"Besok saja kita bicarakan," Kalingga memotong ucapan Andini, lalu berdiri perlahan dan berkata, "Aku baru saja pulang dari istana menghadap Kaisar, agak lelah."Andini juga ikut berdiri. Melihat wajah Kalingga yang tampak letih, dia sadar bahwa sejak pagi pria itu sudah pergi dan baru kembali sekarang. Entah apa yang dibicarakan dengan Kaisar, mungkin memang ada sesuatu yang membuatnya jenuh atau tertekan.Sepertinya memang bukan waktu yang tepat untuk bicara. Oleh karena itu, dia pun mengangguk pelan. "Kalau begitu, Kak Kalingga istirahat saja dulu."Kalingga mengangguk singkat, lalu berbalik menuju kamarnya.Begitu masuk ke ruang dalam, barulah dia sadar bahwa di telapak tangannya masih tergenggam biji persik tadi.Jabal membawa masuk air untuk mencuci tangan Kalingga dan bertanya dengan khawatir, "Tuan sedang mikirin gosip yang beredar di luar sana? Jangan khawatir, Nyonya Andini jarang keluar rumah, seharusnya nggak akan mendengar apa pun dalam waktu dekat. Hamba akan segera mengu
Usai berkata demikian, Kalingga pun mengangkat pandangannya ke arah Jabal yang berdiri di samping. Tatapannya tampak datar, tidak terlihat ada yang aneh dari luar.Namun, Jabal langsung paham. Dia mengangguk cepat dan menimpali, "Benar, benar! Tabib Riza juga bilang, kaki Tuan sudah lima tahun nggak digunakan. Sekarang tiba-tiba sembuh, tubuhnya pasti belum bisa adaptasi. Nantinya harus dipijat setiap hari supaya pulih sempurna."Tentu saja, lebih baik lagi kalau Nyonya Andini yang memijat.Mendengar penjelasan dari Kalingga dan Jabal, ekspresi Lukman dan Malika akhirnya sedikit lebih tenang.Andini pun merasa masuk akal dengan penjelasan Tabib Riza. Namun, dia tetap berpikir untuk menanyakannya langsung pada tabib ahli itu agar lebih yakin. Apalagi, kalau memang perlu pijatan rutin, bisa jadi si tabib sakti itu punya teknik khusus yang tidak diajarkan oleh tabib biasa.Melihat Andini tampak sedang berpikir, Kalingga tiba-tiba bertanya, "Oh iya, Andin, kemarin kamu bilang ada hal yang
"Amitabha." Sang biksu muda merapatkan kedua telapak tangan di depan dada dan memberi salam pada pria di hadapannya. "Salam hormat, Jenderal Rangga."Rangga juga membalas salam dengan gerakan yang sama, lalu bertanya dengan suara tenang, "Guru mau ke mana?"Biksu itu menjawab dengan jujur, "Atas perintah Master Hardan, aku hendak mengirimkan surat ke kediaman Jenderal."Rangga mengangguk pelan dan menjawab dengan suara ramah, "Aku juga kebetulan mau pulang ke rumah. Bagaimana kalau Guru ikut bersamaku naik kereta? Biar sekalian kuantar."Biksu muda itu tentu mengenal Rangga, tapi belum pernah melihatnya bersikap begitu ramah sebelumnya. Muncul perasaan curiga di hatinya, tetapi dia berpikir tidak ada alasan untuk menolak karena mereka memang searah.Kakinya sudah sangat pegal karena berjalan dari Kuil Amnan sampai ke tempat ini. Akhirnya, dia kembali merapatkan tangan untuk memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, lalu naik ke dalam kereta kuda milik Rangga.Di dalam kereta, semerb
Setiap tahun mereka selalu melihat tulisan tangan Master Hardan dalam salinan kitab yang dia tulis sendiri. Mana mungkin mereka tidak mengenali tulisan tangannya?Terlebih lagi, mereka juga kenal dengan biksu muda yang datang tadi. Dia adalah biksu muda yang selalu mengikuti Master Hardan sejak kecil. Sampai sekarang, sudah sepuluh tahun lamanya dia menjadi pengikut Master Hardan.Surat itu diserahkan langsung ke tangan Malika oleh biksu itu sendiri. Jadi, mana mungkin surat itu palsu?Andini memang bintang kesialan.Tak heran setelah Andini keluar dari istana, kesehatan Ainun tiba-tiba menurun drastis. Baru saja dijodohkan dengan Pangeran Baskoro, sang pangeran langsung meninggal. Lalu Ainun juga wafat setelahnya. Setelah itu, Byakta yang tidak diketahui hubungannya dengan Andini juga meninggal.Semua yang hanya dekat dengannya saja sudah tewas satu per satu. Kalau begitu, bagaimana dengan Kalingga? Mereka sudah sah menjadi suami istri!Di sampingnya, pelayan senior pun masih merasa t
Kalingga masuk ke ruangan sambil mendorong kursi rodanya sendiri.Pelayan yang tadi menyampaikan pesan segera memberi salam ketika melihatnya, tapi wajahnya tampak sedikit cemas. "Tapi ... Nyonya di sana ....""Biar aku yang bicara sama Ibu," jawab Kalingga dengan nada datar.Melihat pelayan itu masih belum juga pergi, Kalingga pun mendongak dan menatapnya. Tatapannya dingin, hingga membuat tubuh pelayan itu gemetar ketakutan. "Apa kamu perlu kuantar keluar?"Pelayan itu terkejut dan baru sadar akan situasinya. Kemudian, dia buru-buru mundur dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Melihat pelayan yang lari terbirit-birit, Andini tak kuasa tersenyum sambil menggeleng tak berdaya.Kemudian, dia memandang ke arah Kalingga dan berkata, "Ibumu pasti punya alasan sendiri mengatur semuanya seperti ini. Kalau kamu bersikeras begini, aku khawatir justru akan membuatnya sedih."Tentu saja Kalingga paham maksud ibunya. Semua yang dilakukan Malika sebenarnya demi dirinya. Namun ... apakah karena it
'Memang ditakdirkan tidak berjodoh!' pikir Andini. Sudut bibir Andini terangkat, membentuk senyum tipis penuh kelegaan. Namun suara Kalingga tiba-tiba terdengar di telinganya. "Andin."Andini tersentak, lalu segera menoleh ke arahnya. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya terdiam.Kalingga ... sedang berdiri!Tubuhnya yang tegap, tersembunyi di balik ranting-ranting willow yang menjuntai dan menutupi sebagian wajahnya. Dia mengangkat tangan untuk menepis dedaunan yang menghalangi pandangannya. Sepasang matanya menatap Andini dengan jernih.Andini baru bisa bereaksi, "Kak Kalingga ... kakimu, kenapa ....""Maaf," katanya pelan. "Semuanya ... cuma bohong."Nada bicaranya rendah, tulus, dan alisnya yang tegas menunjukkan penyesalan yang dalam. "Waktu itu aku bohong padamu. Maafkan aku."Alis Andini perlahan berkerut, matanya menunjukkan kebingungan. "Aku nggak mengerti ... kenapa harus berbohong? Apakah ... kemarin waktu di istana, Kaisar mengatakan sesuatu? Apakah kamu takut pelaku yang
Kalingga berpikir, jika dalam tiga tahun Andini tetap tidak bisa menyukainya, dia akan menepati janjinya untuk membiarkan gadis itu pergi. Tentu saja, jika Andini tidak ingin menunggu sampai tiga tahun, dia pun tidak akan memaksanya.Kalingga hanya sedang berusaha memberi dirinya sendiri sebuah kesempatan.Andini menatap Kalingga dengan tatapan terkejut, pikirannya sudah kacau balau saat ini. Dia tahu, Kalingga selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Namun, dia tidak pernah berpikir untuk melangkah sejauh itu dengan Kalingga.Kata-kata Kalingga barusan terlalu mendadak baginya.Tiga tahun.Andini memang pernah berjanji. Namun, waktu telah banyak mengubah keadaan. Sekarang, dia harus mempertimbangkan segalanya dengan lebih hati-hati.Dia tidak ingin melihat Kalingga dan Rangga berselisih. Dia juga tak sanggup membayangkan keluarga Kalingga yang selama ini hangat dan damai, akhirnya terpecah belah karena dirinya.Yang seharusnya dia lakukan adalah pergi. Pergi dan menemukan jalan hid
Yang tersisa hanya dia ... dan senyumnya.Tak lama kemudian, para pelayan menemukan mereka berdua dan segera menarik mereka ke tepi kolam.Di dalam kamar, Andini duduk di depan meja sambil memegang secangkir teh jahe yang disodorkan oleh Laras dengan penuh semangat."Meski ini musim panas, kalau jatuh ke air tetap bisa masuk angin. Jadi harus diminum!" ujar Laras sambil berjalan ke belakangnya, lalu mulai mengeringkan rambut Andini yang masih lembap.Sambil menyeka, pandangan Laras melirik ke luar jendela, lalu tiba-tiba menurunkan volume suaranya,"Nona ... sepertinya nanti Nyonya Malika akan datang ke sini. Gimana kalau pintu kamar kita tutup saja, lalu bilang kalau Nona sedang nggak enak badan dan sudah tidur?"Andini menyeruput teh jahe hangat itu, lalu memandang Laras dengan heran. "Kenapa? Kalau dia mau datang, ya biarkan saja. Kenapa kamu seperti takut sekali?"Laras mengernyitkan alisnya, lalu mengaku dengan pelan, "Tadi waktu hamba ke kota, hamba dengar sedikit gosip ... katan
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it