Saat sedang sibuk mengepel lantai, mata Safira tertuju pada kamar Fikri. Perlahan Safira mendekati kamar tersebut, dan memutar knop pintu yang tidak tertutup dengan rapat. Safira kembali menutup pintu kamar dan bergegas mengambil kunci dikantong celananya. Safira mulai membuka lemari dan memeriksa isi didalamnya. Beralih pada membuka laci meja belajar yang terkunci, dan memeriksa ruang tersebut dengan seksama. Namun yang dicari tidak ditemuinya. Mata Safira tertuju pada laptop diatas meja belajar. Satu-satunya yang belum dapat dia periksa adalah laptop Fikri. Mungkin rahasianya ada didalam laptop itu semua. Saat hendak membukanya, kembali Safira mengumpat dengan kesal. Laptop tersebut terkunci. Saat sedang sibuk mengotak atik laptop memikirkan kata sandinya, terdengar suara langkah kaki mendekati kamar Fikri. Safira segera bersembunyi dibawah ranjang. Fikri melangkah masuk kedalam kamar dan duduk didepan meja belajarnya. Saat Fikri sudah mengetik kata sandi laptopnya, dengan cepat S
Rumah bagiku, hanyalah persinggahan dikala ku lelah menghadapi hiruk pikuknya dunia. Rumah tak mampu membuatku merasa aman dan mendapatkan kedamaian. Rumah yang seharusnya dijadikan tempat berpulang saat jiwa ini lelah, hanyalah neraka yang mampu membakar jiwa ini menjadi abu. Bagaimana rasanya hidup bersama orang tua yang selalu membencimu? Kisah ini bermula saat diriku masih berumur lima tahun. Semua orang membenciku dan mengangapku monster kecil. Masih ku ingat pada suatu pagi, mamaku mengintrogasiku seperti seorang penjahat. “Kemana saja kau? Bagaimana kau bisa masuk rumah? Sedangkan pintunya terkunci?” tanya Hanum dengan dingin, menjatuhkan sendoknya dipiring dengan cukup keras, saat merasakan kehadiran Fikri. Fikri yang hendak duduk dikursi pun tersenyum simpul “Seperti biasa ma, aku memanjat jendela kamarku. Darimana mama tahu kalau pintunya dikunci? Apakah mama yang melakukannya? Menyuruh bu Surtinah mengunci pintu, agar aku tidak bisa masuk?” tanyaku dengan datar. Pertanyaan
Safira menghela napas lelah membaca bait demi bait tulisan diary tersebut. Safira menutup laptopnya, dan segera keluar dari kamarnya. “Mau kemana?” hadang Safira saat melihat Fikri keluar dari kamarnya. “Bukan urusanmu.” jawabnya acuh. “Akan memanaskan motor,” ucap Safira meninggalkan Fikri yang hanya bisa mendengus sebal. Dia harus bisa menghindari Safira, dia tidak ingin terlalu dekat dengan wanita itu. Fikri tidak ingin masalalu nya terulang lagi. Bukankah menjaga lebih baik dari pada merusak. Fikri melangkah keluar dan dilihatnya Safira sedang memanaskan motornya. Fikri mendekati Safira, dengan kasar merampas kunci motor dan segera hendak menaiki motor tersebut, namun dengan gerakan gesit, Safira menarik baju Fikri. “Kau tidak akan bisa pergi tanpa diriku. Apa kau ingin disiksa terus oleh ibumu? Apa kau sangat suka ya disiksa oleh ibumu?” ujar Safira ketus. “Bukan urusanmu.” jawab Fikri dingin. “Akan jadi urusanku jika menyangkut dirimu. Apalagi aku sudah ditugaskan untuk m
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Safira disebrang telepon. “Silahkan….” jawab Abbas. “Boleh aku minta alamat rumah bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” “Akan saya kirimkan…..” jawab Abbas. Saat sudah mendapatkan alamat Zivana, Safira segera keluar dari rumah pribadi Fikri. Motornya berhenti disebuah rumah dan mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang wanita keluar membukakan pintu. “Maaf, bolehkah saya bertemu dengan bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Safira ramah. “Maaf bu Zivana tidak ada dirumah…. Bu Zivana belum pulang.” jawab sang Art. “Kapan ya pulangnya?” “Mungkin sore ini, kalau tidak lembur….” “Bolehkah saya masuk dan menunggu bu Zivana? Saya ingin sekali bertemu dengannya.” sang Art hanya menganguk perlahan dan menyilahkan Safira masuk. Sesaat setelah masuk, sang Art nampak menelpon seseorang. Safira mengamati seluruh ruangan tersebut. Dia melihat foto keluarga, Safira mengamati foto tersebut dengan seksama. Safira duduk disofa panjang. Ta
