Setiap tahun mereka selalu melihat tulisan tangan Master Hardan dalam salinan kitab yang dia tulis sendiri. Mana mungkin mereka tidak mengenali tulisan tangannya?Terlebih lagi, mereka juga kenal dengan biksu muda yang datang tadi. Dia adalah biksu muda yang selalu mengikuti Master Hardan sejak kecil. Sampai sekarang, sudah sepuluh tahun lamanya dia menjadi pengikut Master Hardan.Surat itu diserahkan langsung ke tangan Malika oleh biksu itu sendiri. Jadi, mana mungkin surat itu palsu?Andini memang bintang kesialan.Tak heran setelah Andini keluar dari istana, kesehatan Ainun tiba-tiba menurun drastis. Baru saja dijodohkan dengan Pangeran Baskoro, sang pangeran langsung meninggal. Lalu Ainun juga wafat setelahnya. Setelah itu, Byakta yang tidak diketahui hubungannya dengan Andini juga meninggal.Semua yang hanya dekat dengannya saja sudah tewas satu per satu. Kalau begitu, bagaimana dengan Kalingga? Mereka sudah sah menjadi suami istri!Di sampingnya, pelayan senior pun masih merasa t
Kalingga masuk ke ruangan sambil mendorong kursi rodanya sendiri.Pelayan yang tadi menyampaikan pesan segera memberi salam ketika melihatnya, tapi wajahnya tampak sedikit cemas. "Tapi ... Nyonya di sana ....""Biar aku yang bicara sama Ibu," jawab Kalingga dengan nada datar.Melihat pelayan itu masih belum juga pergi, Kalingga pun mendongak dan menatapnya. Tatapannya dingin, hingga membuat tubuh pelayan itu gemetar ketakutan. "Apa kamu perlu kuantar keluar?"Pelayan itu terkejut dan baru sadar akan situasinya. Kemudian, dia buru-buru mundur dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Melihat pelayan yang lari terbirit-birit, Andini tak kuasa tersenyum sambil menggeleng tak berdaya.Kemudian, dia memandang ke arah Kalingga dan berkata, "Ibumu pasti punya alasan sendiri mengatur semuanya seperti ini. Kalau kamu bersikeras begini, aku khawatir justru akan membuatnya sedih."Tentu saja Kalingga paham maksud ibunya. Semua yang dilakukan Malika sebenarnya demi dirinya. Namun ... apakah karena it
'Memang ditakdirkan tidak berjodoh!' pikir Andini. Sudut bibir Andini terangkat, membentuk senyum tipis penuh kelegaan. Namun suara Kalingga tiba-tiba terdengar di telinganya. "Andin."Andini tersentak, lalu segera menoleh ke arahnya. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya terdiam.Kalingga ... sedang berdiri!Tubuhnya yang tegap, tersembunyi di balik ranting-ranting willow yang menjuntai dan menutupi sebagian wajahnya. Dia mengangkat tangan untuk menepis dedaunan yang menghalangi pandangannya. Sepasang matanya menatap Andini dengan jernih.Andini baru bisa bereaksi, "Kak Kalingga ... kakimu, kenapa ....""Maaf," katanya pelan. "Semuanya ... cuma bohong."Nada bicaranya rendah, tulus, dan alisnya yang tegas menunjukkan penyesalan yang dalam. "Waktu itu aku bohong padamu. Maafkan aku."Alis Andini perlahan berkerut, matanya menunjukkan kebingungan. "Aku nggak mengerti ... kenapa harus berbohong? Apakah ... kemarin waktu di istana, Kaisar mengatakan sesuatu? Apakah kamu takut pelaku yang
Kalingga berpikir, jika dalam tiga tahun Andini tetap tidak bisa menyukainya, dia akan menepati janjinya untuk membiarkan gadis itu pergi. Tentu saja, jika Andini tidak ingin menunggu sampai tiga tahun, dia pun tidak akan memaksanya.Kalingga hanya sedang berusaha memberi dirinya sendiri sebuah kesempatan.Andini menatap Kalingga dengan tatapan terkejut, pikirannya sudah kacau balau saat ini. Dia tahu, Kalingga selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Namun, dia tidak pernah berpikir untuk melangkah sejauh itu dengan Kalingga.Kata-kata Kalingga barusan terlalu mendadak baginya.Tiga tahun.Andini memang pernah berjanji. Namun, waktu telah banyak mengubah keadaan. Sekarang, dia harus mempertimbangkan segalanya dengan lebih hati-hati.Dia tidak ingin melihat Kalingga dan Rangga berselisih. Dia juga tak sanggup membayangkan keluarga Kalingga yang selama ini hangat dan damai, akhirnya terpecah belah karena dirinya.Yang seharusnya dia lakukan adalah pergi. Pergi dan menemukan jalan hid
Yang tersisa hanya dia ... dan senyumnya.Tak lama kemudian, para pelayan menemukan mereka berdua dan segera menarik mereka ke tepi kolam.Di dalam kamar, Andini duduk di depan meja sambil memegang secangkir teh jahe yang disodorkan oleh Laras dengan penuh semangat."Meski ini musim panas, kalau jatuh ke air tetap bisa masuk angin. Jadi harus diminum!" ujar Laras sambil berjalan ke belakangnya, lalu mulai mengeringkan rambut Andini yang masih lembap.Sambil menyeka, pandangan Laras melirik ke luar jendela, lalu tiba-tiba menurunkan volume suaranya,"Nona ... sepertinya nanti Nyonya Malika akan datang ke sini. Gimana kalau pintu kamar kita tutup saja, lalu bilang kalau Nona sedang nggak enak badan dan sudah tidur?"Andini menyeruput teh jahe hangat itu, lalu memandang Laras dengan heran. "Kenapa? Kalau dia mau datang, ya biarkan saja. Kenapa kamu seperti takut sekali?"Laras mengernyitkan alisnya, lalu mengaku dengan pelan, "Tadi waktu hamba ke kota, hamba dengar sedikit gosip ... katan
Saat tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri, Andini tiba-tiba menyadari Kalingga sedang menatap ke arahnya.Tatapan mereka saling bertemu dan dalam sekejap, semua kata-kata yang diucapkan Kalingga di tepi kolam siang tadi kembali membanjiri benaknya. Hatinya pun seketika diliputi rasa gugup yang tak terkendali.Apalagi saat melihat Kalingga mulai melangkah mendekatinya. Andini refleks melangkah mundur tanpa sadar. Langkah Kalingga pun ikut terhenti.Tepat tiga langkah dari pintu kamarnya, dia berhenti. Kemudian, dia tersenyum kecil dan berkata lembut, "Istirahat yang baik, ya."Andini buru-buru mengangguk, "Iya, Kak Kalingga juga istirahat yang cukup.""Baik." Dia mengangguk singkat, lalu membalikkan badan dan masuk kembali ke kamarnya.Begitu pintu tertutup, senyum di wajah Kalingga pun perlahan memudar, berganti dengan gurat kecewa yang sulit disembunyikan. Langkah mundur Andini barusan dilihatnya dengan sangat jelas. Dia tahu, dia telah membuat gadis itu ketakutan hari ini.Apaka
Malam pun tiba.Andini berbaring di atas ranjang, tetapi tidak bisa terlelap. Entah mengapa, setiap kali dia memejamkan mata, wajah Kalingga justru muncul di benaknya.Terkadang, ada beberapa hal yang tidak akan terpikirkan jika tidak diungkit sama sekali. Namun begitu diungkapkan, semuanya datang menyerbu bagaikan banjir besar yang tak bisa dibendung. Semakin ingin diabaikan, justru semakin memenuhi pikirannya.Akhirnya, karena benar-benar tidak bisa tidur, Andini bangkit untuk duduk. Dia menyampirkan mantel tipis ke pundaknya, lalu keluar dari kamar.Niatnya hanya ingin duduk sebentar di bawah ayunan untuk menikmati angin malam dan sinar bulan, agar pikirannya lebih tenang. Namun, begitu melangkah keluar dari pintu kamar, tanpa sadar dia langsung menoleh ke arah pohon besar di sisi halaman.Rimbun dedaunannya menghalangi pandangan, sehingga Andini tidak bisa langsung memastikan apakah ada seseorang di atas pohon itu.Namun, firasatnya berkata lain. Dia tetap waspada menatap pohon sam
Wanita tua itu sebelumnya juga pernah menggambarkan ciri-ciri orang yang menyuruhnya.Setelah mendengar deskripsinya, Jabal merasa bahwa ciri-ciri itu sangat mirip dengan Rangga. Maka, dia pun membawanya kepada Kalingga, agar Kalingga yang memutuskan.Namun, Jabal sebenarnya tidak berharap wanita tua itu benar-benar akan menunjuk Rangga secara langsung. Yang dia butuhkan hanya satu hal, biarkan dia melihat ke arah Rangga beberapa kali saja.Benar saja ... saat ini, sepasang mata wanita tua itu memang mencuri pandang ke arah Rangga beberapa kali. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, semua orang yang hadir di aula ini langsung paham.Dalang di balik semua fitnah itu adalah Rangga.Andini pun tak kuasa untuk melirik ke arah Rangga. Dia benar-benar tidak menyangka, ternyata gosip-gosip di luar sana adalah hasil rekayasa Rangga. Namun, setelah dipikirkan sejenak, dia juga tidak terlalu terkejut.Rangga memang penuh akal dan licik sejak kecil. Jika ide-ide ini digunakan dalam peperan
Andini memang mengatakan 3 tahun, tetapi Kalingga juga pernah berkata dia bisa pergi kapan saja jika mau.Kalingga tahu perasaan cinta tidak bisa dipaksakan. Dia memang sudah jatuh cinta padanya, jadi dia akan berusaha untuk memperjuangkan. Namun, jika Andini tidak menyukainya, dia pun tidak akan memaksanya.Bagaimanapun, kepribadiannya berbeda dengan Rangga.Memikirkan hal ini, hati Kalingga tiba-tiba terasa berat. Dia teringat akan kepribadian Rangga dan matanya pun menjadi agak suram.Saat itu juga, dia menatap Andini dan berkata, "Atau mungkin aku bisa menemanimu meninggalkan ibu kota."Mendengar hal itu, Andini langsung menatap Kalingga dengan penuh keterkejutan. Bagaimana bisa Kalingga tiba-tiba ingin menemaninya meninggalkan ibu kota?Melihat reaksinya yang begitu terkejut, Kalingga segera menyadari bahwa dia telah menyentuh hati Andini. Senyuman kecil pun muncul di sudut bibirnya."Aku tahu kamu masih mempertimbangkan perasaan Rangga. Aku ingin memberitahumu, jangan khawatir. A
Langkah Rangga yang hendak keluar dari aula pun terhenti. Kepalanya sedikit dimiringkan, dan hanya dari punggungnya saja sudah bisa terasa betapa sangat tidak sabarnya dia saat ini.Rangga tidak berbalik dan tetap membelakangi semua orang.Terdengar suara Lukman yang membentak marah, "Anak nggak tahu diri, jangan bertindak bodoh lagi! Kalau nggak, Ayah nggak akan memaafkanmu!"Ancaman itu tidak terdengar menakutkan sama sekali. Rangga bahkan tidak menjawabnya, melainkan langsung melangkah keluar dari pintu. Lukman marah besar. Dia langsung berdiri sambil memukul meja dan hendak mengejarnya, tapi Malika buru-buru menahannya.Akhirnya, amarah Lukman malah terarah ke Malika, "Lihat hasil didikanmu! Anak macam apa yang kamu besarkan!"Malika tahu suaminya sedang naik darah, tentu dia tidak akan meladeninya dengan berdebat. Dia hanya berusaha menenangkan, "Sudahlah, nanti aku yang urus dia. Jangan sampai kamu sakit karena marah. Shila, bantu ayahmu kembali ke kamar untuk istirahat."Lukman
Selain lagu anak-anak itu, di dalam surat juga tertulis beberapa kalimat kasar yang jelas-jelas menjelekkan Andini.Namun ... tulisan itu ....Lukman langsung mengernyit. Sorot matanya otomatis beralih ke arah Rangga.Anak itu memang tidak bodoh. Tulisan itu ditulis dengan tangan kiri. Sebagai ayahnya, hanya Lukman yang masih tetap bisa mengenalinya. Dia pun segera melipat kembali surat tersebut, lalu menyimpannya, sebelum mengajukan pertanyaan lebih lanjut."Lalu, kenapa orang itu bisa datang mencarimu? Apa hubunganmu dengan menantu sulungku? Ada masalah pribadi?"Wanita tua itu langsung menggeleng dengan panik, "Nggak ... nggak ada masalah, Tuan! Hamba cuma rakyat biasa, mana mungkin punya masalah dengan Nyonya?""Hanya saja ...." Wanita itu ingin mengatakan sesuatu, tapi terdiam.Sifat Nayshila pada dasarnya memang blak-blakan. Melihat wanita tua yang terbata-bata itu, dia mulai marah. "Jangan bertele-tele, cepat katakan semuanya!"Barulah wanita tua itu mengaku, "Hamba ini memang .
Wanita tua itu sebelumnya juga pernah menggambarkan ciri-ciri orang yang menyuruhnya.Setelah mendengar deskripsinya, Jabal merasa bahwa ciri-ciri itu sangat mirip dengan Rangga. Maka, dia pun membawanya kepada Kalingga, agar Kalingga yang memutuskan.Namun, Jabal sebenarnya tidak berharap wanita tua itu benar-benar akan menunjuk Rangga secara langsung. Yang dia butuhkan hanya satu hal, biarkan dia melihat ke arah Rangga beberapa kali saja.Benar saja ... saat ini, sepasang mata wanita tua itu memang mencuri pandang ke arah Rangga beberapa kali. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, semua orang yang hadir di aula ini langsung paham.Dalang di balik semua fitnah itu adalah Rangga.Andini pun tak kuasa untuk melirik ke arah Rangga. Dia benar-benar tidak menyangka, ternyata gosip-gosip di luar sana adalah hasil rekayasa Rangga. Namun, setelah dipikirkan sejenak, dia juga tidak terlalu terkejut.Rangga memang penuh akal dan licik sejak kecil. Jika ide-ide ini digunakan dalam peperan
Malam pun tiba.Andini berbaring di atas ranjang, tetapi tidak bisa terlelap. Entah mengapa, setiap kali dia memejamkan mata, wajah Kalingga justru muncul di benaknya.Terkadang, ada beberapa hal yang tidak akan terpikirkan jika tidak diungkit sama sekali. Namun begitu diungkapkan, semuanya datang menyerbu bagaikan banjir besar yang tak bisa dibendung. Semakin ingin diabaikan, justru semakin memenuhi pikirannya.Akhirnya, karena benar-benar tidak bisa tidur, Andini bangkit untuk duduk. Dia menyampirkan mantel tipis ke pundaknya, lalu keluar dari kamar.Niatnya hanya ingin duduk sebentar di bawah ayunan untuk menikmati angin malam dan sinar bulan, agar pikirannya lebih tenang. Namun, begitu melangkah keluar dari pintu kamar, tanpa sadar dia langsung menoleh ke arah pohon besar di sisi halaman.Rimbun dedaunannya menghalangi pandangan, sehingga Andini tidak bisa langsung memastikan apakah ada seseorang di atas pohon itu.Namun, firasatnya berkata lain. Dia tetap waspada menatap pohon sam
Saat tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri, Andini tiba-tiba menyadari Kalingga sedang menatap ke arahnya.Tatapan mereka saling bertemu dan dalam sekejap, semua kata-kata yang diucapkan Kalingga di tepi kolam siang tadi kembali membanjiri benaknya. Hatinya pun seketika diliputi rasa gugup yang tak terkendali.Apalagi saat melihat Kalingga mulai melangkah mendekatinya. Andini refleks melangkah mundur tanpa sadar. Langkah Kalingga pun ikut terhenti.Tepat tiga langkah dari pintu kamarnya, dia berhenti. Kemudian, dia tersenyum kecil dan berkata lembut, "Istirahat yang baik, ya."Andini buru-buru mengangguk, "Iya, Kak Kalingga juga istirahat yang cukup.""Baik." Dia mengangguk singkat, lalu membalikkan badan dan masuk kembali ke kamarnya.Begitu pintu tertutup, senyum di wajah Kalingga pun perlahan memudar, berganti dengan gurat kecewa yang sulit disembunyikan. Langkah mundur Andini barusan dilihatnya dengan sangat jelas. Dia tahu, dia telah membuat gadis itu ketakutan hari ini.Apaka
Yang tersisa hanya dia ... dan senyumnya.Tak lama kemudian, para pelayan menemukan mereka berdua dan segera menarik mereka ke tepi kolam.Di dalam kamar, Andini duduk di depan meja sambil memegang secangkir teh jahe yang disodorkan oleh Laras dengan penuh semangat."Meski ini musim panas, kalau jatuh ke air tetap bisa masuk angin. Jadi harus diminum!" ujar Laras sambil berjalan ke belakangnya, lalu mulai mengeringkan rambut Andini yang masih lembap.Sambil menyeka, pandangan Laras melirik ke luar jendela, lalu tiba-tiba menurunkan volume suaranya,"Nona ... sepertinya nanti Nyonya Malika akan datang ke sini. Gimana kalau pintu kamar kita tutup saja, lalu bilang kalau Nona sedang nggak enak badan dan sudah tidur?"Andini menyeruput teh jahe hangat itu, lalu memandang Laras dengan heran. "Kenapa? Kalau dia mau datang, ya biarkan saja. Kenapa kamu seperti takut sekali?"Laras mengernyitkan alisnya, lalu mengaku dengan pelan, "Tadi waktu hamba ke kota, hamba dengar sedikit gosip ... katan
Kalingga berpikir, jika dalam tiga tahun Andini tetap tidak bisa menyukainya, dia akan menepati janjinya untuk membiarkan gadis itu pergi. Tentu saja, jika Andini tidak ingin menunggu sampai tiga tahun, dia pun tidak akan memaksanya.Kalingga hanya sedang berusaha memberi dirinya sendiri sebuah kesempatan.Andini menatap Kalingga dengan tatapan terkejut, pikirannya sudah kacau balau saat ini. Dia tahu, Kalingga selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Namun, dia tidak pernah berpikir untuk melangkah sejauh itu dengan Kalingga.Kata-kata Kalingga barusan terlalu mendadak baginya.Tiga tahun.Andini memang pernah berjanji. Namun, waktu telah banyak mengubah keadaan. Sekarang, dia harus mempertimbangkan segalanya dengan lebih hati-hati.Dia tidak ingin melihat Kalingga dan Rangga berselisih. Dia juga tak sanggup membayangkan keluarga Kalingga yang selama ini hangat dan damai, akhirnya terpecah belah karena dirinya.Yang seharusnya dia lakukan adalah pergi. Pergi dan menemukan jalan hid
'Memang ditakdirkan tidak berjodoh!' pikir Andini. Sudut bibir Andini terangkat, membentuk senyum tipis penuh kelegaan. Namun suara Kalingga tiba-tiba terdengar di telinganya. "Andin."Andini tersentak, lalu segera menoleh ke arahnya. Pemandangan yang dilihatnya membuatnya terdiam.Kalingga ... sedang berdiri!Tubuhnya yang tegap, tersembunyi di balik ranting-ranting willow yang menjuntai dan menutupi sebagian wajahnya. Dia mengangkat tangan untuk menepis dedaunan yang menghalangi pandangannya. Sepasang matanya menatap Andini dengan jernih.Andini baru bisa bereaksi, "Kak Kalingga ... kakimu, kenapa ....""Maaf," katanya pelan. "Semuanya ... cuma bohong."Nada bicaranya rendah, tulus, dan alisnya yang tegas menunjukkan penyesalan yang dalam. "Waktu itu aku bohong padamu. Maafkan aku."Alis Andini perlahan berkerut, matanya menunjukkan kebingungan. "Aku nggak mengerti ... kenapa harus berbohong? Apakah ... kemarin waktu di istana, Kaisar mengatakan sesuatu? Apakah kamu takut pelaku yang