Saat itu, Ainun pasti tidak akan tinggal diam melihat putra dan cucunya menderita. Dia pasti akan maju ke depan, menggunakan statusnya sebagai wanita bergelar kehormatan kekaisaran untuk melindungi Keluarga Adipati, bahkan dengan mengorbankan nyawanya.Namun kalau hal itu benar terjadi, bagaimana mungkin Andini bisa menjalani hidup dengan tenang, apalagi dengan membawa harta dan perhiasan yang diberikan oleh Ainun?Jawabannya jelas tidak mungkin. Melihat Ainun terdiam, Andini berucap sambil tersenyum untuk menenangkannya, "Nenek nggak perlu khawatir. Selir Agung Haira sangat baik padaku. Besok, aku akan masuk ke istana untuk menemaninya melewati masa-masa sulit ini. Segalanya pasti akan berlalu."Namun, Ainun terlihat kurang percaya. Dia berujar, "Selir Agung Haira memang terlihat baik hati, tapi sebenarnya pikirannya sangat dalam. Andin, ingat baik-baik, wanita yang mampu bertahan di dalam istana bukanlah orang yang sederhana."Andini tahu betul hal itu. Hanya saja demi menenangkan Ai
Keesokan harinya, Andini terlebih dahulu pergi ke aula duka Baskoro untuk memberikan penghormatan. Setelah itu, dia menuju ke kediaman Haira.Ketika para dayang melihatnya, ekspresi mereka menunjukkan berbagai macam makna yang sulit dipahami. Namun, Andini pura-pura tidak menyadari apa-apa. Seorang dayang mengantar Andini hingga ke luar kamar pribadi Haira, lalu memberi isyarat agar dia masuk ke dalam.Andini mendorong pintu dan melangkah masuk. Dari balik tirai tipis yang berayun lembut, dia melihat Haira sedang setengah duduk di atas ranjang, sementara seorang dayang di sisinya terus memijat pelipisnya.Andini berjalan mendekat, lalu berlutut dan memberi penghormatan, "Salam hormat pada Selir Agung."Namun, tidak ada respons sama sekali. Andini tahu bahwa Haira tidak sedang tidur. Sesekali, dia masih bisa mendengar suara isak tangis pelan dari balik tirai.Setelah beberapa lama menunggu tanpa jawaban, Andini akhirnya tak kuasa berucap, "Selir Agung, yang telah tiada biarlah berlalu .
"Baik!" Para dayang menjawab serempak, lalu keluar dari kamar. Setelah pintu ditutup, ruangan itu seketika menjadi gelap dan suram.Barulah Andini perlahan berbicara, "Aku bertemu dengan Pangeran ketika dia sudah lama disiksa oleh para bandit. Tubuhnya penuh luka dan dia berlutut di tanah memohon agar mereka melepaskannya. Dia memohon seperti seekor anjing!"Haira ingin mengetahui kebenaran, bukan? Inilah kebenarannya. Putra satu-satunya yang paling dia cintai, kehilangan seluruh wibawa dan martabatnya sebagai seorang pangeran di depan para bandit itu.Hanya dengan membayangkan pemandangan tersebut, hati Haira terasa seperti dihancurkan berkeping-keping. Namun, dia juga tahu bahwa dibandingkan cerita tentang pengorbanan demi melindungi calon istri, apa yang baru saja dikatakan Andini jauh lebih masuk akal.Andini melepaskan tangan Haira dari dirinya dan berdiri dari lantai. Sementara itu, Haira masih berlutut di lantai seolah semua kekuatannya telah lenyap.Andini melanjutkan, "Selir A
Andini langsung terkejut. Sebelum sempat bereaksi, Haira tiba-tiba berbalik dan mencengkeram lengannya.Wajah Haira yang basah oleh air mata kini menampilkan senyum licik. Dia berucap, "Kemarin, aku suruh Ambar keluar istana untuk membeli perlengkapan ritual.""Hari ini, kamu datang ke istana dan mengatakan semua ini padaku. Kenapa? Kamu takut aku benar-benar akan memaksamu melakukan pernikahan arwah dengan Bas dan dikuburkan bersamanya?" tanya Haira.Andini menarik napas dalam-dalam, tetapi tetap tenang. Dia bahkan mengangkat tangan untuk menyeka air mata di wajah Haira, lalu membalas, "Benar. Meskipun nyawaku nggak berharga, aku tetap takut mati."Jari-jari Andini yang kasar menyentuh pipi halus Haira. Itu membuatnya merinding. Haira tak pernah membayangkan ada wanita dengan tangan sekasar itu. Bahkan dayang-dayangnya yang bekerja keras pun tidak memiliki sentuhan sekeras dan sekasar Andini.Namun, Andini tidak menyadari hal itu. Sebaliknya, dia berucap sambil tersenyum lembut pada H
