“Aamiin aamiin. Kami doakan agar benar-benar kejadian. Kalian serasi banget,” balas wanita itu dengan wajah ceria.“Lisda, awas saja suaminya kena pecat,” cetus Alina. Seketika semuanya hening, hanya anak-anak saja yang masih terus mengobrol.Aku tidak bisa menebak pikiran Alina sehingga memilih diam saja. Mau kemana juga aku segan bertanya. Hingga hampir satu jam perjalanan, kami sampai ke sebuah waterpark yang tidak begitu ramai. “Cici dan Abang Ahmad mau mandi gak?” tanya Alina.Dua bocah itu menganggukkan kepala.“Ayo duluan keluar, Bang. Anak-anak udah tak sabar ini,” ujar janda anak satu itu. Aku tersenyum tipis, akhirnya berhasil juga membuatnya bersuara. Aku duluan keluar dan membantu menurunkan Cici dan Ahmad. Menggendong keduanmya di pinggang dan berjalan mencari gazebo yang kosong untuk tempat istirahat serta menaruh baju.“Abang yang menemani mereka mandi, ya.”Akhirnya kalau aku diam, dia bersuara lagii. Nada bicaranya juga tak ketus.“Tapi Abang gak bawa baju, Dik.”“Di
Setelah gombalan buaya darat yang spontan kuucapkan pada Alina, aku selalu menghindari tatapan darinya. Malunya itu sampai ke ubun-ubun. Aku jadi menyibukkan diri dengan Ahmad dan Cici. Mengambilkan apa yang mereka mau saat makan. Mungkin dia berpikir kalau ini kayak pencitraan, tapi aku benaran tulus sayang pada anak-anak ini.“Jadi kita mau kemana lagi, Alina? Anak-anakku udah terus menguap nih,” ujar wanita bernama Lisda itu.“Kita pulang sajalah. Dua bocah ini juga udah menguap terus, tapi kalau dibawa main-main lagi, pasti mau juga. Imbasnya nanti malam. Kalau mereka kecapean, bisa rewel dan tidak bisa tidur,” balas Alina.Wanita yang sudah mendapat restu dari Emak itu berdiri, tapi kutahan. Aku yakin dia mau ke kasir.“Biar Abang yang bayar tagihannya, Alin.”Sebagai seorang laki-laki, aku tidak keberatan membayar semua makanan yang sudah dipesan, meskipun uangnya lebih banyak.Alina tersenyum sekilas. “Aku gak mau ke kasir kok, Bang. Memang Abang yang harus bayar. Kan yang ngaj
Sore harinya, Raka mengajakku melapor ke rumah kepala desa karena akan menginap di rumah salah satu warganya. “Oh, ini yang namanya dokter Rian? Yang dulu banyak membantu Alina dan Bu Rahimah saat di kota?” celetuk Ibu kades. Aku tersenyum sambil mengangguk. Aku jadi malu, yang kulakukan hanya sedikit, tapi ibunya Raka terlalu memujiku.“Ternyata orangnya ganteng, ya. Udah punya anak berapa, Dek?” tanyanya lagi.“Masih jomblo, Bu,” balasku, tersenyum hambar. Perasaan mulai tak enak. “Masih jomblo? Tapi tak punya kelainan kan? Zaman sekarang banyak laki-laki tampan suka sama yang ganteng. Udah populasi laki-laki sedikit, eh malah belok. Akhirnya para wanita harus wapada kalau suaminya akan diincar orang lain.”Aku meneguk ludah. Lancar banget omongannya. Pak Kades langsung menyenggol lengan istrinya, barulah ibu itu meminta maaf.“Doakan saja, ya, Bu, Pak. Teman saya ini udah punya calon kok,” ujar Raka.“Iya, iya. Semoga saja berjalan lancar.” Pak Kades menimpali.Raka pun langsung
“Ibu senang sekali, rupanya Rian sukanya sama Alina, bukan sama Ibu,” kekeh Bu Rahimah. Kini semuanya berkumpul di dekat kami. Aku semakin deg-degan dan juga malu. Kapan aku pernah mengatakan suka pada ibunya Alina?“Maksud Ibu apa? Masa Rian suka sama nenek-nenek dan masih punya suami juga. Mau dikemanakan suamimu ini, Bu?” Lelaki paling tua di antara kami mengegeleng-gelengkan kepala.“Jangan salah paham, Pak. Ibulah yang salah tangkap maksud Rian waktu di rumah sakit itu. Kirain dia suatu saat mau ijab qobul dengan Ibu, rupanya ingin disahkan sama putri kita. Ibu benar-benar tak kepikiran waktu itu kalau Rian suka sama Alina. Ibu lagi terpuruk dan fokus akan kesembuhan putri kesayangan kita,” kenang Bu Rahimah.Aku tersenyum cengengesan mengingat saat aku keceplosan dulu. Tapi aku tak menyangka kalau Bu Rahimah berpikir yang lain-lain. Aku menghindar darinya karena malu waktu itu. Segan jika diinterogasi dengan maksud pernyataanku itu. Kalau kuperjelas perasaanku pada Alina saat d
Aku menarik napas panjang dan mengulas senyuman tipis. Hari ini adalah penentu masa depanku agar bisa berkumpul dengan wanita yang kucintai. Wanita yang sering kusebut namanya dalam doa agar kesembuhan dan keselamatan selalu menyertainya. “Jika diizinkan, rencananya setelah menikah, saya akan memboyong Alina nantinya ke kota. Begitu juga dengan Cici. Orang tua kandung dan angkat saya ada di sana. Tapi saya janji, kami kan tetap mengingat kampung ini. Kita masih akan saling mengunjungi.” Aku menjeda ucapan, mengamati raut wajah anggota keluarga. “Jika Alina masih mau mengajar Paud, saya akan dirikan sekolah buatnya nanti. Tapi jika mau fokus dengan keluarga saja, tidak apa-apa. Secara finansial, Rian sanggup menghidupi keluarga kecil kami nantinya dengan layak,” tegasku.Aku tahu kegundahan keluarga ini. Pastinya karena aku dan mantan suami Alina tinggal di kota yang sama. Aku tak pernah dengar kabar mereka lagi. belakangan ini, aku juga tak sempat baca koran maupun berita online ka
Setelah dua tahun, datang seorang laki-laki yang baik ingin meminang putriku. Laki-laki yang kami kenal sebelumnya dan juga sahabat putraku. Apa lagi yang paling membahagiakan bagiku selain melihat anak-anak semuanya bahagia? Sebelum putriku menikah lagi, seperti ada beban di dada ini. Tanggung jawab terhadapnya seolah belum berakhir. Namun, aku ingin memastikan kalau jawabannya tadi sore jujur dari hati, bukan untuk menyenangkan hati orang tuanya semata.Di kamar Alina kini aku berada, menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna kelam. Aku duduk di pinggir tempat tidur, sedangkan Alina di atas kursi plastik yang tingginya sekitar 30 sentimeter. Aku senang saja menyisirnya setiap malam jika sedang tidak lelah.Untuk menghindari fitnah, malam ini Rian tidur di rumah Raka. Sedangkan menantuku akan tidur di rumah ini bersama kami. Kedua cucuku masih bermain di ruang tamu, ditemani Sri. Suamiku sendiri sudah tidur, tak berselang setelah kami makan malam.“Alina!”“Iya, Bu.”“Apa kamu ben
Setelah Cici lelah mengoceh, putrinya Alina pun mulai menguap. Aku memintanya dari Rian dan merebahkan cucuku itu di antara aku dan Alina. Bersama waktu yang terus merangkak, mataku pun ikut terlelap. Mungkin karena jalanan yang sudah bagus dan juga sopir yang profesional, aku jadi tidak terantuk-antuk sehingga baru terbangun saat suara azan subuh berkumandang .Kami singgah di sebuah mesjid yang ramai sekali para jamaahnya. Di zaman sekarang, ternyata masih banyak anak-anak remaja yang mau bangun dan meninggalkan selimutnya demi sholat berjamaah. Kelak jika tubuh ini sudah menyatu dengan tanah, maka yang kuharapkan adalah doa-doa dari anak-anakku. Semoga saja mereka tetap mengingat orang tua. Doa dan amal baiklah penyambung hubungan orang tua dan anak yang sudah berbeda alam.Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah omnya Rian. Karena sudah dikabarkan akan datang, keluarga Rian berkumpul di sana. Memang kurang lazim jika keluarga perempuan mengunjungi rumah calon besan, tapi sebagai
“Ya Robbi, bahagiakanlah Bang Rian dimana saja dia berada dan dengan siapa pun kini dia tertawa dan menyulam cinta.”Doa-doa serupa sering kulantunkan, apalagi wajah itu sering hadir dalam mimpi. Namun apa jadinya jika lelaki yang sering kudoakan malah berdiri di depan mata dan ternyata masih sendiri. Dubh dubh dubh.Jantung memompa darah lebih kencang. Sebagai seorang wanita, tentu aku malu jika mengatakan perasaan lebih dulu. Menjadi cuek adalah jalan ninja agar diri ini tidak salah tingkah. Dan kini, aku tak mau menolak lagi. Sangat jarang kesempatan kedua datang, dan tidak boleh kusia-siakanHati dan fisikku siap menjadi seorang istri. Ya, kini aku jadi calon istri seorang lelaki bernama Rian Irwansyah. Demi melegakan hati Ibu dan Bapak, di rumah Om Sandiaga-lah kami kini berkumpul. Baru pertama bertemu, tapi aku merasa seperti sudah kenal lama dengan mereka. tak ada sama sekali yang mengungkit statusku yang seorang janda.“Alina, tolong jangan menikah dengan orang lain. Tolong b
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus