Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik (Vera Rahmi Diany) duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya.
Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah. “Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian. Vera memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit. Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya. Vera mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa. Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?" Vera mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bisa disembunyikan. “Itu dia masalahnya! Sifat Arief nggak pernah berubah sedikitpun. Dulu suka obral janji, sekarang pun masih sama. Tapi semua janjinya itu palsu! Dia janji mau kabarin soal Celine, apakah istrinya itu mau atau tidak, menjadi sekretaris Pak Alex, itu saja! Tadi aku telepon, jangankan di respon, diangkat pun tidak!” Bayu tersenyum bijak, lalu menanggapi dengan nada sedikit santai agar tunangannya itu turun emosinya. “Bisa jadi, mungkin dia sedang bercumbu sama istrinya, makanya dia nggak mau diganggu.” Mata Vera yang berbulu lentik itu menyipit, tatapannya sinis tapi penuh amarah. “Arief mencumbui istrinya? Dengan kondisinya yang impoten? Huh, Itu sama aja kayak berharap pohon bisa berbuah emas!” Bayu tersadar, ekspresinya berubah kikuk. “Maaf, aku lupa… Kamu benar.” Vera memalingkan wajahnya, memandang ke luar jendela kafe, melihat riak ombak yang menghantam pantai dengan ritme tenang tapi kemarahannya tetap tidak mereda. Bayu mencoba mengganti topik. “Lalu, bagaimana dengan yang lain? Evi, Eva, dan Arman. apakah mereka patuh?” Vera kembali menoleh pada Bayu, ekspresinya tetap dingin, dengan ketus ia menjawab. “Nggak ada masalah dengan mereka. Evi masih setia mengawasi setiap pergerakan Arief, Arman dan Pak Alex. begitu juga dengan adiknya si Eva. Sedangkan Arman… Arman sedang proses menjalankan tugasnya, untuk mendekati Celine. Mereka semua tahu tugas masing-masing.” Bayu tersenyum puas. “Bagus. Tapi kalau rencana ini gagal… kamu sudah siap menghadapi risiko?” Mendengar itu, Vera langsung menatap Bayu dengan sorot mata tajam dan berapi-api. Dadanya yang busung terlihat naik turun, karena emosi. “Gagal? Tidak ada kata gagal! Setelah semua yang sudah aku jalani selama ini. rasa sakit yang bertahun-tahun aku tanggung… dan akhirnya gagal! Enggak! aku nggak mau gagal dan nggak akan pernah gagal!" Bayu memperhatikan Vera sejenak, lalu bertanya hati-hati, suaranya lembut. “Kenapa sih kamu begitu berambisi untuk menguasai harta Pak Alex?" Vera terdiam, matanya yang tadinya berkilat kini berubah sendu. Sorot matanya menerawang jauh, kembali pada kenangan dua belas tahun yang lalu. Tanpa terasa air matanya berlinang. *Flashback* Ruangan sidang yang dingin dan terasa begitu asing, meski penuh orang, terasa sepi dan menyakitkan bagi Vera, yang kala itu berusia 15 tahun. Ia duduk di samping Mamanya, Saras Dewanti, yang matanya sembab, wajahnya terlihat lelah dan penuh luka. Di seberang mereka, Papanya Vera, Indra Wijaya, duduk diam, tak bergeming saat hakim membaca putusan. “Dengan ini, saudara Indra Wijaya bin Surya Wijaya dan saudari Saras Dewanti binti Bima Kartanegara, dinyatakan resmi bercerai,” hakim mengetukkan palu dengan suara yang tegas, yang menggetarkan hati si cantik. Saras Dewanti menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Vera menggenggam tangan mamanya erat, meski dirinya juga tak kuasa menahan air mata. Setelah putusan, Indra Wijaya hanya memberikan tiga miliar sebagai kompensasi, sementara hartanya yang nyaris lima triliun, tetap utuh bersama dirinya. Tak ada harta gono-gini untuk Saras dan Vera. Semua itu dilakukan Indra, demi mengawini Tina Mustika, sekretarisnya yang jauh lebih cantik, lebih muda dan tentu saja lebih segar daripada Saras. Setelah itu, hidup Vera dan mamanya berubah drastis. Usaha yang mereka kelola kecil-kecilan bangkrut. Tiga tahun setelah perceraian, seluruh hartanya habis. Mereka pun terpaksa hidup sebagai pemulung dan tinggal di gerobak, karena tak sanggup lagi membayar kontrakan. Kemiskinan dan penyakit merenggut nyawa Saras dua tahun setelahnya. Vera pun sendirian, memendam sakit dan dendam. Apalagi papanya seolah tak perduli. Empat tahun kemudian, tepatnya setelah tujuh tahun Papanya menikahi Tina, ia jatuh sakit dan meninggal. Karena tak punya anak, otomatis seluruh hartanya yang berjumlah lima belas triliun itu, jatuh ke tangan Tina Mustika, yang setahun kemudian menikah lagi dengan Pak Alex Subrata. Setelah kematian mamanya, Vera bersumpah untuk membalas semua kepedihan yang ia dan Mamanya derita. Ia bangkit, bekerja keras, lalu kuliah sambil bekerja apa saja, asal bisa memenuhi kebutuhannya. Saat itulah Vera bertemu Arief dan mereka memadu kasih. Tapi akhirnya si cantik memutuskan Arief yang begitu memujanya. Vera mengalihkan cintanya pada Ario Bayu Prakasa yang sekarang menjadi tunangannya. Vera lebih memilih Bayu karena ia kaya dan mau membiayai hidup dan kuliahnya hingga lulus. *Back to normal* Kembali ke Kafe Setelah mengingat semua itu, Vera menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Bayu yang melihat mata kekasihnya banjir air mata, segera menghampiri dan duduk disampingnya, lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengusap air mata Vera. Kemudian ia menggenggam tangannya dengan lembut. “Kamu nggak harus cerita kalau memang itu berat dan menyakitkan." ucap Bayu, suaranya pelan namun penuh ketulusan. "Toh, semua itu sudah aku ketahui." Bayu lalu mengecup mesra kening kekasihnya. Vera terharu. “Tidak, Bayu. Aku harus selalu ingat, karena semua itu menjadikan aku terus termotivasi, kenapa aku harus melakukan semua ini. Tina menghancurkan hidup Mama dan hidupku. Setelah meninggalkan Mama, Papa langsung menyerahkan semua pada Tina. Setelah papa mati, Tina enak-enakan hidup mewah dengan Pak Alex, sementara kami hidup sebagai pemulung. Mama ku juga meninggal karena sakit paru-paru. Semua penderitaan kami, itu karena Tina dan Pak Alex, makanya aku harus merebut kembali hakku!” Mata Vera berkobar-kobar penuh amarah dan dendam. Bayu mengangguk mengerti, tak ingin memotong. “Aku tahu sayang. Kamu sudah lama menahan ini semua.” Bayu menggenggam tangan kekasihnya lebih erat. “Jangan kuatir, aku selalu disampingmu sayang. Aku nggak akan membiarkan kamu berjuang sendirian. Aku akan selalu mendukung semua rencanamu.” Vera tersenyum, menatap tunangannya dengan rasa syukur. “Thanks Beb. Kamu selalu ada buat aku, dan aku tahu kita akan menang kali ini.” Vera kemudian mengecup bibir Bayu, yang kemudian meminta lebih. Akhirnya mereka saling mengulum lama sekali, pelan tapi pasti, si cantik mulai terbuai dan amarahnya menjadi turun. Tapi sebaliknya, birahi Bayu semakin meningkat, nafsunya terbakar. Tanpa basa-basi, mereka berdua segera naik ke lantai lima dan masuk kamar hotel. Bukan hanya untuk menuntaskan gairah yang meletup-letup, tapi memang making love itu diperlukan, agar mereka bisa menyatu tanpa penghalang apapun, seperti bayi yang baru lahir, polos, tak mengenakan pakaian apapun. Bayu dan si cantik pun memulai permainan take and give. Nun jauh di Cluster Ruby, Arman dan Evi juga tengah terbakar birahi, saling menjamah, saling mencumbu dan saling berbagi kenikmatan. Hingga untuk sementara waktu, Arman terlupa akan Celine, yang saat itu matanya terlihat murung memandang langit-langit kamarnya. Dibalik rasa penasaran akan si penelpon misterius berinisial "X-GF College" Celine juga merasa kesepian dan sendiri. -------*-*-*------- BersambungDi rumah Evi, tepatnya di pojok ruang tamu, Arman tengah gelagapan diserang sedemikian rupa oleh Evi. Ia berusaha menghindar karena takut dipergoki oleh Eva yang tengah ganti baju. "Hmmftt, Mbak, tunggu sebentar, nanti ketahuan Eva." Arman menjauhi bibir Evi, ia