“Mas, kenapa menatapku seperti itu? Kamu tak rindu padaku?” cecarnya. Kulihat wajah itu memendam kekecewaan. Namun, aku lebih kecewa. Bertahun-tahun hidupku yang berharga telah rusak dan sia-sia. Yang kuharapakan dan kuperjuangkan tak seindah bayangan lagi.“Kamu beneran Sri Mentari?”Dia mengangguk tegas. “Mas gak kenal samaku? Aku saja langsung kenal padamu begitu membuka mata.”Suaranya tetap merdu dan sekarang terdengar manja. Dulu dia tak mau memanggilku pakai sebutan mas karena aku adik tingkatnya di kampus. Padahal dia kelihatan lebih muda dibanding usianya. Sekarang, Sri tak ubahnya seperti ibu-ibu kampung pada umumnya yang sering ditimpa sinar matahari dan kesehariannya berkubang dalam lumpur. Apalagi suaminya hanya anak seorang petani, pasti dia harus ikut banting tulang.Aku bergidik, melangkah menjauh darinya yang lebih agresif. Kelihatan sekali kalau dia tak bahagia dengan pernikahannya dan ingin kembali padaku yang pernah dia sia-siakan. Tapi aku tak yakin apakah dia mas
Kubenturkan punggung berkali-kali ke pintu, barulah anak buahku yang tak berguna itu membukanya.“A-ada apa, Bos?”Ternyata mereka dari tadi dengerin musik pakai headset, pantas saja tak mendengar teriakanku. Kutarik benda putih itu dan memutuskan kabelnya.“Kalian ada di sini bukan untuk happy-happy. Dasar gak guna.”“Mereka siapa, Mas?”Aku melocat ke depan saat mendengar suara Sri. “Ayo kurung dia!” perintahku.Dengan sigap dua preman yang tersisa mendorong Sri masuk dan mengunci pintu. “Ke-kenapa dibiarkan sendiri, Bos? Kan rencananya mau dinodai biar diceraikan suaminya. Dengan begitu, Bos bisa menikahinya secepatnya,” ujar si Botak.“Diam kau. Rencana berubah total. Kita pulang sekarang, biarkan saja dia di dalam agar tak mengejarku,” cetusku.“Pulang? Dua teman kami gimana, Bos?”“Halah, biarin saja mereka di sana. Badan kekar gitu pasti bisa melawan orang-orang kampung itu.”“Wah, ini gak benar lagi, Bos. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku mau dua teman kami harus pulang dengan sel
Bukan hanya pasangan saja yang harus saling melengkapi, tapi juga anak dan orang tua, termasuk aku dan menantuku. Aku begitu cemas dengan keadaannya di luaran sana. Semakin panik karena kedua cucuku ikutan menangis karena Alina belum bisa ditenangkan. Untung saja suamiku datang dan membantu menenangkan putri kami. Alina mulai tenang setelah dibujuk suamikuAku menggendong Ahmad dan Cici bergantian, tapi mungkin mereka terlalu kaget dengan suara bising yang terjadi begitu tiba-tiba sehingga masih terus menangis.“Sini aku bantuin gendong, Bu.” Lisda, teman baik Alina menggendong cucu perempuanku. Kami berdua keluar untuk menghibur bocah-bocah ini sekaligus melihat apa yang terjadi.“Mana Raka, Pak?” tanyaku pada beberapa bapak-bapak yang masih berdiri di halaman rumahku. Tidak kulihat putraku, begitu juga dengan dua preman yang tertangkap tadi.“Raka dan bapak-bapak yang masih muda sudah pergi menyusul penjahat itu, Bu. Tidak usah cemas, menantu Bu Rahimah pasti bisa ditemukan tanpa k
"Alhamdulillah. Yang penting kamu sehat, Sri. Doa kami dikabulkan. Ayo masuk kalau begitu."Tak hanya aku, sepertinya Alina dan suamiku juga kebingungan. Namun mereka juga ikut tersenyum bahagia. Aku dan Sri duduk di dekat Alina, sedangkan Raka di dekat pintu bersama bapaknya. Entah apa yang mereka diskusikan karena suaranya tak begitu jelas. "Sekarang Alin jadi lega kalau sudah melihat Kak Sri pulang dalam keadaan sehat. Dia itu nekad dan dan tidak berprikemanusiaan. Aku takut kalau dia melampiaskan semua dendamnya pada Kakak," ujar putriku. Sampai sekarang, tak pernah kudengar putriku menyebut nama mantan suaminya. Sepertinya luka itu masih belum kering di hatinya.“Dia bahkan tak mau dekat-dekat denganku, Alin. Siapa sih yang mau denagn wanita berpenampilan kayak gini?”Sri tersenyum dan memeluk adik iparnya. Setelahnya Sri menggenggam kedua tanganku, menciuminya beberapa kali. "Terima kasih telah jadi mertuaku, Bu."Senyumanku diselimuti kebingungan. Kenapa dia harus berterima
“Dimana, anak saya? Pasti kalian hanya ngarang biar saya dan suami datang ke kampung yang kolot ini, kan? Kalian menyesal setelah Alina diceraikan Delon? Hayo, kalian ngaku!” bentak Bu Ambar. Mantan besanku itu masih sombong seperti dulu. Menjelang siang ini, dia dan suaminya sudah sampai setelah ditelpon Raka tadi malam.“Ma, jaga bicaramu! Tak mungkin mereka berbohong kalau Delon ada di sini buat kekacauan.” Wajah Pak Nugroho kelihatan tegang. “Silakan masuk dulu, Pak, Bu,” ujarku seraya terseyum tipis. Mereka adalah tamu dan seharusnya dimuliakan. “Buat apa dibaik-baikin, Bu? Orang seperti mereka ini kayak gak takut mati. Angkuh sekali hanya karena merasa kaya, padahal saat tubuh sudah terbujur kaku, dia akan butuh orang untuk mengurus pemakamannya. Yang akan dia pakai pun sama dengan kita nantinya. Hanya lembaran kain putih,” cetus bapaknya Raka. Sejak awal, suamiku menolak kalau masalah ini dibicarakan dengan kekeluargaan. Namun, secercah harapan itu ada dalam hatiku kalau Delo
“Apa boleh saya menemui Alina dan Cici? Bagaimana keadaannya sekarang?”“Halah, pencitraan lagi. selama ini gak ada nanyain kabar adikku dan juga anaknya. Orang kaya memang suka menggunakan cara licik dan pura-pura jadi domba. Setelah merasa semuanya aman terkendali sesuai keinginannaya, barulah domba itu berubah jadi serigala yang menerkam lawannya.”Raka menyela lagi. Wajahnya mulai memerah menahan amarah.“Benar sekali. Apa gunanya ada ponsel untuk sekedar menyapa kabar? Nomor saya dan ibunya Alina masih sama, tidak pernah ganti. Cuma Raka dan Alina saja yang ganti nomor,” timpal suamiku.“Astaga, Pa. Semua orang di rumah ini begitu angkuh, padahal hubungan di antara kita sudah berakhir. Dibaikin malah membuat mereka ngelunjak. Mereka terus menyalahkan kita. Makanya Mama gak pernah setuju datang ke sini kalau bukan karena mau menyelamatkan Delon, anak kita,” cerocos perempuan berlipstik merah itu. Masih saja merasa dirinya paling benar.Kulihat Raka sudah mengepalkan tangan. Kulepa
Aku mengurai pelukan dan mengusap pipi putriku yang basah. Cici sudah digendong Raka, dibawanya ke halaman belakang.“Kenapa kamu dan Cici keluar, Alin? Masuklah ke kamar atau main ke rumah abangmu saja.”Alina menggeleng tegas. “Tidak usah, Bu. Sampai kapan Alina harus menghindari mereka? Aku gak apa-apa dan mau ikut duduk di depan, Bu.”“Beneran tidak apa-apa, Nak?”“Iya, Bu. Alina yakin.”Aku menggandeng putriku sampai duduk di samping bapaknya, lalu memberikan segelas air putih. “Jangan menangis lagi, ya, Nak,” bisikku. Alina mengangguk seraya tersenyum.“Papa senang melihatmu sudah lumayan sehat, Alin. Papa hampir tidak kenal sama kamu. Sudah cantik seperti dulu dan kelihatan lebih bahagia.” Pak Nugroho langsung memuji. Pujian yang basi.“Papa? Sebutan itu tidak pantas lagi diucapkan seorang Alina. Benar-benar gak pantas.” Ekspresi Alina begitu datar. Senyuman di wajah mantan besanku langsung redup seketika. “Nak, saya benar-benar menyesal telah ikut menelantarkanmu. Saya minta
“Huh, dasar wanita sombong. Jangan harap bisa dapat lebih dari aku dengan statusmu yang hanya seorang janda. Apalagi ada anak. Kamu akan sulit menemukan ayah yang baik buat Cici. Belagu amat jadi orang,” cibir Delon.“Aku bisa jadi ibu sekaligus ayah buat putriku. Semua keluarga juga menghujani kasih sayang setiap hari buat Cici. Kuharap kamu tak pernah membutuhan anakku sampai kapan pun. Dan soal jodohku di masa depan, itu bukan urusanmu. Lebih baik urus hidup kalian sendiri.” Aku membulatkan mata, takjub akan keberanian putriku. Kukira dia akan menangis atau berlari menghindari perdebatan dengan mantan suami dan mertuanya, tapi putriku bisa menjawab dengan santainya.“Mana mungkin aku butuh anak itu. Yang ada kamulah yang akan butuh aku, Alina. Setelah bertahun-tahun menjanda dan tak ada yang mau, barulah kamu akan sadar kalau seharusnya kamu tak perlu menolak saat aku mengajakmu rujuk.”“Delon, kamu ini sudah gila, ya? Apa pantas kamu katakan seperti itu? Cici adalah anak kandungmu