Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket,
Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari. "Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak. "Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya." "Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu." "Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saja, usia kita kan nggak jauh beda.' Evi yang berstatus istri ketua RT itu tersenyum lalu berbalik pergi meninggalkan Celine dan Arman berdua. Ketika Celine menoleh, ia mendapati Arman tengah memandanginya dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan. ada kompilasi antara kekaguman dan ketertarikan yang jelas terpancar dari matanya. Celine merasa kikuk, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak bisa membohongi pesona Arman, yang walaupun hanya tukang sayur, tapi ia sangat tampan. dan ketampanan nya itu melebihi Arief, atau mantan pacarnya yang enam bulan lalu mengejar nya. Celine lalu berusaha menutupi kegundahannya dengan berpura-pura memilih sayuran. "Ada yang bisa saya bantu mbak? mau membuat sayur apa? sop, sayur asem, soto, sayur lodeh, atau membuat....." Celine memotong ucapan Arman, yang membuatnya tak nyaman, ia agak risih sekaligus tak enak, apa kata orang nanti, ia yang sudah bersuami, tengah berduaan dengan laki-laki lain. "Maaf, saya harus pergi sekarang." Dengan cepat, Celine melangkah menuju mobilnya, mencoba menghindari tatapan Arman yang membuatnya merasa canggung. Arman tersenyum tipis, tatapan matanya mengikuti Celine yang dengan terburu-buru masuk ke mobilnya. Arman mengangguk pelan sambil tersenyum manis saat mobil Celine melewatinya. Sementara itu, di balik gorden rumahnya, nampak Evi mengintip semua kejadian itu tanpa terlewat sedikit pun. Ia tersenyum sambil memikirkan sesuatu. ---*-*-*--- Keesokan paginya, ketika Celine terbangun, tubuhnya terasa remuk redam. Kepalanya serasa berdenyut, dan tulang-tulangnya seperti tanggal dari persendian. Namun anehnya, seperti kemarin Arief terlihat segar dan penuh energi. Dia sudah duduk di ruang tamu, menonton televisi lagi dengan senyum, walau dimata Celine masih terlihat getir. Celine berdiri di pintu kamar, perasaan ganjil semakin merayapi dirinya. "Syukurlah, aku bahagia melihat kamu kembali ceria Mas, tapi maaf, apa yang membuatmu terlihat begitu bahagia? Arief menoleh lalu tertawa kecil. "Kamu ini aneh, kalau aku lagi marah dibilang berubah. kalau Aku senang, justru kamu merasa aku ini aneh! terus aku harus bagaimana? Arief tidak marah, bahkan matanya bersinar cerah, penuh dengan keyakinan yang tidak Celine miliki. Saat Celine tengah bersiap untuk pergi interview, Arman, si tukang sayur keliling, mendekatinya dengan senyum ramah. "Mbak,, kalau butuh pekerjaan, saya kenal seseorang di komplek yang lagi cari sekretaris. Kalau mbak mau, saya bisa mengantarkan." Celine mengerutkan kening. "Panggil saja saya Celine, ngomong-ngomong kok situ tahu saya mau melamar pekerjaan?" "Feeling saja sih, karena saya lihat penampilan Celine sangat rapi, bawa tas kerja pula, pasti mau cari kerja kan?" Celine merasa tak nyaman dengan tawaran itu meski nada bicara Arman terdengar tulus. "Terima kasih, Mas Arman. Tapi saya sudah ada janji interview pagi ini." "Iya nggak apa-apa, mungkin lain kali." Arman mengangguk, dan Celine pun segera berlalu, menyisakan tatapan tertarik dari Arman yang terus mengikuti langkahnya. Setelah Celine pergi, Evi mendekati Arman, senyum terukir di bibirnya yang kata orang sih sexy, soalnya atas bawah terlihat tebal. "Apa yang kalian bicarakan tadi?" Arman tersenyum kecut, menghindari pertanyaan Evi. Namun sebelum Evi bisa mendesak lebih jauh, adiknya, Eva, janda kembang yang berusia 28 tahun muncul, menggoda Arman dengan tawa kecil, mencairkan ketegangan di antara mereka. "Hati-hati Va, cowok kamu ini mulai melirik mangga yang lain." "Mangga yang mana mbak?" Eva penasaran, menatap kakaknya. "itu tuh, yang baru pindah itu!" "Oh, mangga muda yang cantik itu?" Eva gemas. "Iya." Jawab Evi "Yang bodynya bohay itu?" "iya, yang mana lagi?" "Yang putih mulus itu?" "Sudah, sudah, apa-apaan kamu ini Eva, nggak sekalian saja kamu sebutkan semua kelebihannya." Evi dongkol dan melotot ke arah adiknya. "Lah, terus, aku harus bagaimana mbak?" ujar Eva bingung. "Kok malah nanya? memangnya kamu nggak cemburu?" "Cemburu sih iya, tapi kan aku nggak berhak melarang Mas Arman. Soalnya kita belum ada ikatan apa-apa." "Ya makanya buruan minta diikat, suruh Arman mengawini kamu, jangan mau enaknya saja, hampir setiap hari ditiduri kok mau saja nggak dinikahi. memangnya kamu itu barang bekas? setelah dicoba, di icip-icip, lalu kalau sudah bosan ditinggal begitu saja, enak banget!" Evi kesal. "Kan memang aku sudah bekas mbak." Eva tertunduk. "Kamu memang janda, tapi bukan barang bekas." "Kan aku bekas orang." Eva merengut. "Sudah ah. Kamu ini nggak kalah sama kok sama Celine, cuma kalah di wajah. Kalau body lebih semok kamu, apalagi ini mu yang super, ngerti nggak! Evi jengkel sambil menunjuk dada Eva yang memang super. lalu dengan marah, Evi pergi meninggalkan Eva dan juga Arman yang terbengong-bengong. Sore harinya, setelah kembali dari interview, Celine menemukan Arief menatapnya dengan senyum penuh arti. Jadi, kamu terima tawaran tukang sayur itu?" Celine terkejut, bagaimana Arief bisa tahu? Wajahnya menegang, tapi Arief dengan cepat menjelaskan. "Aku sempat dengar tadi pagi. Menurutku, kamu harus terima saja. Daripada susah-susah mencari pekerjaan lain, kan?" Celine memandang suaminya, merasa kebingungan dengan perubahan sikapnya yang begitu mendadak sejak mereka pindah ke Bali. Arief, yang kemarin-kemarin selalu terlihat emosian, kini terlihat seolah ingin mengarahkan langkahnya dengan bijaksana." ---*-*-*--- Celine tengah memotong sayuran di dapur, pikirannya melayang, membayangkan kebahagiaan jika mereka punya anak. *Flashback* "Kita punya anak kembar tiga sayang, wuah ha ha.. ayo Anak-anak, come to papa." Arief terlihat bercanda dan bermain-main dengan ketiga balita yang lucu dan menggemaskan. Celine menatap mereka dengan terharu, tanpa terasa air matanya mengalir. "Yang satu harus kuliah di Harvard, biar bisa jadi profesor atau the new Mark Zuckerberg. Yang kedua jadi pengusaha, tapi jangan korup ya? Haha.. Yang ketiga mungkin harus jadi seniman, musisi, penyanyi atau penulis novel. Gimana menurutmu sayang?" Arief menoleh ke arah Celine yang saat itu menatapnya dengan berderai air mata. *Back to normal* Air mata Celine berderai, mengingat mimpinya dan Arief akan terkubur selamanya. Celine dengan marah dan teriak lalu melemparkan pisau dan sayuran-sayuran itu. Tak lama kemudian Celine duduk di lantai, menangis sejadi-jadinya atas kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini, hingga ia tak menyadari, ada sosok yang tengah memperhatikannya. Sosok misterius itu memandang Celine dari belakang yang kala itu mengenakan daster terusan tanpa lengan, yang panjangnya hanya dipertengahan pahanya yang putih mulus. Apalagi ketika duduk, bawah daster itu tertarik ke atas, hingga aurat bagian bawahnya nyaris tak tertutup. Sosok itu berdecak kagum memandangi tubuh indah Celine yang menerawang di balik gaunnya yang tipis. Si misterius itu juga menelan ludah, tatkala melihat sungguh molek nian, tubuh Celine yang bak gitar itu, seolah-olah jika dipetik, akan menimbulkan nada-nada yang indah. Pelan tapi pasti, sosok itu kian berjalan mendekat. dengan nafas mendengus menahan gejolak birahi, ia makin mendekati Celine, yang masih terguncang dan sesenggukan itu. Tanpa sepengetahuan mereka berdua, Arief terlihat memandang dengan perasaan tak berdaya, dengan lemas dan perasaan hancur, ia lalu mengarahkan kursi rodanya dan bergegas ke dalam kamar, meninggalkan istrinya yang tengah di dekati sosok yang asing itu. -------*-*-*------- BersambungCeline masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya."Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas.""Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan."Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini.Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakuk
Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya.Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah.“Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian.Si cantik memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit.Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya.Si cantik mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa.Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?"Si cantik mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bisa disembunyikan.
Celine melenguh agak keras tubuhnya mengejang sambil memeluk suaminya erat-erat. Matanya terpejam meresapi kebahagiaan hidup bersama Arief, suami tercinta yang baru menikahinya setahun yang lalu. Arief tergolek di samping istrinya yang cantik dengan nafas terengah-engah. Sejenak mereka saling tatap, tapi tiba-tiba Celine memalingkan wajahnya karena tak ingin Arief mengetahui air matanya yang hendak jatuh. Dengan lembut Arief memegang dagu istrinya lalu menghadapkannya ke wajahnya sendiri. "Kenapa sayang? kok nangis?" "Maafkan aku mas." jawab Celine lirih. "Setiap habis berhubungan, aku selalu merasa bersalah." lanjut wanita itu lagi. "Aku tahu sayang." Arief membelai pipi Celine dengan lembut. "Sudah jangan bahas soal itu lagi. Sudah nggak relevan." Arief tersenyum menenangkan. "Tapi aku merasa hina di mata mas." "Ssttt.. Sudahlah sayang." Jari telunjuk Arief berada di bibir Celine. "Jaman sekarang sudah nggak relevan lagi, suami menuntut istrinya harus virgin, ketika di malam
Dengan sekuat tenaga dan membendung perasaan yang tak menentu, Celine berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju IGD."Mbak" Teman kerja Arief menyongsong Celine yang wajahnya nampak kusut masai."Dimana Mas Arief?" "dokter sedang menanganinya di IGD. Tolong mbak sabar dulu."Mendengar hal itu, Celine tetap tidak tenang, sebelum tahu kondisi suaminya. Jantungnya serasa berpacu dengan waktu, tak sabar ia menunggu kabar tentang belahan jiwanya, apakah masih hidup atau mati. Celine duduk hanya sebentar lalu berdiri, terkadang mondar-mandir. Sering juga sambil menggigit bibir, dengan perasaan gelisah Celine melongok ke dalam ruang IGD melalui jendela kaca kecil.---*-*-*---Empat jam berlalu. Detik demi detik seakan mempermainkan perasaan Celine, mengikis kekuatan yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit terasa sesak di mata Celine. Padahal saat itu sebenarnya tak terlalu ramai. Tak lama kemudian, dokter Pramono, yang berusia lima puluh tah
Keesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan."Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi.Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah.“Mas, aku hanya in