Celine melenguh agak keras tubuhnya mengejang sambil memeluk suaminya erat-erat. Matanya terpejam meresapi kebahagiaan hidup bersama Arief, suami tercinta yang baru menikahinya setahun yang lalu.
Arief tergolek di samping istrinya yang cantik dengan nafas terengah-engah. Sejenak mereka saling tatap, tapi tiba-tiba Celine memalingkan wajahnya karena tak ingin Arief mengetahui air matanya yang hendak jatuh. Dengan lembut Arief memegang dagu istrinya lalu menghadapkannya ke wajahnya sendiri. "Kenapa sayang? kok nangis?" "Maafkan aku mas." jawab Celine lirih. "Setiap habis berhubungan, aku selalu merasa bersalah." lanjut wanita itu lagi. "Aku tahu sayang." Arief membelai pipi Celine dengan lembut. "Sudah jangan bahas soal itu lagi. Sudah nggak relevan." Arief tersenyum menenangkan. "Tapi aku merasa hina di mata mas." "Ssttt.. Sudahlah sayang." Jari telunjuk Arief berada di bibir Celine. "Jaman sekarang sudah nggak relevan lagi, suami menuntut istrinya harus virgin, ketika di malam perkawinan." Celine terdiam. "Toh hampir semua suami juga banyak yang tidak perjaka, jadi terlalu naif jika para suami masih menuntut calon istrinya haruslah masih virgin." Celine kembali menatap Arief. "Lagian aku menikahi mu bukan sekedar mencari keperawanan. Tapi sikap kamu yang dewasa dan keibuan itulah yang membuatku jatuh cinta." Arief kembali membelai pipi istrinya dan mengusap air matanya. "Jadi karena itu saja?" Celine mulai bisa tersenyum dan mengerling nakal. "Maksudmu?" "Karena aku bersifat seperti itu, makanya kamu jatuh cinta? jadi mulai sekarang kamu tidur dengan sifatku saja ya mas, jangan dengan tubuhku." Celine merajuk. Sontak Arief menjadi gemas lalu memeluk istrinya yang menggelinjang kegelian. "Aw, apa-apaan sih mas, lepasin ah.! "Nggak bisa, sebelum kamu tarik kata-kata yang tadi." Arief gemas. "Nggah ah. salah kamu sendiri." " Iya iya aku ngalah deh, aku nikahi kamu karena selain baik, kamu juga cantik dan menarik. Oke, sudah puas sekarang nyonya Budiman?" "Nggak, belum." Celine merajuk manja sambil bangkit duduk, hendak meninggalkan Arief. Tapi karena Arief gemas, ia tak memberi kesempatan dan segera memeluknya dari belakang, hendak mencumbui istrinya lagi, tapi. "Kriiiiing, kriiiiing, kriiiiing" bunyi weker. "Waduh sudah jam enam pagi!" "Kamu sih mas, pagi-pagi sudah minta. Mereka berdua panik tapi bahagia. "Tapi kamu suka kan?" Arief buru-buru lompat ke kamar mandi. Ditariknya tangan Celine ke dalam kamar mandi. "Aduh, mas, aku kan mau pakai baju." Celine protes, lalu masuk kembali ke kamar. Arief melihat tubuh Celine dari belakang, meliuk indah laksana gitar, lekuk-lekuk tubuhnya sungguh menggoda, putih dan mulus. Pinggulnya melambai kala berjalan, seakan memanggil untuk dijamah. Arief pun tak jadi mandi, ia masuk kembali ke kamar dan memeluk istrinya dari belakang. "Aw, mas, lepasin ah, ntar kamu telat!" "Setengah jam lagi lah sayang, kan masuk kantor jam 9, masih banyak waktu." Arief mendengus sambil mencumbui leher istrinya yang seketika itu melenguh. Tak bisa bisa dipungkiri, Celine kembali terbuai, apalagi Mr. P suaminya sudah tegak mengeras, terasa mengganjal di belakangnya. Celine berbalik dan mengulum bibir suaminya, dengan gemas ia menangkap Mr.P suaminya dan bermain-main disana. "aduh sayang, teruskan... ahh jangan berhenti." Arief memejamkan matanya meresapi cumbuan Celine. Karena tak tahan lagi, Arief pun merebahkan Celine di ranjang lalu menindihnya, kepalanya yang nakal berusaha memainkan dada istrinya yang membusung. Hingga Celine terasa seperti mendaki dan terus mendaki hingga nafasnya memburu. Apalagi Arief sudah mulai memompa dirinya. Suami istri yang dimabuk cinta itu, saling berpacu memberikan kenikmatan. Nafas mereka terdengar seperti atlet lari maraton, kadang mendengus, kadang juga ngos-ngosan. Hingga suatu saat, tubuh keduanya kaku dan akhirnya terdiam. Tapi bersimbah keringat. "Terima kasih sayang, aku bahagia punya istri secantik kamu." "Sama-sama mas, aku juga sangat bahagia mendapatkan suami tangguh dan perhatian seperti mas." Celine lalu mencium mesra bibir Arief. "Mudah-mudahan kita segera punya anak, biar aku nggak kesepian di rumah." "Iya sayang, kita akan punya tiga anak." Arief mencium ujung hidung Celine. "Dua saja mas, anak kembar, laki perempuan." "Ingat falsafah Tripod, tiga kaki akan balance dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, kalau hanya dua, tak akan bisa berdiri menopang hantaman badai kehidupan." Celine menatap sorot mata suaminya yang teduh dan meresapi kata-kata suaminya, yang terasa bijak. "Aku mandi dulu ya sayang." Arief bangun lalu ke kamar mandi dengan wajah ceria.. Ketika Celine memakai dasternya, Arief menariknya ke kamar mandi dan menyemprotkan air. "Aduh mas, apa-apaan sih, jadi basah kan?" Celine merengut manja. "Nggak apa-apa basah, nanti aku keringkan pakai lidah." "Huh, maunya, memangnya aku kucing?" Celine pura-pura cemberut. "Ha..ha..ha.. kamu tambah cantik kalau cemberut." Arief tertawa. "Jahat ah, kan aku mau bikin sarapan." "Nanti saja sayang, mandilah dulu, biar segar dan makin cantik." Lalu Arief kembali mengarahkan shower ke tubuh istrinya yang jingkrak-jingkrak berusaha menghindar. Setelah drama pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya Arief sibuk merapikan dasi di depan cermin.Sesekali, Celine membantu merapikannya hingga membuat Arief tersenyum kepadanya.