“Benarkah kamu Safira Ramadhani?” tanya seseorang membuat Safira dan Candra menoleh kesumber suara. “Ya benar.” jawab Safira menyunggingkan senyum tipis. “Ada keperluan apa anda mendatangi kediaman saya?” wanita tersebut melangkah masuk kedalam ruangan. “Hanya ingin sedikit bertanya tentang kematian yang dialami oleh suami anda.” jelas Safira dingin. “Bukankah semuanya sudah saya ceritakan pada pak Haikal? Kenapa anda sampai mendatangi kediaman saya dan mempertanyakan hal ini kepada putra saya? Bisakah anda tidak melibatkan putra saya dalam hal ini?” tanya Zivana dengan dingin. “Saya hanya memastikan saja, bahwa bukan anda dan putra anda pelaku dari pembunuhan pak Bagas. Semua orang bisa saja tersangka!” “Hmmm, jadi anda mencurigakan saya dan putra saya yang melakukan pembunuhan itu? Apa yang anda inginkan sebenarnya?” “Bisakah saya memeriksa ruang kerja pak Bagas? Mungkin saja menemukan sesuatu yang bisa menjerat tersangka.” Zivana menghela napas pendek, “Ikut saya!” ujarnya k
Safira keluar dari rumah tersebut dengan menaiki motor dengan kecepatan sedang. Ditengah jalan matanya terusik, demi melihat seorang gadis tengah dipaksa memberikan uangnya kepada beberapa lelaki yang bernampilan seperti preman. Di dekatinya beberapa lelaki itu, mencoba untuk merampas kembali uang yang sudah ditangan mereka. Namun dirinya gagal untuk merebut uang itu, beberapa lelaki itu malah memukulnya. Safira tak mau kalah membalas mereka dengan perlawanan yang lebih beringas dari apa yang mereka lakukan barusan. Dan akhirnya Safira mampu memukul mundur para pria itu. Mereka berlari menyelamatkan diri masing-masing meninggalkan Safira dan seorang gadis di sampingnya. “Terima kasih udah mau membantuku. Apa kau baik-baik saja?” Safira hanya menganguk perlahan. Keduanya menjerit saat beberapa peluru menyerang keduanya, dengan gerakan cepat Safira menarik tangan sang gadis menjauhi peluru yang membabi buta menyerang mereka. Safira dan sang gadis lari pontang panting menghindari setiap
Safira melangkah menjauhi kamar Fikri, dan bersandar disofa dengan wajah lelah. Dahinya dan pundaknya terasa nyeri. Safira berusaha menglap darah yang mengucur dari dahinya dengan ujung lengan bajunya. Safira melirik kearah Fikri saat pria itu memberikan kotak p3k pada Safira. Safira mengambilnya dalam diam dan mulai mengobati luka didahinya. Fikri nampak mengerutkan keningnya saat melihat noda darah tepat dibelakang tempat Safira bersandar. Fikri menarik pundak Safira untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi. Betapa terkejutnya dirinya saat melihat pundak Safira mengeluarkan banyak darah. Tanpa berkata sedikit pun, Fikri menyandarkan kepala Safira disofa, dan berusaha melihat luka apa yang sedang dialami Safira. Setelah diketahuinya luka yang dialami oleh Safira adalah luka tembak, Fikri segera mengambil sebuah pinset untuk mengeluarkan peluru yang bersarang dipundak Safira. Sebelum mengeluarkan peluru tersebut, Fikri mengunting baju Safira dibagian tertembak, agar memudahkan menge
Sesampainya dirumah, benar saja apa yang dipikirkan oleh Fikri, mamanya akan mengomel karena dirinya dan Safira tidak pulang kerumah seharian. Sebuah tamparan cukup keras telah mampir dengan mulus kewajah Fikri. “Kau apakan Safira sehingga dahinya terluka?” bentak sang mama. Fikri hanya mendengus kesal. Percuma dia jelaskan semuanya, sudah pasti mamanya tidak akan mempercayainya dan akan memukulnya lagi. “Katakan!” teriak sang mama. “Maaf, bu…. Kepala saya terbentur saat hendak masuk kamar mandi…..” jelas Safira perlahan. “Bohong!” bentak Hanum. Kembali tamparan mengenai wajah Fikri lagi. Hanum menarik Fikri dengan kasar, sedangkan saat hendak mencegat Hanum untuk melakukan sesuatu pada Fikri, tangan kekar seseorang menghentikan Safira. “Jangan campuri urusan seorang anak dan ibunya!” peringat suara itu dengan tegas. Safira menoleh kearah sumber suara tersebut. “Maaf pak, seharusnya kalian sebagai orang tua tidak pantas selalu memukuli tuan Fikri saat melakukan kesalahan maupun