecepatan sedang. “Begitu mirisnya keadilan, semuanya bisa dibeli dengan uang!” Safira menghembus napas lelah. Dua kali dia gagal memecahkan sebuah kasus, hanya karena pengkhiantan orang dalam. Tanpa disadari Safira, sebuah mobil mendekati motor yang dikendarai Safira dan menyerempetnya. Motor Safira seketika hilang kendali dan terjatuh. Safira sangat geram, langsung berdiri memaki sang pengendara mobil. Seorang pria bersetelan jas hitam mendekati Safira dengan tersenyum dingin dan menarik paksa Safira masuk kedalam mobil. Safira berontak menendang kaki pria tersebut dan menghajarnya. Namun satu orang pria lagi membekab mulutnya dengan kain dan berusaha mendorong Safira masuk kedalam mobil. Sesampainya didalam mobil Safira memicingkan matanya saat melihat seorang pria yang duduk manis disampingnya. “Kau….” Safira nampak kesal saat melihat seorang pria yang duduk disampingnya dan
Safira keluar dari Club dengan wajah dingin. Namun langkahnya terhenti saat seseorang menarik tangan safira. Safira menoleh dan melihat seorang pria dengan keadaan mabuk berat menatapi tubuhnya dengan mesum. "Buru-buru amat, Cantik. Temenin abang dulu yuk." ujar laki-laki itu mesum meraba-raba badannya. Safira menyentakkan tangan pria tersebut, tidak terima dengan perlakuan mesum tersebut. "Maaf, saya harus segera pulang." Safira berujar tegas menahan rasa marah. Segera melangah menjauhi pria itu. "Jangan buru-buru dong, cantik. Saya akan bayar mahal jika kamu mau menemani saya malam ini. Berapa pun kamu minta, akan saya bayar." Laki-laki itu membelai wajah Safira. Terlihat dari kilatan matanya, sudah dipenuhi birahi, ditambah lagi pria itu dalam keadaan mabuk, makin membuatnya tak terkendali. "Maaf, maksud anda apa ya? Saya tidak mengerti." Safira menepis tangan laki-laki itu. Matanya tajam menatap sang pria, rasanya ingin sekali mematahkan tulangnya. Namun dia harus sabar, dari p
Saat sedang sibuk mengepel lantai, mata Safira tertuju pada kamar Fikri. Perlahan Safira mendekati kamar tersebut, dan memutar knop pintu yang tidak tertutup dengan rapat. Safira kembali menutup pintu kamar dan bergegas mengambil kunci dikantong celananya. Safira mulai membuka lemari dan memeriksa isi didalamnya. Beralih pada membuka laci meja belajar yang terkunci, dan memeriksa ruang tersebut dengan seksama. Namun yang dicari tidak ditemuinya. Mata Safira tertuju pada laptop diatas meja belajar. Satu-satunya yang belum dapat dia periksa adalah laptop Fikri. Mungkin rahasianya ada didalam laptop itu semua. Saat hendak membukanya, kembali Safira mengumpat dengan kesal. Laptop tersebut terkunci. Saat sedang sibuk mengotak atik laptop memikirkan kata sandinya, terdengar suara langkah kaki mendekati kamar Fikri. Safira segera bersembunyi dibawah ranjang. Fikri melangkah masuk kedalam kamar dan duduk didepan meja belajarnya. Saat Fikri sudah mengetik kata sandi laptopnya, dengan cepat S
Rumah bagiku, hanyalah persinggahan dikala ku lelah menghadapi hiruk pikuknya dunia. Rumah tak mampu membuatku merasa aman dan mendapatkan kedamaian. Rumah yang seharusnya dijadikan tempat berpulang saat jiwa ini lelah, hanyalah neraka yang mampu membakar jiwa ini menjadi abu. Bagaimana rasanya hidup bersama orang tua yang selalu membencimu? Kisah ini bermula saat diriku masih berumur lima tahun. Semua orang membenciku dan mengangapku monster kecil. Masih ku ingat pada suatu pagi, mamaku mengintrogasiku seperti seorang penjahat. “Kemana saja kau? Bagaimana kau bisa masuk rumah? Sedangkan pintunya terkunci?” tanya Hanum dengan dingin, menjatuhkan sendoknya dipiring dengan cukup keras, saat merasakan kehadiran Fikri. Fikri yang hendak duduk dikursi pun tersenyum simpul “Seperti biasa ma, aku memanjat jendela kamarku. Darimana mama tahu kalau pintunya dikunci? Apakah mama yang melakukannya? Menyuruh bu Surtinah mengunci pintu, agar aku tidak bisa masuk?” tanyaku dengan datar. Pertanyaan
Safira menghela napas lelah membaca bait demi bait tulisan diary tersebut. Safira menutup laptopnya, dan segera keluar dari kamarnya. “Mau kemana?” hadang Safira saat melihat Fikri keluar dari kamarnya. “Bukan urusanmu.” jawabnya acuh. “Akan memanaskan motor,” ucap Safira meninggalkan Fikri yang hanya bisa mendengus sebal. Dia harus bisa menghindari Safira, dia tidak ingin terlalu dekat dengan wanita itu. Fikri tidak ingin masalalu nya terulang lagi. Bukankah menjaga lebih baik dari pada merusak. Fikri melangkah keluar dan dilihatnya Safira sedang memanaskan motornya. Fikri mendekati Safira, dengan kasar merampas kunci motor dan segera hendak menaiki motor tersebut, namun dengan gerakan gesit, Safira menarik baju Fikri. “Kau tidak akan bisa pergi tanpa diriku. Apa kau ingin disiksa terus oleh ibumu? Apa kau sangat suka ya disiksa oleh ibumu?” ujar Safira ketus. “Bukan urusanmu.” jawab Fikri dingin. “Akan jadi urusanku jika menyangkut dirimu. Apalagi aku sudah ditugaskan untuk m
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Safira disebrang telepon. “Silahkan….” jawab Abbas. “Boleh aku minta alamat rumah bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” “Akan saya kirimkan…..” jawab Abbas. Saat sudah mendapatkan alamat Zivana, Safira segera keluar dari rumah pribadi Fikri. Motornya berhenti disebuah rumah dan mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang wanita keluar membukakan pintu. “Maaf, bolehkah saya bertemu dengan bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Safira ramah. “Maaf bu Zivana tidak ada dirumah…. Bu Zivana belum pulang.” jawab sang Art. “Kapan ya pulangnya?” “Mungkin sore ini, kalau tidak lembur….” “Bolehkah saya masuk dan menunggu bu Zivana? Saya ingin sekali bertemu dengannya.” sang Art hanya menganguk perlahan dan menyilahkan Safira masuk. Sesaat setelah masuk, sang Art nampak menelpon seseorang. Safira mengamati seluruh ruangan tersebut. Dia melihat foto keluarga, Safira mengamati foto tersebut dengan seksama. Safira duduk disofa panjang. Ta