Celine melenguh agak keras tubuhnya mengejang sambil memeluk suaminya erat-erat. Matanya terpejam meresapi kebahagiaan hidup bersama Arief, suami tercinta yang baru menikahinya setahun yang lalu.
Arief tergolek di samping istrinya yang cantik dengan nafas terengah-engah. Sejenak mereka saling tatap, tapi tiba-tiba Celine memalingkan wajahnya karena tak ingin Arief mengetahui air matanya yang hendak jatuh. Dengan lembut Arief memegang dagu istrinya lalu menghadapkannya ke wajahnya sendiri. "Kenapa sayang? kok nangis?" "Maafkan aku mas." jawab Celine lirih. "Setiap habis berhubungan, aku selalu merasa bersalah." lanjut wanita itu lagi. "Aku tahu sayang." Arief membelai pipi Celine dengan lembut. "Sudah jangan bahas soal itu lagi. Sudah nggak relevan." Arief tersenyum menenangkan. "Tapi aku merasa hina di mata mas." "Ssttt.. Sudahlah sayang." Jari telunjuk Arief berada di bibir Celine. "Jaman sekarang sudah nggak relevan lagi, suami menuntut istrinya harus virgin, ketika di malam perkawinan." Celine terdiam. "Toh hampir semua suami juga banyak yang tidak perjaka, jadi terlalu naif jika para suami masih menuntut calon istrinya haruslah masih virgin." Celine kembali menatap Arief. "Lagian aku menikahi mu bukan sekedar mencari keperawanan. Tapi sikap kamu yang dewasa dan keibuan itulah yang membuatku jatuh cinta." Arief kembali membelai pipi istrinya dan mengusap air matanya. "Jadi karena itu saja?" Celine mulai bisa tersenyum dan mengerling nakal. "Maksudmu?" "Karena aku bersifat seperti itu, makanya kamu jatuh cinta? jadi mulai sekarang kamu tidur dengan sifatku saja ya mas, jangan dengan tubuhku." Celine merajuk. Sontak Arief menjadi gemas lalu memeluk istrinya yang menggelinjang kegelian. "Aw, apa-apaan sih mas, lepasin ah.! "Nggak bisa, sebelum kamu tarik kata-kata yang tadi." Arief gemas. "Nggah ah. salah kamu sendiri." " Iya iya aku ngalah deh, aku nikahi kamu karena selain baik, kamu juga cantik dan menarik. Oke, sudah puas sekarang nyonya Budiman?" "Nggak, belum." Celine merajuk manja sambil bangkit duduk, hendak meninggalkan Arief. Tapi karena Arief gemas, ia tak memberi kesempatan dan segera memeluknya dari belakang, hendak mencumbui istrinya lagi, tapi. "Kriiiiing, kriiiiing, kriiiiing" bunyi weker. "Waduh sudah jam enam pagi!" "Kamu sih mas, pagi-pagi sudah minta. Mereka berdua panik tapi bahagia. "Tapi kamu suka kan?" Arief buru-buru lompat ke kamar mandi. Ditariknya tangan Celine ke dalam kamar mandi. "Aduh, mas, aku kan mau pakai baju." Celine protes, lalu masuk kembali ke kamar. Arief melihat tubuh Celine dari belakang, meliuk indah laksana gitar, lekuk-lekuk tubuhnya sungguh menggoda, putih dan mulus. Pinggulnya melambai kala berjalan, seakan memanggil untuk dijamah. Arief pun tak jadi mandi, ia masuk kembali ke kamar dan memeluk istrinya dari belakang. "Aw, mas, lepasin ah, ntar kamu telat!" "Setengah jam lagi lah sayang, kan masuk kantor jam 9, masih banyak waktu." Arief mendengus sambil mencumbui leher istrinya yang seketika itu melenguh. Tak bisa bisa dipungkiri, Celine kembali terbuai, apalagi Mr. P suaminya sudah tegak mengeras, terasa mengganjal di belakangnya. Celine berbalik dan mengulum bibir suaminya, dengan gemas ia menangkap Mr.P suaminya dan bermain-main disana. "aduh sayang, teruskan... ahh jangan berhenti." Arief memejamkan matanya meresapi cumbuan Celine. Karena tak tahan lagi, Arief pun merebahkan Celine di ranjang lalu menindihnya, kepalanya yang nakal berusaha memainkan dada istrinya yang membusung. Hingga Celine terasa seperti mendaki dan terus mendaki hingga nafasnya memburu. Apalagi Arief sudah mulai memompa dirinya. Suami istri yang dimabuk cinta itu, saling berpacu memberikan kenikmatan. Nafas mereka terdengar seperti atlet lari maraton, kadang mendengus, kadang juga ngos-ngosan. Hingga suatu saat, tubuh keduanya kaku dan akhirnya terdiam. Tapi bersimbah keringat. "Terima kasih sayang, aku bahagia punya istri secantik kamu." "Sama-sama mas, aku juga sangat bahagia mendapatkan suami tangguh dan perhatian seperti mas." Celine lalu mencium mesra bibir Arief. "Mudah-mudahan kita segera punya anak, biar aku nggak kesepian di rumah." "Iya sayang, kita akan punya tiga anak." Arief mencium ujung hidung Celine. "Dua saja mas, anak kembar, laki perempuan." "Ingat falsafah Tripod, tiga kaki akan balance dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, kalau hanya dua, tak akan bisa berdiri menopang hantaman badai kehidupan." Celine menatap sorot mata suaminya yang teduh dan meresapi kata-kata suaminya, yang terasa bijak. "Aku mandi dulu ya sayang." Arief bangun lalu ke kamar mandi dengan wajah ceria.. Ketika Celine memakai dasternya, Arief menariknya ke kamar mandi dan menyemprotkan air. "Aduh mas, apa-apaan sih, jadi basah kan?" Celine merengut manja. "Nggak apa-apa basah, nanti aku keringkan pakai lidah." "Huh, maunya, memangnya aku kucing?" Celine pura-pura cemberut. "Ha..ha..ha.. kamu tambah cantik kalau cemberut." Arief tertawa. "Jahat ah, kan aku mau bikin sarapan." "Nanti saja sayang, mandilah dulu, biar segar dan makin cantik." Lalu Arief kembali mengarahkan shower ke tubuh istrinya yang jingkrak-jingkrak berusaha menghindar. Setelah drama pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya Arief sibuk merapikan dasi di depan cermin.Sesekali, Celine membantu merapikannya hingga membuat Arief tersenyum kepadanya.
"Sayang, aku berangkat dulu, ya," kata Arief seraya meraih tas kerjanya. Celine, dengan senyum yang lembut, mendekat lalu mencium tangan suaminya. Arief membalas dengan tersenyum hangat kemudian mencium dahi istrinya, lalu mengecup kedua matanya kiri dan kanan, tak lupa dicium juga ujung hidungnya yang mancung, kemudian merambat turun bawah lagi, ke arah bibirnya yang merah merekah, bak delima yang siap dipetik. Sejenak dikulumnya bibir Celine, wanita yang selama ini, selalu setia mendampinginya siang malam, baik dalam keadaan suka ataupun duka. "Hati-hati di jalan, Mas. Jangan kebut-kebutan." Celine memperingatkan, seperti biasanya. Arief tertawa kecil, suara tawa yang menyenangkan. "Pasti sayang, Sampai nanti sore, ya." Celine mengantar sampai teras dan menatap suaminya mengendarai mobil hingga menjauh. ---*-*-*--- Sorenya, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Celine berkutat dengan laptopnya. Dulu sebelum menikah, dia memang seorang sekretaris yang jempolan dan TTS, Tekun, Teliti dan Sabar. Hingga membuat banyak pria, termasuk bos nya sendiri, ingin memperistri Celine. Namun kenyataannya, Dewi Asmara justru menjodohkan nya dengan Arief Budiman. Dari segi fisik, Arief memang tampan, hatinya juga baik. Tapi dari segi finansial, penghasilan Arief termasuk agak kecil. Maka dari itu Celine berusaha membantu mencari nafkah, dengan kerja secara part time di media online. Tak lama kemudian Hp nya berdering, ketika dilihat, ternyata suaminya yang menelpon. "Halo Mas?" Celine ceria menyambut. Di ujung telepon, suara berat terdengar, seolah membawa awan gelap yang akan menyelimuti hari-harinya. "Mbak Celine, saya minta maaf, tapi... saya harus menyampaikan kabar buruk. Pak Arief baru saja mengalami kecelakaan!" Suara temannya itu bak petir disiang bolong. Celine merasakan dunianya berhenti berputar. "Apa? Mas Arief?" suaranya bergetar, sulit baginya mempercayai kata-kata yang baru saja didengarnya. "Kecelakaan?" "Betul, sekarang dia ada di Rumah Sakit Appolonia, Sukajadi. "Ke, ke.. keadaannya ba bagaimana?" "Saya belum tahu mbak, apakah masih hidup atau..." Celine gemetar, ponselnya terjatuh ke lantai hingga pecah berantakan. Seluruh tubuhnya seolah lemas tak bertulang. Akhirnya Celine jatuh terduduk dengan perasaan campur aduk, merasakan dunianya berguncang laksana kiamat. Ia teringat Arief, satu-satunya pria yang ia cintai. Teringat kembali mimpi-mimpi mereka berdua yang ingin memiliki anak. Air mata Celine berderai, ia rasanya tak sanggup lagi hidup tanpa Arief. Makin lama kepala Celine makin berdenyut, matanya berkunang-kunang, tubuhnya limbung. "Aku mencintaimu mas." Celine mengucapkan kata terakhir sebelum jatuh pingsan. BersambungDengan sekuat tenaga dan membendung perasaan yang tak menentu, Celine berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju IGD."Mbak" Teman kerja Arief menyongsong Celine yang wajahnya nampak kusut masai."Dimana Mas Arief?" "dokter sedang menanganinya di IGD. Tolong mbak sabar dulu."Mendengar hal itu, Celine tetap tidak tenang, sebelum tahu kondisi suaminya. Jantungnya serasa berpacu dengan waktu, tak sabar ia menunggu kabar tentang belahan jiwanya, apakah masih hidup atau mati. Celine duduk hanya sebentar lalu berdiri, terkadang mondar-mandir. Sering juga sambil menggigit bibir, dengan perasaan gelisah Celine melongok ke dalam ruang IGD melalui jendela kaca kecil.---*-*-*---Empat jam berlalu. Detik demi detik seakan mempermainkan perasaan Celine, mengikis kekuatan yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit terasa sesak di mata Celine. Padahal saat itu sebenarnya tak terlalu ramai. Tak lama kemudian, dokter Pramono, yang berusia lima puluh tah
Keesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan."Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi.Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah.“Mas, aku hanya in
Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket, Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari."Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak."Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya.""Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu.""Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saj
Celine masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya."Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas.""Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan."Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini.Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakuk
Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik (Vera Rahmi Diany) duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya. Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah. “Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian. Vera memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit. Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya. Vera mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa. Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?" Vera mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bi
Di rumah Evi, tepatnya di pojok ruang tamu, Arman tengah gelagapan diserang sedemikian rupa oleh Evi. Ia berusaha menghindar karena takut dipergoki oleh Eva yang tengah ganti baju. "Hmmftt, Mbak, tunggu sebentar, nanti ketahuan Eva." Arman menjauhi bibir Evi, ia gelisah sambil melihat ke arah ruang dalam rumah Evi. "Nggak bakal, Eva kalau make up lama." Evi nyosor lagi habis berkata begitu. Arman berusaha menahan, tapi karena Evi sangat beringas, Arman akhirnya cuma bisa mengalah. Melihat reaksi Arman yang pasrah dan mulai mengimbangi nafsunya, Evi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia buru-buru mengambil sesuatu yang berharga milik Arman, hingga dia melenguh. Tapi kemudian mencoba menahan. "Aduh mbak, jangan ah. Aku nggak enak sama Eva." Arman berusaha menolak tangan Evi yang berusaha memainkan Mr. P nya. "Huh, kamu kan tahu suamiku kena Diabetes melitus, sudah nggak bisa ngasih nafkah batin. Lagian kenapa baru sekarang menolak? Kenapa nggak dari dulu-dulu!" Evi merengut. "A
Pukul enam pagi, Arief terbangun. Ia kaget sekaligus panik, buru-buru ia meraih ponselnya dan melihat notifikasi bahwa Si Cantik telah miss call dan kirim pesan melalui W******p. "Astaga! Vera pasti sangat marah. ahh, ini semua gara-gara aku ketiduran." Arief mendumel dengan kesal. Ia lalu melirik ranjang disampingnya, kosong. Rupanya Celine sudah bangun. Buru-buru Arief menjangkau kursi rodanya, lalu menaikinya dan keluar kamar. Di meja makan, nampak Celine sudah rapih mengenakan setelan blazer dan rok. Ia tak menyadari kehadiran Arief, karena pikiran Celine masih melayang pada kejadian semalam, tentang siapa yang membisikinya dan mengatakan bahwa "Ia wanita yang baik, Doa'nya pasti akan terkabul." Celine mendesah. "Mau pergi?" Arief menegur. Celine kaget karena tak melihat kehadiran Arief, sejak kapan ia disitu? "Eh, kamu sudah bangun mas? aku sedang menyiapkan sarapan. Tentunya kamu sudah lapar, ayo mas kita makan dulu." Celine mencoba tersenyum walau ia melihat raut wajah suam
Akhirnya Celine memutuskan untuk pergi saja, ia berjalan menuju pos satpam di ujung jalan komplek. Sedangkan Evi yang berusaha mengejar puncak birahinya, terus mendaki. Arman dipeluk sekuat tenaga dan diremas-remasnya kepala Arman hingga rambutnya acak-acakan. Tak lama kemudian Evi histeris saat mencapai puncak orgasme terdahsyat nya, Ia merintih, mendesah dan tubuhnya menggelepar bak ikan kekurangan air. "Hufftt.. makasih ya Arman sayang, nah, sekarang kamu temui dulu si Celine." Evi turun dari tubuh Arman yang kelihatan kecewa. "Loh, tapi aku kan belum sampe mbak, ayolah sebentar lagi saja." Arman membujuk Evi yang kelelahan dan sedang memakai pakaiannya. "Nanti malam saja diteruskan, itu si Celine lagi nyari kamu. Takutnya nanti dia malah kesini, kan jadi masalah, kalau dia tahu kamu lagi disini, ntar malah jadi skandal!" Evi memberikan alasan yang tak masuk akal, tapi Arman tetap mengikuti, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dengan lesu Arman kekuar dari rumah Evi.
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N