Satu bulan yang lalu…. “Aku ingin dia dipecat, atau hari ini terakhir rumah makanmu berdiri.” ancam Fikri menatap dingin Heru pemilik rumah makan Buana. Safira nampak keberatan dengan sikap Fikri, yang menurutnya berlebihan. “Tidak bisa begitu dong….” protes Safira menatap Fikri kesal. “Apa hakmu memerintahkan pak Heru untuk memecatku? Kau bukan pemilik rumah makan ini? Biarkan pak Heru yang memutuskannya.” jelas Safira semakin kesal, saat Fikri hanya menyeringai menanggapi kata-katanya. Safira tidak tahu, siapa sebenarnya yang sedang dia hadapi, Fikri Wijaya Kusuma, putra tunggal Hartawan Wijaya Kusuma, yang terkenal dengan kekayaannya dan disegani banyak orang. Hartawan Wijaya Kusuma juga seorang DPRD di Kabupaten Rokan Hilir. “Kamu di pecat Ra…. Kami tidak membutuhkan karyawan yang ceroboh, suka membuat keributan, dan yang terpenting hari ini kau telah membuatku rugi. Silahkan ganti seragammu dan segera keluar dari rumah makan ku….” ujar Heru dingin. Saat Safira kembali ingin
Motornya terhenti disebuah rumah yang terlihat besar dan mewah. Matanya menatap dingin rumah tersebut. Safira menggunakan masker saat mengawasi rumah itu, dan melihat sebuah mobil keluar dari rumah tersebut. Safira segera bersembunyi menjauhi jalan yang akan dilewati mobil tersebut. Dari kejauhan Safira menguntit mobil tersebut, dan berhenti di indomaret. Sepasang suami istri keluar dari dalam mobil dan memasuki indomaret. Keduanya Nampak sibuk memilih barang barang yang hendak dibeli. Safira juga berpura memilih beberapa mie instan, dan dari ujung matanya terus mengawasi pergerakan dua suami istri tersebut. Terlihat olehnya, Hartawan Wijaya Kusuma mengobrol dengan sang istri, setelah itu meninggalkan istrinya. Saat melakukan pembayaran, Safira perlahan berjalan mendekati Hanum Wijaya Kusuma, dan sengaja membuka maskernya. Saat mendekati Hanum, seorang pria menabrak Hanum dan barang belanjaannya berjatuhan dilantai. Safira segera memungut belanjaan tersebut, dan memberikannya pada
16 tahun yang lalu…. “Kita akan merawatnya….” ucap Ramadhani kemudian, mengendong box bayi tersebut. “Aku tidak mau merawatnya….” jawab Surtinah melihat jijik sang bayi yang dipenuhi penyakit kulit. “Kenapa? Ini adalah anugrah yang diberikan Tuhan…. Tuhan menginginkan kita memiliki anak dengan cara lain….” jawab Ramadhani tersenyum bahagia. Dia sangat bersyukur menemukan bayi tersebut, dan mereka akan memiliki anak. “Aku tidak mau memiliki anak yang berpenyakitan seperti itu…. Bau tubuhnya juga sangat busuk….” jawab Surtinah masih tidak mau merawat bayi tersebut. Wajahnya terlihat kesal, saat sang suami tidak mau mendengarkan kata-katanya. “Tenang Sur…. kita pasti bisa mengatasinya…. Uang kita kan banyak, apa salahnya kita sedekahkan untuk kesembuhannya….” “Orang tuanya saja membuangnya, kenapa kau malah mau merawatnya?” “Saat ada orang yang jahat membuang sesuatu yang berharga, maka akan nada juga orang baik yang akan memungutnya seperti berlian.” “Kau saja, aku tidak mau….”
Semua wanita yang ada dirumah makan tersebut, terpesona melihat keseksian tubuh Fikri, yang bisa dikatakan, sempurna. Sedangkan Safira hanya bisa melonggo, terkejut mendapati baju pria tersebut menutupi wajahnya dengan sempurna. “Kau harus mencucinya hingga bersih…. Kau harus bertanggungjawab dengan apa yang telah kau perbuat…..” Safira menghela napas panjang dengan kesal. Menarik baju tersebut dari wajahnya, dan kembali melempar baju tersebut ke wajah Fikri. Safira tidak terima diperlakukan seperti itu. Fikri terus saja menatap mata Safira dengan tajam. Dia sangat membenci wanita, lalu kenapa wanita yang selalu membuatnya kesal, berada dirumahnya? “Aku bukan pembantumu, aku tidak sudi mencucinya….” bentak Safira kesal. Saking kesalnya, kembali tinjunya menghantam wajah tampan Fikri Wijaya Kusuma, dan saat untuk kedua kalinya, Safira hendak menyerang, sahabat Fikri langsung melerainya dan menjauhi dua manusia yang selalu saja bertengkar saat bertemu. Fikri menatap dingin Safira,
Fikri duduk disofa, sedang memakaikan sepatu sekolahnya, “Mana kunci motormu?” mendengar suara dingin tersebut, Fikri langsung menoleh kearah suara. Fikri tersenyum dingin, melihat ibunya memasang wajah sinis. “Mana kunci motormu? Berikan pada saya.” sekali lagi Hanum memberi perintah. “Untuk apa ma?” tanyanya mengerutkan keningnya. “Berikan saja…. Itu perintah….” ketus Hanum dingin. Fikri langsung mengambil kunci motor dari kantong celananya, dan memberikan pada Hanum. “Jika mama mengambilnya, lalu Fikri kesekolah pakai apa ma?” keluh Fikri, membayangkan jika dia harus berjalan kaki disekolah, membuatnya semakin kesal. “Mulai sekarang, kau tidak boleh lagi kesekolah pakai motor. Kau harus diantar jemput oleh Safira…. Mulai sekarang, kau dilarang menyetir sendirian, tanpa ditemani Safira….” jelas sang ibu dingin. Setiap kata yang Hanum keluarkan penuh penekanan dan intimidasi terhadap anaknya. Fikri menghela napas berat, meninggalkan sang ibu tanpa menyalaminya terlebih dahulu.
3 tahun yang lalu.... Fikri yang memakai seragam SMP, berlari menuju meja makan. Melihat Fikri yang duduk dikursinya, seketika ayah dan ibunya beranjak dari duduknya. “Kita makan diluar saja...” ujar Hanum pada suaminya. Kemudian mereka beranjak meninggalkan ruang makan. Fikri yang tadi sangat bersemangat menyendok nasi kepiringnya, langsung terdiam, melihat kedua orang tuanya meninggalkan meja makan karena kehadiran dirinya, padahal makanan dipiring mereka, belum habis. Fikri beranjak dari duduknya. “Mau kemana tuan? Makan dulu, ibu sudah masak makanan favorit tuan....” ujar Surtinah tersenyum ramah pada tuannya. “Nggak jadi lah bu.... mama dan papa, nggak jadi makan karena Fikri.... jadi, sebagai hukumannya, Fikri juga nggak boleh sarapan, karena papa dan mama nggak sarapan....” Fikri berlari masuk ke dalam kamarnya, meraih tasnya. “Bu.... uang jajan?” pinta Fikri. Surtinah yang memegang uang keperluan tuan kecilnya itu, langsung memberikan uang pada anak majikannya itu. “Oh
Ada beberapa yang merumpi tanpa tahu masalah sebenarnya, “Tidak usah mengunjingku! Kalian tidak tahu apa yang dia lakukan, sehingga membuatku semarah ini.... apa kalian tidak ingin bertanya, sebelum kalian menyebarkan gosip? Saya tandai wajah kalian semua ya.... siap-siap kalian, juga akan menjadi target selanjutnya....” dengan gerakan cepat, Fikri membuka sepatunya. Lalu melemparnya dengan kasar ke arah wanita yang sedang mengunjingnya. Membuat para wanita tersebut terteriak kaget. “Nggak usah teriak, sakit kuping saya dengarnya.... bawa kemari sepatu saya!” perintah Fikri dengan dingin. Para wanita itu, hanya diam. “Bawa kemari sepatuku!” teriak Fikri, membuat satu wanita tersebut segera mengambil sepatu tersebut dan memberikan pada Fikri. Fikri menatapnya dengan sinis. “Pakaikan ke kakiku!” perintah Fikri tersenyum dingin. Dia sangat senang membuat orang takut dan tunduk padanya. Wanita tersebut dengan tangan gemetar memakai sepatu tersebut dikaki Fikri. “Peringatan untuk sem
Fikri memasuki rumah, dan dia sangat kaget, saat membuka pintu mendapat tamparan dari sang mama. Fikri memegang pipinya yang ditampar dan tersenyum melihat wajah kesal dari mamanya. “Ada apa bu?” tanya Fikri tersenyum. “Menurutmu apa kesalahan yang kau perbuat sehingga kau ditampar?” bentak Hanum kesal dan mendaratkan lagi satu tamparan. “Fikri tidak tahu kesalahan apa yang Fikri perbuat ma? Karena terlalu banyak kesalahan yang Fikri lakukan, sehingga membuat putih menjadi hitam….” jawab Fikri dengan tenang. “Sudah saya bilang, kau harus di antar jemput oleh Safira. Kenapa kau pulang sendirian? Dimana Safira? Apa kau meninggalkannya ditengah jalan hah?” Hanum membenturkan kepala Fikri ke dinding, membuat pria tersebut meringis. Sekali lagi tamparan mendarat di wajah pria itu. Fikri hanya diam saat sang mama melampiaskan kekesalannya. Hanya sesekali jika dia telah muak, dia memberontak. Hanum menarik dengan kasar tangan Fikri masuk kedalam kamarnya. Sedangkan Safira yang tertidur