pov Delon.“Hancur, hancur semua harapan gara-gara anak tak berguna itu. Pantas saja ada ada pasangan yang tak punya anak, tapi mereka bisa bahagia. Sedangkan kita punya anak lelaki malah selalu bikin masalah. Rumah tak ada ketenangan.”Papa menjambak rambutnya, lalu mengusap wajah dengan kasar. Aku duduk di samping Mama yang masih pusing gara-gara tak sengaja kutonjok. Ya namanya juga tak sengaja, pastinya Mama gak marah padaku setelah sadar dari pingsannya. Tapi Papa, sejak tadi terus mengomel melebihi emak-emak di komplek saat belanja sayur.Aku menyilangkan kaki, mengutak-ngatik layar ponselku yang menampilkan wajah para gadis cantik. Merekalah pelampiasan hasratku. Andai saja Sri yang menikah denganku, maka tak mungkin aku begini. Aku akn menjaga tubuh dan hati ini hanya untuknya seorang.“Delon, kamu memang gak ada sopannya kalau diajak bicara. Kamu dengar gak sih Papa bicara?”Lelaki tua itu membentakku. Aku berdecak kesal tanpa menoleh padanya. “Dengarlah. Lalu aku harus jawab
“Ayo ke rumah sakit, Nak. jangan-jangan kamu luka dalam.” Mama membantuku duduk.“Gak usah, Ma. Aku tak perlu ke rumah sakit.” Aku tersenyum meskipun perutku sedikit nyeri.“Beneran kamu gak apa-apa?”“Iya, aku butuh uang saja, Ma,” bisikku. Rumah ini tak nyaman lagi, mending aku pergi hura-hura lagi. Mama mengangguk dan masuk ke kamarnya, lalu kembali dengan ATM yang kuyakini jumlah saldonya pasti banyak. Aku sudah hapal PIN-nya sehingga bisa bebas menggunakannya sesuka hatiku.“Makasih, Ma. Mama adalah wanita tercantik di dunia ini.” Kukecup pipi Mama sekilas.“Delon, mau kemana kamu?” seru Papa begitu melihatku berdiri. Kusambar kunci mobil Mama yang tergeletak di atas meja dan secepat kilat berlari keluar. Masuk ke dalam mobil dan melajukan kenderaan roda empat itu sebelum Papa berhasil mengejarku. Pasti dia mengumpatiku lagi.Aku memutar lagu dengan kencang, membelah jalanan diiringi musik yang membuat badan tak bisa diam. Tak lama, aku sudah sampai di apartemen yang baru kubeli
“Pa, jika memang harus dipenjara, apa tidak bisa Delon ditahan di tempat yang nyaman? Jangan di sinilah, Pa. Kasihan dia,” pinta Mama. “Tidak bisa. Kalau anak ini difasilitasi, apa bedanya dengan di rumah? Papa memenjarakannya dengan sebuah kasus agar anak ini mengerti, Ma, bukan hanya sekedar takut dengan ancaman Raka. Delon harus belajar jadi dewasa,” tegas Papa. Sulit meluluhkannya kali ini. “Brengsek memang si Raka itu. Dia sudah memeras kita dengan uang 10 milyar, meminta kita mengurus perceraian tanpa dia harus repot-repot, ditambah lagi harus memenjarakan Delon hanya gara-gara menyiksa Alina. Padahal anak itu tak sampai mati kok,” cetus Mama. Aku ternganga mendengar angka fantastis yang digelontorkan keluargaku untuk bisa dinikmati Raka dan keluarganya. Pasti mereka sedang tertawa sekarang, merasakan bagaimana rasanya jadi milyader dengan cara yang cepat dan licik. “Raka memang orang jahat yang serakah. Pantas saja dia juga tega merebut cintanya Delon. Yang sabar ya, Sayang
“Ayo kita pulang, Delon. Kamu harus makan banyak, minum susu dan vitamin. Kamu juga harus ngegym biar badanmu bagus lagi,” cerocos Mama, menggandengku sampai masuk ke dalam mobil Papa.“Boleh aku ke rumahku sendiri, Ma?” pintaku. Lebih bebas di sana. Mau makan, bisa pesan online. Di rumah Papa, pastinya gak boleh mabuk-mabukan lagi. Gak bebas.“Maaf, Delon. Rumah dan mobilmu sudah dijual untuk membayar uang yang diminta oleh keluarga mantan istrimu itu. Itupun masih kurang sehingga Papa menjual aset yang lain,” balas Mama. Papa melirik dari spion tengah denagn ekspresi datar.“Tidak usah diungkit lagi. Itu juga buat pengobatan Alina dan biaya hidup bersama anaknya. Anak itu adalah cucu kita juga, Ma.”Aku mengepalkan tangan mendengar Papa terus membela perempuan yang sudah kuceraikan itu. Raka memang keterlaluan. Papa juga tak berperasaan. Kenapa rumah dan mobil yang diberikannya dulu padaku harus dijual? Kenapa gak rumahnya saja? Serumah dengan Papa, pasti dia akan mengekang kebebasa
