Celine masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya.
"Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas." "Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan." Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini. Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakukan dengan sambil merangkak, hingga si misterius itu melihat demikian erotisnya tubuh Celine. Tapi sejurus kemudian, Celine tersadar dan merasa seperti ada orang di belakangnya. Ia pun menoleh dan ia kaget setengah mati melihat Arman berdiri di ambang pintu dapur. Matanya terlihat nanar menatap titik-titik sensitif ditubuhnya. "Mas Arman? Kamu ngapain di sini?" Suaranya sedikit meninggi, jelas Celine sangat tersinggung. ia pun tersadar hanya mengenakan gaun tidur mini, tanpa mengenakan pakaian dalam sama sekali. Pantas Arman begitu nafsu memandangi auratnya yang samar-samar terlihat dari balik gaunnya yang menerawang. Celine bergegas mengambil celemek yang lumayan besar untuk menutupi tubuh dan auratnya yang mengintip malu-malu dibalik gaunnya yang tipis. Arman kaget, gelagapan dan mencoba menahan gejolak birahinya. Ia buru-buru meminta maaf "Maaf, Celine, eh, mbak, maaf mbak. Saya..saya tadi sudah ketok pintu, tapi tidak ada yang jawab. Saya cuma mau antar pesanan belanja." Celine menghela napas jengkel, ia masih merasa tidak nyaman. "Tapi masuk rumah orang tanpa izin itu... tidak sopan, mas." Arman menunduk, berusaha menghindari tatapan Celine. "Maaf, sekali lagi aku minta maaf. aku tidak bermaksud begitu, eh maksudnya aku nggak berniat apa-apa" Arman melangkah mundur, ia merasa bersalah. "Saya keluar sekarang." Celine hanya terdiam, memandangi punggung Arman yang perlahan meninggalkan rumah. Jujur Celine memang sangat membutuhkan belaian laki-laki, tapi laki-laki itu tentu saja suaminya sendiri, bukan orang lain. Celine masih punya harga diri. Sejenak Celine menenangkan diri dari nafasnya yang terasa sesak. Lalu baru ingat sesuatu, Celine tertegun, teringat bahwa ia belum memberikan uang belanjaan. Bergegas, ia masuk ke kamar untuk mengambil dompet. Saat itu, ia melihat Arief duduk di kursi rodanya dekat jendela, menatap keluar dengan wajah yang sedikit tegang. Celine tak mau mengusiknya, lekas ia mengganti daster tidurnya dengan pakaian kasual, lalu pergi keluar. Di halaman, Arman sedang berbicara dengan seorang wanita cantik yang tinggi semampai. Senyum wanita itu tersungging saat Celine mendekat. Wanita itu tersenyum lembut "Selamat pagi Bu." "Eh, iya pagi Bu, eh mbak." Wanita itu lalu memandang Arman "Saya pergi dulu, ya. Kita lanjut nanti." Sebelum masuk ke dalam mobil sport nya. wanita itu menoleh sejenak ke arah jendela kamar Celine, tatapannya sekilas namun tajam. Celine sempat merasa ada yang aneh, tapi belum sempat berpikir lebih jauh, Arman sudah menegur. "Ada apa, mbak Celine? Ada yang ketinggalan?" "Kan saya pernah bilang, panggil saja Celine. Ini saya tadi lupa kasih uang belanjaannya." Celine mengulurkan uang kepada Arman. Arman tersenyum, menolak dengan sopan. "Tidak usah, Celine. Hitung-hitung sebagai hadiah perkenalan. Saya biasa juga begitu untuk pelanggan baru, semua orang disini sudah tahu." Celine terkejut "Tapi saya nggak enak, mas Arman. Karena ini hak kamu." Arman bersikeras. "Tidak apa-apa, Kalau mau membayar, besok saja. Hari ini biar gratis dulu" Senyumnya penuh perhatian, tapi tatapannya memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam, rasa kagum yang sulit disembunyikan. Celine akhirnya mengalah, tersenyum hambar. "Baiklah, terima kasih. Kalau gitu saya pamit dulu." "Iya Celine, sama-sama." Arman menatap Celine dengan pandangan yang menusuk jantung hati, seperti orang yang sedang jatuh cinta, tapi tidak mengatakannya. Celine buru-buru masuk rumah, merasa sedikit aneh dengan tatapan Arman yang sejak awal bertemu, seakan mengajaknya untuk selingkuh. Apakah Arman tahu kalau suaminya impoten dan memanfaatkan Celine yang kesepian. Sesampainya di dalam rumah, Celine kembali merenung. "Wanita tadi, kenapa dia sempat menatap Arief di jendela kamar? Apakah mereka saling kenal?" Tapi Celine segera menepis pikirannya. "Ah, mungkin dia hanya melihat sekilas. Tidak sengaja." Gumam Celine mencoba menenangkan diri. ---*-*-*--- Malamnya di rumah Arman. "Sial dangkalan, kenapa jadi begini." Arman bangun dari rebahnya. Ia tak kuasa menolak kehadiran Celine di pelupuk matanya. Kejadian tadi pagi membuatnya sulit konsentrasi. Ia pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Evi, untuk menjumpai pacarnya si Eva. ---*-*-*--- Saat itu Evi tengah menerima telpon dari seseorang. "Iya, ok Bu, serahkan sepenuhnya ke saya. pasti beres... iya baik, iya Bu. ok." Evi menutup telpon lalu meletakkan hp nya di meja. "Jadi bagaimana mbak? apakah rencananya masih seperti itu?" Eva melihat kakaknya kelihatan cemas. "Iya." "Aduh, kasihan mas Arman kalau dijadikan tumbal." "Bukan tumbal namanya kalau mau dapat durian runtuh." Sergah Evi sinis. "Tapi bagaimana perasaanku mbak?" "Jaman sekarang uang diatas segalanya." Eva terdiam mendengar kata-kata Evi. "Kalau kamu sudah pegang uang itu, siapapun bisa kamu beli!" "Tapi mbak." "Alah sudahlah. jangan berfikir yang macam-macam!" "Bagaimana aku nggak mikir macam-macam, kan aku juga punya perasaan cemburu." "Laki-laki seperti dia banyak, kamu bisa pilih. Lagian kalau si dia itu nanti sudah mati. pasti mas mu itu mau balikan sama kamu." "Siapa yang mati? siapa juga yang mau balikan?" Eva penasaran. Tapi pertanyaannya itu belum sempat terjawab, Arman tiba-tiba muncul. "Wuah, kelihatannya ada yang seru nih!" Eva kaget, lain halnya dengan Evi yang cepat menguasai diri. "Lagi cerita masalah sinetron, itu loh, ada istri yang mau dibunuh." Evi sebel menjelaskan. "Oh, kirain siapa yang mau dibunuh mbak?" "Ada apa malam-malam begini datang?" Evi curiga. "Mau ngajak Eva makan nasi goreng mbak." "Jam berapa ini?" Arman melihat jam di hp nya. "Jam sebelas mbak." "Eva ini janda, kalau keluar tengah malam begini, disangka orang nanti dia jablay!" "Kan perginya sama saya mbak." Evi diam, sebenarnya dia juga cemburu dengan adiknya itu. Cuma Evi gengsi. "Boleh ya mbak? nggak lama, paling dua jam." Arman memohon. "Ya udah, sekalian bungkusin mbak martabak Bangka yang spesial ya!" "Siap mbak." Arman tersenyum pengertian. Eva masuk ke dalam untuk berganti baju. Evi yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, segera berdiri lalu menarik Arman ke pojok ruangan dan menciumi nya bertubi-tubi hingga membuat Arman gelagapan. ---*-*-*--- Celine terhenyak bangun saat terdengar bunyi getar ponsel Arief di meja kecil samping tempat tidur. "Siapa sih, malam-malam begini telpon." Celine menatap suaminya yang tertidur nyenyak. Rasa iba merayap dalam relung hatinya melihat keadaan suaminya. Celine lalu melihat ponsel Arief dan melihat nama si penelpon di layar hp, tertulis hanya kode huruf;"X-GF College" dahi Celine seketika itu mengernyit. "Siapa ini sebenarnya? aku angkat nggak ya? takutnya nanti mas Arief marah, kalau privasi nya di ganggu." Celine meletakkan kembali hp Arief dan tak lama kemudian sudah tak berdering lagi. Celine mencoba melupakan si penelpon tapi tak bisa. Ia masih penasaran kira-kira siapa penelpon itu? ---*-*-*--- Nun jauh dari Cluster Ruby, tepatnya di sebuah cafe mewah di Kuta Bali. Seorang wanita cantik tengah duduk sendiri. "Katanya mau nelpon buat mengabarkan masalah itu. tapi kayaknya malah ketiduran. gimana sih? Dia yang janji! Dia juga yang nggak menepati! Dasar laki-laki, mau yang normal atau nggak normal sama saja." Si wanita jengkelnya bukan kepalang karena merasa dibohongi. "Hai, sudah lama ya?" Sapa seorang laki-laki berusia sekitar 32 tahun, penampilannya lebih mirip seorang pengacara daripada pengusaha muda. "Hai Beb, ah enggak.. baru setengah jam yang lalu. Kamu mau pesan apa?" "Minum saja dulu, makannya nanti." Si wanita lalu memanggil waiters. -------*-*-*------- BersambungDi sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya.Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah.“Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian.Si cantik memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit.Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya.Si cantik mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa.Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?"Si cantik mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bisa disembunyikan.
Celine melenguh agak keras tubuhnya mengejang sambil memeluk suaminya erat-erat. Matanya terpejam meresapi kebahagiaan hidup bersama Arief, suami tercinta yang baru menikahinya setahun yang lalu. Arief tergolek di samping istrinya yang cantik dengan nafas terengah-engah. Sejenak mereka saling tatap, tapi tiba-tiba Celine memalingkan wajahnya karena tak ingin Arief mengetahui air matanya yang hendak jatuh. Dengan lembut Arief memegang dagu istrinya lalu menghadapkannya ke wajahnya sendiri. "Kenapa sayang? kok nangis?" "Maafkan aku mas." jawab Celine lirih. "Setiap habis berhubungan, aku selalu merasa bersalah." lanjut wanita itu lagi. "Aku tahu sayang." Arief membelai pipi Celine dengan lembut. "Sudah jangan bahas soal itu lagi. Sudah nggak relevan." Arief tersenyum menenangkan. "Tapi aku merasa hina di mata mas." "Ssttt.. Sudahlah sayang." Jari telunjuk Arief berada di bibir Celine. "Jaman sekarang sudah nggak relevan lagi, suami menuntut istrinya harus virgin, ketika di malam
Dengan sekuat tenaga dan membendung perasaan yang tak menentu, Celine berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju IGD."Mbak" Teman kerja Arief menyongsong Celine yang wajahnya nampak kusut masai."Dimana Mas Arief?" "dokter sedang menanganinya di IGD. Tolong mbak sabar dulu."Mendengar hal itu, Celine tetap tidak tenang, sebelum tahu kondisi suaminya. Jantungnya serasa berpacu dengan waktu, tak sabar ia menunggu kabar tentang belahan jiwanya, apakah masih hidup atau mati. Celine duduk hanya sebentar lalu berdiri, terkadang mondar-mandir. Sering juga sambil menggigit bibir, dengan perasaan gelisah Celine melongok ke dalam ruang IGD melalui jendela kaca kecil.---*-*-*---Empat jam berlalu. Detik demi detik seakan mempermainkan perasaan Celine, mengikis kekuatan yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit terasa sesak di mata Celine. Padahal saat itu sebenarnya tak terlalu ramai. Tak lama kemudian, dokter Pramono, yang berusia lima puluh tah
Keesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan."Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi.Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah.“Mas, aku hanya in
Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket, Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari."Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak."Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya.""Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu.""Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saj