"Sayang, aku berangkat dulu, ya," kata Arief seraya meraih tas kerjanya. Celine, dengan senyum yang lembut, mendekat lalu mencium tangan suaminya. Arief membalas dengan tersenyum hangat kemudian mencium dahi istrinya, lalu mengecup kedua matanya kiri dan kanan, tak lupa dicium juga ujung hidungnya yang mancung, kemudian merambat turun bawah lagi, ke arah bibirnya yang merah merekah, bak delima yang siap dipetik. Sejenak dikulumnya bibir Celine, wanita yang selama ini, selalu setia mendampinginya siang malam, baik dalam keadaan suka ataupun duka. "Hati-hati di jalan, Mas. Jangan kebut-kebutan." Celine memperingatkan, seperti biasanya. Arief tertawa kecil, suara tawa yang menyenangkan. "Pasti sayang, Sampai nanti sore, ya." Celine mengantar sampai teras dan menatap suaminya mengendarai mobil hingga menjauh. ---*-*-*--- Sorenya, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Celine berkutat dengan laptopnya. Dulu sebelum menikah, dia memang seorang sekretaris yang jempolan dan TTS, Tekun, Teliti dan Sabar. Hingga membuat banyak pria, termasuk bos nya sendiri, ingin memperistri Celine. Namun kenyataannya, Dewi Asmara justru menjodohkan nya dengan Arief Budiman. Dari segi fisik, Arief memang tampan, hatinya juga baik. Tapi dari segi finansial, penghasilan Arief termasuk agak kecil. Maka dari itu Celine berusaha membantu mencari nafkah, dengan kerja secara part time di media online. Tak lama kemudian Hp nya berdering, ketika dilihat, ternyata suaminya yang menelpon. "Halo Mas?" Celine ceria menyambut. Di ujung telepon, suara berat terdengar, seolah membawa awan gelap yang akan menyelimuti hari-harinya. "Mbak Celine, saya minta maaf, tapi... saya harus menyampaikan kabar buruk. Pak Arief baru saja mengalami kecelakaan!" Suara temannya itu bak petir disiang bolong. Celine merasakan dunianya berhenti berputar. "Apa? Mas Arief?" suaranya bergetar, sulit baginya mempercayai kata-kata yang baru saja didengarnya. "Kecelakaan?" "Betul, sekarang dia ada di Rumah Sakit Appolonia, Sukajadi. "Ke, ke.. keadaannya ba bagaimana?" "Saya belum tahu mbak, apakah masih hidup atau..." Celine gemetar, ponselnya terjatuh ke lantai hingga pecah berantakan. Seluruh tubuhnya seolah lemas tak bertulang. Akhirnya Celine jatuh terduduk dengan perasaan campur aduk, merasakan dunianya berguncang laksana kiamat. Ia teringat Arief, satu-satunya pria yang ia cintai. Teringat kembali mimpi-mimpi mereka berdua yang ingin memiliki anak. Air mata Celine berderai, ia rasanya tak sanggup lagi hidup tanpa Arief. Makin lama kepala Celine makin berdenyut, matanya berkunang-kunang, tubuhnya limbung. "Aku mencintaimu mas." Celine mengucapkan kata terakhir sebelum jatuh pingsan. BersambungDengan sekuat tenaga dan membendung perasaan yang tak menentu, Celine berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju IGD."Mbak" Teman kerja Arief menyongsong Celine yang wajahnya nampak kusut masai."Dimana Mas Arief?" "dokter sedang menanganinya di IGD. Tolong mbak sabar dulu."Mendengar hal itu, Celine tetap tidak tenang, sebelum tahu kondisi suaminya. Jantungnya serasa berpacu dengan waktu, tak sabar ia menunggu kabar tentang belahan jiwanya, apakah masih hidup atau mati. Celine duduk hanya sebentar lalu berdiri, terkadang mondar-mandir. Sering juga sambil menggigit bibir, dengan perasaan gelisah Celine melongok ke dalam ruang IGD melalui jendela kaca kecil.---*-*-*---Empat jam berlalu. Detik demi detik seakan mempermainkan perasaan Celine, mengikis kekuatan yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit terasa sesak di mata Celine. Padahal saat itu sebenarnya tak terlalu ramai. Tak lama kemudian, dokter Pramono, yang berusia lima puluh tah
Keesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan."Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi.Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah.“Mas, aku hanya in
Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket, Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari."Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak."Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya.""Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu.""Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saj
Celine masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya."Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas.""Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan."Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini.Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakuk
Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya.Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah.“Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian.Si cantik memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit.Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya.Si cantik mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa.Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?"Si cantik mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bisa disembunyikan.