gelisah sambil melihat ke arah ruang dalam rumah Evi. "Nggak bakal, Eva kalau make up lama." Evi nyosor lagi habis berkata begitu. Arman berusaha menahan, tapi karena Evi sangat beringas, Arman akhirnya cuma bisa mengalah. Melihat reaksi Arman yang pasrah dan mulai mengimbangi nafsunya, Evi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia buru-buru mengambil sesuatu yang berharga milik Arman, hingga dia melenguh. Tapi kemudian mencoba menahan. "Aduh mbak, jangan ah. Aku nggak enak sama Eva." Arman berusaha menolak tangan Evi yang berusaha memainkan Mr. P nya. "Huh, kamu kan tahu suamiku kena Diabetes melitus, sudah nggak bisa ngasih nafkah batin. Lagian kenapa baru sekarang menolak? Kenapa nggak dari dulu-dulu!" Evi merengut. "A
Pukul enam pagi, Arief terbangun. Ia kaget sekaligus panik, buru-buru ia meraih ponselnya dan melihat notifikasi bahwa Si Cantik telah miss call dan kirim pesan melalui W******p. "Astaga! Vera pasti sangat marah. ahh, ini semua gara-gara aku ketiduran." Arief mendumel dengan kesal. Ia lalu melirik ranjang disampingnya, kosong. Rupanya Celine sudah bangun. Buru-buru Arief menjangkau kursi rodanya, lalu menaikinya dan keluar kamar. Di meja makan, nampak Celine sudah rapih mengenakan setelan blazer dan rok. Ia tak menyadari kehadiran Arief, karena pikiran Celine masih melayang pada kejadian semalam, tentang siapa yang membisikinya dan mengatakan bahwa "Ia wanita yang baik, Doa'nya pasti akan terkabul." Celine mendesah. "Mau pergi?" Arief menegur. Celine kaget karena tak melihat kehadiran Arief, sejak kapan ia disitu? "Eh, kamu sudah bangun mas? aku sedang menyiapkan sarapan. Tentunya kamu sudah lapar, ayo mas kita makan dulu." Celine mencoba tersenyum walau ia melihat raut wajah suam
Akhirnya Celine memutuskan untuk pergi saja, ia berjalan menuju pos satpam di ujung jalan komplek. Sedangkan Evi yang berusaha mengejar puncak birahinya, terus mendaki. Arman dipeluk sekuat tenaga dan diremas-remasnya kepala Arman hingga rambutnya acak-acakan. Tak lama kemudian Evi histeris saat mencapai puncak orgasme terdahsyat nya, Ia merintih, mendesah dan tubuhnya menggelepar bak ikan kekurangan air. "Hufftt.. makasih ya Arman sayang, nah, sekarang kamu temui dulu si Celine." Evi turun dari tubuh Arman yang kelihatan kecewa. "Loh, tapi aku kan belum sampe mbak, ayolah sebentar lagi saja." Arman membujuk Evi yang kelelahan dan sedang memakai pakaiannya. "Nanti malam saja diteruskan, itu si Celine lagi nyari kamu. Takutnya nanti dia malah kesini, kan jadi masalah, kalau dia tahu kamu lagi disini, ntar malah jadi skandal!" Evi memberikan alasan yang tak masuk akal, tapi Arman tetap mengikuti, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dengan lesu Arman kekuar dari rumah Evi.
Vera, bisa diibaratkan sebagai sutradara sekaligus penulis skenario, ia merancang cerita dan mengatur para pemainnya, sesuai skenario yang telah ia buat. Saat itu Vera yang masih menggenggam tangan Arief, segera mengusap Air mata mantan kekasihnya itu. "Jangan cengeng, kamu tahu kan, dari dulu aku paling tidak suka sama laki-laki cengeng dan lembek." Arief mengangguk, lalu pelan sekali ia bertanya untuk meyakinkan diri, bahwa hal itu bukanlah mimpi semata. "Apakah kamu yakin mau menikah denganku?" Vera menatap Arief dengan lembut. "Tentu saja aku mau, asal... kekayaan Alex Subrata sudah kita kuasai." Vera kemudian mengecup mesra bibir Arief. "Nah, sekarang aku punya kejutan untukmu." Vera berdiri dan hendak mendorong kursi roda Arief, yang masih tertegun. "Kejutan apa?" Arief menoleh menatap Vera dengan pandangan bertanya. "Bukan kejutan namanya kalau aku kasih tahu sekarang." Vera tersenyum dan Arief terpukau memandang wajah yang disinari matahari senja itu, sungguh canti
Esoknya, Celine sudah berpakaian rapih layaknya seorang pelamar pekerjaan. Ia dan Arief sedang menikmati sarapannya."Mas yakin nggak mau nganterin aku?" Celine menatap suaminya dengan harapan ia mau mengantarnya ke kantor Pak Alex."Aku sudah meminta tolong Arman untuk mengantarmu." Ucap Arief sambil terus makan.Celine menghela nafasnya yang terasa sesak, ia merasa keberatan diantar Arman. Firasatnya mengatakan bahwa Arman dari dulu menginginkannya. Tapi Celine pun tahu sifat suaminya, jika berkata "A" maka "A" itulah yang harus Celine jalankan. Jadi percuma saja jika Celine keberatan, toh akhirnya Arief juga yang menang. Dengan berat hati Celine pun berdiri, setelah mencium tangan suaminya, lalu bertanya."Aku lihat kursi rodamu baru mas." "Iya baru beli kemarin." Jawab Arief acuh tak acuh sambil tetap makan.Celine mau bertanya lagi tapi ragu, akhirnya ia menyambar tas kerjanya lalu bergegas keluar rumah. Arman yang sedang menunggunya di teras, buru-buru bangun dan menyambut Ce
Berbagai perasaan bergelayut dipikiran Celine, rasa tegang, kaku, nervous juga ada. Tatapan Pak Alex, dirasa Celine sangat tajam menilai, tatapan seorang penguasa.Pak Made mencoba mencairkan suasana. "Namanya Celine Antoinette Pak." Pak Made tersenyum sambil menatap bosnya."Hmm, oke, lumayan." Kata Pak Alex datar.Celine merutuk dalam hatinya. "Sialan ini orang, dikira gampang kesini, aku make up saja hampir dua jam, memilih blazerku yang terbaik dan paling mahal, pakai parfum jutaan pula. Eh, dia cuma bilang cuma lumayan."Pak Alex lalu memandang jari manis tangan kiri Celine, ia memperhatikan cincin kawin itu dengan mata menyipit. "Kamu sudah nikah?" Aduhai, tatapan matanya itu sangat menusuk. "Iya pak, sudah. Tapi saya belum punya anak." Jawab Celine mencoba tenang dan meyakinkan dirinya sendiri, agar tak terlalu kelihatan cupu di depan calon bosnya ini.Karena dulu, Celine sering berhadapan dengan berbagai macam orang, jadi sedikit banyak Celine juga mempelajari banyak karakte
Sudah hampir tiga jam Celine berkutat dengan laporan. Ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul dua belas, tiba-tiba datang dua orang gadis cantik dengan penampilan elegan, menghadap Celine."Selamat siang bu." Salah seorang gadis cantik, yang lebih tinggi menyapa Celine."Siang, ada yang bisa saya bantu?" Celine menatap kedua gadis tersebut dengan tatapan heran."Saya Maya bu dan ini Vina. Kami hendak menyerahkan laporan." Ujar si gadis yang menyebut dirinya Maya.Saat Celine hendak bertanya, Pak Alex masuk ruangan."Kamu sudah kenal dengan mereka Celine?" Pak Alex berjalan ke kursinya sambil bertanya."Maaf, belum pak." Celine menatap bosnya lalu pandangannya beralih ke Maya dan gadis satu lagi."Jadi Pak Made belum memberitahu kamu ya?" Pak Alex tertawa.Celine mengerutkan kening. "Memberitahu tentang apa pak?""Mereka ini juga sekretaris saya." Ujar Pak Alex tenang.Celine mulai paham bahwa Pak Alex mempunyai lebih dari satu sekretaris, tentunya dengan job description yang berbeda
Celine mengeluh, kepalanya masih terasa berat, begitu juga dengan matanya, yang seperti diganduli benda berat, susah untuk dibuka. Otaknya mencoba mencerna tapi tak bisa, karena kesadarannya masih timbul tenggelam. Mau tak mau Celine tetap terpejam, apalagi ia merasa kedinginan dan selimut itu lumayan hangat, tangan kirinya mencoba membetulkan letak selimut, tapi tak sengaja Celine memegang sesuatu benda, hangat tapi lembek. Ia hendak memastikan benda itu apa, karena kesadarannya masih belum pulih. Setelah sesaat dipegang-pegang, benda itu pun akhirnya mengeras dan berdenyut-denyut."Ahh, sayaaang." Terdengar suara laki-laki merintih disebelah Celine.Celine pun tanpa sadar jadi senang, jantungnya berdebar-debar. Apakah suaminya sudah sembuh? Dengan harapan baru, Ia mencoba memancing suaminya.Pancingan itu berhasil, terbukti kini laki-laki disebelahnya juga menjamah tubuh Celine. Karena lama tak mendapatkan kasih sayang, Celine mencoba lebih agresif lagi. Tapi kemudian ia menjadi t
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N