Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya.
Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah. “Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian. Si cantik memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit. Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya. Si cantik mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa. Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?" Si cantik mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bisa disembunyikan. “Itu dia masalahnya! Sifat Arief nggak pernah berubah. Dulu suka obral janji, sekarang pun masih sama. Tapi semua janjinya itu palsu! Dia janji mau kabarin soal Celine, apakah istrinya itu mau atau tidak, menjadi sekretaris Pak Alex, itu saja! Tadi aku telepon, jangankan di respon, diangkat pun tidak!” Bayu tersenyum bijak, lalu menanggapi dengan nada sedikit santai agar tunangannya itu turun emosinya. “Bisa jadi, mungkin dia sedang bercumbu sama istrinya, makanya dia nggak mau diganggu.” Mata si cantik yang berbulu lentik itu menyipit, tatapannya sinis tapi penuh amarah. “Arief mencumbui istrinya? Dengan kondisinya yang impoten? Huh, Itu sama aja kayak berharap pohon bisa berbuah emas!” Bayu tersadar, ekspresinya berubah kikuk. “Maaf, aku lupa… Kamu benar.” Si cantik memalingkan wajahnya, memandang ke luar jendela kafe, melihat riak ombak yang menghantam pantai dengan ritme tenang tapi kemarahannya tetap tidak mereda. Bayu mencoba mengganti topik. “Lalu, bagaimana dengan yang lain? Evi, Eva, dan Arman. apakah mereka patuh?” Si cantik kembali menoleh pada Bayu, ekspresinya tetap dingin, dengan ketus ia menjawab. “Nggak ada masalah dengan mereka. Evi masih setia mengawasi setiap pergerakan Arief, Arman dan Pak Alex. begitu juga dengan adiknya si Eva. Sedangkan Arman… Arman sedang proses menjalankan tugasnya, untuk mendekati Celine. Mereka semua tahu tugas masing-masing.” Bayu tersenyum puas. “Bagus. Tapi kalau rencana ini gagal… kamu sudah siap menghadapi risiko?” Mendengar itu, Si cantik langsung menatap Bayu dengan sorot mata tajam dan berapi-api. Dadanya yang busung terlihat naik turun. “Gagal? Tidak ada kata gagal! Setelah semua yang sudah aku jalani selama ini. rasa sakit yang bertahun-tahun aku tanggung… dan akhirnya gagal! Enggak! aku nggak mau gagal dan nggak akan pernah gagal!" Bayu memperhatikan kekasihnya sejenak, lalu bertanya hati-hati, suaranya lembut. “Kenapa sih kamu begitu berambisi untuk menguasai harta Pak Alex?" Vera terdiam, matanya yang tadinya berkilat kini berubah sendu. Sorot matanya menerawang jauh, kembali pada kenangan dua belas tahun yang lalu. Tanpa terasa air matanya berlinang. *Flashback* Ruangan sidang yang dingin dan terasa begitu asing, meski penuh orang, terasa sepi dan menyakitkan bagi Si cantik, yang kala itu berusia 15 tahun. Ia duduk di samping Mamanya, Saras Dewanti, yang matanya sembab, wajahnya terlihat lelah dan penuh luka. Di seberang mereka, Papanya si cantik, Indra Wijaya, duduk diam, tak bergeming saat hakim membaca putusan. “Dengan ini, saudara Indra Wijaya bin Surya Wijaya dan saudari Saras Dewanti binti Bima Kartanegara, dinyatakan resmi bercerai,” hakim mengetukkan palu dengan suara yang tegas, yang menggetarkan hati si cantik. Saras Dewanti menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Si cantik menggenggam tangan mamanya erat, meski dirinya juga tak kuasa menahan air mata. Setelah putusan, Indra Wijaya hanya memberikan tiga miliar sebagai kompensasi, sementara hartanya yang nyaris lima triliun, tetap utuh bersama dirinya. Tak ada harta gono-gini untuk Saras dan si cantik. Semua itu dilakukan Indra, demi mengawini Tina Mustika, sekretarisnya yang jauh lebih cantik, lebih muda dan tentu saja lebih segar daripada Saras. Setelah itu, hidup si cantik dan mamanya berubah drastis. Usaha yang mereka kelola kecil-kecilan bangkrut. Tiga tahun setelah perceraian, seluruh hartanya habis. Mereka pun terpaksa hidup sebagai pemulung dan tinggal di gerobak, karena tak sanggup lagi membayar kontrakan. Kemiskinan dan penyakit merenggut nyawa Saras dua tahun setelahnya. Si cantik pun sendirian, memendam sakit dan dendam. Apalagi papanya seolah tak perduli. Empat tahun kemudian, tepatnya setelah tujuh tahun Papanya menikahi Tina, ia jatuh sakit dan meninggal. Karena tak punya anak, otomatis seluruh hartanya yang berjumlah lima belas triliun itu, jatuh ke tangan Tina Mustika, yang setahun kemudian menikah lagi dengan Pak Alex Subrata. Setelah kematian mamanya, si cantik bersumpah untuk membalas semua kepedihan yang ia dan Mamanya derita. Ia bangkit, bekerja keras, lalu kuliah sambil bekerja apa saja, asal bisa memenuhi kebutuhannya. Saat itulah si cantik bertemu Arief dan mereka memadu kasih. Tapi akhirnya si cantik memutuskan Arief yang begitu memujanya. Si cantik mengalihkan cintanya pada Bayu Prakasa yang sekarang menjadi tunangannya. Si cantik lebih memilih Bayu karena ia kaya dan mau membiayai hidup dan kuliahnya hingga lulus. *Back to normal* Kembali ke Kafe Setelah mengingat semua itu, Vera menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Bayu yang melihat mata kekasihnya banjir air mata, segera menghampiri