Haira meminta Andini mengantar Baskoro untuk terakhir kalinya, itu tentu bukan berarti hanya memberikan penghormatan.Setelah memberikan penghormatan, Andini membakar dupa untuk Baskoro.Ketika melihat pemandangan ini, dua kasim muda yang ada di luar aula duka berbisik-bisik."Nona Andini kelihatan sangat mencintai Pangeran Baskoro. Dia baru kemari pagi tadi, sekarang datang lagi.""Benar. Kamu nggak lihat matanya memerah saat menatap peti mati Pangeran Baskoro barusan? Kasihan sekali.""Aduh .... Cinta yang dalam selalu meninggalkan penyesalan." Setelah melontarkan ini, Rangga tiba-tiba datnag. Kasim itu terkejut dan menyapa, "Ah! Salam, Tuan Rangga."Ekspresi Rangga sangat dingin. Tatapannya tertuju pada dua kasim itu. Dia berucap dengan suara yang penuh niat membunuh, "Apa aturan di istana mengajarkan kalian membicarakan majikan?"Dua kasim itu tertegun. Mereka berpikir, bukankah Andini tidak termasuk majikan? Namun, ketika melihat ekspresi Rangga yang dingin, mereka panik dan seger
Kaisar tampak terkejut saat mendengar Safira menyebutkan keinginan terakhir Baskoro.Begitu melihat Kaisar mempertimbangkan hal ini, Andini merasa cemas.Kala ini, Rangga memberikan hormat sebelum berkomentar, "Nggak bisa. Andini hanya terikat perjanjian pernikahan dengan Pangeran Baskoro. Kalau Andini mengantarnya ke pemakaman sebagai seorang janda, takutnya akan menimbulkan kecaman."Yang paling penting, jika Andini benar-benar menganggap dirinya sebagai janda, dia tidak boleh menikah lagi dalam waktu tiga tahun sesuai aturan Negara Darsa.Usai mendengar ucapan Rangga, Kaisar mengangguk sambil membalas, "Masuk akal. Safira, jangan sembarangan beri usulan. Kalau sampai menimbulkan kecaman, Keluarga Kekaisaran yang akan malu."Safira hanya menjulurkan lidah. Dia bersandar di bahu Kaisar dengan manja seraya menyahut, "Aku cuma asal bicara."Kaisar hanya punya satu putri. Dia tentu tidak akan menyalahkan Safira, sebaliknya malah menepuk punggung tangan Safira dengan penuh kasih sayang.S
Andini akui dirinya memang ingin membiarkan Safira menghadapi Dianti. Namun, tidak sampai menyingkirkannya. Apalagi, gaun itu sama sekali tidak ada kaitan dengannya.Andini mengernyit sembari menjelaskan, "Hamba sudah kembalikan toko pakaian itu ke Selir Agung Haira."Safira membentak, "Tapi, gaun itu milikmu! Aku sudah minta orang untuk selidiki keesokan harinya! Rangga memesan gaun itu sesuai ukuranmu!"Andini tercengang. Itu adalah gaun sutra yang langka. Gaun yang belum tentu bisa dibuat meski sudah menunggu tiga sampai lima tahun. Rangga memberikan gaun itu padanya?Melihat ekspresi Andini yang tercengang, Safira malah makin geram. Dia menyergah, "Jangan berpura-pura lagi! Andini, sekarang kamu sudah tahu Rangga itu orang yang aku suka. Sebaiknya kamu sadar diri dan jauhi dia!"Andini langsung bersujud pada Safira seraya memohon, "Putri, tenanglah. Kalau gaun itu benar-benar diberikan Jenderal Rangga pada hamba, itu berarti hanya ada satu kemungkinan, yaitu untuk menebus kesalahan
Ketika Andini kembali ke Paviliun Ayana, hari sudah menjelang sore. Begitu masuk ke kamar, dia langsung terbaring lemas di sofa. Pikirannya dipenuhi perkataan terakhir Safira padanya.Andini baru tahu ternyata selama tiga tahun ini, Dianti dilindungi begitu ketat oleh Keluarga Adipati. Ternyata ketika Andini ditindas para dayang di penatu istana, Keluarga Biantara tidak mengizinkan Dianti masuk ke istana lagi!Hukuman Andini di penatu istana seakan-akan peringatan bagi Keluarga Adipati. Mereka takut semua orang atau segala hal di istana akan berkaitan dengan Dianti. Itu sebabnya, mereka sama sekali tidak peduli pada Andini selama tiga tahun.Ironisnya, beberapa hari setelah Andini kembali ke Kediaman Adipati, Kirana malah tidak sabar untuk membawanya ke tempat yang mereka anggap berbahaya. Tempat itu adalah istana. Memikirkan ini, Andini tak kuasa tertawa dengan pelan dan getir. Sebenarnya, Andini bisa menahan kepahitan ini. Setelah melewati tiga tahun tanpa dipedulikan, dia sudah lam
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg