Akhirnya Celine memutuskan untuk pergi saja, ia berjalan menuju pos satpam di ujung jalan komplek. Sedangkan Evi yang berusaha mengejar puncak birahinya, terus mendaki. Arman dipeluk sekuat tenaga dan diremas-remasnya kepala Arman hingga rambutnya acak-acakan. Tak lama kemudian Evi histeris saat mencapai puncak orgasme terdahsyat nya, Ia merintih, mendesah dan tubuhnya menggelepar bak ikan kekurangan air. "Hufftt.. makasih ya Arman sayang, nah, sekarang kamu temui dulu si Celine." Evi turun dari tubuh Arman yang kelihatan kecewa. "Loh, tapi aku kan belum sampe mbak, ayolah sebentar lagi saja." Arman membujuk Evi yang kelelahan dan sedang memakai pakaiannya. "Nanti malam saja diteruskan, itu si Celine lagi nyari kamu. Takutnya nanti dia malah kesini, kan jadi masalah, kalau dia tahu kamu lagi disini, ntar malah jadi skandal!" Evi memberikan alasan yang tak masuk akal, tapi Arman tetap mengikuti, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dengan lesu Arman kekuar dari rumah Evi.
Vera, bisa diibaratkan sebagai sutradara sekaligus penulis skenario, ia merancang cerita dan mengatur para pemainnya, sesuai skenario yang telah ia buat. Saat itu Vera yang masih menggenggam tangan Arief, segera mengusap Air mata mantan kekasihnya itu. "Jangan cengeng, kamu tahu kan, dari dulu aku paling tidak suka sama laki-laki cengeng dan lembek." Arief mengangguk, lalu pelan sekali ia bertanya untuk meyakinkan diri, bahwa hal itu bukanlah mimpi semata. "Apakah kamu yakin mau menikah denganku?" Vera menatap Arief dengan lembut. "Tentu saja aku mau, asal... kekayaan Alex Subrata sudah kita kuasai." Vera kemudian mengecup mesra bibir Arief. "Nah, sekarang aku punya kejutan untukmu." Vera berdiri dan hendak mendorong kursi roda Arief, yang masih tertegun. "Kejutan apa?" Arief menoleh menatap Vera dengan pandangan bertanya. "Bukan kejutan namanya kalau aku kasih tahu sekarang." Vera tersenyum dan Arief terpukau memandang wajah yang disinari matahari senja itu, sungguh canti
Esoknya, Celine sudah berpakaian rapih layaknya seorang pelamar pekerjaan. Ia dan Arief sedang menikmati sarapannya."Mas yakin nggak mau nganterin aku?" Celine menatap suaminya dengan harapan ia mau mengantarnya ke kantor Pak Alex."Aku sudah meminta tolong Arman untuk mengantarmu." Ucap Arief sambil terus makan.Celine menghela nafasnya yang terasa sesak, ia merasa keberatan diantar Arman. Firasatnya mengatakan bahwa Arman dari dulu menginginkannya. Tapi Celine pun tahu sifat suaminya, jika berkata "A" maka "A" itulah yang harus Celine jalankan. Jadi percuma saja jika Celine keberatan, toh akhirnya Arief juga yang menang. Dengan berat hati Celine pun berdiri, setelah mencium tangan suaminya, lalu bertanya."Aku lihat kursi rodamu baru mas." "Iya baru beli kemarin." Jawab Arief acuh tak acuh sambil tetap makan.Celine mau bertanya lagi tapi ragu, akhirnya ia menyambar tas kerjanya lalu bergegas keluar rumah. Arman yang sedang menunggunya di teras, buru-buru bangun dan menyambut Ce
Berbagai perasaan bergelayut dipikiran Celine, rasa tegang, kaku, nervous juga ada. Tatapan Pak Alex, dirasa Celine sangat tajam menilai, tatapan seorang penguasa.Pak Made mencoba mencairkan suasana. "Namanya Celine Antoinette Pak." Pak Made tersenyum sambil menatap bosnya."Hmm, oke, lumayan." Kata Pak Alex datar.Celine merutuk dalam hatinya. "Sialan ini orang, dikira gampang kesini, aku make up saja hampir dua jam, memilih blazerku yang terbaik dan paling mahal, pakai parfum jutaan pula. Eh, dia cuma bilang cuma lumayan."Pak Alex lalu memandang jari manis tangan kiri Celine, ia memperhatikan cincin kawin itu dengan mata menyipit. "Kamu sudah nikah?" Aduhai, tatapan matanya itu sangat menusuk. "Iya pak, sudah. Tapi saya belum punya anak." Jawab Celine mencoba tenang dan meyakinkan dirinya sendiri, agar tak terlalu kelihatan cupu di depan calon bosnya ini.Karena dulu, Celine sering berhadapan dengan berbagai macam orang, jadi sedikit banyak Celine juga mempelajari banyak karakte
Sudah hampir tiga jam Celine berkutat dengan laporan. Ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul dua belas, tiba-tiba datang dua orang gadis cantik dengan penampilan elegan, menghadap Celine."Selamat siang bu." Salah seorang gadis cantik, yang lebih tinggi menyapa Celine."Siang, ada yang bisa saya bantu?" Celine menatap kedua gadis tersebut dengan tatapan heran."Saya Maya bu dan ini Vina. Kami hendak menyerahkan laporan." Ujar si gadis yang menyebut dirinya Maya.Saat Celine hendak bertanya, Pak Alex masuk ruangan."Kamu sudah kenal dengan mereka Celine?" Pak Alex berjalan ke kursinya sambil bertanya."Maaf, belum pak." Celine menatap bosnya lalu pandangannya beralih ke Maya dan gadis satu lagi."Jadi Pak Made belum memberitahu kamu ya?" Pak Alex tertawa.Celine mengerutkan kening. "Memberitahu tentang apa pak?""Mereka ini juga sekretaris saya." Ujar Pak Alex tenang.Celine mulai paham bahwa Pak Alex mempunyai lebih dari satu sekretaris, tentunya dengan job description yang berbeda
Celine mengeluh, kepalanya masih terasa berat, begitu juga dengan matanya, yang seperti diganduli benda berat, susah untuk dibuka. Otaknya mencoba mencerna tapi tak bisa, karena kesadarannya masih timbul tenggelam. Mau tak mau Celine tetap terpejam, apalagi ia merasa kedinginan dan selimut itu lumayan hangat, tangan kirinya mencoba membetulkan letak selimut, tapi tak sengaja Celine memegang sesuatu benda, hangat tapi lembek. Ia hendak memastikan benda itu apa, karena kesadarannya masih belum pulih. Setelah sesaat dipegang-pegang, benda itu pun akhirnya mengeras dan berdenyut-denyut."Ahh, sayaaang." Terdengar suara laki-laki merintih disebelah Celine.Celine pun tanpa sadar jadi senang, jantungnya berdebar-debar. Apakah suaminya sudah sembuh? Dengan harapan baru, Ia mencoba memancing suaminya.Pancingan itu berhasil, terbukti kini laki-laki disebelahnya juga menjamah tubuh Celine. Karena lama tak mendapatkan kasih sayang, Celine mencoba lebih agresif lagi. Tapi kemudian ia menjadi t
Setelah Celine dan Pak Alex mengenalkan pakaiannya kembali. Mereka berdua mencoba mencari tahu tentang kejadian waktu di restoran tadi malam. Tapi karena Pak Alex masih marah-marah, Celine jadi sulit berfikir. Baru kali ini Celine melihat Pak Alex beberapa kali mengeluarkan sumpah serapahnya. Ia sangat marah sekali. Harga dirinya seolah diinjak-injak. Dan kemarahan itu ia lampiaskan pada kedua Bodyguardnya yang mengaku juga tertidur setelah diberi minuman oleh seorang wanita cantik.Lain Pak Alex, lain pula Celine. Ia memang sangat emosi, namun alangkah baiknya dalam kondisi demikian, ia tetap berfikir jernih, karena emosi akan membutakan pikiran dan nalurinya.Tapi karena Pak Alex masih marah-marah, Celine jadi sulit konsentrasi dalam merangkai kejadian yang menimpanya. Ia lalu memutuskan untuk keluar dari kamar hotel itu. "Kamu mau kemana?" Pak Alex tak dapat mencegah rasa keingintahuan, kenapa Celine mau pergi."Jika bapak terus-mene
Bab 16 Setelah Vera puas dengan hasil kerjanya, ia tampak merenung.Bayu yang tengah duduk di sofa ruang kerja Vera, memandangi wanita itu dengan alis terangkat. Ruangan itu dipenuhi aura ambisi yang kelam. Vera berdiri di depan jendela besar, tangannya memegang gelas anggur.Bayu menyilangkan tangan di dada."Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"Vera menoleh perlahan, senyumnya tipis tapi mematikan. "Celine harus menikah dengan Pak Alex."Bayu tertawa pendek, sarkastik."Kau pikir Pak Alex akan tertarik pada Celine? Dia sudah tua, Vera, dia bukan tipe pria yang mudah terpikat."Vera mendekat, menatapnya dengan mata tajam. "Bayu, setiap pria punya kelemahan. Aku tahu kelemahan Pak Alex. Uang dan perhatian. Celine hanya perlu bersikap seperti istri yang pengertian, sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan sejak istrinya meninggal."Bayu terdiam sejenak, mencoba mencerna."Baiklah, anggap itu berhasil. Lalu apa? Arief akan menceraikan Celine begitu saja?""Arief tidak punya pilihan." Vera
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N