“Mas, kenapa menatapku seperti itu? Kamu tak rindu padaku?” cecarnya. Kulihat wajah itu memendam kekecewaan. Namun, aku lebih kecewa. Bertahun-tahun hidupku yang berharga telah rusak dan sia-sia. Yang kuharapakan dan kuperjuangkan tak seindah bayangan lagi.“Kamu beneran Sri Mentari?”Dia mengangguk tegas. “Mas gak kenal samaku? Aku saja langsung kenal padamu begitu membuka mata.”Suaranya tetap merdu dan sekarang terdengar manja. Dulu dia tak mau memanggilku pakai sebutan mas karena aku adik tingkatnya di kampus. Padahal dia kelihatan lebih muda dibanding usianya. Sekarang, Sri tak ubahnya seperti ibu-ibu kampung pada umumnya yang sering ditimpa sinar matahari dan kesehariannya berkubang dalam lumpur. Apalagi suaminya hanya anak seorang petani, pasti dia harus ikut banting tulang.Aku bergidik, melangkah menjauh darinya yang lebih agresif. Kelihatan sekali kalau dia tak bahagia dengan pernikahannya dan ingin kembali padaku yang pernah dia sia-siakan. Tapi aku tak yakin apakah dia mas
Kubenturkan punggung berkali-kali ke pintu, barulah anak buahku yang tak berguna itu membukanya.“A-ada apa, Bos?”Ternyata mereka dari tadi dengerin musik pakai headset, pantas saja tak mendengar teriakanku. Kutarik benda putih itu dan memutuskan kabelnya.“Kalian ada di sini bukan untuk happy-happy. Dasar gak guna.”“Mereka siapa, Mas?”Aku melocat ke depan saat mendengar suara Sri. “Ayo kurung dia!” perintahku.Dengan sigap dua preman yang tersisa mendorong Sri masuk dan mengunci pintu. “Ke-kenapa dibiarkan sendiri, Bos? Kan rencananya mau dinodai biar diceraikan suaminya. Dengan begitu, Bos bisa menikahinya secepatnya,” ujar si Botak.“Diam kau. Rencana berubah total. Kita pulang sekarang, biarkan saja dia di dalam agar tak mengejarku,” cetusku.“Pulang? Dua teman kami gimana, Bos?”“Halah, biarin saja mereka di sana. Badan kekar gitu pasti bisa melawan orang-orang kampung itu.”“Wah, ini gak benar lagi, Bos. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku mau dua teman kami harus pulang dengan sel
Bukan hanya pasangan saja yang harus saling melengkapi, tapi juga anak dan orang tua, termasuk aku dan menantuku. Aku begitu cemas dengan keadaannya di luaran sana. Semakin panik karena kedua cucuku ikutan menangis karena Alina belum bisa ditenangkan. Untung saja suamiku datang dan membantu menenangkan putri kami. Alina mulai tenang setelah dibujuk suamikuAku menggendong Ahmad dan Cici bergantian, tapi mungkin mereka terlalu kaget dengan suara bising yang terjadi begitu tiba-tiba sehingga masih terus menangis.“Sini aku bantuin gendong, Bu.” Lisda, teman baik Alina menggendong cucu perempuanku. Kami berdua keluar untuk menghibur bocah-bocah ini sekaligus melihat apa yang terjadi.“Mana Raka, Pak?” tanyaku pada beberapa bapak-bapak yang masih berdiri di halaman rumahku. Tidak kulihat putraku, begitu juga dengan dua preman yang tertangkap tadi.“Raka dan bapak-bapak yang masih muda sudah pergi menyusul penjahat itu, Bu. Tidak usah cemas, menantu Bu Rahimah pasti bisa ditemukan tanpa k
"Alhamdulillah. Yang penting kamu sehat, Sri. Doa kami dikabulkan. Ayo masuk kalau begitu."Tak hanya aku, sepertinya Alina dan suamiku juga kebingungan. Namun mereka juga ikut tersenyum bahagia. Aku dan Sri duduk di dekat Alina, sedangkan Raka di dekat pintu bersama bapaknya. Entah apa yang mereka diskusikan karena suaranya tak begitu jelas. "Sekarang Alin jadi lega kalau sudah melihat Kak Sri pulang dalam keadaan sehat. Dia itu nekad dan dan tidak berprikemanusiaan. Aku takut kalau dia melampiaskan semua dendamnya pada Kakak," ujar putriku. Sampai sekarang, tak pernah kudengar putriku menyebut nama mantan suaminya. Sepertinya luka itu masih belum kering di hatinya.“Dia bahkan tak mau dekat-dekat denganku, Alin. Siapa sih yang mau denagn wanita berpenampilan kayak gini?”Sri tersenyum dan memeluk adik iparnya. Setelahnya Sri menggenggam kedua tanganku, menciuminya beberapa kali. "Terima kasih telah jadi mertuaku, Bu."Senyumanku diselimuti kebingungan. Kenapa dia harus berterima