Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket,
Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari. "Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak. "Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya." "Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu." "Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saja, usia kita kan nggak jauh beda.' Evi yang berstatus istri ketua RT itu tersenyum lalu berbalik pergi meninggalkan Celine dan Arman berdua. Ketika Celine menoleh, ia mendapati Arman tengah memandanginya dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan. ada kompilasi antara kekaguman dan ketertarikan yang jelas terpancar dari matanya. Celine merasa kikuk, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak bisa membohongi pesona Arman, yang walaupun hanya tukang sayur, tapi ia sangat tampan. dan ketampanan nya itu melebihi Arief, atau mantan pacarnya yang enam bulan lalu mengejar nya. Celine lalu berusaha menutupi kegundahannya dengan berpura-pura memilih sayuran. "Ada yang bisa saya bantu mbak? mau membuat sayur apa? sop, sayur asem, soto, sayur lodeh, atau membuat....." Celine memotong ucapan Arman, yang membuatnya tak nyaman, ia agak risih sekaligus tak enak, apa kata orang nanti, ia yang sudah bersuami, tengah berduaan dengan laki-laki lain. "Maaf, saya harus pergi sekarang." Dengan cepat, Celine melangkah menuju mobilnya, mencoba menghindari tatapan Arman yang membuatnya merasa canggung. Arman tersenyum tipis, tatapan matanya mengikuti Celine yang dengan terburu-buru masuk ke mobilnya. Arman mengangguk pelan sambil tersenyum manis saat mobil Celine melewatinya. Sementara itu, di balik gorden rumahnya, nampak Evi mengintip semua kejadian itu tanpa terlewat sedikit pun. Ia tersenyum sambil memikirkan sesuatu. ---*-*-*--- Keesokan paginya, ketika Celine terbangun, tubuhnya terasa remuk redam. Kepalanya serasa berdenyut, dan tulang-tulangnya seperti tanggal dari persendian. Namun anehnya, seperti kemarin Arief terlihat segar dan penuh energi. Dia sudah duduk di ruang tamu, menonton televisi lagi dengan senyum, walau dimata Celine masih terlihat getir. Celine berdiri di pintu kamar, perasaan ganjil semakin merayapi dirinya. "Syukurlah, aku bahagia melihat kamu kembali ceria Mas, tapi maaf, apa yang membuatmu terlihat begitu bahagia? Arief menoleh lalu tertawa kecil. "Kamu ini aneh, kalau aku lagi marah dibilang berubah. kalau Aku senang, justru kamu merasa aku ini aneh! terus aku harus bagaimana? Arief tidak marah, bahkan matanya bersinar cerah, penuh dengan keyakinan yang tidak Celine miliki. Saat Celine tengah bersiap untuk pergi interview, Arman, si tukang sayur keliling, mendekatinya dengan senyum ramah. "Mbak,, kalau butuh pekerjaan, saya kenal seseorang di komplek yang lagi cari sekretaris. Kalau mbak mau, saya bisa mengantarkan." Celine mengerutkan kening. "Panggil saja saya Celine, ngomong-ngomong kok situ tahu saya mau melamar pekerjaan?" "Feeling saja sih, karena saya lihat penampilan Celine sangat rapi, bawa tas kerja pula, pasti mau cari kerja kan?" Celine merasa tak nyaman dengan tawaran itu meski nada bicara Arman terdengar tulus. "Terima kasih, Mas Arman. Tapi saya sudah ada janji interview pagi ini." "Iya nggak apa-apa, mungkin lain kali." Arman mengangguk, dan Celine pun segera berlalu, menyisakan tatapan tertarik dari Arman yang terus mengikuti langkahnya. Setelah Celine pergi, Evi mendekati Arman, senyum terukir di bibirnya yang kata orang sih sexy, soalnya atas bawah terlihat tebal. "Apa yang kalian bicarakan tadi?" Arman tersenyum kecut, menghindari pertanyaan Evi. Namun sebelum Evi bisa mendesak lebih jauh, adiknya, Eva, janda kembang yang berusia 28 tahun muncul, menggoda Arman dengan tawa kecil, mencairkan ketegangan di antara mereka. "Hati-hati Va, cowok kamu ini mulai melirik mangga yang lain." "Mangga yang mana mbak?" Eva penasaran, menatap kakaknya. "itu tuh, yang baru pindah itu!" "Oh, mangga muda yang cantik itu?" Eva gemas. "Iya." Jawab Evi "Yang bodynya bohay itu?" "iya, yang mana lagi?" "Yang putih mulus itu?" "Sudah, sudah, apa-apaan kamu ini Eva, nggak sekalian saja kamu sebutkan semua kelebihannya." Evi dongkol dan melotot ke arah adiknya. "Lah, terus, aku harus bagaimana mbak?" ujar Eva bingung. "Kok malah nanya? memangnya kamu nggak cemburu?" "Cemburu sih iya, tapi kan aku nggak berhak melarang Mas Arman. Soalnya kita belum ada ikatan apa-apa." "Ya makanya buruan minta diikat, suruh Arman mengawini kamu, jangan mau enaknya saja, hampir setiap hari ditiduri kok mau saja nggak dinikahi. memangnya kamu itu barang bekas? setelah dicoba, di icip-icip, lalu kalau sudah bosan ditinggal begitu saja, enak banget!" Evi kesal. "Kan memang aku sudah bekas mbak." Eva tertunduk. "Kamu memang janda, tapi bukan barang bekas." "Kan aku bekas orang." Eva merengut. "Sudah ah. Kamu ini nggak kalah sama kok sama Celine, cuma kalah di wajah. Kalau body lebih semok kamu, apalagi ini mu yang super, ngerti nggak! Evi jengkel sambil menunjuk dada Eva yang memang super. lalu dengan marah, Evi pergi meninggalkan Eva dan juga Arman yang terbengong-bengong. Sore harinya, setelah kembali dari interview, Celine menemukan Arief menatapnya dengan senyum penuh arti. Jadi, kamu terima tawaran tukang sayur itu?" Celine terkejut, bagaimana Arief bisa tahu? Wajahnya menegang, tapi Arief dengan cepat menjelaskan. "Aku sempat dengar tadi pagi. Menurutku, kamu harus terima saja. Daripada susah-susah mencari pekerjaan lain, kan?" Celine memandang suaminya, merasa kebingungan dengan perubahan sikapnya yang begitu mendadak sejak mereka pindah ke Bali. Arief, yang kemarin-kemarin selalu terlihat emosian, kini terlihat seolah ingin mengarahkan langkahnya dengan bijaksana." ---*-*-*--- Celine tengah memotong sayuran di dapur, pikirannya melayang, membayangkan kebahagiaan jika mereka punya anak. *Flashback* "Kita punya anak kembar tiga sayang, wuah ha ha.. ayo Anak-anak, come to papa." Arief terlihat bercanda dan bermain-main dengan ketiga balita yang lucu dan menggemaskan. Celine menatap mereka dengan terharu, tanpa terasa air matanya mengalir. "Yang satu harus kuliah di Harvard, biar bisa jadi profesor atau the new Mark Zuckerberg. Yang kedua jadi pengusaha, tapi jangan korup ya? Haha.. Yang ketiga mungkin harus jadi seniman, musisi, penyanyi atau penulis novel. Gimana menurutmu sayang?" Arief menoleh ke arah Celine yang saat itu menatapnya dengan berderai air mata. *Back to normal* Air mata Celine berderai, mengingat mimpinya dan Arief akan terkubur selamanya. Celine dengan marah dan teriak lalu melemparkan pisau dan sayuran-sayuran itu. Tak lama kemudian Celine duduk di lantai, menangis sejadi-jadinya atas kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini, hingga ia tak menyadari, ada sosok yang tengah memperhatikannya. Sosok misterius itu memandang Celine dari belakang yang kala itu mengenakan daster terusan tanpa lengan, yang panjangnya hanya dipertengahan pahanya yang putih mulus. Apalagi ketika duduk, bawah daster itu tertarik ke atas, hingga aurat bagian bawahnya nyaris tak tertutup. Sosok itu berdecak kagum memandangi tubuh indah Celine yang menerawang di balik gaunnya yang tipis. Si misterius itu juga menelan ludah, tatkala melihat sungguh molek nian, tubuh Celine yang bak gitar itu, seolah-olah jika dipetik, akan menimbulkan nada-nada yang indah. Pelan tapi pasti, sosok itu kian berjalan mendekat. dengan nafas mendengus menahan gejolak birahi, ia makin mendekati Celine, yang masih terguncang dan sesenggukan itu. Tanpa sepengetahuan mereka berdua, Arief terlihat memandang dengan perasaan tak berdaya, dengan lemas dan perasaan hancur, ia lalu mengarahkan kursi rodanya dan bergegas ke dalam kamar, meninggalkan istrinya yang tengah di dekati sosok yang asing itu. -------*-*-*------- BersambungCeline masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya."Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas.""Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan."Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini.Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakuk
Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik (Vera Rahmi Diany) duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya. Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah. “Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian. Vera memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit. Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya. Vera mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa. Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?" Vera mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bi
Di rumah Evi, tepatnya di pojok ruang tamu, Arman tengah gelagapan diserang sedemikian rupa oleh Evi. Ia berusaha menghindar karena takut dipergoki oleh Eva yang tengah ganti baju. "Hmmftt, Mbak, tunggu sebentar, nanti ketahuan Eva." Arman menjauhi bibir Evi, ia gelisah sambil melihat ke arah ruang dalam rumah Evi. "Nggak bakal, Eva kalau make up lama." Evi nyosor lagi habis berkata begitu. Arman berusaha menahan, tapi karena Evi sangat beringas, Arman akhirnya cuma bisa mengalah. Melihat reaksi Arman yang pasrah dan mulai mengimbangi nafsunya, Evi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia buru-buru mengambil sesuatu yang berharga milik Arman, hingga dia melenguh. Tapi kemudian mencoba menahan. "Aduh mbak, jangan ah. Aku nggak enak sama Eva." Arman berusaha menolak tangan Evi yang berusaha memainkan Mr. P nya. "Huh, kamu kan tahu suamiku kena Diabetes melitus, sudah nggak bisa ngasih nafkah batin. Lagian kenapa baru sekarang menolak? Kenapa nggak dari dulu-dulu!" Evi merengut. "A
Pukul enam pagi, Arief terbangun. Ia kaget sekaligus panik, buru-buru ia meraih ponselnya dan melihat notifikasi bahwa Si Cantik telah miss call dan kirim pesan melalui W******p. "Astaga! Vera pasti sangat marah. ahh, ini semua gara-gara aku ketiduran." Arief mendumel dengan kesal. Ia lalu melirik ranjang disampingnya, kosong. Rupanya Celine sudah bangun. Buru-buru Arief menjangkau kursi rodanya, lalu menaikinya dan keluar kamar. Di meja makan, nampak Celine sudah rapih mengenakan setelan blazer dan rok. Ia tak menyadari kehadiran Arief, karena pikiran Celine masih melayang pada kejadian semalam, tentang siapa yang membisikinya dan mengatakan bahwa "Ia wanita yang baik, Doa'nya pasti akan terkabul." Celine mendesah. "Mau pergi?" Arief menegur. Celine kaget karena tak melihat kehadiran Arief, sejak kapan ia disitu? "Eh, kamu sudah bangun mas? aku sedang menyiapkan sarapan. Tentunya kamu sudah lapar, ayo mas kita makan dulu." Celine mencoba tersenyum walau ia melihat raut wajah suam
Akhirnya Celine memutuskan untuk pergi saja, ia berjalan menuju pos satpam di ujung jalan komplek. Sedangkan Evi yang berusaha mengejar puncak birahinya, terus mendaki. Arman dipeluk sekuat tenaga dan diremas-remasnya kepala Arman hingga rambutnya acak-acakan. Tak lama kemudian Evi histeris saat mencapai puncak orgasme terdahsyat nya, Ia merintih, mendesah dan tubuhnya menggelepar bak ikan kekurangan air. "Hufftt.. makasih ya Arman sayang, nah, sekarang kamu temui dulu si Celine." Evi turun dari tubuh Arman yang kelihatan kecewa. "Loh, tapi aku kan belum sampe mbak, ayolah sebentar lagi saja." Arman membujuk Evi yang kelelahan dan sedang memakai pakaiannya. "Nanti malam saja diteruskan, itu si Celine lagi nyari kamu. Takutnya nanti dia malah kesini, kan jadi masalah, kalau dia tahu kamu lagi disini, ntar malah jadi skandal!" Evi memberikan alasan yang tak masuk akal, tapi Arman tetap mengikuti, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dengan lesu Arman kekuar dari rumah Evi.
Vera, bisa diibaratkan sebagai sutradara sekaligus penulis skenario, ia merancang cerita dan mengatur para pemainnya, sesuai skenario yang telah ia buat. Saat itu Vera yang masih menggenggam tangan Arief, segera mengusap Air mata mantan kekasihnya itu. "Jangan cengeng, kamu tahu kan, dari dulu aku paling tidak suka sama laki-laki cengeng dan lembek." Arief mengangguk, lalu pelan sekali ia bertanya untuk meyakinkan diri, bahwa hal itu bukanlah mimpi semata. "Apakah kamu yakin mau menikah denganku?" Vera menatap Arief dengan lembut. "Tentu saja aku mau, asal... kekayaan Alex Subrata sudah kita kuasai." Vera kemudian mengecup mesra bibir Arief. "Nah, sekarang aku punya kejutan untukmu." Vera berdiri dan hendak mendorong kursi roda Arief, yang masih tertegun. "Kejutan apa?" Arief menoleh menatap Vera dengan pandangan bertanya. "Bukan kejutan namanya kalau aku kasih tahu sekarang." Vera tersenyum dan Arief terpukau memandang wajah yang disinari matahari senja itu, sungguh canti
Esoknya, Celine sudah berpakaian rapih layaknya seorang pelamar pekerjaan. Ia dan Arief sedang menikmati sarapannya."Mas yakin nggak mau nganterin aku?" Celine menatap suaminya dengan harapan ia mau mengantarnya ke kantor Pak Alex."Aku sudah meminta tolong Arman untuk mengantarmu." Ucap Arief sambil terus makan.Celine menghela nafasnya yang terasa sesak, ia merasa keberatan diantar Arman. Firasatnya mengatakan bahwa Arman dari dulu menginginkannya. Tapi Celine pun tahu sifat suaminya, jika berkata "A" maka "A" itulah yang harus Celine jalankan. Jadi percuma saja jika Celine keberatan, toh akhirnya Arief juga yang menang. Dengan berat hati Celine pun berdiri, setelah mencium tangan suaminya, lalu bertanya."Aku lihat kursi rodamu baru mas." "Iya baru beli kemarin." Jawab Arief acuh tak acuh sambil tetap makan.Celine mau bertanya lagi tapi ragu, akhirnya ia menyambar tas kerjanya lalu bergegas keluar rumah. Arman yang sedang menunggunya di teras, buru-buru bangun dan menyambut Ce
Berbagai perasaan bergelayut dipikiran Celine, rasa tegang, kaku, nervous juga ada. Tatapan Pak Alex, dirasa Celine sangat tajam menilai, tatapan seorang penguasa.Pak Made mencoba mencairkan suasana. "Namanya Celine Antoinette Pak." Pak Made tersenyum sambil menatap bosnya."Hmm, oke, lumayan." Kata Pak Alex datar.Celine merutuk dalam hatinya. "Sialan ini orang, dikira gampang kesini, aku make up saja hampir dua jam, memilih blazerku yang terbaik dan paling mahal, pakai parfum jutaan pula. Eh, dia cuma bilang cuma lumayan."Pak Alex lalu memandang jari manis tangan kiri Celine, ia memperhatikan cincin kawin itu dengan mata menyipit. "Kamu sudah nikah?" Aduhai, tatapan matanya itu sangat menusuk. "Iya pak, sudah. Tapi saya belum punya anak." Jawab Celine mencoba tenang dan meyakinkan dirinya sendiri, agar tak terlalu kelihatan cupu di depan calon bosnya ini.Karena dulu, Celine sering berhadapan dengan berbagai macam orang, jadi sedikit banyak Celine juga mempelajari banyak karakte
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N