dan duduk disampingnya, lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengusap air mata si cantik. Kemudian ia menggenggam tangannya dengan lembut. “Kamu nggak harus cerita kalau memang itu berat dan menyakitkan." ucap Bayu, suaranya pelan namun penuh ketulusan. "Toh, semua itu sudah aku ketahui." Bayu lalu mengecup mesra kening kekasihnya. Si cantik terharu. “Tidak, Bayu. Aku harus selalu ingat, karena semua itu menjadikan aku terus termotivasi, kenapa aku harus melakukan semua ini. Tina menghancurkan hidup Mama dan hidupku. Setelah meninggalkan Mama, Papa langsung menyerahkan semua pada Tina. Setelah papa mati, Tina enak-enakan hidup mewah dengan Pak Alex, sementara kami hidup sebagai pemulung. Mama ku juga meninggal karena sakit paru-paru. Semua penderitaan kami, itu karena Tina dan Pak Alex, makanya aku harus merebut kembali hakku!” Mata si cantik berkobar-kobar penuh amarah dan dendam. Bayu mengangguk mengerti, tak ingin memotong. “Aku tahu, sayang. Kamu sudah lama menahan ini semua.” Bayu menggenggam tangan kekasihnya lebih erat. “Jangan kuatir, aku selalu disampingmu sayang. Aku nggak akan membiarkan kamu berjuang sendirian. Aku akan selalu mendukung semua rencanamu.” Si cantik tersenyum, menatap tunangannya dengan rasa syukur. “Thanks Beb. Kamu selalu ada buat aku, dan aku tahu kita akan menang kali ini.” Si cantik kemudian mengecup bibir Bayu, yang kemudian meminta lebih. Akhirnya mereka saling mengulum lama sekali, pelan tapi pasti, si cantik mulai terbuai dan amarahnya menjadi turun. Tapi sebaliknya, birahi Bayu semakin meningkat, nafsunya terbakar. Tanpa basa-basi, mereka berdua segera naik ke lantai lima dan masuk kamar hotel. Bukan hanya untuk menuntaskan gairah yang meletup-letup, tapi memang making love itu diperlukan, agar mereka bisa menyatu tanpa penghalang apapun, seperti bayi yang baru lahir, polos, tak mengenakan pakaian apapun. Bayu dan si cantik pun memulai permainan take and give. Nun jauh di Cluster Ruby, Arman dan Evi juga tengah terbakar birahi, saling menjamah, saling mencumbu dan saling berbagi kenikmatan. Hingga untuk sementara waktu, Arman terlupa akan Celine, yang saat itu matanya terlihat murung memandang langit-langit kamarnya. Dibalik rasa penasaran akan si penelpon misterius berinisial "X-GF College" Celine juga merasa kesepian dan sendiri. -------*-*-*------- BersambungCeline melenguh agak keras tubuhnya mengejang sambil memeluk suaminya erat-erat. Matanya terpejam meresapi kebahagiaan hidup bersama Arief, suami tercinta yang baru menikahinya setahun yang lalu. Arief tergolek di samping istrinya yang cantik dengan nafas terengah-engah. Sejenak mereka saling tatap, tapi tiba-tiba Celine memalingkan wajahnya karena tak ingin Arief mengetahui air matanya yang hendak jatuh. Dengan lembut Arief memegang dagu istrinya lalu menghadapkannya ke wajahnya sendiri. "Kenapa sayang? kok nangis?" "Maafkan aku mas." jawab Celine lirih. "Setiap habis berhubungan, aku selalu merasa bersalah." lanjut wanita itu lagi. "Aku tahu sayang." Arief membelai pipi Celine dengan lembut. "Sudah jangan bahas soal itu lagi. Sudah nggak relevan." Arief tersenyum menenangkan. "Tapi aku merasa hina di mata mas." "Ssttt.. Sudahlah sayang." Jari telunjuk Arief berada di bibir Celine. "Jaman sekarang sudah nggak relevan lagi, suami menuntut istrinya harus virgin, ketika di malam
Dengan sekuat tenaga dan membendung perasaan yang tak menentu, Celine berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju IGD."Mbak" Teman kerja Arief menyongsong Celine yang wajahnya nampak kusut masai."Dimana Mas Arief?" "dokter sedang menanganinya di IGD. Tolong mbak sabar dulu."Mendengar hal itu, Celine tetap tidak tenang, sebelum tahu kondisi suaminya. Jantungnya serasa berpacu dengan waktu, tak sabar ia menunggu kabar tentang belahan jiwanya, apakah masih hidup atau mati. Celine duduk hanya sebentar lalu berdiri, terkadang mondar-mandir. Sering juga sambil menggigit bibir, dengan perasaan gelisah Celine melongok ke dalam ruang IGD melalui jendela kaca kecil.---*-*-*---Empat jam berlalu. Detik demi detik seakan mempermainkan perasaan Celine, mengikis kekuatan yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit terasa sesak di mata Celine. Padahal saat itu sebenarnya tak terlalu ramai. Tak lama kemudian, dokter Pramono, yang berusia lima puluh tah
Keesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan."Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi.Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah.“Mas, aku hanya in
Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket, Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari."Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak."Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya.""Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu.""Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saj
Celine masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya."Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas.""Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan."Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini.Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakuk