“Apa? Jadi dokter setampan dan semapan kamu pernah ditolak perempaun juga? Padahal pas di rumah sakit, banyak loh gadis-gadis yang ngejar kamu,” ledek Raka.“Jangankan ditolak, aku sudah cerita kalau bahkan pernah ditinggal pas mau nikah. Haduh, memang kalau sudah tak jodoh, ada saja halangannnya,” kekehku.“Lalu bagaiman dengan orang tuamu? Pasti mereka terpukul dengan kejadian itu.”“Ya, begitulah, Bro. Gadis itu sebenarnya masih keluarga jauh kami. karena Emak dan Ayah udah pengin sekali aku menikah, mereka merencanakan semuanya. Dan kamu tahu apa mahar yang dilarikan gadis itu?”Raka menggeleng. “Palingan uang dan emas, kan? Kena berapa? Lima puluh juta atau seratus juta?” cecar Raka.“Sertifikat sawah dan emas tabungan Emak. Uang yang sering kukirim untuk mereka sebagian ditabung dengan membeli emas. Eh, rupanya digondol calon menantunya yang gagal,” lirihku.Masalah finansial tak begitu membebani pikiranku, tapi semenjak kejadian itu Emak dan Ayah sakit-sakitan karena merasa be
“Kalau saja kamu datang sebelum Alina kenal Delon, pasti dia tak perlu merasakan bagaimana menggenggam luka. Kamu juga tak perlu merasakan ditipu saat menjelang pernikahan,” kekeh Raka. Aku tersenyum tipis. Andai-andai adalah perbuatan setan. Yang telah lalu tidak bisa kembali.“Maut, rejeki dan jodoh itu adalah Rahasia Allah. Begitu juga dengan masa depan.”“Tapi kamu memang pecundang sih. Suka sama adikku sejak masa puber. Kayak gak ada gadis seumuran kita saja. Dan setelah gadis itu dewasa, eh malah dibiarin jatuh ke pelukan orang lain. Iya kalau pelukan itu membuat nyaman, kamu bisa berdalih kalau akan ikut bahagia jika dia bahagia. Cinta itu harus diperjuangkan, Bro.”“Iya, makanya kamu bantuin dong. Dulu aku ditolak soalnya.”Raka tertawa terbahak-bahak. “Ya jelas ditolaklah. Ngomong pas adikku masih sakit, lewat surat pula. Astaga, gak zaman lagi. Kalau saja kamu curhat padaku saat berkunjung ke rumah waktu itu, pasti aku terus rekomendasikan kamu sebagai calon suami idaman.”A
Aku yakin, Bu Rahimah juga mengajarkan putrinya hal serupa, menghormati keluarga suami. Aku ingin kelak memiliki istri yang memuliakan kedua orang tuaku dan juga Om serta Tante yang banyak berkontribusi atas keberhasilanku saat ini. Sempat juga berkenalan denagn beberapa gadis kota, tapi belum apa-apa mereka sudah banyak mengatur, termasuk tidak boleh memberikan uang pada keluargaku lagi karena istri harus prioritas.Astaghfirulloh. Aku bekerja keras untuk kebahagian keluarga besar serta istri dan anakku kelak. Bagaimana bisa aku memilih salah satu di antaranya? Tentu keduanya pihak itu sama-sama berharga.“Ibu dan Sri mau ke pesta nikahan sebentar. Gak apa-apa kan kalau Rian ditinggal sama Bapak?” tanya Bu Rahimah.“Gak apa-apa, Bu.” Aku jadi canggung karena mengingat ibunya Alina yang memberikan surat tadi pada Raka. Pasti sudah dibaca juga.“Aku juga harus siap-siap nih, Rian. Bapak lagi sakit dan aku yang harus gantikan. Kalau bisa, nanti aku bakalan cepat pulang kok.”“Iya.”Aku
“Kok balik lagi, Alin? Kamu gak jadi pergi?”“Kadoku ketinggalan, Pak. Motornya kuparkir di tepi jalan, gak masuk halaman. Tapi apa maksud restu itu, Pak?”Wajah Alina kelihatan tak bersahabat. Aku dan bapaknya Alina jadi berpandangan. “Ini, ada yang mau dikatakan Rian sama kamu. Duduklah dulu.”Alina duduk di dekat bapaknya, tapi menghindari berhadapan denganku. Aku meremas-remas tangan, tak tahu mau bilang apa. Apa tak bisa aku mengungkapkannya berdua saja? Tapi sepertinya ini momen yang pas karena bapaknay juga sudah tahu tujuanku.Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “A-aku mau ....”Segala kosa kata mendadak hilang. Beginikah rasanya jatuh cinta? Apa gugup selalu mendera jika ingin mengungkapkan perasaan untuk dibawa ke jenjang yang serius?“Aku mau pergi dulu, Pak. Nanti Ibu dan Kak Sri lama nungguin.”Wanita bergamis warna hijau kombinasi polkadot kuning itu berdiri dan masuk ke kamar paling depan, lalu keluar lagi membawa plastik warna putih. Aku gagal mengungk
“Aamiin aamiin. Kami doakan agar benar-benar kejadian. Kalian serasi banget,” balas wanita itu dengan wajah ceria.“Lisda, awas saja suaminya kena pecat,” cetus Alina. Seketika semuanya hening, hanya anak-anak saja yang masih terus mengobrol.Aku tidak bisa menebak pikiran Alina sehingga memilih diam saja. Mau kemana juga aku segan bertanya. Hingga hampir satu jam perjalanan, kami sampai ke sebuah waterpark yang tidak begitu ramai. “Cici dan Abang Ahmad mau mandi gak?” tanya Alina.Dua bocah itu menganggukkan kepala.“Ayo duluan keluar, Bang. Anak-anak udah tak sabar ini,” ujar janda anak satu itu. Aku tersenyum tipis, akhirnya berhasil juga membuatnya bersuara. Aku duluan keluar dan membantu menurunkan Cici dan Ahmad. Menggendong keduanmya di pinggang dan berjalan mencari gazebo yang kosong untuk tempat istirahat serta menaruh baju.“Abang yang menemani mereka mandi, ya.”Akhirnya kalau aku diam, dia bersuara lagii. Nada bicaranya juga tak ketus.“Tapi Abang gak bawa baju, Dik.”“Di
Setelah gombalan buaya darat yang spontan kuucapkan pada Alina, aku selalu menghindari tatapan darinya. Malunya itu sampai ke ubun-ubun. Aku jadi menyibukkan diri dengan Ahmad dan Cici. Mengambilkan apa yang mereka mau saat makan. Mungkin dia berpikir kalau ini kayak pencitraan, tapi aku benaran tulus sayang pada anak-anak ini.“Jadi kita mau kemana lagi, Alina? Anak-anakku udah terus menguap nih,” ujar wanita bernama Lisda itu.“Kita pulang sajalah. Dua bocah ini juga udah menguap terus, tapi kalau dibawa main-main lagi, pasti mau juga. Imbasnya nanti malam. Kalau mereka kecapean, bisa rewel dan tidak bisa tidur,” balas Alina.Wanita yang sudah mendapat restu dari Emak itu berdiri, tapi kutahan. Aku yakin dia mau ke kasir.“Biar Abang yang bayar tagihannya, Alin.”Sebagai seorang laki-laki, aku tidak keberatan membayar semua makanan yang sudah dipesan, meskipun uangnya lebih banyak.Alina tersenyum sekilas. “Aku gak mau ke kasir kok, Bang. Memang Abang yang harus bayar. Kan yang ngaj
Sore harinya, Raka mengajakku melapor ke rumah kepala desa karena akan menginap di rumah salah satu warganya. “Oh, ini yang namanya dokter Rian? Yang dulu banyak membantu Alina dan Bu Rahimah saat di kota?” celetuk Ibu kades. Aku tersenyum sambil mengangguk. Aku jadi malu, yang kulakukan hanya sedikit, tapi ibunya Raka terlalu memujiku.“Ternyata orangnya ganteng, ya. Udah punya anak berapa, Dek?” tanyanya lagi.“Masih jomblo, Bu,” balasku, tersenyum hambar. Perasaan mulai tak enak. “Masih jomblo? Tapi tak punya kelainan kan? Zaman sekarang banyak laki-laki tampan suka sama yang ganteng. Udah populasi laki-laki sedikit, eh malah belok. Akhirnya para wanita harus wapada kalau suaminya akan diincar orang lain.”Aku meneguk ludah. Lancar banget omongannya. Pak Kades langsung menyenggol lengan istrinya, barulah ibu itu meminta maaf.“Doakan saja, ya, Bu, Pak. Teman saya ini udah punya calon kok,” ujar Raka.“Iya, iya. Semoga saja berjalan lancar.” Pak Kades menimpali.Raka pun langsung
“Ibu senang sekali, rupanya Rian sukanya sama Alina, bukan sama Ibu,” kekeh Bu Rahimah. Kini semuanya berkumpul di dekat kami. Aku semakin deg-degan dan juga malu. Kapan aku pernah mengatakan suka pada ibunya Alina?“Maksud Ibu apa? Masa Rian suka sama nenek-nenek dan masih punya suami juga. Mau dikemanakan suamimu ini, Bu?” Lelaki paling tua di antara kami mengegeleng-gelengkan kepala.“Jangan salah paham, Pak. Ibulah yang salah tangkap maksud Rian waktu di rumah sakit itu. Kirain dia suatu saat mau ijab qobul dengan Ibu, rupanya ingin disahkan sama putri kita. Ibu benar-benar tak kepikiran waktu itu kalau Rian suka sama Alina. Ibu lagi terpuruk dan fokus akan kesembuhan putri kesayangan kita,” kenang Bu Rahimah.Aku tersenyum cengengesan mengingat saat aku keceplosan dulu. Tapi aku tak menyangka kalau Bu Rahimah berpikir yang lain-lain. Aku menghindar darinya karena malu waktu itu. Segan jika diinterogasi dengan maksud pernyataanku itu. Kalau kuperjelas perasaanku pada Alina saat d